WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Mei 31, 2009

Pemanasan Global akan Dua Kali Lebih Parah dari Prediksi Lalu

WASHINGTON: Dampak pemanasan global abad ini bisa jadi dua kali lebih parah daripada perkiraan enam tahun lalu, demikian laporan beberapa ahli pekan ini.

Temperatur rata-rata permukaan dapat naik 9,3 derajat fahrenheit (5,2 derajat celsius) sampai 2100, kata beberapa ilmuwan di Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Bandingkan dengan studi pada 2003 yang memproyeksikan temperatur rata-rata naik 4,3 derajat F (2,4 derajat celsius).

Studi baru tersebut, yang disiarkan di dalam Journal of Climate, American Meteorogical Society's, menyatakan, perbedaan dalam proyeksi itu ditimbulkan oleh contoh ekonomi yang meningkat dan data ekonomi yang lebih baru dibandingkan dengan skenario sebelumnya.

Peringatan sebelumnya mengenai perubahan iklim juga mungkin telah diselimuti oleh dampak pendinginan global berbagai gunung berapi Abad XX dan oleh buangan jelaga yang dapat menambah pemanasan.

Guna mencapai keputusan mereka, tim MIT itu menggunakan simulasi komputer yang memperhitungkan kegiatan ekonomi dunia serta proses iklim.

Semua proyek tersebut menunjukkan bahwa tanpa tindakan cepat dan besar-besaran, peringatan dramatis itu akan terjadi pada abad ini.

Hasil itu kelihatan jauh lebih parah jika tak ada yang dilakukan guna memerangi perubahan iklim, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya. Namun, terjadi lebih sedikit perubahan jika kebijakan kuat diberlakukan sekarang guna mengurangi buangan gas rumah kaca.

salah satu penulis studi tersebut Ronadl Prinn, "Ada resiko yang lebih besar dibandingkan dengan yang kami perkiraan sebelumnya. Ini ini meningkatkan mendesaknya dilakukannya tindakan darurat."

Studi itu disiarkan saat Presiden AS Barack Obama mengumumkan rencana penetapan standar buangan nasional buat mobil dan truk guna mengurangi polusi pemanasan global dan sistem perdagangan karbon untuk memangkas gas rumah kaca yang dibahas di Komite
Perdagangan dan Energi Senat. (Reuters/Ant/OL-04)


Selengkapnya...

Sabtu, Mei 23, 2009

Konflik Sumber Daya Hutan Dan Resolusinya


”Peluklah pohon-pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Kekayaan bukit-bukit kita, selamatkan dari penjarahan (Vandana Shiva)”

Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 Tentang “Kehutanan”, dijelaskan bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Selanjutnya disebutkan pula, sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 – yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan harus senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Dengan demikian terdapat dua kata kunci urgensi atau tujuan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH); yaitu kesejahteraan dan pelestarian. Umum mengetahui, selama kurun waktu orde baru berkuasa, hutan telah dijadikan sebagai salah satu sektor utama penghasil devisa negara yang dijarah tanpa terkendali. Praktek atau model yang diterapkan ketika itu, yang cendrung sentralistik, eksploitatif, tidak ada pengakuan atas hak adat/masyarakat lokal, tidak adanya supremasi hukum, tidak adanya ruang penyelesaian konflik (resolusi) – telah menyisakan berbagai persoalan struktural (kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial dan rentetan bencana lingkungan). Kekuasaan orde baru yang ditopang oleh kekuatan militer telah memaksa rakyat untuk menyerahkan hutannya, membatasi ruang/akses rakyat terhadap hutan yang sesungguhnya selama ini telah menghidupi mereka.

Situasi tersebut kemudian telah berdampak secara luas, baik terhadap asfek kemanusian maupun terhadap lingkungan hidup. Proses pemiskinan terhadap masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan, kenyataannya telah memunculkan persoalan-persoalan sosial tersendiri bagi masyarakat. Di sisi lain eksploitasi yang dilangsungkan telah turut pula menyokong kerusakan lingkungan dengan impak bencana-bencana ekologi yang mulai dirasakan oleh masyarakat saat ini.

Kondisi Hutan Tropis Di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di dunia setelah Brasil dengan hutan tropis Amazone-nya. Indonesia memiliki sebaran hutan tropis yang sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta hektar[1] Namun luas kawasan yang ditetapkan ataupun diklaim tersebut bukan merupakan jaminan bahwa kondisi hutan di Indonesia dalam keadaan baik dan aman.

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 setidaknya terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].[2]

Data tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi (kerusakan hutan alam) mencapai 2,4 juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir meningkat mencapai lebih dari tiga juta hektar per tahun. Seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami degradasi total dengan luasan sekitar 59 juta hektar.[3] Bahkan jika hendak dikalkulasikan, Indonesia telah menghancurkan wilayah hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap harinya, setara dengan luasan 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ’State of The World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Laporan ini juga menempatkan Indonesia, Meksiko, Papua dan Brasil dalam deretan nagara yang mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang waktu 2000 hingga 2005.[4]

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan oleh kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003]. Sementara ditahun 2007, WALHI Nasional mencatat telah terjadi 205 kali bencana, dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali.[5]

Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu kita fahami bagi sebagian masyarakat, hutan juga memiliki erat hubungannya dengan asfek religi[6], selain hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, serta menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan.. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, telah menyebabkan demoralisasi atau tereduksinya kebudayaan masyarakat, hilangnya sumber kehidupan, sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, telah pula semakin meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia, karena berdasarkan laporan khusus Down to Earth, juni 2002; diperkirakan setidaknya sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk Indonesia secara langsung menggantungkan hidup mereka pada hutan dan hasil jasa hutan.

Tanggung Jawab Pemerintah

Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara masyarakat dan sumber daya alam dan hutan sangatlah akrab. Manusia Indonesia di awal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.
Walaupun tidak memiliki sertifikat atau pengakuan tanah secara tertulis, masyarakat lokal/adat amat memahami bagaimana bentuk tradisional pengelolaan sumber daya alam/hutan mereka. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan berkelanjutan, terbukti masyarakat mampu berdikari atas penghidupan mereka. Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, akses masyarakat terhadap lahan dan hutan semakin dibatasi. Meski secara konstitusi, keberadaan masyarakat adat di akui oleh Negara, namun jika kita perhatikan alih-alih demi kepentingan pembangunan/investasi telah membatasi kesempatan masyarakat untuk memperoleh hak atas pemanfaatan lahan dan hutan.

Dengan kenyataan tersebut, sepertinya pemerintah masihlah setengah hati dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat/lokal yang berada atau berdiam di dalam dan sekitar hutan. Padahal penegasian terhadap keberadaan mereka, tentunya merupakan ancaman social yang kelak harus dibayar mahal oleh pemerintah, jika pemerintah sendiri tetap berpijak pada paradigma lama dalam pengelolaan SDA/Hutan. Dengan jumlah sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang mengelola lahan di sekitar dan di dalam hutan, merupakan potensi sosial yang tidak kecil jika keberadaan mereka terus dimarjinalisasi.

Memperhatikan dampak, khususnya efek sosial terhadap pembatasan rakyat untuk memperoleh manfaat dari kekayaan hutan, paska reformasi, muncul berbagai kebijakan yang memberi ruang keterlibatan masyarakat. Respon tersebut diawali dengan diterbitkannya SK Menhutbun No. 677/Kpts-/1998 tentang ”Hutan Kemasyarakatan (HKm)”, yang diperbaharui melalui SK No. 31/Kpts-II/2001. Selain itu Departemen Kehutanan juga menerbitkan Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004, tentang ”social forestry”. Selanjutnya di dalam PP No. 6/2007, pengganti PP 34/2002, yang kemudian direvisi menjadi PP 3/2008, tentang ”Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan hutan” – juga mengakomodir hak masyarakat, termasuk mereka yang tinggal dan berada di kawasan konservasi untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan, dalam bentuk HKm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan lain-lain.

Dengan dasar kebijakan tersebut, kemudian banyak Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Organisasi Rakyat (OR) mulai mendorong perwujudan partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Di Provinsi Lampung misalnya, pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan telah diimplmentasikan sejak tahun 1998. Pada waktu itu izin HKm pertama kali diberikan kepada dua kelompok masyarakat di kawasan hutan Register 19 Gunung Betung, dan pada tahun 1999 melalui SK Menteri Kehutanan No. 865/Kpts-II/1999, kebijakan ditekankan pada pemanfaatan kawasan hutan Negara oleh masyarakat. Ketika itu, setidaknya pemerintah Propinsi Lampung melalui fihak Kehutanan, telah menetapkan pencadangan areal HKm seluas ± 291.727 ha yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 ha, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 ha dan Hutan Produksi seluas 33.360 ha yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota di Propinsi Lampung.[7]

Selain di Provinsi Lampung, beberapa propinsi lainnya juga mengimplementasikan hal yang serupa, dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan di kawasan hutan Negara. Di Sumut-Aceh, Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 227/95 yang kemudian diganti dengan Keppres No. 33/1998 – tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Ekosistem Leuser – dan terdapat lagi beberapa contoh keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.[8]

Bagaimana dengan provinsi Sumatera Selatan?. Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa kawasan hutan Sumatera Selatan seluas 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Luas kawasan hutan Sumsel tersebut terdiri dari; Hutan Lindung seluas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar.[9]

Dari luas kawasan hutan yang ada di Sumsel tersebut, berbeda dengan beberapa contoh di provinsi lain, senyatanya akses pengelolaan rakyat terhadap sumber daya hutan begitu dibatasi oleh pemerintah. Malah terjadi di banyak tempat, pengusiran terhadap masyarakat kerap dilakukan. Dengan alasan proteksi terhadap kawasan hutan dan pengembangan investasi, banyak masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan telah dipaksa menyingkir. Tidak jarang kebijakan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sesungguhnya tidaklah lagi tepat untuk diterapkan dalam situasi politik saat ini.[10]

Berbanding terbalik dengan pembatasan rakyat terhadap akses lahan dan hutan, sebaliknya pemerintah justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kelompok investasi menjamah kehidupan hutan Sumsel. Berbagai bisnis seperti Pertambangan, HTI, dan perkebunan kelapa sawit terus digalakkan, yang celakanya usaha-usaha tersebut justru berada di dalam kawasan hutan yang semestinya tidak diperuntukkan bagi kepentingan bisnis/industri[11]

Orientasi pengelolaan hutan selama ini yang cendrung hanya diperuntukkan bagi kepentingan bisnis, dengan mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat, pada prakteknya telah memunculkan banyak konflik dan keresahan sosial. Deretan kasus agraria[12] yang berhubungan dengan pembatasan ruang rakyat untuk memperoleh akses kelola terhadap hutan, semakin menjadikan masyarakat semakin sulit dan terjepit. Tidak jarang dari sengketa tersebut, beragam persoalanpun banyak menyertai kehidupan masyarakat, seperti; mendekam dalam kurungan penjara, predikat sebagai daftar pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan mental. Bahkan diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak mempertahankan sejengkal wilayah dan tanah penghidupannya.[13]

Realitas telah mengguratkan, masyarakat selalu berada pada pihak yang dimarjinalkan kepentingannya, khususnya jika modal telah mulai bekerja. Pembatasan dan Penggusuran hak masyarakat selalu menyertai setiap berjalannya program investasi. Keadilan bukanlah hal yang mudah masyarakat dapatkan, karena terjadi di banyak tempat, rakyat harus mengalami nasib semakin dijauhkan dari sarana pokok produksi kehidupannya (lahan dan hutan). Tidak hanya sebatas itu, teror, intimidasi, dan pengkriminalan, merupakan hal yang selalu diterima. Alih-alih demi investasi, selalu menjadi senjata pemerintah dalam memaksakan kehendak terhadap rakyatnya.

Memperhatikan persoalan konflik penguasaan sumber daya hutan di Sumatera Selatan saat ini yang tengah berada pada situasi yang cukup memprihatinkan, sudah selayaknya bagi Bupati/Walikota, dan Gubernur untuk memberi ruang yang luas bagi rakyat untuk memperoleh akses kelola dan manfaat dari kekayaan hutan Sumsel. Hal ini penting dilakukan oleh pemerintah, karena hilangnya hak atas akses kelola terhadap lahan dan hutan, secara nyata dapat berakibat kepada merebaknya kemiskinan yang selanjutnya akan melahirkan serta meningkatnya kriminalitas dan kekacauan.

Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui penggunaan cara-cara kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat lagi untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan memperkental kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan bahwa di bawah sebuah kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam gemilang penderitaan dan kekerasan. Hal itu pula yang membuat rakyat selalu gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi alamnya, maupun potensi dirinya.

Dalam konteks inilah, dengan belajar dari pengalaman pengurusan hutan selama ini yang diakibatkan oleh kebijakan yang keliru. Untuk itu, memberikan akses pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada masyarakat, khususnya masyarakat lokal, adalah solusi dalam mengatasi berbagai persoalan sosial yang kerap muncul selama ini, termasuk masalah ekologi akibat hancurnya hutan kita.

Dengan adanya spirit dari para fihak, khususnya pemerintah dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan, tinggal lagi diperlukan beberapa pra syarat yang perlu dipersiapkan, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola hutan oleh masyarakat; (2) Organisasi masyarakat yang kuat, solid, dan terarah; (3) Kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan.

Pemenuhan terhadap prasyarat tersebut merupakan sebuah agenda yang membutuhkan perjuangan yang tidaklah mudah. Di dalamnya diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk merealisasikannya. Namun hal ini wajib dilakukan, agar keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi tidaklah hanya sekedar sajian retorika dan jargon semata.


Ditulis oleh Anwar sadat Walhi sumsel 


[1] Data luasan hutan departemen kehutanan RI; disampaikan pertama kali oleh Presiden Soeharto dalam pidato tanpa teks tahun 1961 di Solo

[2] WALHI; Hutan Indonesia menjelang kepunahan

[3] Pernyataan Menhut setelah rapat paripurna Kabinet Indonesia Bersatu, di Kantor Kepresiden, dalam rapat kabinet yang membahas pemaparan Menteri yang berkaitan dengan lingkungan hidup
[4] Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Dephut yaitu 2,8 juta ha/thn. Indonesia masih di bawah Bazil yang menempati empat pertama dengan kerusakan 3,1 jt ha/thn, dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0,6%
[5] Di Sumatera Selatan, pada tahun 2008, WALHI Sumsel mencatat sedikitnya telah terjadi 41 kali banjir, dimana di tahun 2009 terhitung sejak bulan Januari hingga April, telah terjadi 24 kali banjir (diperkirakan ke depan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap bencana di daerah ini). Akibat dari bencana banjir ini berbagai sumber penghidupan masyarakat, seperti sawah, ladang dan perkebunan rakyat (sawit, karet, dan jagung) terpaksa hilang dan terancam. Ditahun lalu terhitung sedikitnya 11 ribu ha sawah petani di Sumsel rusak dan terancam puso (gagal panen). Jika di dalam 1 hektarnya petani menderita kerugian sekitar 2 juta, maka diperkirakan total kerugian yang menimpa petani mencapai angka 22 milyar. Hal itu belum dihitung dengan berbagai kerugian material lainnya, seperti; ratusan rumah masyarakat yang harus terbenam hingga menyebabkan ribuan orang harus mengungsi, ribuan rumah terendam termasuk berbagai fasilitas umum, seperti jalan desa, jalan lintas, jembatan, sekolahan, dan tempat ibadah. Akibat bencana banjir tersebut pula, di beberapa tempat telah menyebabkan pasokan sayur-mayur menjadi terhambat, yang berpengaruh kepada meningginya harga akibat menipisnya stok atau persediaan. Diperparah lagi, banjir juga telah mengisolasi perkampungan masyarakat, termasuk sulitnya ribuan orang untuk memperoleh air bersih (bencana banjir di OKU Timur di Bulan Februari 2008 yang melanda 46 Desa di 13 Kecamatan).
[6] salah satunya bagi Warga Benakat di Kabupaten Muara Enim – Suamtera Selatan. Di wilayah tersebut terdapat “Hutan Larangan Rimbo Sekampung”. Kawasan hutan larangan Rimbo Sekampung merupakan hutan milik marga Benakat yang keberadaannya dilindungi secara adat. Hutan tersebut secara resmi dikukuhkan pada 26 April 1920, yang oleh pemerintah Belanda memang diperuntukkan bagi masyarakat Benakat. Pada 25 Oktober 1932 pemerintah Belanda menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan cadangan (boschwezen), sehingga luas keseluruhan hutan larangan Rimbo Sekampung adalah 3.000 ha. Namun sejak sejak tahun 1992 PT. MHP menjarah hutan milik masyarakat tersebut.

[7] WATALA; Kepastian pengelolaan dikawasan hutan Negara, pengalaman belajar bersama di Sumber Jaya, Lampung
[8] Sulaiman N. Sembiring

[9] Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan (Informasi pembangunan kehutanan dan GERHAN - Dishut Provinsi Sumsel, 2005). Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008, berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha (catatan akhir tahun dan siaran pers bersama WALHI Sumsel dan Wahana Bumi Hijau
[10] Salah satunya seperti yang terjadi terhadap masyarakat di dalam kawasan SM Bentayan – MUBA. Masyarakat di sana tinggal dan menetap di dalam kawasan tersebut sejak tahun 1997. Saat pertama kali masyarakat datang, kondisi wilayah telah menjadi padang ilalang akibat aktifitas massif illegaloging. Pada tanggal 29 Oktober 2004 Tim Gabungan dari Polda Sumsel dan BKSDA Sumsel melakukan operasi penertiban Ilegal Logging. Namun dalam operasi tersebut tidak satupun pelaku penebangan hutan ilegal yang ditangkat, team gabungan malah menangkap 6 ( Enam ) orang masyarakat Gersik Belido yang bukan merupakan target operasi. Setelah melalui proses perjuangan yang cukup panjang, masyarakat dijanjikan akan direlokasi, dan sambil mencari tempat yang tepat bagi warga di sana untuk pindah, masyarakat diperbolehkan menetap dan berusaha di dalam kawasan. Namun pada akhir tahun 2007, BKSDA bersama Polda Sumsel kembali melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan, pembakaran rumah warga, serta penjarahan harta benda warga
[11] Di Kabupaten MUBA kita dapat menyaksikan, sepanjang jalan Palembang – Jambi, di Desa Peninggalan dan Simpang Tungkal Kecamatan Bayung Lincir, berdiri perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB). Perusahaan tersebut diperkirakan telah mencaplok hutan konservasi SM Bentayan hingga mencapai ribuan hektar. Demikian juga terjadi di Kabupaten Lahat, beberapa perusahaan Pertambangan beroperasi di dalam kawasan hutan konservasi, HL, dan HP, dimana perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki izin.
[12] Dalam kurun waktu 19 tahun sejak 1989 hingga tahun 2008, setidaknya di Sumatera Selatan terdapat 244 kasus sengketa tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural.
[13] Di Kabupaten OKI, sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dibeberapa desa dengan PT. Persada Sawit Mas (PSM) telah menyebabkan dua orang meninggal dunia, 23 orang dipenjarakan, dan puluhan orang distatuskan sebagai DPO. Sementara di Muba, sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. SMB selain telah menyebabkan enam orang dipenjara, beberapa orang mengalami defresi karena tanah penghidupannya diserobot perusahaan, hingga akhirnya meninggal dunia. Situasi demikian, banyak pula terjadi dibanyak tempat di tanah air dan di daerah ini.






Selengkapnya...

CAR FREE DAY DAN TRANSPORTASI MASSAL TIDAK CUKUP UNTUK MENGATAKAN PEMKOT PEDULI LINGKUNGAN

22 Mei 2009 BLH Palembang jalan Lunjuk Jaya No 2 Palembang mengadakan acara Diskusi tentang Program – program yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang dalam meningkatkan Kualitas udara di Kota Palembang,

Kepala Dinas Badan Lingkungan Hidup ( BLH) Palembang Ir. H Kms Abubakar MM, mengatakan bahwa acara ini diselengarakan sehubungan dengan kedatangan Direktur eksekutif Swiss Contact Foundation dan Manager clean Air initiative For asian cities center manila Policy and Partnershis terkait dengan Proyek Clean Air For smaller Cities In ASEAN Region yang dibiayai oleh ASEAN GERMAN Technical Cooperation ( GTZ ).selain dari NGO Internasional tersebut acara ini juga dihadiri oleh Dinas Perhubungan Palembang, Bapedda Palembang dan NGO Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan Walhi sumsel.

Berdasarkan Keterangan dari DisHub dan BLH Palembang bahwa Guna Mengurangi Pencemaran udara yang dihasilkan dari Gas Buang Kendaraan Bermotor di Perkotaan., Pemerintah Kota Palembang telah melaksanakan program Car Free Day ( Hari bebas Kendaraan Bermotor ) yang diberlakukan oleh Pemkot setiap hari Sabtu dan Minggu dengan lokasi Taman Kambang Iwak dari Pukul 06.00 wib – 09.00 Wib, dan dalam waktu dekat ini juga ( red : Bulan juni) CFD akan diperluas lagi di daerah Benteng Kuto Besak dan Jalan Jenderal Sudirman tepatnya dari Depan International Plaza sampai dengan Pasar Cinde. Selain program tersebut ditambahkan oleh Abubakar, Pemkot dan Dinas Perhubungan Kota Palembang akan mencabutan 100 buah Izin Trayek bus Kota yang ada di Kota Palembang digantikan oleh 30 bus Ramah Lingkungan yang Berbahan Bakar Gas dengan Trayek angkutannya yaitu Bandar Udara – PIM, Kambang Iwak – Sako dan Jakabaring – KM 12, untuk realisasi Program ini pada Bulan Juni.

Menanggapi pemaparan Program Pemerintah Kota Palembang tersebut dalam hal meningkatkan Kualitas Udara, Walhi Sumsel Melalui Manager Pengembangan Sumber Daya Organisasi ( PSDO) Hadi Jatmiko, ST yang menghadiri acara tersebut Mengatakan bahwa Sebuah Kesalahan Besar yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang dan Dinas terkait yang memberikan stempel bahwa penyebab Polusi terbesar di Perkotaan adalah Emisi dari gas Buang Kendaraan Bermotor menurut Walhi Penyumbang Polusi terbesar adalah Pabrik dan industri yang ada di dalam Kota Palembang seperti PT. PUSRI, PERTAMINA, Semen Baturaja dan lainnya dari itu maka Pemkot harus segera Memindahkan Pabrik Pabrik tersebut dan mengawasi Gas Buang atau Limbah yang dikeluarkan oleh industri,Hadi juga mengatakan Pemerintah dalam Hal ini BLH tidak pernah melakukan pengecekan dan pengukuran langsung ke Lokasi, BLH selama ini hanya menerima laporan pengukuran yang di berikan oleh perusahaan yang itupun tidak rutin diberikan dan terindikasi Hasilnya di Manipulasi oleh Perusahaan.

Hadi juga Menambahkan bahwa pada dasarnya Walhi memberikan Apresiasi kepada pemkot yang telah melaksanakan Program CFD dan Pengadaan Transportasi massal guna meningkatkan Kualitas Udara di kota Palembang Namun ada beberapa catatan untuk program pengadaan transportasi massal yaitu Sopir sopir dari kendaraan Bus yang di cabut trayeknya tersebut harus dipekerjakan sebagai sopir Bus dari program ini, serta menurut nya juga 2 program yang dilakukan oleh Pemkot tersebut tidaklah Cukup memperlihatkan bahwa Pemkot palembang telah peduli terhadap Lingkungan Hidup karena jika memang Pemkot berkomitmen untuk mengurangi pencemaran atau meningkatkan Kualitas Udara, caranya adalah dengan melakukan Pembatasan Pemakaian dan Kepemilikan kendaraan Pribadi yang contohnya adanya aturan dalm 1 keluarga tidak boleh memiliki Mobil lebih dari 1 dan Motor tidak boleh lebih dari 2 buah, serta Pemkot harus segera Merealisasikan Ruang terbuka Hijau seluas 30 % dari jumlah Luas Kota palembang 40.061 ha sesuai dengan Mandat Undang Undang No 26 Tahun 2007 dengan catatn Tidak mengusur Pemukiman dan usaha Penduduk Miskin sehingga jika RTH ini direalisasikan, kebutuhan Oksigen 2,5 Kg setiap harinya bagi 1 orang Penduduk di palembang dapat terpenuhi.

Menyinggung atas kedatangan Direktur Eksekutif Swiss Contact Foundation dan Manager clean Air initiative For asian cities center manila Policy and Partnershif tersebut yang selain mencari masukan terhadap program program yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palembang dalam meningkatkan Kualitas udara serta akan memberikan bantuan kepada Pemerintah Kota Palembang dan Dinas yang terkait, Alumni Teknik Elektro UMP Hadi Jatmiko menggatakan, “Walhi Sumsel Mencurigai ada agenda tersembunyi atas program program tersebut yaitu mereka adalah perpanjangan tangan dari Japan Bank For International Coorperation ( JBIC) dan Asian Development Bank (ADB) guna memperlancar Investasi investasi mereka di Kota Palembang dalam hal Kendaraan Bermotor seperti yang telah terjadi dikota kota lain”pungkasnya(HJ)






Selengkapnya...

Selasa, Mei 19, 2009

Marak Pipa dan Sumur Migas Bocor di Sumsel

PALEMBANG -- Kasus kebocoran pipa dan sumur migas (minyak dan gas) di Sumatra Selatan (Sumsel) makin marak terjadi. Dalam dua pekan terakhir, tiga kasus kebocoran pipa migas terjadi di daerah ini.

Terhadap maraknya kasus tersebut di daerah ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel mengambil sanksi dan tindakan tegas terhadap PT Pertamina, termasuk subkontraktornya atau Technical Asisstance Contract (TAC).

Desakan tersebut disampaikan oleh Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Eksekutif Daerah Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, Ahad (17/5).

"Dari pemantauan Walhi, hanya dalam dua pekan, terjadi tiga kasus kebocoran pipa atau sumur migas. Kasus terakhir adalah kebocoran sumur gas milik PT Indo Jaya--TAC--PT Pertamina EP Region Sumatra di Desa Sukajaya, Kecamatan Abab, Kabupaten Muara Enim, yang terjadi sejak 11 Mei 2009,'' katanya.

Dua kasus kebocoran migas lainnya, menurut Hadi Jatmiko, terjadi pada 29 April 2009, yaitu bocornya pipa minyak mentah Pertamina Region Sumatra di Desa Ibul Besar, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir (OI).

Satu hari kemudian, 30 April 2009, kebocoran terjadi pada pipa minyak PT Pertamina di Kelurahan Sukajadi, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin. Minyak dari pipa yang dikelola PT Elnusa Worldwide Service (PT EWS) tumpah membasahi halaman rumah makan dan toko di daerah itu.

"Dari hampir semua kasus kebocoran dan pencemaran migas akibat kecerobohan perusahaan yang terjadi di Sumsel, Walhi Sumsel melihat tidak adanya tanggapan serius pemerintah dan perusahaan untuk meminimalkan risiko yang diderita masyarakat sekitar pipa atau sumur migas yang bocor," kata Hadi.

"Kebocoran sumur gas milik PT Indojaya TAC PT Pertamina yang menyebabkan menyemburnya minyak mentah bercampur gas setinggi 15 meter di Desa Sukaraja itu belum dapat di hentikan sehingga warga harus mengungsi," ujarnya.

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009, Walhi Sumsel mendata telah terjadi 35 kasus kebocoran pipa dan sumur migas di daerahnya, sembilan kasus di antaranya terjadi di Kabupaten Muara Enim.

Kebocoran pipa dan sumur migas yang sampai merusak lingkungan dan merugikan warga sekitarnya, menurut Hadi, melanggar UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup sehingga dapat dikenakan sanksi pidana."

"Kepada perusahaan atau kontraktor migas, Walhi Sumsel mendesak perusahaan memberikan hak-hak masyarakat yang lebih layak, terutama kepada yang menderita kerugian, termasuk pemulihan lokasi serta menjamin kejadian tersebut tidak terulang lagi. Perusahaan harus segera melakukan tindakan pemeriksaan rutin dan perawatan terhadap sumur-sumur migas dan mengganti pipa-pipa tua," ujarnya. (Koran Republika)




Selengkapnya...

Sabtu, Mei 16, 2009

Walhi Desak Pemerintah Tindak Tegas Perusahaan Perusak Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai perusahaan industri Minyak dan Gas khususnya yang ada di Sumatera Selatan ini tidak pernah konsisten mengelola sumber daya alam secara baik dan sehat. Tujuannya semata-mata mengeksploitasi sumber daya alam yang ada tanpa pernah serius memikirkan hidup dan kehidupan lingkungan dan masyarakat sekitar.


Selain itu, menurut Pengurus Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, Pemerintah tidak tegas dalam merespon persoalan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian perusahaan. Padahal sebagai penanggungjawab dan pembuat kebijakan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan, Pemerintah mempunyai otoritas untuk menindak pelaku kejahatan lingkungan.

Pernyataan Walhi ini menyikapi kasus bocornya pipa gas bumi di Sumatera Selatan yang disebabkan oleh kelalaian Pihak PT Pertamina dalam hal ini subkontraktor PT Indojaya dalam menjaga dan merawat sumur–sumur gas miliknya. "Untuk itu kami mendesak kepada perusahaan agar memberikan hak-hak masyarakat yang layak kepada yang menderita kerugian dan menjamin bahwa akan dilakukan pemulihan lokasi serta menjamin bahwa kejadian ini ini tidak akan terulang," pinta Hadi dalam siaran pers, Sabtu (16/5).

Dengan semakin meningkatnya intensitas pencemaran akibat bocornya pipa gas bumi di Sumatera Selatan akibat kelalaian PT Pertamina dalam menjaga dan merawat sumur–sumur gas miliknya, lanjut dia, Walhi mendesak Pemerintah Sumatera selatan untuk menindak tegas dan memberikan sanksi hukum terhadap PT Pertamina dan PT Indojaya atas kejadian yang telah berulang ulang kali dilakukan sesuai dengan Undang undang Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997 tentang penggelolaan Lingkungan Hidup

"Kita juga mengingatkan perusahaan-perusahaan migas lainnya yang ada di Sumatera selatan untuk segera melakukan tindakan pemeriksaan rutin dan perawatan terhadap sumur-sumur migas dan mengganti pipa-pipa tua yang sudah sangat tidak layak yang dimiliki perusahaan sehingga dapat membahayakan warga," ujarnya.

Sedangkan kepada setiap masyarakat yang menjadi korban pencemaran, Walhi mengingatkan bahwa mereka mempunyai hak untuk melakukan gugatan kepada perusahaan pencemar, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 pasal 34 ayat 1. (suara merdeka)




Selengkapnya...

Eco Fasis Bukan untuk Rakyat Kecil

BELUM genap 1 tahun umur duet kepemimpinan Ir. Eddy Santana Putra dan Romi Herton, SH (HERO) sebagai Walikota dan wakil walikota palembang ternyata tidaklah menghalangi pasangan ini untuk segera mengulangi kebiasaan gaya kepemimpinan lamanya, membuat kebijakan kebijakan yang tidak Populis dengan melakukan "Pemindahan" (baca:Penggusuran) terhadap Pedagang kecil dan pemukiman masyarakat kelas bawah.

Guna mengembalikan memori kita maka saya tuliskan beberapa kasus penggusuran di Palembang yang menyita perhatian banyak Orang,Tahun 2004 dimana sebanyak ± 1.000 Keluarga yang berada dijalan Rajawali dan kakak Tua harus kehilangan rumah yang telah mereka tempati puluhan tahun, selanjutnya tahun 2005 terjadi penggusuran oleh pemerintah kota palembang terhadap pedagang di pasar 16 dan seputarannya total korban berjumlah ± 2.000 orang/usaha. Terhadap penggusuran-penggusuran ini walaupun aksi protes telah dilakukan ternyata tidak dapat mengurungkan niat Pemerintah untuk menggusur, dan akhirnya para korban harus menelan pil pahit kekalahan dan merelakan rumah serta tempat usaha mereka harus diratakan dengan tanah.Mirisnya Semua penggusuran yang telah terjadi ternyata motifnya hanya untuk menghilangkan predikat Kota terkotor yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup di tahun 2005.

Kali ini kembali Pemerintah Kota Palembang akan melakukan Penggusuran terhadap kios-kios pedagang buah di Kelurahan 8 dan 9 Ulu, yang menurut penjelasan Walikota Palembang Ir. Eddy santana Putra kawasan tersebut akan dijadikan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH), adapun harapan dengan di jadikannya kawasan tersebut menjadi RTH mampu meminimalisir bencana banjir dan pencemaran udara yang sering terjadi di Kota Palembang. (Sriwijaya Post - 6 Mei 2009). Menjadi pertanyaan kita lantas mengapa hanya pedagang dari kelas bawah yang digusur? Sementara itu, para pemilik modal besar yang jelas-jelas mengalihfungsikan kawasan RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial tidak "disentuh" oleh program pembuatan RTH di Kota Palembang.

Sebelum jauh membahas tentang hal diatas ada baiknya kita mengetahui tentang Ruang Terbuka Hijau, adalah bagian dari Ruang Ruang Terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) serta mempunyai fungsi dan mamfaat secara ekologis, sosial dan estetika, di jelaskan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.

Dokumen RTRW kota palembang 2004-2014 porsi RTH yang ada di kota palembang tidak mencapai 5 % dari luas kota Palembang, sehingga sudah menjadi keharusan bagi pemkot Palembang untuk memperluas kawasan Ruang terbuka Hijau, namun tetap penggusuran pedagang Pasar Buah 8 dan 9 Ulu guna dijadikan Ruang Terbuka Hijau tidaklah dapat dibenarkan. Berdasarkan Data Walhi sumsel yang pernah dirilis oleh beberapa media cetak di Sumatera selatan menunjukkan kepada kita semua bahwa kawasan RTH di Palembang sebenarnya justru banyak dialihfungsikan menjadi kawasan komersial oleh pemodal pemodal besar, bukan dilakukan oleh pedagang kecil dan penduduk miskin lainnya yang telah puluhan tahun menetap dan mencari nafkah ekonomi di kota ini.

Ruang Terbuka Hijau yang ada dikawasan Rajawali (kawasan sungai Bayas dan sungai Bendung) misalnya dengan luas 16,72 Ha kini telah beralihfungsi menjadi lahan bisnis dan milik pribadi dengan dibangunnya puluhan ruko, supermarket serta lahan parkir kendaraan berat oleh PT. Berlian Maju Motor.

Hal serupa juga terjadi dikawasan Taman kota Kambang Iwak yang mempunyai luas sekitar 2 Ha, saat ini telah berubah fungsi menjadi kawasan bisnis dengan dibangunnya toko dan kafe-kafe, selanjutnya Ruang Terbuka Hijau dengan luas 21 Ha yang ada disimpang Patal ,kini telah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan Palembang Trade Center(PTC) parahnya alih fungsi lahan yang terjadi telah menyebabkan kawasan ini masuk dalam kawasan rawan banjir.

Pengalihfungsian RTH menjadi komersil secara besar-besaran oleh para pemilik modal besar sampai saat ini dan mungkin kedepan akan terus terjadi, dan pemerintah hanya menutup mata membiarkan semuanya. Sementara ketika sejumput RTH itu "dipakai" oleh para pedagang kecil, Pemerintah akan dengan tegas menggusurnya.

Penggusuran pedagang kecil yang ada di kelurahan 8 dan 9 Ulu dengan mengatasnamakan perluasan RTH adalah sebuah perwujudan dari ideologi eko-fasis, yaitu sebuah ideologi yang membenarkan adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan dengan dalih pelestarian lingkungan. Namun ternyata praktek ideologi ini hanya ditujukan kepada golongan masyarakat miskin yang tidak mempunyai modal dan kekuasaan. Sedangkan bagi orang-orang kaya atau korporat yang memiliki modal dan kekuasaan, meskipun merusak lingkungan dan melanggar aturan hukum, tidak pernah tersentuh oleh kekuasaan yang harusnya menegakan hukum dan melindungi rakyatnya dari dampak kerusakan lingkungan.

Sebenarnya saya pribadi sangatlah mendukung dengan praktek-praktek Ideologi Eco fasis yang dianut serta dilakukan oleh pemerintah Kota Palembang saat ini tetapi jika ideologi ini penerapannya dilakukan terhadap Korporat dan pemilik modal besar yang telah melakukan pengalihfungsian terhadap Ruang Terbuka Hijau yang ada di palembang.

Berikut contoh penerapan yang saya maksudkan misal Walikota Palembang menunjuk atau menginstruksikan bahwa lahan PT. Berlian Maju Motor yang ada di simpang Rajawali untuk dikembalikan lagi ke fungsi awalnya sebagai RTH, dan jika hal ini tidak dituruti atau diindahkan oleh pemilik modal atau perusahaan maka pemerintah segera memperkarakan perusahaan tersebut, karena telah melakukan pelanggaran Tata Ruang kota sebagaimana diatur dalam Undang undang Tata Ruang No 26 Tahun 2007. yang dipasal 72 terdapat aturan tentang sanksi yang harus diterima oleh korporat dan pemodal besar lainnya terhadap instruksi atau pelanggaran ini. Bukan Eco Fasis yang diterapkan terhadap tempat usaha yang dimiliki oleh masyarakat miskin (modal kecil) contohnya pedagang buah di kelurahan 8 dan 9 Ulu, yang untung dari usaha yang mereka lakukan sehari-hari hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Jika penerapan Eco Fasis yang telah digambarkan diatas dilaksanakan saya yakin akan dapat menekan laju kerusakan lingkungan di Kota Palembang dan meminimalisir bencana bencana banjir yang selalu terjadi di Kota Palembang serta meningkatkan kualitas udara yang semakin hari semakin mengalami penurunan. Serta secara politis masyarakat kecil akan dapat menilai bahwa apa yang dijanjikan oleh pasangan HERO tentang DAHSYAT (Dahulukan Kepentingan Rakyat) tidak hanya sebatas janji namun telah direalisasikan dalam bentuk kebijakan eco Fasis yang berpihak kepada masayarakat kecil.

Namun dari semua hal yang saya sebutkan diatas, kita dikembalikan kepada Walikota Ir Eddy Santana Putra, apakah sang walikota akan memilih Eco fasis yang berpihak kepada masyarakat kecil atau justru menggunakan eko-fasis yang sebaliknya.

Oleh : Hadi Jatmiko Manager PSDO Walhi Sumsel.





Selengkapnya...

Jumat, Mei 15, 2009

Pemerintah sumsel harus segera beri Sanksi Pidana terhadap PT. Pertamina

“ Pemerintah Sumsel harus segera memberikan sanksi Pidana terhadap PT. Pertamina dan sub Kontraktor nya yang telah berulang kali melakukan Kebocoran Migas dan Pencemaran Lingkungan ”

Permasalahan pencemaran oleh minyak bumi dan gas, akibat kecerobohan perusahaan terus saja terjadi di Sumatera Selatan namun tetap tidak ada tindakan serius dari pemerintah dan perusahaan untuk meminimalisir resiko yang dapat diderita masyarakat sehingga terus saja terjadi. Baru-baru ini, Kebocoran sumur gas terjadi kembali, sumur gas Tua 01 milik PT. Indojaya sub kontraktor PT. Pertamina yang menyebabkan menyemburnya Minyak Mentah bercampur Gas dan Air Asin setinggi 15 Meter di desa Sukaraja Kecamatan Abab Kabupaten Muara Enim, pada tanggal 11 Mei 2009 yang sampai dengan hari tanggal 15 Mei 2009 belum dapat di hentikan. Atas hal ini ada beberapa hal yang perlu kami uraikan :
  1. Bahwa PT. Pertamina Daerah Operasi Hulu (DOH) Sumbagsel yang melakukan eksplorasi minyak mentah di daerah tersebut telah melakukan kelalaian operasi.
  2. Pihak perusahaan, dalam hal ini PT. Pertamina dan PT. Indojaya sebagai sub kontraktor, sangat lamban dalam merespon Kejadian ini sehingga menimbulkan keresahaan di masyarakat ini dapat dilihat dari sejak munculnya semburan tanggal 11 sampai saat ini (15 Mei ) belum ada upaya yang maksimal yang dilakukan oleh perusahaan untuk menutup Kebocoran Gas tersebut.
  3. Bahwa kejadian tersebut telah sering terjadi berdasarkan Catatan Walhi sumsel sejak tahun 2000 s/d 2009 sedikitnya telah terjadi 35 kali, 9 kali terjadi di kabupaten Muara Enim yang semua kejadian kebocoran tersebut di dominasi oleh Kebocoran Minyak dan Gas yang dimiliki oleh PT. Pertamina.
  4. Bahwa dengan kejadian tersebut telah menimbulkan keresahaan dan kerugian warga Desa Sukajaya Kecamatan Abab Kabupaten Muara Enim baik secara moril/fsikis maupun material yang berakibat warga harus menghentikan aktififitas social ekonomi mereka.
  5. Bahwa Masyarakat Desa sukajaya Kecamatan abab Kabupaten Muara Enim diancam rasa khawatir untuk menghidupkan api terutama di kebun mereka. Kejadian ini jelas merupakan pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, karenanya dapat dikenakan sanksi pidana.

Dengan kondisi tersebut, Walhi Sumsel menilai bahwa perusahaan industri Minyak dan Gas khususnya yang ada di Sumatera Selatan ini tidak pernah konsisten untuk mengelola sumber daya alam yang baik dan sehat. Tujuan yang dilakukan adalah semata-mata bagaimana mengeksploitasi SDA yang ada tanpa pernah serius memikirkan hidup dan kehidupan lingkungan dan masyarakat sekitar. Dalam hal ini juga, Pemerintah sendiri tidak pernah tegas dalam merespon persoalan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kelalaian perusahaan. Padahal sebagai organisasi politik yang bertanggungjawab dalam mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, Pemerintah mempunyai otoritas untuk menindak pelaku kejahatan lingkungan. Untuk itu kami Menyatakan :

  1. Mendesak kepada perusahaan, agar memberikan ha-hak masyarakat yang layak kepada yang menderita kerugian dan menjamin bahwa akan dilakukan pemulihan lokasi serta menjamin bahwa kejadian ini ini tidak akan terulang.
  2. Dengan semakin meningkatnya intensitas pencemaran akibat bocornya pipa gas bumi di Sumatera Selatan yang disebabkan oleh kelalaian Pihak Perusahaan PT. Pertamina dalam menjaga dan merawat Sumur – sumur gas miliknya maka kami mendesak Pemerintah Sumatera selatan untuk menindak tegas dan memberikan sanksi Hukum terhadap PT. Pertamina dan PT. Indojaya atas kejadian yang telah berulang ulang kali dilakukan sesuai dengan Undang undang Lingkungan Hidup No 23 tahun 1997 tentang penggelolaan Lingkungan Hidup
  3. Menginggatkan kepada Perusahaan-Perusahaan Migas lainnya yang ada di Sumatera selatan untuk segera melakukan tindakan Pemeriksaan Rutin dan perawatan terhadap Sumur sumur Migas dan menganti pipa-pipa tua yang sudah sangat tidak layak yang dimiliki Perusahaan sehingga dapat membahayakan warga,
  4. Kepada setiap masyarakat yang menjadi korban pencemaran, mereka mempunyai hak untuk melakukan gugatan kepada perusahaan pencemar, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 pasal 34 ayat 1, yang berbunyi Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Contact Person :
Hadi Jatmiko : 0812 7312042




Selengkapnya...

WOC Dituding Sarat Pelanggaran HAM

MANADO -- Sekelompok organisasi masyarakat (ormas/NGO) menilai pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado, Sulut, sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

WOC itu sendiri mengusung tema "Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change" berlangsung di Manado, Sulawesi Utara, 11-14 Mei 2009, dan dilanjutkan dengan Coral Triangle Initiative (CTI) pada tanggal 15 Mei 2009.

Padahal, diadakannya ajang CTI yang dihadiri enam kepala negara tersebut bertujuan melindungi terumbu karang, sumber daya perikanan yang berkelanjutan, dan ketahanan pangan.

“WOC sarat dengan pelanggaran HAM dan memiliki agenda penggerusan kedaulatan sebuah negara melalui kesepakatan yang dihasilkan dalam WOC tersebut,'' ujar Dewan Nasional WALHI, Khalisah Khalid, yang bertindak sebagai juru bicara kelompok ormas, Selasa siang (12/5).

Karena itu, gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari gerakan lingkungan, hak asasi manusia dan organisasi petani dan organisasi nelayan menyerukan kepada negara-negara yang terlibat dalam WOC menarik delegasinya dari World Ocean Conference (WOC). ''Kami dari masyarakat sipil menyatakan tidak menyetujui deklarasi Manado yang akan disepakati dalam WOC,'' tambahnya.

Selain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sejumlah ormas yang memprotes ajang WOC dan CTI tersebut - Friends of The Earth Internasional (FOEI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Keadilan Rakyat untuk Perikanan (KIARA), AMMALTA, YSN, PKP2M, COMMIT, Koalisi Anti Utang, SINAR, SEAFish, Perkumpulan Kelola, KPNNI, Institut Hijau Indonesia, Sarekat Hijau Indonesia, KontraS, LBH Jakarta, IHCS, PBHI, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch dan KpSHK.

Dalam penjelasannya, Khalisah mengatakan, WOC sarat dengan pelanggaran hak sipil dan politik (Sipol). Contohnya, suara nelayan tradisional tidak diberikan tempat untuk menyuarakan hak-hak dasarnya, tindakan repressif aparat kepolisian yang membubarkan penyelenggaraan kegiatan masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan, aksi penangkapan terhadap aktifis dan deportasi kepada nelayan dan aktifis lingkungan yang sedang menyuarakan hak-hak dasar dan krisis yang dialami oleh masyarakat nelayan yang tidak pernah menjadi perhatian WOC.

''Praktek-praktek yang dilakukan oleh aparat keamanan mencerminkan bahwa Negara telah mengabaikan hak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.

Indikasi pelanggaran hak sipil dan politik juga berpotensi kuat akan terjadi, ketika negara dan delegasi negara-negara mengambil kesepakatan yang tidak pernah melibatkan masyarakat pesisir atau nelayan, dan nelayan akan terancam kriminalisasi oleh aparat keamanan karena melanggar kesepakatan yang dibuat oleh negara. Padahal selama ini, nelayan tradisional diabaikan dan hak-hak kelola tradisionalnya tidak diakui oleh negara dan actor-aktor yang terlibat dalam WOC.

Khalisah menambahkan, selain pelanggaran HAM diatas, WOC juga melakukan pelanggaran hak ekonomi, social dan budaya (ekosob). Ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang melarang nelayan melaut sepanjang pelaksanaan WOC.

''Jika demikian, jargon WOC sebagai forum dunia untuk kepentingan rakyat jauh dari kenyataan. WOC justru jauh dari potret krisis kelautan dan krisis yang dirasakan oleh nelayan,'' tegasnya.

Persoalan-persoalan pokok yang dilupakan dalam kedua pertemuan internasional ini bertolak dari hak-hak konstitusional nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, baik laki-laki maupun perempuan. Jika WOC melenggang mulus dengan agendanya, nasib nelayan yang menjadi lumbung dan penyedia protein tersingkir dari ruang hidupnya dan semakin menenggelamkan nelayan dalam kemiskinan.

Bagi gerakan masyarakat sipil, khususnya gerakan lingkungan dan nelayan di Indonesia, WOC tidak lebih hanya menjadi alat untuk melegitimasi liberalisasi sumber daya laut dan semakin memiskinkan nelayan oleh berbagai kebijakan pembangunan. WOC merupakan ancaman yang serius bagi kedaulatan negara-negara maritim seperti Indonesia. Proyek CTI sesungguhnya menjadi legitimasi oleh pengurus Negara untuk “menjual” kekayaan laut Indonesia.

Sedangkan, CTI sebagai sebuah inistiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan Negara kepulauan seperti Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC - CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi.

Bukti terakhir adalah dari perluasan konservasi laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektar, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerjasama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu tradisonal paus sejak April 2009, ini menjadi indikator untuk menjelaskan nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka.

Selanjutnya, indikasi pasar bebas konservasi ini terkait dengan pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Programme, kerjasama WWF, TNC dan CI dan lainnya dengan lembaga keuangan internasional dan perusahaan tambang migas seperti Shell, Rio Tinto, Nwmont dan Anglo American.

Program ini, menurut Khalisah, akan menjadi pemakluman pembongkaran kawasan konservasi menjadi kawasan pengerukan bahan tambang melalui skema kompensasi keragaman hayati (biodiversity offset). ''Melihat dari sini jelas, agenda WOC juga semakin melegalkan pembuangan limbah atau tailing ke laut negara-negara kepulauan dan Negara-negara dunia ketiga,'' jelasnya.

Untuk itulah, Gerakan masyarakat sipil di Indonesia juga mengutuk keras tindakan repressif orde baru yang masih dipraktekkan oleh pemerintah SBY-JK, untuk membungkam suara kritis rakyat yang menyampaikan pendapatnya dimuka umum yang sesungguhnya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi Negara.(republika)





Selengkapnya...

Spesies Burung di Daftar Merah Bertambah

Daftar Merah spesies terancam yang dikeluarkan Persatuan Conservasi Alam Internasional (IUCN, menyebut lebih dari sekitar 10 persen seluruh spesies burung--jumlah total 1.277-- dalam kondisi terancam musnah.

Dari jumlah tersebut, terdapat 192 jenis yang termasuk kategori 'sangat kritis' yang berarti mereka menghadapi resiko luar biasa besar alami kepunahan di alam liar.

Jumlah burung dalam kategori 'sangat kritis' tersebut meningkat hingga sembilan jenis pada tahun ini sementara jumlah yang turun dari kategori tersebut hanya tujuh jenis, itu artinya ada tambahan dua jenis yag masuk kategori lebih serius tersebut.

Di antara mereka yang ditambahkan dalam daftar ada spesies kolibri berwarna yang hanya ditemukan baru-baru ini di Kolombi. Sebagian habitat kecilnya, yang hanya seluas 1.200 hektar, di kanopi hutan rentang pegunungan Pinche, dirusak untuk fungsi pertanian coklat.

Sidamo Lark, spesies burung khas di Etophia juga berpindah dari terancam naik menjadi "sangat kritis", karena menghadapi ancaman kepunahan burung daratan Afrika yang pertama akibat perubahan penggunaan lahan.

Dan pada ulang tahun ke-150 buku The Origin of Species, Charles Darwin, yang menyajikan kumpulan bukti dari Galapagos, salah satu pulau spesies burung, burung Finch pohon sedang, juga telah terdaftar dalam kategori 'sangat kritis' untuk pertama kalinya.

Spesies-spesies itu terancam oleh lalat parasit dan karena burung tersebut memiliki area kecil terbatas, setiap ancaman membuat burung mudah diserang, demikian menurut Internasional BirdLife.

Simon Stuart, kepala komisi daya hidup spesies IUCN, sangat kecewa mengetahui lebih banyak burung kini masuk dalam daftar 'sangat kritis' terlepas dari upaya yang dilakukan seluruh dunia untuk melindungi habitat burung.

"Sangat luar biasa menghawatirkan melihat jumlah burung sangat kritis di dalam Daftar Merah IUCN terus bertambah terlepas keberhasilan inisiatif konservatif yang dilakukan di seluruh dunia," ujarnya

Sumber : Republika




Selengkapnya...