WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, April 27, 2009

Palembang Krisis Rawa

Atas nama pembangunan, Palembang kini berada pada titik krisis rawa-rawa. Potensi banjir dan peningkatan temperatur udara membayangi kenyamanan warga. Sementara Perda No 5 Tahun 2008 tentang rawa jusru membuka peluang pengusaha menimbun daerah resapan air sesuka hati.
Pembangunan rumah toko, real estate, pertokoan, dan perkantoran lagi marak di Kota Palembang. Ironisnya, pembangunan itu kebanyakan dilakukan di atas rawa-rawa, yang notebene, berfungsi sebagai daerah resapan air.
Di daerah Sukamaju, Sako, sejauh mata memandang hampir tidak terlihat rawa-rawa. Yang terlihat komplek perumahan. Pengembangan kawasan perumahan masih dilakukan hingga saat ini karena lahan rawa sudah ditimbun tanah merah siap bangun.
Kondisi serupa di kawasan Talangkelapa. Di sepanjang Jl Soekarno-Hatta juga sudah sedikit rawa, berganti bangunan perkantoran atau sudah ditimbun. Bahkan penimbunan tanah sudah tembus ke kawasan Talangkelapa di belakangnya.
Beberapa bangunan menyediakan kolam resapan air. Tetapi sebagian besar tidak memilikinya. Terdapat lahan besar di pinggir jalan yang sudah ditimbun dengan menyisakan satu kolam seukuran 100 meter persegi penuh air bewarna coklat. Lahan sudah dipagar dan kemungkinan kolam bakal ditimbun pula oleh pemiliknya.
Di atas lahan resapan air di wilayah Kecamatan Kemuning banyak berdiri pertokoan. Di Seberang Ulu kawasan Jakabaring, usaha real estate laris manis. Tidak hanya perumahan, tanah juga ditawarkan secara kredit.
Tinggal 25 PersenSripo tidak mendapat data terbaru luas rawa dari instansi pemerintahan di Kota Palembang. Yang ada data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel. Itu pun tahun 2003 lalu, yakni seluas 11.750,50 hektare.
Manajer Advokasi Walhi Sumsel, Yuliusman, mengatakan, luas rawa di Palembang 200 kilometer persegi (50 persen dari luas Palembang 400,061 Km persegi) susut menjadi 105 kilometer persegi atau tinggal 25 persen dari luas Kota Palembang. Ini belum termasuk dampak pembangunan di Palembang dalam enam tahun terakhir.
Letak geografis Palembang pada ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut dengan pengaruh pasang surut antara 3-5 meter. Kondisi ini memosisikan Palembang rawan banjir. Lebih dari 20 kawasan kerap banji. Paling parah di Sekip Bendung.
Air pasang setinggi pinggang orang dewasa di kawasan perumahan penduduk Kelurahan 9 Ilir, November 2008 lalu. Luapan air juga menggenangi Kelurahan 11 Ilir. Warga mengatakan, banjir setinggi itu baru dua tahun terakhir terjadi.
Pasang Sungai Musi terulang pada Desember 2008. Kali ini imbasnya lebih luas. Rumah-rumah warga yang berada dekat pinggir Musi dan anak-anak sungai terendam. Air juga meluber ke badan jalan.
Catatan Walhi Sumsel, hampir tiap tahun terjadi peningkatan volume air pasang ke darat.
“Sepanjang tahun 2009 telah terjadi 49 kali banjir. Ini bahaya. Hujan setengah jam saja masyarakat resah. Penimbunan rawa dengan dalih pembangunan menjadikan pemukiman warga sebagai daerah buangan air,” kata Yulius.
Tanpa disadari, penimbunan rawa berdampak pula pada peningkatan temperatur udara di Kota Palembang. Menurut Fitri Agustian, dosen Jurusan Kelautan Unsri, rawa yang seyogianya meresap panas matahari menjadi tidak berfungsi.
“Banyaknya timbunan membuat uap panas matahari terpantul kembali. Itu menyebabkan suhu udara menjadi lebih panas,” katanya.
Pentingkan PADPerda No 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa lebih mengedepankan bagaimana Pemerintah Kota Palembang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda mengatur besaran per hektare yang didapatkan pemkot dari pengembang apabila ingin memanfaatkan rawa.
Untuk luas 0- 1.000 meter persegi dengan jarak 0-100 m dari daerah milik jalan (DMJ) biayanya sebesar Rp 10 juta. Untuk jarak dari DMJ di atas 100 meter sebesar Rp 5 juta. Untuk luas rawa di atas 1.000 m2 dengan luas 1.000-5.000 meter persegi biaya Rp 5 juta, luas 5.000-10.000 meter persegi biaya Rp 15 juta, luas 10.000-20.000 meter persegi biaya 35 juta, dan di atas 20.000 meter persegi sebesar Rp 50 juta.
Menurut Deputi Direktur Walhi Sumsel Muhammad Fadli tindakan yang dilakukan kepada pengusaha bukan hal yang substantif. Para pengembang mendapatkan Izin Retribusi Rawa (IRR). Seharusnya, hal terpenting adalah mengawasi pengembang yang telah mendapatkan izin.
“Agar mereka membuat saluran dan pembuangan air terakhir yang layak yang tidak berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. ini tidak pernah dilakukan,” tegas Fadli.
“Akibatnya, setelah perumahan baru berdiri, air akan menggenangi pemukiman masyarakat di sekitar perumahan itu,” lanjutnya.
Pada Perda No 13/2004, rawa yang dapat dibangun hanya seluas 1000 meter persegi, sedangkan pada Perda No 5/2008 pemerintah mengizinkan pengembang untuk membuka rawa di atas 20.000 meper persegi.
“Maka jelas bahwa Perda yang dibuat hanya memikirkan bagaimana pemerintah Kota Palembang dapat menambah PAD-nya tanpa memikirkan ekologi kawasan tersebut,” kata Fadli.
Ada AturanKepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas PU Bina Marga Kota Palembang, Ir Affan, Jumat (24/4), mengatakan, pembebasan lahan rawa untuk pembangunan bukan tanggung jawab pihaknya.
Tugas Pokok PU Bina Marga adalah pengelolaan perizinan reklamasi dan pemanfaatan rawa serta pengembangan bahan galian golongan C. Tugas itu termasuk memetakan daerah rawa, pemeliharaan dan pemanfaatannya.
Menurut dia, rawa terbagi tiga peruntukan, yakni rawa konservasi, rawa budidaya, dan rawa reklamasi. Rawa konservasi adalah rawa yang harus dipelihara dan dibiarkan alami. Sedangkan rawa budidaya, jenis rawa yang dapat dimanfaatkan sebagai kolam ikan dan pertanian. Sementara rawa reklamasi adalah rawa yang boleh dialihfungsikan untuk membangun perumahan atau perkantoran.
“Memang ada aturannya, boleh menimbun rawa tapi harus menyediakan resapan air. Misal sebagian ditimbun tetapi sebagian lagi dijadikan resapan dan tampungan air,” jelasnya.
Dijelaskan, aturan tentang rawa dapat dilihat di Peraturan Daerah No 5 tahun 2008. Di Perda ini diatur masalah retribusi dan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan tersebut. Sripo mencari data ini ke Pemkot Palembang tapi tidak didapat.
Upaya PSDA Dinas PU Bina Marga terhadap kelestarian rawa ini, diakui Affan, di antaranya menormalisasi saluran alam dan buatan. Membuat kolam retensi dan mengeruk kolam retensi yang sudah dangkal serta membersihkan sampah-sampah di aliran sungai dan drainase.
Ditambahkannya, kawasan rawa di Palembang tersebar hampir di seluruh wilayah kecamatan. Apalagi di daerah pinggiran seperti Gandus, Sako, Plaju, Kertapati, IB I, IB 2 termasuk Sukarami dan Kalidoni.
“Semuanya memiliki daerah rawa, rawa di Palembang ini masih cukup luas,” ujarnya. (trs/cr2/cr3/ahf)






Selengkapnya...

Minggu, April 26, 2009

Isu Lingkungan di anggap tak "Seksi"

JAKARTA,Pemerintah, partai politik ataupun anggota parlemen dinilai belum menyoroti isu-isu lingkungan hidup. Isu tersebut dianggap kurang menarik dan tidak "seksi".

Menurut Bima Aria, seorang pengamat politik, isu-isu mengenai lingkungan hidup sebenarnya dapat dibuat menarik sehingga menjadi perhatian dari berbagai pihak.

"Semua itu tergantung packaging dan siapa yang menyampaikan. Jika kemasan dan penyampai sudah menarik, isu tentang lingkungan hidup akan menjadi perhatian," terang Bima usai diskusi panel bertajuk Tantangan Kepemimpinan Gerakan Politik Hijau Pasca Pemilu 2009, di Jakarta, Jumat (24/4).

Ia menerangkan, musim kampanye pilpres mendatang adalah waktu tepat untuk mengembuskan isu-isu lingkungan hidup. Pendekatan yang dilakukan bisa melalui KPU atau stasiun TV.

Selain itu, lanjut Bima, harus mencoba untuk menembus ring satu tim sukses capres dan cawapres. Tim sukses tersebut didorong untuk menambahkan porsi isu lingkungan hidup dalam kampanye terbuka. Cara lain adalah dengan menggunakan para artis yang menjadi anggota parlemen.

"Selebritis itu perlu amunisi untuk berbicara di depan publik. Mereka dapat diberi pengetahuan mengenai isu-isu lingkungan hidup dan diarahkan menjadi opinion leader," terang Bima. Menurut Bima, publik figur yang mempunyai kapasitas untuk dijadikan opinion leader adalah Rieke Dyah Pitaloka dan Wanda Hamidah. "Buat isu ini semenarik mungkin, jangan sampai bersifat reaktif sesaat, perlu juga monitor setelah itu," tutup Bima.




Selengkapnya...

Kamis, April 23, 2009

Aksi Walhi Diwarnai Ketegangan

AKSI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) SumateraSelatan (Sumsel) dan Sahabat Walhi (Sawa) saat memperingati Hari Bumi kemarin memicu ketegangan pegawai PT Berlian Maju Motor.

Pasalnya, Walhi yang menanam pohon di ruangan terbuka hijau (RTH) simpang Rajawali dituding salah alamat oleh pegawai main dealerMitsubishi. Sekitar pukul 10.00 WIB kemarin, belasan personel Sawa dan pengurus Walhi Sumsel mendatangi RTH di simpang empat Rajawali. Dengan dalih momentum peringatan Hari Bumi, mereka pun melakukan penyegelan atas kawasan dengan luas sekitar 0,84 ha itu.Mereka menganggap aktivitas di atas kawasan yang dijadikan area parkir dan penyimpanan kendaraan adalah ilegal.

Aksi yang juga diikuti penanaman 25 bibit pohon itu sempat memanas ketika sejumlah orang tidak dikenal berkerumun ke lokasi. Mengaku sebagai pegawai PT Berlian Maju Motor, beberapa orang yang tadi berkerumun sempat menegur pengurus Walhi dan mempersoalkan aksi yang digelar. Adu argumentasi pun tidak terelakkan. Ketika ketegangan semakin memuncak,beberapa personel kepolisian yang melintas pun mencoba menengahi situasi.Akhirnya, orang yang mengaku pegawai PT Berlian Maju Motor itu pun mundur ke pospolisisimpangRajawali.

“Ada apa mereka melakukan kegiatan seperti ini, pakai acara segel-segel segala.Ini kan tanah sah punya kita (PT Berlian Maju Motor),”ujar Febi yang mengaku sebagai supervisor di PT Berlian Maju Motor. Dia mengungkapkan, tanah lapang di simpang Rajawali ini merupakanmilikpribadiDirekturUtama (Dirut) PT Berlian Maju Motor Robby Hartono yang dikuatkan dengan sertifikat. “Jadi akan digunakan untuk apa,merupakan kewenangan sang pemilik.Apa hak Walhi melarang tanah ini digunakan untuk apa.Justru dia yang tidak tahu aturan, masuk ke tanah orang dan buat kegiatan seperti ini,”cetusnya.

Meski mendapat teguran, aksi Walhi dan Sawa tetap berlanjut. Bahkan, diiringi orasi koordinator aksi, penanaman pohon pun dilakukan hingga pohon terakhir dibenamkan ke tanah. Setelah itu, pengurus Walhi dan Sawa membubarkan diri. Namun sayang,dari pantauan SI beberapa saat setelahnya, beberapa pohon yang ditanam telah hilang dari tempatnya. “Dengan aksi ini, kami ingin mengetuk hati para pihak yang terkait untuk mengembalikan kawasan terbuka hijau kepada fungsi awalnya,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat kepada SI kemarin.

Sadat juga mengkritisi semakin menurunnya kuantitas dan kualitas sejumlah RTH di Palembang. Bahkan, beberapa RTH malah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis yang jelas-jelas merusak tatanan dan fungsi RTH itu sendiri. Salah satu RTH yang terlihat jelas berubah fungsi adalah Kambang Iwak Family Park (KIF Park).

Saat ini jumlah masyarakat yang menggunakan fasilitas olahraga di KIF Park menurun, digantikan dengan masyarakat yang hanya ingin menikmati fasilitas hiburan di tempat itu. “Selain itu, Walhi menyoroti persoalan pemanfaatan daerah rawa yang diatur dalam Perda Kota Palembang No 5/2008 tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Daerah Rawa. Karena perda tersebut bisa berakibat komersialisasi rawa, kami meminta pemkot segera mencabut perda dimaksud. Kami juga mendesak pemkot menjadikan kawasan rawa yang ada di Kota Palembang sebagai daerah konservasi yang dilindungi dan diatur dalam sebuah perda,” bebernya.

Ditemui terpisah, Wali Kota Palembang H Eddy Santana Putra mengaku tidak bisa berbuat banyak atas aksi penyegelan yang dilakukan Walhi. Eddy mengaku kawasan tanah lapang di simpang Rajawali tersebut adalah milik pribadi dan bukan pemerintah. Meski demikian, beberapa waktu lalu terjalin kesepakatan antara pemkot dan pemilik PT Berlian Maju Motor yang menyatakan bahwa di tanah lapang tersebut tidak boleh didirikan bangunan dan dibiarkan menjadi kawasan terbuka hijau. Mengenai pemanfaatannya, kembali lagi kepada pemilik tanahnya.

“Jika saat ini dijadikan tempat penyimpanan kendaraan, ya kita juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena tanah tersebut memang milik mereka.Kalau tanah itu milik pemkot, tentunya akan dirawat, bahkan bisa dijadikan taman kota. Tapi, untuk membeli tanah itu dibutuhkan dana yang besar dan saat ini belum tersedia anggarannya,” tandas Eddy.

Sumber Sindo




Selengkapnya...

Walhi Bagikan 1.200 Bibit Mahoni

PALEMBANG--Dalam memperingati hari bumi sedunia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Selatan membagikan 1.200 bibit pohon mahoni kepada warga yang melintasi perempatan lampu merah, Charitas Palembang, Sumsel, Kamis.

Manager Pengembangan Sumberdaya Organisasi Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko mengatakan, pembagian bibit pohon mahoni tersebut diharapkan mampu membuat ruang terbuka hijau (RTH) ditempat tinggal masing-masing warga setempat.

Karena sampai kini RTH yang disediakan pemerintah setempat sangat minim sehingga partisipasi masyarakat menanam pohon diharapkan solusi mengembalikan kota ini menjadi hijau, katanya.

Menurut dia, penanaman pohon sangat penting untuk mengatasi dampak pemanasan global yang kini semakin parah dirasakan warga Palembang.

Semakin teriknya udara yang dirasakan warga Palembang akhir-akhir ini menjadi salahsatu bukti kalau pemanasan global cenderung semakin parah, tambah dia.

Ia mengatakan, dengan menanam pohon disetiap rumah minimal akan menjadikan pemukiman sejuk yang mampu mengurangi dampak pemanasan global.

"Kami mengimbau warga Palembang untuk segera menanam pohon walaupun hanya sebatang di rumah karena dampaknya sangat bermanfaat bagi kelestarian bumi ini," katanya.

Dia menjelaskan, bumi ini semakin tua dan terus mengalami kerusakan akibat ulah manusia.

Sehingga manusia berkewajiban mengembalikan kondisi alami bumi melalui penanaman pohon, ujarnya.

Hadi menambahkan, pemerintah pun diminta untuk mendorong masyarakat mencintai lingkungan dan menghentikan berbagai usaha yang berdampak pada kerusakan alam.

Dengan demikian permasalahan lingkungan dapat diantisipasi karena selama ini kerusakan hutan akibat pembalakan liar menjadi penyumbang utama kerusakan lingkungan tang berdampak pada pemanasan global, tambah dia.

Sumber : Antara





Selengkapnya...

Ada 1.000 Berbagai Bibit Pohon Bibit Dibagikan Gratis

TEMPO : Menyambut hari bumi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel mengadakan beberapa kegiatan yang sudah lakukan sejak kemarin. Hari ini Kamis (23/4), Walhi membagikan 1.000 bibit antara lain pohon durian, sawo dan mahoni kepada masyarakat secara gratis.“Mulai dengan langkah nyata dengan menanam pohon,”kata seorang relawan di Simpang Empat Charitas, Kamis (23/4).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel) mengimbau semua pihak terutama masyarakat di daerahnya, untuk memulai berbuat nyata agar bisa ikut berperan menyelamatkan bumi yang terancam oleh pencemaran dan menjadi kian panas ini. Tidak cukup dengan seremonial belaka dalam memperingati hari bumi ini.

Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat mengatakan bahwa Walhi Sumsel dalam rangkaian Hari Bumi tahun 2009 menyiapkan sejumlah kegiatan pendukung, seperti melakukan penanaman seratusan pohon penghijauan di tempat umum dan ruang terbuka hijau (RTH) Sahabat Walhi dan unsur mahasiswa serta pencinta lingkungan, juga membagikan 1.000 bibit tanaman penghijauan kepada masyarakat luas, agar dapat ditanam di lingkungan sekitar masing-masing. Areal yang ditanami pohon penghijauan di Palembang, di antaranya Simpang Rajawali, sekitar Benteng Kuto Besak (BKB), kawasan sekitar Taman Kambang Iwak Besak, dan Simpang Polda Sumsel.

“Semua yang kita lalukan agar gerakan lingkungan itu punya upaya nyata,” katanya.

Selengkapnya...

Selamatkan Resapan Air


Pemerintah daerah perlu memikirkan langkah untuk menyelamatkan lingkungan hidup di Sumatera Selatan agar terhindar dari bencana alam. Tindakan memanfaatkan lingkungan hidup untuk tujuan komersial tanpa kontrol harus segera dihentikan.

Demikian pesan yang disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel dalam aksi Hari Bumi yang diperingati secara internasional setiap 22 April.

Walhi Sumsel melakukan aksi penanaman pohon di ruang terbuka hijau yang berada di simpang antara Jalan Rajawali dan Jalan Veteran, Palembang. Ruang terbuka hijau itu sekarang dimanfaatkan untuk lahan parkir mobil dan truk milik sebuah showroom.

Selain melakukan penanaman pohon, para peserta aksi juga memasang spanduk dan melakukan orasi.

Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, Walhi Sumsel menyayangkan mengapa pemerintah daerah memberikan izin penggunaan ruang terbuka hijau untuk tujuan komersial. Padahal, ruang terbuka hijau berfungsi sebagai penyelamat lingkungan, yaitu sebagai kawasan penyerapan air.

Anwar Sadat mengatakan, Walhi Sumsel tidak semata-mata menyalahkan pihak swasta yang menggunakan kawasan terbuka hijau untuk tujuan komersial.

Menurut Anwar Sadat, di Palembang banyak ruang terbuka hijau yang dikomersialkan, seperti rawa-rawa untuk ruko atau pendirian bangunan di Kambang Iwak.

”Dengan sempitnya ruang terbuka hijau, berarti kondisi lingkungan hidup semakin parah,” kata Anwar Sadat.

Anwar Sadat mengungkapkan, Walhi Sumsel meminta ruang terbuka hijau dikembalikan kepada fungsinya.

”Kami tidak berspekulasi bahwa ada sesuatu di balik pemberian izin penggunaan ruang terbuka hijau untuk tujuan komersial. Yang penting ruang terbuka hijau dikembalikan,” kata Anwar Sadat.

Menanggapi aksi tersebut, Supervisor PT Maju Motor Febi mengatakan, tanah tersebut sudah menjadi milik PT Maju Motor dan ada sertifikatnya.

”Kalau tanah ini tidak ada sertifikatnya, kami tidak berani meletakkan kendaraan di sini. Mereka seharusnya melihat dulu status tanah ini,” kata Febi menjelaskan.

Dampak kerusakan

Berdasarkan data Walhi Nasional, pada 2008 telah terjadi 359 kali bencana alam yang terjadi di semua daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 39 bencana terjadi di Sumsel, yaitu banjir dan longsor.

Lokasi banjir dan longsor tersebar di Palembang, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Muara Enim, Lahat, Prabumulih, dan Ogan Komering Ulu Timur.

Dampak dari bencana alam tersebut adalah 11.000 hektar sawah di Sumsel rusak dan terancam puso. Kerugian material diperkirakan mencapai Rp 22 miliar, belum termasuk kerugian seperti kerusakan rumah, tempat ibadah, dan sekolah.

Walhi Sumsel mencatat bahwa pemerintah daerah, termasuk DPRD, tidak segera melakukan revisi terhadap peraturan yang berorientasi pada persoalan lingkungan.

Menurut data Walhi Sumsel, pertambangan di Sumsel telah menghancurkan hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi seluar 2.648.457 hektar dari total hutan Sumsel seluas 3.777.457 hektar.

Khusus di Palembang, munculnya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Rawa untuk Dijadikan Lahan Bisnis telah melegitimasi pemanfaatan rawa dan ruang terbuka hijau untuk lahan bisnis.

Namun, munculnya perizinan tersebut justru melahirkan persoalan baru dalam bidang lingkungan.

Bagikan sapu tangan

Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Muhammadiyah Peduli Bumi melakukan aksi simpatik di Bundaran Air Mancur. Aksi tersebut diisi dengan pentas teatrikal dan pembagian sapu tangan kepada pengendara yang melewati Bundaran Air Mancur.

Pembagian sapu tangan itu bertujuan untuk mengajak masyarakat agar memakai sapu tangan atau kain lap sebagai pengganti kertas tisu.

Mahasiswa juga mengajak masyarakat untuk menyelamatkan bumi, mulai dari kegiatan sehari-hari, seperti mengisi botol air mineral bekas dengan air dari rumah jika bepergian. Selain itu, mengajak masyarakat untuk mengurangi pemakaian tas plastik dengan membawa tas dari rumah untuk berbelanja.

Masyarakat juga diimbau agar memperbanyak kegiatan penanaman pohon di lingkungan rumah untuk mengurangi dampak pemanasan global. (WAD)




Selengkapnya...

Rabu, April 22, 2009

Wahana Lingkungan Hidup Sumatra Selatan Segel Kawasan Hijau

Wahana Lingkungan Hidup Sumatra Selatan melakukan penyegelan dengan menanam sekitar 25 pohon durian di daerah Simpang empat Rajawali Palembang. Aksi tanam pohon ini menarik pengguna jalan.

Ketua Walhi Sumatera Selatan, Anwar Sadat, dalam orasinya mengatakan bahwa aksi penanaman sejumlah pohon durian di lapangan ini merupakan simbol untuk meminta pemerintah daerah mengembalikan lahan kawasan ini sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan yang hijau.

“Saat ini kawasan ini sudah berubah menjadi lahan bisnis, kita minta pemerintah kota bisa bijak dalam mengeluarkan perizinan dalam soal lahan,” ujarnya. Kawasan ini sekarang berubah fungsi menjadi tempat parkir ratusan mobil sebuah perusahaan otomotif.

Aksi tanam pohon ini sempat menimbulkan ketegangan pihak Kepolisian yang meminta Walhi Sumatera Selatan meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik kawasan ini.

Seorang pria memakai baju batik dengan handy talkie ditangan mengaku bernama Febi mengatakan bahwa kawasan ini sudah menjadi milik pribadi atas nama PT Maju Motor.
“Ini sudah dibeli dan sertifikatnya sudah ada,” ujarnya. Dia meminta Walhi untuk tidak melakukan aktifitas di lahan mereka.

Walaupun dihalang-halangi, aksi puluhan aktivis lingkungan dan sahabat Walhi terus berlanjut sehingga 25 pohon durian ditanam disela-sela mobil jenis angkutan berat yang diparkir di lahan tersebut.

Menurut Sadat, Walhi merasa kuatir dengan kondisi ruang hijau di Kota Palembang yang semakin lama semakin kecil. Contoh yang paling anyar adalah berubah fungsinya kawasan hijau kambang iwak di depan rumah dinas walikota menjadi pusat jajan dan nongkrong.


“Sekarang tidak terlihat dampaknya namun kedepan akan kelihatan,” ujar Sadat .

Sumber : Tempo online




Selengkapnya...

Jumat, April 17, 2009

KPK Terus Usut Korupsi Pelabuhan TAA Sumsel

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mengusut dugaan keterlibatan sejumlah pejabat dan mantan pejabat di Pemprov Sumatra Selatan (Sumsel), dalam kasus korupsi alih fungsi hutan lindung untuk rencana pembangunan Pelabuhan Tanjung Api Api (TAA) di Pantai Telang, Kabupaten Banyuasin.
Informasi diperoleh dari Mapolda Sumsel, di Palembang, Rabu, menyebutkan tim penyidik KPK masih berada di markas polda itu sejak beberapa hari terakhir, untuk mengusut lebih lanjut kasus korupsi tersebut.
Menurut informasi, Polda Sumsel hanya menyediakan markasnya untuk “homebase” tim KPK dari Jakarta itu, selama menjalankan tugas mereka, sehingga bisa berjalan lancar.
KPK terus melakukan pengembangan penyidikan kasus korupsi itu, setelah beberapa hari sebelumnya menggeledah kantor PT Chandratex dan meninjau langsung lokasi Pelabuhan TAA, pada Rabu ini, rumah pribadi mantan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman dan mantan Kadis PU Bina Marga Sumsel, Darna Dahlan, ikut digeledah.
Penggeledahan di rumah pribadi Syahrial di Jl Seduduk Putih No. 6 Palembang berlangsung selama tiga jam, dan tim KPK mengamankan sejumlah berkas dan surat-menyurat serta data yang diperlukan.
Tim KPK yang juga dikawal anggota Brimob Polda Sumsel itu, kemudian melanjutkan penggeledahan ke rumah pribadi Darna Dahlan, mantan Kadis PU Bina Marga Sumsel, di kawasan Jl Ario Kesuma No. 5, Kelurahan Talang Semut, Palembang, juga berhasil mengamankan sejumlah berkas yang diperlukan.
Semua proses penggeledahan dan pemeriksaan itu—termasuk pemeriksaan terhadap Bupati Banyuasin, Amiroedin Inoed sebelumnya—diduga berkaitan pengusutan lanjutan kasus korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Telang di Kabupaten Banyuasin, Sumsel, untuk pembangunan Pelabuhan TAA.
Namun belum diperoleh informasi lebih detail tentang hasil pemeriksaan, pengusutan dan penggeledahan itu, mengingat Polda Sumsel menyatakan hanya “dipinjami” tempat saja.
Tapi sebelumnya, mantan Gubernur Sumsel, Syahrial Oesman telah menyatakan siap menghadapi proses hukum atas statusnya yang telah menjadi tersangka dalam kasus itu.
Ditengarai, KPK setelah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu, masih akan mencari dan menetapkan tersangka lain dari kalangan pejabat tinggi maupun mantan pejabat teras Pemprov Sumsel itu.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel juga menyoal kasus korupsi alih fungsi hutan Telang, Banyuasing, Sumsel itu, sehingga mendesak semua prosesnya ditinjau kembali, termasuk rencana pembangunan Pelabuhan TAA.
Menurut Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat, dengan temuan tindak pidana korupsi dalam proses alih fungsi hutan itu, berarti terjadi cacat hukum di dalamnya.
Karena itu, pihak berwenang diminta meninjau kembali semua proses pembangunan Pelabuhan TAA sekaligus merancang ulang alih fungsi kawasan lindung yang penting di daerah itu.
Kehilangan hutan itu, menurut WALHI Sumsel, diperkirakan akan memberikan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan di daerahnya yang saat ini kawasan lindungnya kian menyempit dan mengalami kerusakan parah itu.

Sumber : Antara




Selengkapnya...

Kamis, April 16, 2009

Walhi: Izin Prinsip Tanjung Api-api Wajib Dibatalkan

Palembang: Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan menolak izin prinsip yang sudah dikeluarkan pemerintah pusat kepada Pemerintah Sumatera Selatan terkait Pelabuhan Tanjung Api-api. Alasannya, sejak awal proses perizinan pelabuhan samudra itu telah cacat hukum.

Direktur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat, Rabu (15/4), mencontohkan soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Desain Rencana Tata Ruang Detail yang disusun oleh Pemerintah Sumatera Selatan sangat sedikit menyinggung aspek biodiversiti (keanekaragaman hayati) yang berada di kawasan Hutan Lindung Air Telang dan Taman Nasional Sembilang.

Selain itu, kata Sadat, puncak persoalan adalah adanya dugaan korupsi dalam alih fungsi Hutan Lindung Air Telang yang melibatkan pimpinan dan anggota Komisi IV DPR RI, mantan Gubernur Sumatera Selatan, serta pengusaha asal daerah, Presiden Direktur PT. Chandratex, serta beberapa pejabat lainnya.

Dengan melihat persoalan korupsi itu, kata Sadat, Wahli memandang izin alih fungsi Hutan Lindung Air Telang yang diperoleh dari Menteri Kehutanan RI dengan persetujuan DPR RI kepada Pemerintah Sumatera Selatan adalah cacat hukum.

Sebelumnya, Pemerintah Sumatera Selatan menyatakan akan segera merealisasi megaproyek Tanjung Api-api pada bulan Juni mendatang karena sudah turunnya izin prinsip dari pemerintah pusat.

Pemerintah Sumatera Selatan akan menggelar tender pemilihan konsultan yang akan menentukan calon investor yang akan membangun area industri Tanjung Api-api.

Sumber :ARIF ARDIANSYAH Tempo




Selengkapnya...

Rabu, April 15, 2009

Proyek Rel Batu Bara Bengkulu-Sumsel Ditolak Walhi

PALEMBANG -- Rencana Gubernur Bengkulu, Agusrin M Nadjamuddin, membuka jalur rel kereta api batu bara dari Tanjung Enim di Sumatra Selatan (Sumsel) ke Linau, Bintuhan, di Bengkulu, mendapat penolakan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel. Pasalnya, lokasi rel kereta api yang akan dibangun itu merambah dan melewati kawasan hutan lindung Bukit Nanti Ulu Ogan dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

''Walhi secara tegas menolak rencana pembangunan jaringan rel kereta api dari Tanjung Enim menuju Linau untuk angkutan batu bara. Jika pembangunan tersebut tetap terus dilakukan, hal itu akan merusak lingkungan hidup dan melanggar Undang-Undang Nomor 5/2004 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Perppu Nomor 19/2004 tentang Kehutanan,'' kata Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat, kepada wartawan di Palembang, Selasa (14/4).

Dari investigasi ke kawasan hutan lindung Bukit Nanti Ulu Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Walhi menemukan pekerja sedang memasang patok-patok dalam areal hutan lindung. Saat ditanya, para pekerja mengaku berasal dari Bengkulu. ''Mereka bukan warga yang tinggal di sekitar hutan lindung,'' kata Anwar.

Walhi mengingatkan, hutan lindung merupakan tempat hidup satwa-satwa langka Sumatra, seperti harimau, serta banyak jenis tanaman langka. ''Jika pembangunan tetap diteruskan, habitat satwa tersebut akan terancam. Walhi tidak akan tinggal diam dan akan mengampanyekan penolakan ini secara nasional dan internasional,'' ancam Anwar.

Membantu ekspor
Sebelumnya, pada 25 Februari 2009, Gubernur Agusrin menemui Gubernur Sumsel Alex Noerdin di Palembang. Ia menyampaikan rencana pembangunan rel sepanjang 160 kilometer yang menghubungkan dua provinsi, yaitu Bengkulu dan Sumsel.

''Pembangunan jaringan rel ini ditarget bisa selesai tahun 2010 dengan investasi awal sebesar Rp 10 triliun dan kini sudah memasuki tahap konstruksi. Selesainya pembangunan rel baru tersebut akan bisa mengangkut batu bara dari Sumsel antara 5 juta sampai 10 juta ton per tahun,'' tutur Agusrin.

Dengan pembangunan rel kereta api tersebut, Agusrin menjelaskan bahwa batu bara dari Sumsel bisa diekspor melalui Pelabuhan Linau atau Pelabuhan Pulau Baai. ''Konstruksi pembangunan pelabuhan kini sedang dalam pengerjaan. Jika sudah selesai, bisa melakukan ekspor batu bara ke negara-negara Eropa Timur,'' ujarnya. oed

http://republika.co.id/koran/0/44037/Proyek_Rel_Batu_Bara_Bengkulu_Sumsel_Ditolak_Walhi




Selengkapnya...

MK Kukuhkan Kewajiban CSR

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang SDA (Sumber Daya Alam) tetap diwajibkan untuk menganggarkan dana TSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) sesuai dengan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.

Hal ini disampaikan oleh Ketua MK Moh. Mahfud M.D. saat membacakan putusan sidang pengujian UU No.40, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/4/2009).

Dalam sidang ini, Kadin, HIPMI dan IWAPI mengajukan pengujian Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 mengenai TSL atau biasa disebut CSR (Corporate Social Responsibility).

Ketiga pemohon ini merasa pemberlakuan kewajiban CSR kepada perusahaan yang bergerak di bidang SDA merugikan, karena selain dipungut pajak, perusahaan juga dibebani kewajiban CSR.

Tapi dalam putusannya, MK mengatakan ketentuan ini dibuat agar perusahaan yang berkaitan atau bergerak di bidang SDA harus ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan dengan sebaik-baiknya.

Investor asing yang berinvestasi juga harus menjalankan prinsip ini agar mereka tidak mencari keuntungan tanpa mengorbankan orang lain.

"Kerusakan SDA Indonesia sudah pada tingkat yang menglhawatirkan, pemerintah berusaha agar lingkungan terjaga, karena itu aturan ini dibuat," ujar putusan tersebut.

Ketua HIPMI Erwin Aksa menyatakan kekecewaannya dan akan segera bertemu dengan Kadin untuk membahas keputusan MK ini. Erwin menilai kewajiban CSR ini akan mempengaruhi investasi asing karena mereka harus menganggarkan CSR.

"Kita berharap CSR ini bukan mandatori atau kewajiban. Masak perusahaan cuma punya kantor kecil, pegawainya dikit mereka dipaksa CSR, itu kan memberatkan mereka. Nggak bener itu. Dan lagi, kewajiban CSR ini hanya ada di Indonesia," katanya.
Selengkapnya...

Selasa, April 14, 2009

Rusak Lingkungan, Proyek Rel Kereta di Sumatera Selatan Ditolak

Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan meminta agar rencana pembangunan rel kereta api dari Tanjung Enim Sumsel ke Linau Bengkulu dibatalkan karena melanggar undang-undangn dan merusak lingkungan.

Direktur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat, Selasa (14/4) mengatakan, lokasi pembangunan rel kereta api itu sebagian besar lokasinya melalui hutan lindung Bukit Barisan. Hal itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam.

“Selain itu rencana pembangunan itu menyalahi ketentuan yang diatur Perpu Nomor 19 tahun 2004 tentang Kehutanan,” katanya.

Menurut Sadat, rencana pembangunan rel kereta sepanjang 160 kilometer tersebut melalui kawasan Bukit Nanti Ulu Ogan, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan. “Itu artinya, rel itu membelah punggung hutan lindung Bukit Nanti,”ujarnya.

Padahal, kata Sadat kawasan Bukit Nanti tersebut merupakan hutan lindung dan sampai kini masih hidup sejumlah binatang yang dilindungi, seperti harimau sumatera, rusa, tapir dan kambing hutan.

Sadat juga mengatakan pada tahun 1998 kawasan Bukit Nanti tepatnya di Kampung Satu Desa Mendingin terjadi bencana amblasnya tanah yang mengakibatkan 20 unit rumah penduduk amblas.

Selain itu, pembangunan tersebut akan berdampak pada menyusutnya debit air Sungai Ogan dan sejumlah anak sungai yang selama ini mengalir dan memenuhi kebutuhan air bagi warga di sekiatranya.

Dengan dibangunnya rel KA di wilayah tersebut kejadian yang lebih parah lagi diprediksi akan terjadi sehingga pemerintah diminta berpikir bijak dan membatalkan rencana pembangunan rel di kawasan itu.

Sumber : Tempo

http://tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/04/14/brk,20090414-170282,id.html



Selengkapnya...

Senin, April 06, 2009

BERKACA PADA MUSIBAH SITU GINTUNG

Oleh
Muhammad Fadli

Deputy Direktur Wahana Ligkungan Hidup
Sumatera Selatan

Musibah di Kawasan Situ Gintung Ciputat Tangerang Banten setidaknya telah menelan korban 21 orang meninggal dan 10 orang luka-luka berdasarkan data korban di RS Fatmawati yang dipantau oleh WALHI hingga Jumat (27/3) pukul 20.25 WIB. Sementara sumber lainnya menyebutkan sampai pukul 18.00 WIB, 38 orang meninggal dunia. Sumber lain menyebutkan 65 orang sudah meninggal dunia sampai dengan pukul 22.40 WIB.

Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cireundeu, Tangerang Selatan, adalah akibat kelalaian pemerintah terhadap perawatan tanggul. Karena itu musibah ini tidak bisa disebut sebagai bencana alam. Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bahwa Musibah di Situ Gintung setidaknya disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, tidak adanya upaya serius pemerintah (Gubernur Banten) dalam pemeliharaan (maintenance) Situ Gintung yang sudah dibangun sejak tahun 1932. Pada bulan November 2008 bencana yang sama namun dalam skala yang lebih kecil sudah pernah terjadi dan sudah pula dilaporkan oleh masyarakat. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sementara jika dilihat dari jumlah situ di Jabotabek yang berjumlah sekitar 193 situ, dengan luas keseluruhan 2.281,90 hektar. Lebih dari separuhnya (± 68%) dalam keadaan rusak. Dengan data ini saja seharusnya pemerintah sudah bisa berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga, tapi hal ini tak pernah dilakukan.

Kedua, alih fungsi kawasan situ menjadi kawasan perumahan, restoran, hotel, tempat pembuangan sampah dan kawasan bisnis lainnya yang terus terjadi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan faktor keselamatan rakyat (human security). Pemerintah juga telah mengakui hal ini lewat departemen PU pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan situ. Dimana dari total luas situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 ha. Saat ini hanya tinggal 1.462,78 ha saja. Dari jumlah tersebut, hanya 19 situ yang kondisinya baik.

Ketiga, lemahnya koordinasi antar pemerintah di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane. Keempat, tidak tersedianya sistem informasi dan sistim peringatan dini untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa ketika bencana terjadi.


WALHI menyayangkan lemahnya tindakan pencegahan dan penanganan bencana di kawasan situ Gintung. Gubernur Banten dan Departemen Pekerjaan Umum harus dimintai pertanggungjawabann ya. Jika sejak awal Gubernur dan jajaran Pemerintah provinsi Banten sigap dan tanggap mendengar keluhan warga dan mencermati perubahan bentang alam dan kondisi situ gintung, bencana dan jatuhnya korban di pihak masyarakat tak perlu terjadi.

Selain itu juga WALHI mendesak dilakukannya penghentian alih fungsi kawasan situ, DAS dan wilayah tangkapan air (cathment area) lainnya di wilayah Jadebotabek untuk memberi ruang bagi pemulihan kawasan ekologi dan mencegah berulangnya bencana. Segera lakukan restorasi ekologi kawasan situ dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai upaya penyelamatan lingkungan mutlak dilakukan pemerintah. Sistem peringatan dini (early warning system) oleh pemerintah harus segera dibenahi untuk mencegah jatuhnya korban bencana.

Bagaimana dengan Sumsel !!!

Meluasnya area genangan air di setiap musim hujan, dan ancaman munculnya bencana banjir, longsor di beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Selatan yang dibuktikan dengan bertambahnya daerah rawan bencana setiap tahunnya, adalah akibat dari terjadinya kerusakan fungsi ekologis dan menurunnya daya tampung air, serta ketiadaan perhatian serius pemerintah merevitalisasi beberapa kebijakan yang justru berdampak bagi lingkungan.

Berdasarkan data terakhir dari seluruh hutan di Sumsel saat ini, yang kondisinya masih baik dalam artinya belum mengalami kerusakan akibat ulah tangan manusia tersisa 30 persen., luas areal hutan di Sumsel mencapai 3,7 juta hektar. Terdiri dari 539.645 hektar hutan lindung, 711.778 hektar hutan konservasi, dan 2,5 juta hutan hutan produksi. Artinya, berdasar kondisi terakhir, hutan yang tersisa tinggal 1.110.000 hektar. Yang lebih mirisya lagi dari luasan hutan yang tersisa tersebut, saat ini terus berlangsung penghancuran mulai dari adanya illegal logging sampai dengan dikeluarkannya beberapa kawasan hutan untuk dijadikan konsesi perkebunan beberapa perusahaan besar, dan pembangunan infrastruktur mengatasnamakan kepentingan pembangunan dan kepentingan publik.

Kegiatan usaha hutan tanaman industri (HTI), ikut pula menyokong laju percepatan kerusakan hutan alam di Sumsel. Spirit yang dimunculkan, bahwa HTI merupakan jenis usaha guna memulihkan kondisi hutan tidaklah demikian realitasnya. Tercatat hingga saat ini dengan luas lahan investasi HTI di Sumsel yang mencapai 1.103.870 ha, banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan tropis Sumsel. bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha. Ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan dan berubahnya .

Daerah aliran sungai di hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Situasi memprihatinkan itu, terutama akibat penebangan liar serta perambahan hutan lindung Bukit Barisan dan kawasan lindung di sempadan sungai untuk membuka lahan pertanian kopi dan palawija. Berdasarkan pemantauan, di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, oleh TIM Susur Sungai Musi Gemapala Wigwam FH Unsri, kondisi daerah aliran sungai (DAS) Sungai Musi di bagian hulu semakin kritis. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Sebanyak 2,3 juta hektar kawasan lindung milik masyarakat yang umumnya berada di DAS juga tidak ditumbuhi pepohonan besar lagi Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin lebar dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi, air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan yang membuang limbahnya di aliran anak sungai musi tersebut.

Reboisasi dan penghijauan dalam program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) yang dilakukan sejak tahun 2004 lalu yang menghabiskan dana Rp. 37,78 milyar lebih tidak tampak hasilnya. Bahkan, beberapa titik yang gundul menciptakan longsor dan erosi yang menggerus jalan, seperti longsor di beberapa titik di jalan raya antara Pendopo-Padang Tepong, Kecamatan Ulu Musi. Kawasan itu juga rawan banjir bandang.. Program gerhan Sumsel menargetkan merehabilitasi 109.730 Hektar gagal total karena program ini dibumbuhi oleh beberapa kasus korupsi baik dari pemenang tender maupun pemda yang menjadi fasilitatornya. Bukan rahasia lagi kalau tender-tender yang dimenangkan para pihak harus juga dapat menyetor kepada fasilitator.

Belum lagi proyek Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terhadap kawasan Tanjung Api-Api yang membuka kawasan Hutan Mangrove seluas 600 H2. Walaupun proses izin yang didapatkan melalui proses klausul yang tidak halal (istilah hukum) dan tentunya dianggap suatu perbuatan melanggar hukum karena adanya gravitasi. Terus akan dilaksanakan, sedangkan kita tahu dibeberapa provinsi lain sedang galak-galaknya untuk mengkonservasi kawasan pantainya dengan hutan mangrove untuk mencegah naiknya air laut ke daratan dan mencegah Tsunami. Kita ketahui bahwa Hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang dijadikan sebagai benteng terakhir masuknya air ke daratan, juga berfungsi sebagai ekosistem bagi organisme ikan dan beberapa hewan laut lainnya. Kita tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah, lebih mementingkan investasi yang masuk ataukah hak hidup bagi para manusia yang mendiami wilayah tersebut.

Bagaimana dibagian hilir, hancurnya kawasan Hulu DAS Sungai Musi diperparah lagi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kota Palembang dengan memberikan keleluasaan bagi para pengembang perumahan untuk memanfaatkan lahan rawa sebagai areal pembangunan perumahan. Dampak yang telah dirasakan saat ini di beberapa titik penimbunan rawa terbaru antara lain ada di jalan Soekarno-Hatta, sebelah Hotel Novotel, jalan R Sukamto, di belakang lapangan golf Kenten, Perumnas sako dan beberapa kawasan lain merupakan areal yang menjadi langganan banjir setiap musim penghujan.

Keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa lebih mengedepankan bagaimana Pemerintah Kota Palembang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dimana didalamnya mengatur besaran perhektar yang didapatkan pemkot dari pengembang apabila ingin memanfaatkan rawa, untuk luas 0- 1.000 m2 dengan jarak 0-100 m dari daerah milik jalan (DMJ) biayanya sebesar Rp10 juta dan untuk jarak dari DMJ di atas 100 meter sebesar Rp5 juta.Sementara, lanjut dia, untuk luas rawa di atas 1.000 m2 dengan luas 1.000-5.000 m2 biaya Rp5 juta, luas 5.000-10.000 m2 biaya Rp15 juta, luas 10.000รข€“20.000 m2 biaya 35 juta, dan di atas 20.000 m2 sebesar Rp50 juta.

Tindakan yang dilakukan kepada pengusaha, bukan hal yang substantive, yaitu sudahkan para pengembang mendapatkan IRR, sedangkan hal yang penting melakukan pengawasan terhadap pengembang yang telah mendapatkan izin, agar mereka membuat saluran dan pembuangan air terakhir yang layak yang tidak berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar tidak pernah dilakukan. Hal inilah yang berakibat setelah perumahan baru berdiri air akan menggenangi pemukiman masyarakat yang terdapat disekitar perumahan tersebut.

Berkaca pada perda kota Palembang sebelumnya yaitu Perda No.13 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa. Pada Perda No.5 Tahun 2008, Pemerintah Kota Palembang juga menambahkan porsi bagi pengembang untuk menggarap lebih banyak lagi rawa. Pada Perda 13 tahun 2003, rawa yang dapat dibangun hanya seluas 1000 M2 , sedangkan pada Perda No.5 Tahun 2008 pemerintah mengizinkan pengembang untuk membuka rawa diatas 20.000 M2. Nampak jelas bahwa Perda yang dibuat hanya memikirkan bagaimana pemerintah Kota Palembang dapat menmbah PAD-nya tanpa memikirkan ekologi kawasan tersebut.

Dari fakta hulu dan hilir yang terus semakin parah dan juga fakta kerugian yang terus melanda masyarakat dari banjir dan longsor yang terus terjadi, tanpa adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah menyangkut masalah lingkungan, bukan tidak mungkin Palembang yang merupakan daerah hilir lambat laun akan seperti sediakala dimana seluruh wilayahnya akan tergenang air dan hanya menyisakan beberapa titik wilayah daratan. Apakah hal ini akan terus di diamkan ? menunggu murka alam yang terus menelan korban dan kerugian harta benda.

Perlu solusi tepat dan cepat dalam menyikapi permasalahn ini, dengan membuang seluruh pikiran yang hanya mementingkan keuntungan sesaat, kita harus baerkaca pada pengalaman pahit yang telah terjadi selama ini, berapa nyawa yang harus dikorbankan lagi, apakah dosa-dosa kita pada alam saat ini harus ditanggung anak cucu kita kemudian.

Adapun solusi yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu :
  1. Segera revisi beberapa kebijakan pemerintah daerah dengan menjadikan Undang-Undang Lingkungan hidup sebagai payung utama dari kebijakan-kebijakan lain, karena selama ini Undang-Undang Lingkungan hanya dijadikan sebagai pelengkap. Dapat kita ambil contoh kebijakan perkebunan, kehutanan, pertambangan dan kebijakan lainnya otomatis akan berimbas pada lingkungan. Jika hanya bertumpuh pada satu Undang Undang yang dijadikan acuan hal inilah yang memberikan jalan keluar bagi setiap perusak lingkungan menghancurkan ekologi. Tentunya selain revisi peraturan undang-undang ini, dalam hal pelaksanaan perlunya pengawasan yang ketat.
  2. Cukuplah untuk “menghimbau, mengingatkan” pada pelaku perusak lingkungan. Langkah kongrit yang perlu dilakukan adalah dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu, karena fakta yang telah terjadi sudah sangat mengancam bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar.
  3. Jangan jadikan masyarakat bawah sebagai biang kerok dari permasalahan lingkungan, apakah selama ini pemerintah telah berperan aktif untuk mensosialisasikan perlunya lingkungan yang baik dan sehat, sejauh apakah yang telah dilakukan pemerintah selama ini memperhatikan hak-hak EKOSOB mereka.
  4. Ingat bahwa bumi ini merupakan titipan anak cucu kita nanti.





Selengkapnya...