WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Maret 30, 2009

Bencana Situ Gintung dan Pembelajaranya

Ditengah hiruk pikuk masyarakat Indonesia untuk menyambut Pemilihan Umum 2009 yang sudah hitungan hari, dan sibuknya para politikus negeri ini mengobral janji-janjinya. Kita dikejutkan oleh tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung di Tanggerang Selatan, Banten. Kejadian yang terjadi pada Jumat dinihari, sampai dengan hari Minggu 29 Maret 2006 sudah menelan korban 93 orang meninggal, 192 orang hilang, 190 orang luka, 1600 orang harus mengungsi (Detikcom, Minggu) dan ratusan rumah dan bangunan lainnya hancur.

Tanggul yang dibangun pada zaman Belanda (1932-1933) ini mempunyai luas 31 hektar dengan kedalaman 10 meter dan daya tampung air 2,1 juta meter kubik (Kompas, Sabtu 28 Maret 2009). Sayangnya akibat perkembangan penduduk dan tidak tegaknya peraturan di negeri ini, luas tersebut sekarang mengalami penyusutan hingga hanya tersisa 21,4 hektar, dan kedalamannyapun tinggal 4 meter saja. Ketika dibangun tiga per empat abad silam bendungan ini menurut sejarawan yang juga Kepala Subdirektorat Peradaban Sejarah, Restu Gunawan dimaksudkan untuk pengairan dan pengendalian banjir Jakarta. Sekarang berkembang menjadi tempat wisata air dan kawasan perikanan.

Alih fungsi lahan dan kerusakan hutan

Adanya alih fungsi lahan di daerah tanggul, diyakini banyak pihak sebagai salah satu penyebab melemahnya daya dukung tanah terhadap kekuatan tanggul. Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Banten Winarjono, kawasan 10 hektar dihilir situ sebenarnya adalah kawasan konservasi dan terlarang untuk daerah hunian. Namun menurut WALHI (2009) faktanya; kawasan itu sudah berubah menjadi perumahan, restoran, hotel, dan areal bisnis.
Selain itu, kerusakan hutan dihulu sungai yang sudah sangat parah juga menjadi pemicu. Di sepanjang DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang berhubungan langsung dengan Situ Gintung kondisi hutannya sudah sangat buruk. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia (Purwati, 2009) di daerah aliran sungai Ciliwung pada tahun 2000 luas tutupan hutannya 4918 hektar (9,43 %) dan berkurang menjadi 4162 hektar (7,98%) pada tahun 2005. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan yang signifikan, dimana luas tutupan hutannya tinggal 1665 hektar (3,19%) dan terakhir berkurang menjadi 1265 hektar (2,42 %). Di sini terlihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 telah terjadi pengurangan luas hutan yang sangat signifikan sebesar 7,01%.

Lambannya respon

Peneliti Pusat Bencana Institut Teknologi Surabaya, Amin Widodo, mengatakan bahwa 2 tahun lalu warga sudah melaporkan lemahnya perawatan terhadap tanggul. Hal senada juga disampaikan oleh Sutopo Purwo Nugroho, Direktur Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pada Desember 2008 sudah ditemukan banyak longsoran kecil dan rembesan di sepanjang tanggul Situ Gintung (Kompas, 2009). Hampir semua korban selamat juga mengatakan bahwa November 2008 sudah pernah terjadi air meluap tapi tidak besar seperti sekarang, dimana air meluap menggenangi rumah penduduk tapi pada skala kecil dan tidak ada korban.

Tanggul ini sendiri, sejak dibangun hampir satu abad yang lalu belum pernah direnovasi, padahal tanggul ini hanya dibuat dari tanah. Perawatan yang dilakukan pemerintah hanya pengerukan dengan menggunakan eskavator. Terakhir dilakukan adalah pada tahun 2008.
Fakta-fakta yang saya ungkapkan diatas sebenarnya dapat dijadikan pemerintah sebagai tools untuk menganalisis berbagai kemungkinan yang terjadi, dan kemudian hasilnya disampaikan ke masyarakat sebagai bentuk peringatan dini. Namun, sayangnya pemerintah tidak merespon berbagai tanda-tanda yang terjadi. Kalau saja informasi itu direspon secara cepat dan dilanjutkan dengan langkah yang cepat dan tepat, paling tidak itu bisa meminimalisir jumlah korban. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya sudah mewajibkan kepada daerah-daerah agar bencana ditanggulangi sebelum, saat dan sesudahnya. Sayangnya masih banyak daerah yang belum menjalankan mandate undang-undang tersebut, termasuk Jakarta dan Banten.

Fenomena environmental refugee

Seperti disampaikan oleh berbagai media, akibat dari bencana ini 1600 orang penduduk yang selamat harus tinggal ditempat-tempat pengungsian atau tempat teman dan keluarga.
Fenomena masyarakat yang harus meninggalkan rumahnya baik itu permanen atau tidak karena kerusakan lingkungan, apakah itu karena faktor alam atau ulah manusia seperti kekeringan, gempa bumi, pencemaran, dan banjir sering disebuut dengan environmental refugee. Istilah environmental refugee pertama kali diperkenalkan oleh Lester Brown (1970), kemudian didefinisikan secara detil oleh El-Hinnawi dalam laporan UNEP (United Nation for Environment Program). Pengungsi akibat bencana lingkungan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu : Voluntary migrants adalah masyarakat yang mengungsi karena kondisi lingkungan tempat tinggalnya mengancam keselamatan mereka.

Biasanya terjadi pada masyarakat yang dalam ancaman gunung meletus, dimana pengungsian dilakukan sementara. Ini pernah terjadi di Yogyakarta ketika penduduk ada dalam ancaman letusan Gunung Merapi. Kedua adalah compelled environmental emigrants atau masyarakat yang mengungsi karena dampak bencana menyebabkan mereka tidak bisa tinggal lagi. Dalam hal ini pengungsian bisa terjadi permanen dan tidak. Dan kategori ketiga adalah forced environmental refugee atau mengungsi karena dipaksa. Biasanya ini terjadi untuk kepentingan pembangunan seperti dam dan konservasi. Kondisi lainnya adalah karena masyarakat ada dalam ancaman ecocide.

Di Indonesia, fenomena pengungsi karena kehancuran lingkungan hidup pernah terjadi beberapa kali. Misalnya ketika pembangunan Dam Kedung Umbo, Merapi Jogja, Lumpur Lapindo dan terkahir adalah bencana Situ Gintung. Situ Gintung termasuk dalam kategori environmental refugee karena Situ Gintung berfungsi sebagai wilayah konservasi air. Namun karena tidak ada perawatan yang baik oleh pemerintah serta lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi itu menyebabkan bencana bagi masyarakat yang tinggal disekitar. Jenis pengungsian dalam kasus ini secara umum tidak akan permanen.
Setelah kondisi membaik dan ada perbaikan terhadap waduk pengungsi akan kembali lagi, atau bisa disebu sebagai compelled environmental emigrants.

Pembelajaran

Tragedi Situ Gintung memberikan pelajaran yang sangat penting bagi kita bahwa kerusakan lingkungan hidup dapat mengakibatkan bencana yang dahsyat. Kita sering tidak sadar kalau apa yang kita perbuat ternyata dalam jangka panjang berakibat fatal terhadap keselamatan kita. Seperti dalam kasus Situ, selama berpuluh-puluh tahun masyarakat menikmati manfaatnya untuk rekreasi, penanggulangan banjir dan perikanan. Namun dalam waktu bersamaan, alih fungsi lahan di sekitar, hilir dan hulu untuk pembangunan terus dilakukan dan ini mengakibatkan penyempitan dan penyusutan daya tahan waduk, sementara beban waduk terus meningkat, hingga akhirnya jebol dan korban jiwa berjatuhan.

Di Sumatera Selatan, terutama yang tinggal diperkotaan fenomena bencana akibat kerusakan lingkungan sudah sedemikian terasa, misalnya banjir. Ironisnya, ini dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kota besar. Seperti telah terjadi proses internalisasi masalah-masalah kronis tersebut ke dalam taraf bawah sadar penduduk. Padahal semua itu dapat diminimalisir dengan pola pemakaian sumber daya yang berorientasi pada kelestarian ekologis. Sekedar mengingatkan bahwa hutan di Sumsel ini setiap tahun mengalami degradasi yang sangat pesat akibat konversi lahan, kebakaran hutan dan pembalakan kayu. Sebagai contoh, hutan gambut yang masih baik dan berfungsi sebagai catchment area hanya tersisa 200 ribu hektar di Merang Kepayang saja.

Inipun dalam ancaman serius oleh konversi lahan untuk perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, serta pembalakan kayu. Sebagai akhir dari tulisan ini saya ingin mengingatkan bahwa hendaknya bencana-bencana akibat kerusakan lingkungan selama bisa menjadi pembelajaran penting bagi kita agar jangan main-main dengan alam. Alam bisa menjadi sahabat tapi juga bisa menimbulkan bencana yang mematikan, dan itu pilihannya ada pada diri kita masing-masing.

Mantan direktur WALHI SUMSEL 2002-2006.






Artikel Terkait:

0 komentar: