WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Juni 30, 2008

KPK Keluhkan Ketertutupan Kontraktor Migas

ICW Temukan Indikasi Penyimpangan Setoran Rp194 T
JAKARTA - Upaya membongkar dugaan korupsi pada setoran negara di sektor minyak dan gas (migas) terhambat. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar mengungkapkan, KPK sedang menghimpun data sebelum mulai memanggil pihak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).Menurut Haryono, tidak mudah menghimpun informasi terkait migas. “Mereka itu (KKKS, Red) eksklusif sekali. Permasalahan sudah kami lihat, tinggal meminta keterangan,” ujarnya kepada JPNN kemarin. Selain penjelasan soal jumlah migas yang diproduksi (lifting), lanjut Haryono, KPK akan menyinggung pengawasan BP Migas terhadap kegiatan pengeboran minyak yang menurut informasi hanya dilakukan satu konsultan swasta.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencium praktik transfer pricing dalam cost recovery Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang akan membuat cost recovery membengkak. Dalam praktik net operating income bagian pemerintah adalah sebesar 71,1 persen dan kontraktor 28,8 persen. Setelah dikurangi pajak yang ditanggung KKKS, total penerimaan negara adalah 85 persen, sementara KKKS 15 persen. Itu berdasarkan hitungan kasar. Faktanya, pemerintah masih menanggung cost recovery eksplorasi minyak yang dikeluarkan KKKS. Semakin besar cost recovery makin berkurang pendapatan pemerintah. Sebaliknya, makin efisien makin besar penerimaan yang didapat. Besar kecilnya cost recovery bergantung pada sistem pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BP Migas. Pada bagian lain, BP Migas hari ini (30/6) akan dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke KPK. Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas mengungkapkan, berdasarkan penelitian dan perhitungan, pihaknya menemukan fakta selama 2000 sampai 2007 ditemukan indikasi penyimpangan penerimaan negara dari minyak Rp194 triliun. ”Itu baru minyak, belum gasnya,” ujarnya kepada koran ini kemarin (29/6). Dia menambahkan, dugaan penyimpangan tersebut dihasilkan dengan metode, tata cara, dan angka-angka resmi, baik dari Departemen Keuangan, Kementerian ESDM, maupun dari BP Migas sendiri. ”Angka tersebut masih moderat. Nilainya masih bisa bertambah,” ujarnya. Dia menambahkan, nilai Rp194 triliun merupakan selisih kurang antara besaran penerimaan migas yang dilaporkan dan realitas yang ada. Firdaus mengungkapkan, selama delapan tahun keberadaan sekitar 160 juta barel minyak Indonesia tak jelas.
Tidak transparannya BP Migas dituding sebagai penyebab tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor migas. Salah satunya KKKS yang justru cenderung merugikan negara. Cost recovery migas yang harus dibayarkan negara makin lama makin tinggi. Itu bukti tidak efisiennya sektor hulu. ”Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya pengawasan dan kontrol BP Migas terhadap kegiatan usaha para kontraktor migas,” tambahnya. KPK, ujarnya, diharapkan bisa mengurai benang kusut sektor migas sekaligus melakukan penindakan jika ditemukan dugaan indikasi korupsi. Mengapa BP Migas? Pasalnya, menurut UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Migas, yang berkewajiban mengawasi pengelolaan migas adalah lembaga tersebut.
Sorotan terhadap kinerja BP Migas adalah buntut kenaikan harga BBM. Indonesia yang notabene penghasil migas justru terpuruk dengan kenaikan harga minyak dunia.
BP Migas Siap Beri Keterangan
Desakan transparansi di sektor migas langsung direspons BP Migas. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, pihaknya siap memberikan penjelasan kepada semua pihak termasuk KPK. “Kami belum tahu detail pertanyaannya, tapi pasti nanti kami jelaskan,” ujarnya.Menurut Priyono, industri migas memang memiliki karakter berbeda dengan sektor industri lain. Karena itu, perbedaan-perbedaan persepsi bisa memancing timbulnya ketidakjelasan, termasuk dalam hal mekanisme pengawasan dan kuangan.Meski demikian, Priyono mengakui, pengawasan terhadap cost recovery memang tidak mudah. Sebab, dalam aturan production sharing contract (PSC) lama, detail biaya apa saja yang bisa dimasukkan dalam mekanisme cost recovery tidak diatur secara jelas.
Hal itu menciptakan daerah abu-abu atau grey area. “Untuk kontrak saat ini, semua diperjelas,” katanya.Untuk itu, aturan mekanisme cost recovery yang ada dalam exhibit-C lembar PSC, sudah disempurnakan. Penyempurnaan tersebut melibatkan BPMigas, Ditjen Migas Departemen ESDM, serta BPK. “Kami sudah membentuk tim task force khusus untuk hal ini,” terangnya.Akhir pekan lalu Dirjen Migas Luluk Sumiarso mengatakan, BP Migas dan Menteri ESDM sudah mengeluarkan surat No 1431 tanggal 29 Februari 2008. Isinya menyatakan 17 item terkait cost recovery yang harus ditindaklanjuti. “Penghapusan 17 daftar itu tidak mengubah kontrak, tetapi mengatur grey area, sehingga bisa menjadi pedoman BP Migas dalam memberikan perizinan,” ujarnya.Dengan daftar negatif tersebut, KKKS tidak dapat membebankan 17 macam biaya itu ke dalam cost recovery.
Dengan demikian, beban cost recovery yang harus ditanggung pemerintah menjadi berkurang, dan pengelolaan sektor migas makin efisien.Ke-17 daftar item yang dihapus dari cost recovery tersebut adalah personal income tax, rugi penjualan rumah dan mobil pribadi; Pemberian long term incentive plan; Penggunaan ekspatriat tanpa RPTKA dan IKTA; Biaya konsultan hukum yang tidak terkait; tax consultant fee; biaya pemasaran migas bagi KKKS yang timbul karena kesalahan yang disengaja; biaya public relation tanpa daftar penerima manfaat.Selanjutnya, biaya community development; dana site restoration; technical training untuk ekspatriat; biaya merger atau akuisisi; biaya bunga atas pinjaman; PPH pihak ketiga; pengadaan barang dan jasa lebih besar dari AFE (perhitungan ulang BP Migas); surplus material yang berlebihan; aset yang sudah PIS, tapi tidak berfungsi; dan transaksi dengan affiliates parties yang merugikan negara.
Berita di kutip dari harian Sumatera Ekspres



Artikel Terkait:

0 komentar: