WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Februari 28, 2009

Seminar Ekonomi Jalan Baru Ekonomi Indonesia, Merdeka dari NeoKolonialisme.

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah (RF) Palembang bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel dan Koalisi Antiutang (KAU), Sahabat Walhi (SAWA) Sumsel menggelar kegiatan seminar ekonomi, Jumat (27/2).

Acara yang bertajuk “Krisis Ekonomi: Momentum Reorientasi Kebijakan Ekonomi” ini menghadirkan sedikitnya 150 peserta, terdiri atas kalangan mahasiswa,pelajar, dan beberapa organisasi kepemudaan. DirekturWalhi Sumsel Anwar Sadat didampingi koordinator acara Manager PSDO Hadi Jatmiko mengatakan, latar belakang acara ini berangkat dari kondisi bangsa yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis ekonomi global.Untuk itu,sebagai kaum akademisi,mahasiswa dan para aktivis kepemudaan dinilai perlu merespons permasalahan ini.

Dari sini, lahir sebuah inisiatif guna memberikan solusi yang sesuai dengan kapasitas para mahasiswa. Misalnya, melalui konsep-konsep pemikiran dan ide-ide akademis lainnya. “Kami harap seminar ini dapat memberikan sebuah kontribusi pemikiran guna membantu memecahkan permas a l a h a n bangsa. Selain itu, kegiatan ini dapat dijadikan akses bagi mahasiswa dalam m e m p e r - luas jaringan,” ujar Anwar di selasela acara kemarin.

Dalam materi yang disajikannya, Ichsanuddin mengatakan, kesenjangan, ketergantungan, dan ketertinggalan ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini bukan hanya diakibatkan kelemahan implementasi dan pemilihan kebijakan, melainkan lebih disebabkan paradigma ekonomi yang salah.

Karena itu, lanjut Ichsan, saat ini dibutuhkan perubahan fundamental dengan melakukan reorientasi kebijakan ekonomi yang lebih mendasarkan pada ekonomi konstitusi.

Sumber : Sindo



Selengkapnya...

Sumsel Masuk Daerah Terparah Dilanda Krisis

Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang terdiri atas beberapa pengamat ekonomi menyatakan, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) termasuk di antara enam provinsi yang terkena dampak krisis keuangan global paling parah.


Anggota TIB Iman Sugema mengatakan, selain Sumsel,provinsi lain yang juga merasakan dampak parah krisis keuangan global adalah Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Sebab,menurut Iman, komoditas unggulan daerah-daerah tersebut adalah ekspor produk hasil perkebunan dan pertambangan.“Seperti yang kita ketahui, krisis kemarin membuat harga komoditas perkebunan dan pertambangan serta produk turunannya menjadi anjlok.

Padahal, jumlah rakyat yang menggantungkan hidupnya di sektor itu sangat banyak,” ujarnya saat temu wartawan di Riverside Restaurant,Palembang,kemarin. Menurut Iman, terkenanya beberapa daerah di Indonesia oleh krisis finansial yang bermula di Amerika Serikat tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia. Saat ini kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah lebih mengarah ke neoliberalisme.

Padahal, kebijakan yang memihak pada pasar itu bisa menimbulkan krisis berulangulang, kelangkaanberbagaikebutuhan masyarakat,dan kesengsaraan massal. Menurut dia, berbagai indikasi yang menunjukkan Indonesia menjalankan kebijakan neoliberalisme cukup jelas. Di antaranya, di bidang pertambangan, saat pemerintahan SBY-JK menghibahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobile serta perpanjangan kontrak karya PT Freeport.

Selain itu, liberalisasi perdagangan yang dilakukan Menteri Perdagangan juga sangatmerugikanrakyat, diantaranya dibukanya keran ekspor rotan dan kuningan membuat para perajin bangkrut karena kehilangan bahan baku. “Di saat perajin kita gulung tikar karena bahan baku diekspor semua,justru China yang tidak punya tanaman rotan malah bisa menjadi eksportir terbesar furnitur dari bahan rotan.

Ini tidak boleh dibiarkan,kita harus melakukan perubahan arah kebijakan ekonomi sekarang juga,”tutur Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFE) ini. Pernyataan itu didukung anggota TIB lainnya, Ichsanudin Noorsy.Menurut pengamat ekonomi politik ini, berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan TIB,setiap provinsi yang basis perekonomiannya perkebunan dan pertambangan akan memiliki angka produk domestik regional bruto (PDRB) yang timpang.

Pasalnya, pengaruh kekuatan korporasi di daerah tersebut terlalu besar sehingga mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Menurut Ichsanudin, Pemprov Sumsel harus segera memperbaiki PDRB-nya agar pertumbuhan ekonomi di provinsi nomor lima terkaya di Indonesia ini bisa kembali meningkat. “Setidaknya pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan SDA yang saat ini ditempatkan sebagai komoditas ekspor menjadi sumber energi.

Dengan paradigma baru itu,SDA pertambangan dan perkebunan yang dimiliki Sumsel akan menjadi modal bagi pembangunan daerah dan nasional menuju kemajuan dan kemandirian sesuai UUD 1945,” tandasnya. Pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya Didiek Susetyo mengatakan,pernyataan TIB itu mungkin hanya didasarkan pada pengamatan sektor ekonomi makro Sumsel saja.

Memang perekonomian makro Sumsel yang didominasi sektor perkebunan dan pertambangan sempat mengalami penurunan.Sebab, produk kedua sektor itu orientasinya ekspor ke negaranegara yang terkena dampak krisiskeuanganglobal.“Kalau itu yang dijadikan dasar TIBya memang itu yang terjadi. Tapi, kalau untuk produk menengah dan mikro, saya melihat masih stabil ya,”ucapnya.

Sumber : Seputar Indonesia





Selengkapnya...

Kamis, Februari 26, 2009

Perlu Reorientasi Kebijakan Lingkungan

Sumsel Menghadapi Ancaman Bencana Ekologi dan Sosial


Kalangan pencinta lingkungan dan tokoh muda Sumatera Selatan mendesak pemerintah dan legislatif segera mereorientasi kebijakan lingkungan hidup. Saat ini lingkungan terus terdegradasi akibat kebijakan yang tak sesuai.

Demikian salah satu benang merah dari kegiatan dialog lingkungan tokoh politik muda Sumatera Selatan bertema ”Reduksi Ekologi dan Arah Kebijakan Lingkungan Sumatera Selatan” di Gedung Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Rabu (25/2).

Pemateri dialog berasal dari tokoh politik dan calon anggota legislatif DPR, yakni Idil Wahyudi (PKNU), Dodi Reza Alex Noerdin (Partai Golkar), Mustafa Kamal (PKS), Edy Prabowo (Gerindra), Dhabi K Gumaira (PNBK), Kuwatno (PDI-P), dan Budi Riyanto (PMB). Selain itu, para penanggap materi meliputi Tarech Rasyid (Universitas IBA-aktivis sosial), Ade Indriani Zuchri (aktivis anak dan perempuan), dan Hatamar Rasyid (Guru Besar IAIN Raden Fatah).

Budi Riyanto mengatakan, salah satu persoalan lingkungan hidup di Sumsel yang mendasar adalah laju kerusakan hutan yang tergolong mengkhawatirkan. Dia mengutip data Walhi dan Dinas Kehutanan Sumsel bahwa laju kerusakan hutan mencapai 100.000 hektar per tahun.

”Pemerintah dan legislatif turut memberikan andil atas maraknya kegiatan konversi hutan menjadi perkebunan. Dengan kata lain, alih fungsi hutan di Sumsel ini terkait kepentingan kapitalisme karena sudah dikuasai untuk kepentingan pemodal besar,” katanya.

Ancaman krisis

Menurut Dodi, kondisi lingkungan hidup yang terus terdegradasi akan berdampak negatif sangat besar. Dalam waktu dekat, Sumsel bakal menghadapi ancaman krisis ekologi, sosial, sampai krisis pangan.

Oleh karena itu, Dodi menyarankan agar jajaran pemerintah legislatif dari tingkat provinsi sampai kabupaten/kota segera mereorientasi strategi kebijakan lingkungan hidup. Saat ini Sumsel memerlukan sebuah perubahan besar dalam hal mengelola sekaligus menjaga kesinambungan lingkungan hidup.

”Sekarang ini musim dan iklim sudah tidak bisa diprediksi dengan tepat. Ada perubahan siklus yang dipicu faktor menurunnya kualitas lingkungan hidup,” katanya.

Melalui sekolah

Kuwatno menambahkan, berbagai macam upaya bisa dilakukan pemerintah dan legislatif untuk menjaga keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup. Caranya bukan hanya melulu lewat kebijakan yang bersifat protektif, tapi juga bisa melalui lembaga pendidikan formal.

”Contohnya, sejak di usia sekolah anak-anak kita sudah harus dan perlu dikenalkan dengan pelajaran cinta lingkungan. Namun, jangan hanya terbatas pada teori, tetapi terapkan juga kegiatan praktik. Saya yakin metode ini pasti efektif,” katanya.

Mustafa Kamal mengeluhkan soal pencemaran air dan udara akibat aktivitas industri yang tak terkontrol. Situasi ini diperparah dengan adanya penurunan kualitas lingkungan.

Sumber : Kompas




Selengkapnya...

Selasa, Februari 17, 2009

Adiosyafri, Komitmen Menyelamatkan Gambut

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam berupa lahan gambut. Lahan gambut seluas 200.000 hektar dengan ketebalan 1-6 meter itu terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.

Sayangnya, keberadaan lahan gambut selalu terancam kerusakan. Pada era hak pengelolaan hutan (HPH), kawasan tersebut rusak akibat penggundulan hutan. Sekarang, pada era reformasi terancam oleh proyek hutan tanaman industri (HTI) dan pembalakan liar.

Adiosyafri (32) bersama teman-temannya di organisasi Wahana Bumi Hijau Sumsel sejak tahun 2004 mencoba menyelamatkan lahan gambut Merang Kepayang di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin (Muba).

Menurut Adiosyafri, cara menyelamatkan lahan gambut yang paling efektif adalah dengan memberdayakan masyarakat sekitar yang sering melakukan pembalakan liar. Caranya adalah memberikan bantuan kredit lunak kepada masyarakat.

”Masyarakat yang ingin meminjam uang harus menanam pohon karet atau tanaman lain di lahan kritis maupun di pekarangan mereka,” kata ayah dari Kaisha (2) ini.

Adiosyafri mengungkapkan, dengan cara tersebut, banyak lahan kritis yang bisa diselamatkan. Upaya tersebut juga tidak memerlukan banyak modal karena bibit tanaman karet dapat diupayakan sendiri.

Menurut pria yang lahir di Muara Enim, 30 September 1976, itu, upaya lain menyelamatkan lahan gambut adalah mengajak masyarakat membuat tebat di sepanjang parit yang banyak terdapat di sekitar Sungai Merang dan Sungai Kepayang. Parit-parit yang jumlahnya sekitar 118 buah dengan panjang 3-5 kilometer itu dulu adalah jalan untuk menghanyutkan kayu hasil pembalakan hutan.

Tebat semipermanen itu terbuat dari kayu dan papan. Tujuan membuat tebat agar air yang mengalir di parit tidak cepat kering saat musim kemarau sebab tanah gambut sangat cepat menyerap air sehingga rawan terjadi kebakaran hutan. Panjang tebat bervariasi antara 5 kilometer dan 10 kilometer.

Adiosyafri menuturkan, saat ini masyarakat masih terbatas memelihara tebat yang sudah dibangun dan belum melakukan pembuatan tebat baru. Menurut Adiosyafri, membuat tebat tetap membutuhkan sokongan dana dari pihak luar.

Menurut alumnus Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya tersebut, lahan gambut di Muba saat ini menghadapi ancaman kerusakan yang serius dengan adanya HTI dan pembalakan liar meskipun volumenya sudah berkurang. Proyek HTI itu selalu dimulai dengan melakukan pembersihan lahan dan akan melakukan penanaman ulang dengan tanaman yang dibutuhkan perusahaan tersebut di lokasi lahan gambut satu-satunya di Sumsel yang masih terjaga. (WAD)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00584792/adiosyafri.komitmen.menyelamatkan.gambut
Selengkapnya...

Banjir adalah Keputusan Politik

Transtoto Handadhari

Banjir ternyata bukan hanya fenomena alam, melainkan sudah merupakan akibat budidaya tangan manusia yang meninggalkan prinsip-prinsip keseimbangan alam yang dilakukan tanpa sadar sejak lama.

Hingga skala paling kecil pun, banjir adalah produk keputusan politik. Sebuah keputusan pembangunan yang laiknya dikatakan sebagai kemajuan peradaban masyarakat. Padahal, akibat perubahan keseimbangan alam untuk kepentingan pembangunan yang dilakukan tanpa mendahulukan kepentingan keselamatan lingkungan itulah yang selalu berujung terjadinya banjir. Yang fenomenal, rakyat menderita karena banjir, tetapi banyak kalangan justru menikmatinya.

Banjir Bengawan Solo merupakan salah satu puncak berita banjir, termasuk tahun 2009. Upaya sejak banjir besar tahun 1966, yang meningkatkan luas lahan berhutan sebesar 36 persen, atau sekitar 5.000 ha setiap tahun, pada periode tahun 1970-2003 ternyata diiringi meningkatnya luas permukiman dan pengembangan kawasan perkotaan dengan laju 4.169 hektar per tahun. Nilai koefisien air limpas (run-off) meningkat dari 0,34-0,56 tahun 1970 menjadi 0,49-0,66 tahun 2003.

Data perkembangan kemajuan pengembangan permukiman dan perkotaan di daerah lain, termasuk ibu kota Jakarta sendiri, serta rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di mana-mana, amat korelatif dengan maraknya berita banjir setiap musim hujan.

Paling tidak ada 36 DAS yang telah kritis di hampir seluruh sungai besar di Indonesia, di antaranya DAS Solo, DAS Brantas, dan DAS Ciliwung di Pulau Jawa. Banjir yang sebelumnya tak terlalu terdengar di luar Jawa—yang di Banjarmasin, Kalsel, hanya disebut ”air pasang”—akhir-akhir ini menjadi berita yang tidak kalah menakutkan.

Penyebab banjir adalah hilangnya kemampuan DAS menyerap air presipitasi karena berkurangnya penutupan lahan oleh pepohonan. Suka atau tidak suka, kerusakan hutan alam yang menyebabkan 59 juta hektar kawasannya perlu direhabilitasi (2000), perluasan budidaya lahan pertanian dan kebun, serta kemajuan perkotaan yang tidak dikendalikan, termasuk faktor utama penyebab banjir di luar Jawa. Curah hujan yang ekstrem menjadi faktor lain, tetapi baru terdengar menjadi alasan terjadinya banjir pada waktu sekarang.

Ekohidraulik

Upaya fisik dan penanaman hulu DAS yang telah dilakukan dalam skala nasional sejak tahun 1970-an sebenarnya tidak memberi hasil nyata. Upaya itu lebih dapat disebut sebagai proyek konvensional yang bersifat tambal sulam. Umumnya dilakukan dengan membuat tanggul atau memasang pompa air, sodetan sungai, menormalkan arah aliran sungai, membuat talut dan bronjong kawat. Penanaman pohon dianggap memerlukan waktu yang terlalu lama untuk dapat berfungsi efektif.

Kini, negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan lainnya telah melakukan penanggulangan banjir dengan metode ekohidraulik (ecological hydraulics). Metode itu diperkenalkan tahun 1980-an dengan mengutamakan peningkatan fungsi alam secara integral dalam pencegahan banjir.

Kunci pokok penanggulangan dan pencegahan banjir metode ekohidraulik adalah DAS yang sebenarnya juga telah diperkenalkan di Indonesia sebelum tahun 1970. Renaturalisasi sungai, mengembalikan belokan-belokan sungai yang sebelumnya diluruskan, menghidupkan bekas potongan sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan sungai, memelihara kealamiahan sungai-sungai level menengah dan parit, serta melakukan penanaman pada daerah hulu dan sepanjang aliran sungai, merupakan langkah cara ekohidraulik, menggantikan cara konvensional yang lebih mementingkan cara teknik sipil itu.

Metode ekohidraulik dalam pengembangannya harus memasukkan unsur-unsur sosial-ekonomi dan kultural, bahkan faktor perilaku penyelenggaraan negara, yang untuk negara maju bukan merupakan faktor kunci dalam masalah banjir. Jelasnya, metode ekohidraulik menawarkan penyelesaian alamiah yang komprehensif integral tanpa mengorbankan unsur ekologi lainnya.

Namun, ada pertanyaan, apakah situasi kependudukan, sosial-budaya, dan perekonomian masyarakat Indonesia cocok untuk penanggulangan banjir cara ekohidraulik itu?

Keputusan politik

Fungsi legislatif dan eksekutif dalam pemerintahan menetapkan keputusan politik yang membawa arah pembangunan dan peradaban bangsa. Ironisnya, para penyelenggara pemerintahan maupun pelaksana kontrol dan penganggaran di legislatif tidak paham atau mengabaikan pemahaman kelestarian lingkungan.

Eforia perilaku mengedepankan kepentingan ekonomi, terutama kepentingan ekonomi individual, telah menjerumuskan masyarakat yang harus selalu berhadapan dengan bencana alam dan banjir.

Selayaknya analisis dampak setiap rencana pembangunan dilakukan atas dasar untung rugi nilai rupiah dan tangibilitas nilai lingkungan (benefit-loss analysis), termasuk analisis kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang harus dibangun lebih baik. Dinamika pembangunan harus dikawal ketat meski akan tampak tidak populer. Kita berharap memperoleh titik terang perwujudan penanganan masalah banjir ini dari hasil demokrasi politik Pemilu 2009.

Transtoto Handadhari Pemerhati Ekosistem Lingkungan; Pengajar Pascasarjana Ekonomi Kehutanan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/0025122/banjir.adalah.keputusan.politik




Selengkapnya...

Bangsa (Tak) Sadar Bencana

Toto Subandriyo

Bencana alam selalu datang silih berganti melanda negeri ini. Mulai dari gempa dan tsunami, tanah longsor, kekeringan, demam berdarah dengue, diare yang meluas, wabah flu burung, letusan gunung api, semburan lumpur panas dari perut bumi, kebakaran hutan, hingga banjir yang melumpuhkan jalur pantura beberapa waktu lalu.

Kita juga diingatkan oleh lembaga Geoscience Australia tentang kemungkinan terjadinya bencana dahsyat yang menimpa Indonesia. Berdasarkan kajian ilmiah lembaga itu, wilayah Asia Pasifik menghadapi sebuah era bencana alam dalam skala besar yang bisa menewaskan sampai satu juta orang pada satu waktu. Indonesia, Filipina, dan China mempunyai risiko terbesar.

Semua itu seharusnya menyadarkan bahwa bangsa ini ada di pusat ring of fire, area tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik yang dikelilingi gunung api-gunung api paling aktif di dunia. Kita juga berada di wilayah tropis dengan pergantian dua musim ekstrem, musim hujan dan kemarau. Pada kondisi ini, bencana alam dan pandemi berbagai jenis penyakit amat mungkin terjadi.

Namun, bencana yang selalu melanda dan selalu membawa kerugian sosial, ekonomi, bahkan korban jiwa manusia yang tak sedikit itu mengindikasikan kepada kita betapa bangsa ini tak memiliki kesadaran untuk antisipasi bencana. Belum ada konsep sistemik, integratif, dan komprehensif untuk tujuan itu.

Sebatas kompilasi

Indonesia termasuk di antara 168 negara di dunia yang telah meratifikasi Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana.

Kerangka kerja ini menekankan pentingnya identifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. Semua negara dan aktor-aktor lain telah sepakat untuk mencapai hasil-hasil yang diharapkan dalam 10 tahun ke depan, yaitu penurunan secara berarti hilangnya nyawa dan aset-aset sosial, ekonomi, dan lingkungan karena bencana yang dialami komunitas dan negara.

Meski telah empat tahun berjalan, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang disusun pemerintah masih sebatas kompilasi berbagai masukan, belum berbentuk standar rencana strategis. Evaluasi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap kinerja PRB Pemerintah Indonesia Agustus 2008, nilainya jeblok. Dari lima prioritas aksi yang direkomendasikan, nilai rata-rata yang diperoleh Indonesia hanya 2,0 (skala penilaian 0-5).

Meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah terbentuk, tetapi belum ditindaklanjuti hingga tingkat provinsi/kabupaten/kota. Lembaga bentukan masyarakat untuk penanggulangan bencana dinilai masih bersifat sporadis, terbentuk saat terjadi bencana, sedangkan kelangsungannya masih dipertanyakan.

Meski sejumlah produk undang-undang kebencanaan sudah lahir, hal itu belum dijabarkan dalam bentuk peraturan yang lebih operasional. Sistem peringatan dini bencana banjir, tanah longsor, dan gunung meletus, masih buruk. Satu-satunya peringatan dini yang dinilai baik hanya pada ancaman tsunami.

Kearifan lokal

Mau tidak mau, suka tidak suka, bangsa ini harus menjadi bangsa sadar bencana. Antisipasi datangnya bencana harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pola hidup dan aktivitas keseharian masyarakat. Budaya akrab lingkungan, antisipasi, dan mitigasi bencana harus sudah tertanam sejak usia dini melalui pendidikan di berbagai jenjang pendidikan formal.

Kita dapat memetik pelajaran dari kisah Tilly. Saat bencana tsunami melanda pantai barat Thailand tahun 2004, gadis kecil dari Inggris itu berhasil menyelamatkan banyak orang berkat pelajaran tentang tsunami dari gurunya di sekolah. Gerakan ”kecil menanam, tua memanen” dan penetapan bulan Desember sebagai ”bulan menanam”, harus dijadikan sebagai gerakan nasional yang terkoordinasi dan berkelanjutan, bukan sekadar acara seremonial.

Kita juga perlu memelihara kearifan lokal (local wisdom) yang sudah lama dimiliki masyarakat. Masyarakat Bali memiliki adat yang melarang menebangi pohon; mereka yang melanggar mendapat sanksi dari masyarakat adat. Orang Jawa dulu punya kebiasaan membuat kolam kecil (blumbang) di halaman rumah. Selain berfungsi sebagai resapan air, kolam itu juga bernilai ekonomis untuk memelihara ikan.

Orang Jawa juga memiliki sarana komunikasi tradisional berupa kentungan. Jika sarana komunikasi itu ditabuh terus- menerus (titir), pertanda bencana banjir akan melanda wilayah mereka. Warga di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat, selalu meneriakkan kata ”ca’ah... ca’ah... ca’ah...” secara estafet dari hulu ke hilir sebagai peringatan datangnya banjir.

Kini, semua kearifan lokal itu sepertinya memudar. Pohon di hutan dibabat habis, resapan air di halaman rumah dipenuhi beton. Akibatnya, intensitas banjir dan tanah longsor kian meningkat.

Bukankah semua ini merupakan bentuk tindakan bunuh diri secara ekologis?

Toto Subandriyo Alumnus IPB dan MM Unsoed; Aktivis Lembaga Nalar Terapan (LeNTera), Tegal, Jateng

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/16/00255364/bangsa.tak.sadar.bencana




Selengkapnya...

Sabtu, Februari 07, 2009

Dari Tisu Menuju Kerusakan Hutan dan Pemanasan Global.

Pernahkah terbayangkan oleh kita bahwa hampir setiap aktivitas dan prilaku hidup kita sehari-hari sadalah salah satu penyebab dari rusaknya Hutan Alam Indonesia yang berdampak mempercepat lajunya bencana bagi seluruh umat manusia yaitu Pemanasan Global ( Global Warming).dengan tulisan ini saya mencoba mengajak semua elemen masyarakat untuk berpikir dan menganalisa bagaimanakah kerusakan hutan dan Pemanasan global terjadi hanya karena prilaku hidup kita sehari-hari.

Pemakaian Tisu dalam Kehidupan Modern.
Kehidupan modern banyak mengubah kebiasaan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempermudah, mempercepat, memperefisien dan memperingan banyak pekerjaan manusia. Walaupun demikian, harus diakui bahwa tidak semua orang mau dan menyadari bahwa pola kehidupan modern sekarang sangat memengaruhi lingkungan terutama kelestarian hutan .

Salah satu produk kehidupan modern adalah tisu. Pemakaian tisu di negara-negara maju dan di kota-kota besar Indonesia adalah lumrah dijumpai. Saat ini sudah jarang ditemui – atau dapat dikatakan tidak ada sama sekali - kaum muda, terlebih-lebih para remaja sekolah, menggunakan saputangan kecuali kaum orangtua yang berusia 55 (lima puluh lima) tahun ke atas. Tisu (barangkali) telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia, yaitu kepraktisan Hampir setiap Remaja yang ada di Indonesia menggunakan Tisu baik itu untuk membersikan Hidung dari kotoran disebabkan terkena Flu, mengelap Muka dari keringat, aktifitas di kamar mandi (BAB,BAK),sampai dengan hanya untuk mengelap Mulut setelah makan, hal yang terakhir disebutkan ini didukung hampir semua restoran dan rumah makan yang ada di seluruh tempat, yang menyediakan tisu sebagai bagian dari pelayanan kepada pelanggan. Semuanya dilakukan dengan sangat sederhana sekali, yaitu ambil, lap lalu dibuang setelah tisu-nya kotor. Kalau masih belum juga merasa bersih, ambil lagi, lap, lalu ya buang, sangat Praktiskan! Tidak usah pusing untuk memikirkan mencuci. dan tidak usah khawatir kantong akan menjadi kotor karena menyimpan bekas tisu seperti orang yang menggunakan Sapu tangan untuk mengelap. Penggunaan tisu yang berlebihan tersebut barangkali telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia di abad ini

Proses Rusaknya Hutan Alam Indonesia dan Global Warming
Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas). Pulp berasal dari batang pohon akasia dan eucalyptus yang diproses secara kimia. Untuk membuat tisu, produsen harus membuat perkebunan akasia dan eucalyptus (contohnya usaha yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada di Muara enim Sumatera Selatan ), lalu setelah pohon tersebut besar maka dilakukan penebangan untuk mendapatkan kayunya. Yang berarti suatu penggundulan hutan menyebabkan luas hutan alam semakin menyusut karena digantikan oleh Perkebunan Akasia dan eucalyptus. Berikut saya cantumkan kutipan tulisan saudara Koesnadi dari Sekjend Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) tentang Hitungan sederhana bagaimana penyusutan Hutan Alam Indonesia akibat dari penggunaan tisu oleh masyarakat."Jika jumlah Penduduk Indonesia 200 juta orang dan setiap satu harinya 1 orang menggunakan ½ gulung kertas tisu Artinya penggunaan kertas tissu bisa mencapai 100 juta gulung tissu per hari, berarti per bulan nya pemakaian tisu di indonesia mencapai 3 milyar gulung. Bila berat kertas tissu itu 1 gulung mencapai ¼ kg, maka 3 milyar dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan 750.000 Ton, Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 5 m3 kayu bulat, dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 up) maka sudah bisa ditebak penggunaan hutan untuk urus kebersihan mencapai ratusan ribu hektar setiap bulannya". Dan untuk Hutan yang telah ditebang memerlukan waktu puluhan tahun dalam proses pemulihan kembali ke keadaan semula seperti sebelum ditebang. Singkat kata kecepatan penyusutan hutan akibat penebangan lebih cepat daripada kecepatan pemulihan atau suksesi dan berdasarkan catatan WALHI jika hal ini terus terjadi maka WALHI memprediksikan kurang lebih 10 tahun kedepan Indonesia tidak akan memiliki Hutan lagi. .

Menyusutnya luas hutan dapat mengakibatkan erosi tanah. Selain erosi, kemampuan hutan untuk menyerap CO2 juga menurun. Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfir menyebabkan tingginya suhu bumi yang berdampak pada gangguan keseimbangan lingkungan hidup di biosfir bumi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global ( Global Warming ). Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 2007 tepatnya tanggal 3 – 11 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah dalam Penyelengaraan United Nation For Climate Change (UNFCC) yaitu pertemuan Negara – Negara di dunia yang membahas tentang Global Warming, dalam pertemuan tersebut disebutkan Global Warming telah menjadi ancaman yang sangat nyata bagi penduduk dunia karena Global Warming telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap muka air laut (Sea Level Change). Diperkirakan terjadi kenaikan muka air laut 50 cm pada tahun 2100 (IPCC, 1992). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, meskipun perubahan muka air laut juga dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal (tektonic), peningkatan muka air laut (Sea Level Rise) akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan. Peningkatan muka air laut akan menggenangi banyak areal ekonomis penting, seperti : permukiman dan prasarana wilayah, lahan pertanian, tambak, resort wisata, dan pelabuhan. Tergenangnya jaringan jalan penting seperti di pesisir utara Jawa, jelas berpengaruh terhadap kelancaran transportasi orang dan barang. Diproyeksikan 3.306.215 penduduk akan menghadapi masalah pada tahun 2070. Lima kota pantai (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar) akan menghadapi masalah serius karena kenaikan muka air laut setinggi 60 cm (ADB, 1994). Demikian pula dengan perkiraan hilangnya 4 ribu pulau (Menteri Kimpraswil, Kompas 8 Agustus 2002). Hal yang mengerikan ini hanya dimulai dari pengundulan Hutan yang digunakan untuk Pembuatan Tisu dan belum lagi ditambah oleh dampak yang dihasilkan dari proses untuk mendapatkan warna putih pada Tisu, pemutihan warna pada tisu diperlukan proses pemutihan dengan gas chlor (Cl) terhadap pulp yang berwarna hitam. Bahan baku gas Cl adalah toksik, yang limbahnya juga masih mengandung racun.

Semua yang dikemukakan di atas akan tampak dampaknya dalam jangka waktu panjang dan akan dirasakan akibatnya oleh generasi mendatang. Inikah yang diinginkan terjadi oleh generasi sekarang tanpa mau peduli terhadap kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang? Sekarang semuanya berpulang kepada pribadi masing-masing. Namun Seandainya setiap orang di dunia atau di Indonesia pada khususnya sepakat meninggalkan pemakaian kertas tisu dan mengantikan atau mengembalikan kebiasaan bersih bersih dengan menggunakan Sapu tangan seperti orang tua di zaman belum “Modern” dulu, barangkali laju kerusakan hutan dapat diredam dan kelestarian hutan di Indonesia dijamin terjaga dan secara langsung kita telah berpartisipasi dalam mencegah terjadinya percepatan bencana bagi seluruh Umat Manusia : Global Warming

Oleh : Hadi jatmiko



Selengkapnya...

Kamis, Februari 05, 2009

Planet Mirip Bumi Mengorbit Bintang Seperti Matahari


PARIS, RABU—Satelit pemburu planet asing milik Perancis COROT berhasil merekam sebuah planet baru di luar tata surya. Ukurannya tak lebih dari dua kali ukuran Bumi dan termasuk planet asing terkecil yang pernah ditemukan.

Planet tersebut mengorbit bintang yang mirip Matahari dan kemungkinan termasuk planet padat seperti Bumi. Penemuan planet padat termasuk mengejutkan karena dari 300-an planet asing yang terdeteksi hampir semuanya berupa gumpalan gas raksasa seperti Planet Jupiter.

"Untuk pertama kalinya kami kebetulan mendeteksi sebuah planet yang berbatu seperti Bumi. Penemuan ini sangat penting dalam rangka memahami pembentukan dan evolusi planet kita," ujar Malcolm Fridlund, Ketua Ilmuwan COROT dari Badan Antariksa Eropa (ESA).

Objek yang diberi nama CoRot-Exo-7B terletak begitu dekat dengan bintang induknya yang berada 457 tahun cahaya dari Bumi (1 tahun chaya setara dengan 9,5 triliun kilometer) sehingga permukaannya terbakar. Suhu di permukaannya sangat panas sehingga diperkirakan berupa lava pijar atau uap air dengan konsentrasi tinggi antara 1.000 hingga 1.500 derajat Celsius.

Planet tersebut mungkin tersusun dari setengah batu dan setengah air. Jadi, pantas kalau planet tersebut disebut "planet sauna" mengingat betapa panasnya suhu di permukaannya. Dengan suhu sebesar itu, kehidupan hampir dikatakan mustahil.

Para astronom Perancis dan Badan Antariksa Eropa (ESA) mendeteksi keberadaan planet itu saat posisi transit. Teleskop yang dibawa COROT mendeteksi kedipan cahaya akibat gerakan planet di depan bintangnya. CoRot-Exo-7B menempuh lintasan yang sangat cepat. Satu tahun di sana setara dengan 20 jam di Bumi.

Dengan teknik tersebut para astronom dapat memperkirakan ukuran planet tersebut. Planet tersebut jelas bukan planet gas meskipun belum diketahui massanya. Namun, diperkirakan antara 5,7 hingga 11 massa Bumi.
Sumber : Kompas.com





Selengkapnya...

Selasa, Februari 03, 2009

Warga Pangkalan Bulian Menuntut Enklave

Warga tiga desa di Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, meminta pendampingan ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel karena wilayah desa mereka hendak dijadikan hutan tanaman industri oleh sebuah perusahaan swasta.

Manajer Advokasi Walhi Sumsel Yuliusman, Senin (2/2), mengutarakan, warga yang menolak tanahnya dijadikan lahan hutan tanaman industri (HTI) adalah warga Desa Macan Sakti, Pangkalan Bulian, dan Sako Suban.

Perusahaan itu berencana mengelola hutan produksi meranti di Sungai Merah dan Kapas, Musi Banyuasin, seluas 55.360 hektar.

Menurut Yuliusman, warga menolak wilayah desanya masuk dalam kawasan HTI. Warga sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1820 dan mereka memiliki bukti bahwa struktur pemerintahan desa tersebut diakui Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.

"Masyarakat menuntut tanah mereka seluas 7.000 hektar diberi status enklave. Mereka menolak bekerja sebagai buruh perusahaan itu karena penghasilan mereka sebagai petani lebih besar daripada menjadi buruh," kata Yuliusman.

Ia menambahkan, masyarakat juga meminta dilakukan pengukuran administratif maupun pengukuran tanah di lapangan.

Menurut Yuliusman, Walhi Sumsel mengusulkan beberapa hal sebelum pemerintah memberikan persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terhadap perusahaan tersebut. Usulan itu di antaranya mengadakan program community development, melaksanakan program tanaman kehidupan di luar wilayah enklave, dan memikirkan keberadaan suku Anak Dalam di wilayah tersebut.

Potensi konflik

Yuliusman mengatakan, persoalan tanah tersebut harus dicari penyelesaiannya karena berpotensi konflik. Pemerintah daerah jangan terburu-buru mengeluarkan amdal terhadap perusahaan sebelum persoalan dengan warga tiga desa tersebut selesai.

"Kami khawatir terjadi konflik antara warga desa dan perusahaan kalau izin amdal tetap diberikan. Apalagi warga berkomitmen tidak akan meninggalkan tanahnya," kata Yuliusman.

Menurut dia, warga tiga desa tersebut saat ini tengah melakukan konsolidasi. Warga akan terus memberikan tekanan kepada pemerintah provinsi dan Badan Pertanahan Nasional. (kompas).





Selengkapnya...