WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, Februari 03, 2009

Warga Pangkalan Bulian Menuntut Enklave

Warga tiga desa di Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, meminta pendampingan ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel karena wilayah desa mereka hendak dijadikan hutan tanaman industri oleh sebuah perusahaan swasta.

Manajer Advokasi Walhi Sumsel Yuliusman, Senin (2/2), mengutarakan, warga yang menolak tanahnya dijadikan lahan hutan tanaman industri (HTI) adalah warga Desa Macan Sakti, Pangkalan Bulian, dan Sako Suban.

Perusahaan itu berencana mengelola hutan produksi meranti di Sungai Merah dan Kapas, Musi Banyuasin, seluas 55.360 hektar.

Menurut Yuliusman, warga menolak wilayah desanya masuk dalam kawasan HTI. Warga sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1820 dan mereka memiliki bukti bahwa struktur pemerintahan desa tersebut diakui Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.

"Masyarakat menuntut tanah mereka seluas 7.000 hektar diberi status enklave. Mereka menolak bekerja sebagai buruh perusahaan itu karena penghasilan mereka sebagai petani lebih besar daripada menjadi buruh," kata Yuliusman.

Ia menambahkan, masyarakat juga meminta dilakukan pengukuran administratif maupun pengukuran tanah di lapangan.

Menurut Yuliusman, Walhi Sumsel mengusulkan beberapa hal sebelum pemerintah memberikan persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) terhadap perusahaan tersebut. Usulan itu di antaranya mengadakan program community development, melaksanakan program tanaman kehidupan di luar wilayah enklave, dan memikirkan keberadaan suku Anak Dalam di wilayah tersebut.

Potensi konflik

Yuliusman mengatakan, persoalan tanah tersebut harus dicari penyelesaiannya karena berpotensi konflik. Pemerintah daerah jangan terburu-buru mengeluarkan amdal terhadap perusahaan sebelum persoalan dengan warga tiga desa tersebut selesai.

"Kami khawatir terjadi konflik antara warga desa dan perusahaan kalau izin amdal tetap diberikan. Apalagi warga berkomitmen tidak akan meninggalkan tanahnya," kata Yuliusman.

Menurut dia, warga tiga desa tersebut saat ini tengah melakukan konsolidasi. Warga akan terus memberikan tekanan kepada pemerintah provinsi dan Badan Pertanahan Nasional. (kompas).







Artikel Terkait:

0 komentar: