WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Februari 28, 2008


PP RI NO. 2/2008; KEBIJAKAN ANTI RAKYAT & ANTI LINGKUNGAN

Oleh; Anwar Sadat
Kadiv Hutan dan perkebunan WALHI Sum-sel,Ketua DPD Sarekat Hijau Indonesia Kota PAlembang




Pada tanggal 4 Februari 2008, Presiden SBY telah menandatangani aturan baru di sektor kehutanan, tentang ”Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan”. Sebuah kebijakan yang kemudian banyak menuai kritik dan protes dari berbagai kalangan, khususnya kelompok yang selama ini corcern terhadap persoalan hutan dan lingkungan di Indonesia.



Jika kita lihat isi di dalam PP tersebut, tentunya banyak hal yang patut kita pertanyakan kepada Presiden SBY, atas alasan dikeluarkannya kebijakan kontra produktif itu, yang dihubungkan dengan curat-marutnya sistem pengelolaan dan pengurusan hutan selama ini. Beberapa hal itu diantaranya, Pertama, di tengahnya hancurnya hutan kita, yang selanjutnya telah berkontribusi terhadap berbagai bencana ekologi yang terjadi hampir di seluruh pelosok daerah di negeri ini; Kedua, beragam persoalan sosial yang mengitari kehidupan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, yang hingga saat ini masih terus banyak bermunculan; dan Ketiga, sehubungan dengan keberadaan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi PBB untuk perubahan iklim pada bulan Desember tahun lalu, dimana pemerintah Indonesia telah berkomitmen akan turut serta mengatasi dampak pemanasan global, yang salah satunya melalui penataan kembali kehidupan hutannya.



Pemerintah harus memperhatikan, penerbitan PP Nomor 2 Tahun 2008, yang membuka ruang seluas-luasnya bagi investasi pertambangan di dalam kawasan hutan lindung, hanya akan menambah daftar catatan terhadap persoalan kehutanan di Indonesia. Alasan pemanfaatan kawasan hutan, demi mengejar target keuntungan semata, tentunya tidaklah sebanding dengan berbagai persoalan yang akan muncul dikemudian hari, akibat dari proses komersialisasi tersebut. Sangat disayangkan, jika pemerintahan SBY harus rela mengorbankan hutan Indonesia, yang sesungguhnya saat ini telah berada pada situasi yang sangat memprihatinkan. Sia-sia berbagai program dan proyek yang telah dikeluarkan negara, dengan nilai yang tidaklah sedikit untuk memperbaiki nasib hutan Indonesia.



Banyak kalangan mengkhawatirkan, eksploitasi kawasan hutan lindung untuk kegiatan usaha pertambangan, akan sangat membahayakan keselamatan hutan dari sisi konservasi. Kegiatan pertambangan yang dilakukan di luar kawasan hutan selama inipun, secara nyata telah membuktikan berbagai kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitar. Dengan penggunaan sistem open fit (terbuka), banyak lubang dan sisa galian yang dihasilkan dari operasi pertambangan, yang semua itu hampir rata-rata selalu dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya reklamasi. Sebagai contoh di Sumatera Selatan, PT. Barisan Tropical Meaning (BTM), yang beroperasi selama 5 tahun sejak 1997 hingga tahun 2001, di Desa Muara Tiku Kecamatan Karang Jaya MURA, telah berkontribusi terhadap berbagai persoalan sosial dengan masyarakat sekitar. Paska operasi, lubang-lubang dengan volume kedalaman ratusan meter dan lebar puluhan meter, yang menganga terbuka dibiarkan begitu saja oleh perusahaan.



Pengalihan hutan lindung menjadi aktifitas pertambangan tentunya sangat beresiko. Konversi tersebut akan mengancam berbagai ekosistem kawasan, seperti; tumbuhan dan fauna, serta keasrian udara yang ada di dalamnya. Selain itu, perubahan fungsi kawasan lindung, akan berdampak secara signifikan terhadap pola keseimbangan air dan kesuburan tanah. Dalam hal ini, tentunya masyarakat di sekitar kawasanlah yang paling pertama akan merasakan dampak dari perubahan lingkungan tersebut, selain ancaman lainnya, yaitu semakin terpinggirkannya akses mereka terhadap sumber kehidupannya, memanfaatkan lahan dan hasil hutan.



Jika Presiden SBY beralasan bahwa penerbitan PP Nomor 2 Tahun 2008 tersebut, hanya diperuntukan bagi 13 perusahaan tambang, sebagaimana tercantum di dalam lampiran Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004, kenapa dalam aturan itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Dengan ketidakjelasan tersebut, tentunya akan sangat membuka peluang bagi perusahaan tambang lainnya, untuk turut serta menanamkan investasinya. Selain itu, terdapat kekhawatiran, jika pemerintah memberikan izin terbuka bagi perusahaan pertambangan untuk mengelola kawasan hutan lindung, kemungkinan perusahaan di sektor lainnya, juga akan mencari celah untuk mendapatkan hal yang sama. Selain itu, alasan tujuan pengeluaran PP itu, agar dapat berkontribusi dalam hal pemeliharaan dan rehabilitasi kembali kawasan hutan lindung, tentunya tidaklah akan memadai jika melihat besarnya tarif yang dibebankan terhadap perusahaan. Meski harus disadari oleh SBY, persoalannya tidaklah hanya terbatas pada biaya sewa yang teramat murah, namun terhadap bencana sosial yang bakal dihasilkan dari proses eksploitasi tersebut, adalah kekhatiran utama kita semua.



Dengan laju deforestasi dan degradasi hutan alam yang saat ini telah menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan, pemerintah seharusnya lebih menekankan kebijakannya, untuk memulihkan kembali wilayah hutan kritis. Bukanlah sebaliknya, yakni dengan mengelurkan aturan yang bakal membawa kepada resiko akan semakin terababat habisnya hutan tropis kita. Masifnya usaha industri pertambangan di kawasan lindung, hanya akan semakin memperparah kondisi hutan alam Indonesia, yang laju perusakaannya saat ini telah mencapai luasan 2 juta hektar setiap tahunnya, atau setara dengan luas kepulauan Bali (data base Walhi Nasional;2007).



Pengalaman selama ini telah menunjukan, kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang hanya mengejar profit semata, telah berkontribusi dalam menghasilkan berbagai bencana struktural. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan rentetatan bencana alam, seperti longsor dan banjir adalah potret realitas yang tidak bisa dipungkiri oleh pemerintah.



Karenanya, PP Nomor 2 Tahun 2008 harus dicabut oleh SBY. Selain tidak berfilosofi pada keadilan sosial dan keadilan iklim, Peraturan Pemerintah tersebut sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Kehutanan yang terkait dengan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu, Peratutan Pemerintah tersebut juga telah mendistorsi hak dan kewenangan negara sebagimana di jelaskan di dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam UU itu dijelaskan, bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Sementara isi yang dimaksudkan di dalam PP Nomor 2 Tahun 2008, tentang sewa-menyewa, seakan-akan pemerintah memposisikan bahwa Negara adalah pemilik kekayaan hutan kita.



Selengkapnya...

Sabtu, Februari 23, 2008

SENGKETA AGRARIA; PERSOALAN YANG TAK BERKESUDAHAN
Oleh; Anwar Sadat : Kepala Divisi Hutan Dan Perkebunan WALHI SUM-SEL,Ketua DPD Sarekat Hijau Indonesia( SHI ) Kota Palembang

"Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal-asing terhadap Rakyat Indonesia”
(Bung Karno)

Sengketa agraria merupakan persoalan yang tidak lepas dari bingkai sejarah republik Indonesia. Bahkan kondisi tersebut terjadi jauh sebelum pra-kemerdekaan dan pra-kolonial, yaitu dimana ketika sumber-sumber agraria dikuasai oleh para raja dan keluarganya. Di jaman itu, telah banyak sengketa agraria yang bermunculan, yang disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat terhadap situasi penindasan yang mereka alami. Dalam buku sejarah dapat kita lihat, bagaimana tata agraria yang diterapkan di jaman itu. Raja sebagai penguasa tunggal, tidak hanya berhak memiliki sumber-sumber kekayaan dalam wilayah kekuasaannya, namun raja berhak pula untuk menentukan kehidupan dan kematian atas rakyatnya.

Kemudian pada saat Belanda berkuasa di Indonesia, sistem agraria dikembangkan guna terpenuhinya kebutuhan negara induk Belanda. Prakteknya, Belanda menerapkan berbagai peraturan – diantaranya; mengharuskan seperlima dari tanah petani ditanami tanaman yang ditentukan oleh Belanda (sistem tanam paksa), menjamin kepastian berusaha bagi modal swasta melalui penerbitan Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) dan Suiker Wet (Undang-undang Gula) tahun 1870. Untuk memuluskan penindasan dan eksploitasinya, penguasa kolonial menggunakan siasat membangun sekutu bersama kekuasaan feodal (kerajaan). Belanda tidaklah dengan serta merta merombak struktur agraria dan struktur politik yang sebelumnya dikuasai oleh para raja. Pengaruh kerajaan tetap digunakan, dengan prinsip bahwa kerajaan tersebut harus berada di bawah kontrol dan kendali Belanda. Akibatnya, petani berada dalam tekanan ganda, pada satu sisi ditekan oleh kekuasaan feodal, dan di sisi lain oleh kekuasaan kolonial.

Ketika Indonesia merdeka, adalah merupakan tonggak sejarah dalam pengalihan secara radikal (menyeluruh) politik agraria kolonial yang bercorak menindas kepada tata agraria nasional yang berkeadilan. Prinsip politik agraria ditujukan untuk manata dan membangun tatanan nasional yang mandiri serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada rakyat. Visi dasar dari politik agraria nasional adalah menyelenggarakan suatu tata agraria yang memberikan jaminan bahwa seluruh sumber-sumber agraria diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Presiden Soekarno sendiri merupakan pemimpin yang begitu concern terhadap nasib kehidupan kaum tani. Banyak pidato-pidato beliau yang menekankan, bahwa jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat dan mandiri, utama harus dilakukan adalah negara mesti membangun tatanan masyarakat yang adil dan makmur melalui arah politik agraria yang berfihak kepada rakyat tani. Namun sebagaimana diketahui bahwa program tersebut tidak sepenuhnya berhasil diselesaikan dengan tuntas. Hanya sebagian kecil dari tanah-tanah yang hendak dibagikan kepada petani gurem (tak bertanah), berhasil dilakukan. Kebijakan land reform ketika itu tidak didukung sepenuhnya oleh kekuatan banyak kelompok yang kontra terhadap jalannya revolusi.

Situasi politik agraria saat ini
Sejak masa pembangunan yang dicanangkan orde baru, berbagai persoalan seperti ; penggusuran, penyerobotan lahan, perampasan hak milik petani, marak bermunculan. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi ketimbang perbaikan nyata struktur agraria, telah membawa akibat yang besar kepada perbaikan taraf hidup rakyat, khususnya petani di pedesaaan. Penetrasi modal yang dikembangkan hingga ke desa, telah memacu alih fungsi, dan berakibat semakin sempitnya lahan yang dikuasai petani.

Berdasarkan analisa data statistik penguasaan tanah di Indonesia, ditemukan hingga saat ini rata-rata penguasaan oleh petani di pedesaaan tidak lebih dari 0,8 hektar per rumah tangga petani, yang secara keseluruhan hanya menguasai sekitar 17 juta hektar lahan pertanian. Bahkan ada sekitar 12,5 juta rumah tangga petani yang dapat dikategorikan sebagai petani gurem, dan di dalamnya ada sekitar 9,9 juta rumah tangga petani yang tidak bertanah (landless peasants) atau sekitar 32,6% dari jumlah keseluruhan rumah tangga petani di Indonesia (Bachriadi dan Wiradi, 2003).

Pengembangan investasi, yang tidak diimbangi dengan proteksi terhadap rumah tinggal dan lahan penghidupan rakyat, telah memunculkan banyak konflik tanah. Menurut data base Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 30 tahun lebih, sejak 1970 hingga 2001, setidaknya terdapat 1.753 kasus sengketa tanah yang terekam dan dikategorikan sebagai sengketa tanah struktural. Meski pemerintahan SBY telah mengagendakan program land reform, yang akan mendistribusikan sekitar 8,15 juta hektar lahan terhadap rakyat tak bertanah. Namun, program tersebut hingga hari ini tidak terlihat progresifitasnya. Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang telah menjadi keputusan politik pemerintahan nasional, yang sedari awal memang tidak jelas visi ideologinya, telah hilang ditelan perjalanan waktu. Kepala BPN, Joyo Winoto, PhD, dalam kunjungan kerjanya di beberapa daerah, menyatakan bahwa salah satu agenda utama PPAN adalah penyelesaian konflik-konflik pertanahan, baik yang merupakan warisan masa lalu maupun yang sedang terjadi. Senyatanya kita menyaksikan, konflik-konflik agraria terus saja bermunculan di negeri ini. Di tahun 2007 saja, setidaknya secara nasional terekam 80 kasus kekerasan terhadap komunitas petani (data base KPA;2007).

Sengketa Agraria Di Sumatera Selatan
Persoalan agraria secara nasional tentunya tidak terlepas pula dari kebijakan pemerintah di tingkat lokal. Komitmen politik pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap nasib tata agraria masyarakat di daerah, khususnya yang menyangkut persoalan tanah. Dalam Keputusan Presiden, Nomor 34 Tahun 2003, tentang ‘Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan’, memberikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, dalam hal; (1) pemberian ijin lokasi; (2) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; (3) penyelesaian sengketa tanah garapan; (4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; (6) penetapan dan penyelesaian tanah ulayat; (7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (8) pemberian izin membuka tanah; dan (9) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Dengan wewenang yang cukup luas tersebut, tentunya Bupati/Walikota, dan Gubernur harus turut mengemban tanggung jawab atas berbagai persoalan pertanahan di daerah. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, dalam kurun waktu 18 tahun sejak 1989 hingga tahun 2007, setidaknya di Sumatera Selatan terdapat 220 kasus sengketa tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural. Sengketa tersebut banyak dipicu akibat perijinan lokasi dan hak pengelolaan yang diberikan pemerintah daerah terhadap pengusaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Tidak jarang dari sengketa tanah tersebut, beragam persoalanpun banyak menyertainya (tentunya terhadap masyarakat), seperti; mendekam dalam kurungan penjara, predikat sebagai daftar pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan mental. Bahkan diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak mempertahankan sejengkal tanah penghidupannya.

Masyarakat umum mengetahui bahwa Gubernur Ir. H. Syahrial Oesman, MM, sejak awal kepemimpinannya telah mencanangkan program Sumsel sebagai lumbung pangan dan energi. Di dalam makala mengenai ‘Peluang Investasi Pembangunan Sumatera Selatan’, secara spesifik beliau memaparkan, realisasi dalam mewujudkan Sumsel sebagai lumbung pangan, yakni dengan melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Selanjutnya pemerintah Sumsel menjanjikan kemudahan bagi kalangan pengusaha dalam mengurus dan memperoleh perijinan. Hal inilah yang pada tingkatan lebih lanjut, di lapangan banyak memicu persoalan sengketa tanah, antara pemilik modal dengan masyarakat lokal. Banyak masyarakat yang terancam alat produksinya, akibat justifikasi para pemilik modal, bahwa mereka telah memiliki ijin usaha, dan berhak untuk menguasai dan mengelola tanah masyarakat.

Realitas menunjukkan, petani selalu berada pada pihak yang dimarjinalkan kepentingannya jika modal telah mulai bekerja. Penggusuran lahan pertanian atau perkebunan selalu menyertai setiap berjalannya program investasi. Keadilan bukan merupakan hal yang mudah petani dapatkan, karena terjadi di banyak tempat, rakyat harus mengalami nasib, alat produksi beralih kepemilikan kepada fihak lain. Tidak hanya sebatas itu, teror, intimidasi, dan pengkriminalan, merupakan hal yang selalu diterima. Alih-alih demi investasi, selalu menjadi senjata pemerintah dalam memaksakan kehendak terhadap rakyatnya.

Memperhatikan persoalan agraria di Sumatera Selatan saat ini tengah berada pada situasi yang sangat memprihatinkan, sudah selayaknya bagi Bupati/Walikota, dan Gubernur Sumsel menjadikan penyelesaian sengketa pertanahan sebagai salah satu program utama. Hal tersebut penting untuk dilakukan, karena persoalan hilangnya hak atas tanah, secara nyata dapat berakibat kepada merebaknya kekacauan, baik secara etnik maupun kriminalitas, yang pada gilirannya dapat mendorong disintegrasi sosial bangsa.

Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui penggunaan cara-cara kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat lagi untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan memperkental kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan bahwa di bawah sebuah kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam gemilang penderitaan dan kekerasan. Hal itu pula yang membuat rakyat selalu gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi alam atau tanahnya, dan juga potensi dirinya.

Pada akhirnya, selama tanah, sebagai sarana produksi terpokok dalam pertanian tidak dimiliki oleh petani-petani kita, produksi agraria senantiasa akan mengalami kemacetan. Program lumbung pangan hanya akan menjadi wacana dan retorika semata, yang akan jauh dari kenyataan, jika rakyat Sumsel semakin dimarjinalkan dari alat pokok produksinya. Melalui penghormatan terhadap hak rakyat, struktur agraria lokal akan tercipta, dan visi populisme (semangat yang terkandung di dalam UUPA) dapat terwujud, yang pada tingkatan lebih lanjut akan mampu melahirkan pondasi yang kokoh terhadap kwalitas bangunan sosial masyarakat kita.






Selengkapnya...



POLITIK SDA & PEMILUKADA SUMSEL

Oleh; Anwar Sadat Kadiv HUTBUN Walhi Sum-sel, Ketua DPD Sarekat Hijau Indonesia
( SHI ) Kota Palembang




”Peluklah pohon-pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Kekayaan bukit-bukit kita, selamatkan dari penjarahan (Vandana Shiva)”

Di tahun 2008 ini, propinsi Sumatera Selatan, disibukkan dengan agenda politik pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA), yang tersebar di beberapa Kabupaten dan Kota, termasuk pemilukada propinsi (Gubernur). Kabupaten Pagar Alam dan Kota Lubuk Linggau merupakan dua wilayah di propinsi Sumatera Selatan yang telah melaksanakan pesta demokrasi rakyat tersebut.

Menjelang pelaksanaan, tentunya setiap kandidat akan mensosialisasikan visi dan programnya. Diharapkan melalui sosialisasi tersebut, masyarakat luas akan dapat memahami program sang kandidat. Terlepas apakah kelak jika yang bersangkutan terpilih, akan merealisasikan janjinya atau tidak, bagi kandidat hal itu merupakan persoalan kemudian. Setidaknya bagi para kandidat, melalui program yang ditawarkan, masyarakat akan tergugah, dan pada akhirnya akan memilihnya.

Hingga saat ini terdapat beberapa program yang digulirkan oleh para kandidat, calon Bupati, Walikota dan Gubernur Sumsel. Dari beberapa program yang ditawarkan atau dijanjikan, program pendidikan dan kesehatan merupakan isi kampanye yang paling mengemuka. Kiranya hal itu dapat dimengerti, mengingat persoalan pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan menawarkan program populis tersebut, setiap kandidat berharap, masyarakat akan bersimpatik terhadapnya. Untuk itu hendaknya masyarakat, dalam menentukan pilihan politiknya mampu menganalisa lebih mendalam, sejauh mana kiranya konsistensi sang calon jika berkuasa kelak dalam menepati janji-janji kampanyenya. Hal ini mungkin saja dapat ditinjau atau dinilai oleh masyarakat, dengan mendasarkan kepada integritas, kapasitas, dan latar belakang para kandidat.

Namun menurut penulis, selain persoalan pendidikan dan kesehatan, terdapat persoalan lainnya yang cukup penting, yang tidak bisa diabaikan dalam perbaikan kwalitas hidup masyarakat Sumatera Selatan, yaitu akses masyarakat terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana kita fahami, SDA akan berkorelasi dengan kwalitas kehidupan manusia, baik secara sosial, ekonomi dan ekologi. Alam merupakan komponen terpenting yang menjadi prasyarat bagi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia. Selama ini alam telah menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang bagi hidup manusia. Interaksi manusia dengan alam tidak dapat terpisahkan, karena segala hal kebutuhan manusia pada dasarnya berasal dari kekayaan alam. Meski demikian, disisi lain kitapun harus memahami, bahwa alam juga memiliki keterbatasan untuk mampu menunjang kehidupan manusia. Tingkat populasi yang terus berkembang, akan turut mempengaruhi tingkat produksi dan konsumsi umat manusia. Sejauh mana kemampuan daya tahan alam, sangatlah tergantung dari pengaturan manusia dalam hal pemanfaatannya. Kearifan manusia mengatur kekayaan alam, akan berpengaruh kepada kelangsungan hidup alam sekitar, yang selanjutnya akan mampu membawa keberlangsungan hidup manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Kita mesti memahami bahwa pengelolaan SDA erat hubungannya dengan mainstream politik. Politik SDA berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan hidup, karena dasar politik tersebut akan melahirkan produk kebijakan, yang akan mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam. Peran itu dilaksanakan oleh pemerintah, sebagai agen pelaksana negara, yang kemudian sangat menentukan visi pengelolaan SDA. Secara konstitusi dijelaskan, bahwa pengaturan kekayaan alam harus diarahkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, karenanya penyelenggaraan SDA senantiasa harus mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, keadilan, dan berkelanjutan.

Para aktifis lingkungan, setidaknya membagi 3 bentuk politik pengelolaan lingkungan/SDA, yaitu; Eco Fasis/konservasi (lingkungan untuk lingkungan), Eco Developmentalis (lingkungan untuk pembangunan), dan Eco Populis (lingkungan untuk kerakyatan). Secara sederhana dapat diuraikan, eco fasis/konservasi, yaitu politik lingkungan yang menganggap bahwa alam harus dilindungi agar terjaganya fungsi ekosistem alam. Sementara eco developmentalis, yaitu politik lingkungan yang memandang bahwa alam merupakan sumber kekayaan negara yang perlu dieksploitasi dalam menunjang keberlanjutan pembangunan. Sedangkan eco populis, yaitu politik lingkungan yang melihat bahwa alam merupakan bagian dari kehidupan manusia yang harus ditata, guna terdistribusinya hasil kekayaan alam secara merata, dan terjaganya entitas lingkungan hidup. Dari ketiga model tersebut, selama orde baru berkuasa, setidaknya bentuk pertama dan kedualah yang lebih dominan diterapkan di Indonesia, meski banyak pula wilayah konservasi yang pada akhirnya harus beralih fungsi menjadi kawasan pembangunan.

Proses yang cukup lama terhadap dua pendekatan pengelolaan tersebut, senyatanya telah memunculkan berbagai persoalan kemanusiaan dan lingkungan hidup, berupa bencana struktural. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan rentetatan bencana alam, adalah potret realitas dari produk politik pengelolaan alam selama ini. Ekspolitasi habis-habisan terhadap kehidupan alam, telah menyebabkan lingkungan berada pada titik kehancuran. Sementara upaya perbaikan yang dilakukan, ternyata tidak sebanding dengan kerusakan yang telah diciptakan. Kondisi inilah yang membuat bumi yang kita pijak rawan terhadap berbagai bencana alam. Termasuk Sumatera Selatan adalah wilayah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Kota Palembang dan empat kabupaten lainnya; Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Muara Enim, Ogan Komering Ulu Timur, di tahun 2007 dinyatakan sebagai wilayah siaga banjir. Di sisi lain, kekeliruan politik SDA yang diterapkan selama ini, juga telah menghasilkan kemiskinan berjamaah bagi kehidupan rakyat. Pengebirian hak rakyat, menjadikan masyarakat harus tercerabut dari akar produksinya. Berbagai sengketa SDA, menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki political will terhadap perbaikan kwalitas hidup rakyatnya.

Untuk itu penting kiranya bagi para kandidat peserta pemilukada, untuk dapat memasukkan agenda penataan SDA dalam visi programnya, dan menjadikan program tersebut sebagai basis utama penyelenggaraan pemerintahannya kelak. Sebagai contoh, dalam pentas politik pemilihan presiden tahun 2004, di dalam program kampanye ekonominya, SBY-MJK juga menyusun beberapa agenda yang berhubungan dengan penataan, pengelolaan dan pemanfaatan SDA, diantaranya; (1) perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja; (2) penghapusan ketimpangan dalam berbagai bentuknya; (3) perbaikan pengelolaan sumber daya alam serta pelestarian mutu lingkungan hidup; dan (4) revitalisasi pertanian dan aktifitas pedesaan.

Keseriusan pemerintah dalam mengatasi persoalan mutu lingkungan, tidak hanya akan meminamilisir laju bencana, juga akan berinfak kepada perbaikan kwalitas kehidupan masyarakat. Memberi ruang bagi masyarakat dalam mengurus rumah tangga alamnya, adalah jalan keluar dalam menjawab krisis struktural yang mengitari kehidupan masyarakat kita. Pengelolaan SDA yang berkerakyatan akan menjamin kehidupan rakyat, yang selama ini terpuruk akibat dari model pembangunan yang menegasikan hak hidup mereka. Selama ini akses masyarakat terhadap ruang hidup yang telah mampu mengembangkan potensi diri dan alamnya, telah dibatasi oleh berbagai aturan yang senyatanya lebih memberi ruang bagi segelintir kelompok pemodal.
Tentunya harus menjadi kesadaran bagi kita semua, bahwa cukup sudah tangan-tangan kita menjarah hasil alam, tanpa didahului dengan tata kelola yang adil dan lestari.




Selengkapnya...

Rabu, Februari 13, 2008

Siaran Pers

Nomor : 002/ed-wss/dir/II/2008

“Dukungan atas pernyataan Bupati OKU, Tentang proteksi lahan pertanian terhadap investasi perkebunan”

Memperhatikan pernyataan Bupati OKU, H. Eddy Yusuf SH, tentang Kabupaten OKU tidak akan membuka peluang investasi perkebunan yang cendrung berpotensi merampas tanah rakyat (berita media massa, 7 Februari’08), Walhi Sumsel dengan ini mendukung kebijakan tersebut. Menurut kami, pemikiran Bupati OKU, merupakan langkah maju guna terwujudnya penghidupan yang berkeadilan bagi petani. Langkah ini kiranya, merupakan gerbang dalam merealisasikan cita-cita agraria bangsa ini, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Kamipun mengharapkan, agar langkah yang ditempuh oleh Bupati OKU, H. Eddy Yusuf SH, diikuti pula oleh seluruh kepala daerah di Provinsi Sumatera Selatan. Hal tersebut menurut pemikiran kami merupakan manifestasi untuk menghindari semakin bertambahnya konflik-konflik agraria, akibat dari ekspansi perusahaan perkebunan di daerah ini. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, sejak tahun 1989 hingga 2006, telah terdapat 200 kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan yang banyak didominasi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Di tahun 2007 saja, setidaknya terdapat 10 kasus yang mencuat, yang di dalamnya disertai dengan tindakan kekerasan Negara terhadap petani.

Dari sengketa tanah yang bermunculan, senyatanya petani selalu berada dalam posisi yang terkalahkan. Dalam konteks tersebut, lahan yang berdasarkan UUPA memiliki fungsi sosial dan sebagai lambang kemakmuran kehidupan petani, telah tergeser entitasnya menjadi komoditi yang memakmurkan segelintir kaum kapital dan elit penguasa.

Karenanya, kebijakan Bupati OKU, H. Eddy Yusuf SH, memberikan proteksi terhadap lahan petani merupakan langkah yang tepat. Sehingga kedaulatan lahan dalam terlaksananya kedaulatan pangan rakyat, benar-benar dapat terimplementasi di Sumatera Selatan.

Palembang, 11 Februari 2008

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Sumatera Selatan


Sri Lestari Kadariah

Direktur

Selengkapnya...

Jumat, Februari 08, 2008

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia

Oleh Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D.

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh
hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu
mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal
sebagai Benua Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan
Atlantis?

Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi
berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa,
pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian
permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang
hilang atau Atlantis.


Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa
Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah
melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis,
The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of
Plato's Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan,
seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara
bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah
Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya,
ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir,
dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.

Konteks Indonesia

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960,
mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara
Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah
nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya
sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua
yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang)
sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang
aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale,
terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa
itu sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es
(era Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi
secara bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia
(dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal
dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India
Selatan dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan
gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau
Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu.
Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau
(Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya
serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau
menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol).
Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam,
ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia
bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera
(ocean) secara menyeluruh.

Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi
secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di
kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan
Stephen Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil
itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung
berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera
sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung
berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan
luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai
benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh
gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia,
tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai
bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua
Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh
Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik
terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu.
Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata,
"Amicus Plato, sed magis amica veritas." Artinya,"Saya senang kepada
Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran."

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu
adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik
Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di
Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar,
Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani.
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya
tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian
meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan
gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur
yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui),
tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah
dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya
sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu
bekas penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris
Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak
rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada
masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan
bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya
kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. ***

Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis
Selengkapnya...