WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, Januari 27, 2009

Konflik agraria di sum sel Tinggi

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) menilai kasus sengketa agraria di Sumsel cukup tinggi.


Hingga kini, potensi konflik agraria secara struktural masih cukup tinggi dan cenderung tak berkesudahan seiring semakin meluasnya perizinan lokasi dan hak pengelolaan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat menuturkan, komitmen politik pemerintah daerah sangat berpengaruh pada nasib tata agraria masyarakat di daerah khususnya menyangkut persoalan tanah.

"Wewenang pemerintah daerah cukup besar seperti yang termaktub dalam Keputusan Presiden No 34/ 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan," ujarnya kemarin di Palembang. Anwar menambahkan, dalam kurun waktu 18 tahun,di Sumsel sudah terekam 220 kasus sengketa tanah struktural.

Sengketa tersebut dipicu perizinan lokasi dan hak pengelolaan yang diberikan pemerintah daerah terhadap pengusaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Dalam kasus belakangan ini, penetrasi modal yang dikembangkan hingga ke desa telah memacu alih fungsi dan berakibat semakin sempitnya lahan yang dikuasai petani.

Diperkirakan rata-rata penguasaan oleh petani di pedesaan tidak lebih dari 0,8 ha per rumah tangga petani. "Seperti kontroversi pemberian sertifikasi controled woodPT Musi Hutan Persada (MHP) baru-baru ini, dapat memicu konflik penyerobotan lahan masyarakat atas konsesi yang dimiliki," ujarnya.

Proses pemberian sertifikasi controled wood terhadap kayu olahan PT Musi Hutan Persada (MHP) di Kabupaten Muaraenim tersebut sangat merugikan pihak masyarakat karena memicu perusakan hutan adat masyarakat Rimbo Sekampung.

"Pemberian sertifikasi tersebut untuk tiga kelompok hutan Subanjeruji, hutan Martapura, dan hutan Benakat, dengan total area 294.400 ha oleh PT Mutuagung Lestari bekerja sama dengan Soil Association Woodmark Inggris dengan menggunakan prinsip dan kriteria pengelolaan forest steward ship council (FSC) .

"Di lokasi konsesi yang dimiliki PT MHP masih terdapat hewan langka yang dilindungi seperti harimau dan gajah sumatera,"ucapnya. "Hingga 2008 kemarin sudah ada 30 kasus penyerobotan lahan oleh PT MHP.

Itu pun berdampak pada kerusakan Sungai Selinsing yang diakibatkan aktivitas perusahaan yang menimbun anak-anak sungai di sekitar lahan konsesi dan mencemari aliran sungai yang sering digunakan masyarakat dan petani," katanya.

Sementara itu, Manajer Pengembangan Sumber daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel Adi Jatmiko mengatakan, PT MHP merupakan salah satu perusahaan yang menyumbang konflikkonflik pertanahan dan perusak lingkungan terbesar di Sumsel.

Sebab,hingga kini belum ada konsistensi perusahaan terhadap pengelolaan SDA yang adil bagi masyarakat. "Walhi mendorong pemerintah untuk menjalankan otoritas untuk menindak perilaku kejahatan lingkungan dan mendesak perusahaan untuk menyelesaikan konflik antarmasyarakat dan perusahaan, "ucapnya.

Adi meminta pihak PT Mutuagung Lestari dan Soil Association Woodmark sebagai pemegang akreditasi dari FSC menghentikan proses pemberian sertifikasi tersebut kepada PT MHP. PT MHP juga diharapkan sesegera mungkin menyelesaikan persoalan dengan masyarakat dengan cara mengembalikan semua lahan yang telah dirampas dan mendorong masyarakat yang selama ini berkonflik. ( sindo )






Artikel Terkait:

0 komentar: