WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Mei 23, 2009

Konflik Sumber Daya Hutan Dan Resolusinya


”Peluklah pohon-pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Kekayaan bukit-bukit kita, selamatkan dari penjarahan (Vandana Shiva)”

Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 Tentang “Kehutanan”, dijelaskan bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Selanjutnya disebutkan pula, sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 – yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan harus senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.

Dengan demikian terdapat dua kata kunci urgensi atau tujuan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH); yaitu kesejahteraan dan pelestarian. Umum mengetahui, selama kurun waktu orde baru berkuasa, hutan telah dijadikan sebagai salah satu sektor utama penghasil devisa negara yang dijarah tanpa terkendali. Praktek atau model yang diterapkan ketika itu, yang cendrung sentralistik, eksploitatif, tidak ada pengakuan atas hak adat/masyarakat lokal, tidak adanya supremasi hukum, tidak adanya ruang penyelesaian konflik (resolusi) – telah menyisakan berbagai persoalan struktural (kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial dan rentetan bencana lingkungan). Kekuasaan orde baru yang ditopang oleh kekuatan militer telah memaksa rakyat untuk menyerahkan hutannya, membatasi ruang/akses rakyat terhadap hutan yang sesungguhnya selama ini telah menghidupi mereka.

Situasi tersebut kemudian telah berdampak secara luas, baik terhadap asfek kemanusian maupun terhadap lingkungan hidup. Proses pemiskinan terhadap masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan, kenyataannya telah memunculkan persoalan-persoalan sosial tersendiri bagi masyarakat. Di sisi lain eksploitasi yang dilangsungkan telah turut pula menyokong kerusakan lingkungan dengan impak bencana-bencana ekologi yang mulai dirasakan oleh masyarakat saat ini.

Kondisi Hutan Tropis Di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di dunia setelah Brasil dengan hutan tropis Amazone-nya. Indonesia memiliki sebaran hutan tropis yang sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta hektar[1] Namun luas kawasan yang ditetapkan ataupun diklaim tersebut bukan merupakan jaminan bahwa kondisi hutan di Indonesia dalam keadaan baik dan aman.

Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 setidaknya terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].[2]

Data tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi (kerusakan hutan alam) mencapai 2,4 juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir meningkat mencapai lebih dari tiga juta hektar per tahun. Seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami degradasi total dengan luasan sekitar 59 juta hektar.[3] Bahkan jika hendak dikalkulasikan, Indonesia telah menghancurkan wilayah hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap harinya, setara dengan luasan 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ’State of The World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Laporan ini juga menempatkan Indonesia, Meksiko, Papua dan Brasil dalam deretan nagara yang mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang waktu 2000 hingga 2005.[4]

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan oleh kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003]. Sementara ditahun 2007, WALHI Nasional mencatat telah terjadi 205 kali bencana, dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali.[5]

Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu kita fahami bagi sebagian masyarakat, hutan juga memiliki erat hubungannya dengan asfek religi[6], selain hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, serta menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan.. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, telah menyebabkan demoralisasi atau tereduksinya kebudayaan masyarakat, hilangnya sumber kehidupan, sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, telah pula semakin meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia, karena berdasarkan laporan khusus Down to Earth, juni 2002; diperkirakan setidaknya sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk Indonesia secara langsung menggantungkan hidup mereka pada hutan dan hasil jasa hutan.

Tanggung Jawab Pemerintah

Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara masyarakat dan sumber daya alam dan hutan sangatlah akrab. Manusia Indonesia di awal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.
Walaupun tidak memiliki sertifikat atau pengakuan tanah secara tertulis, masyarakat lokal/adat amat memahami bagaimana bentuk tradisional pengelolaan sumber daya alam/hutan mereka. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan berkelanjutan, terbukti masyarakat mampu berdikari atas penghidupan mereka. Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, akses masyarakat terhadap lahan dan hutan semakin dibatasi. Meski secara konstitusi, keberadaan masyarakat adat di akui oleh Negara, namun jika kita perhatikan alih-alih demi kepentingan pembangunan/investasi telah membatasi kesempatan masyarakat untuk memperoleh hak atas pemanfaatan lahan dan hutan.

Dengan kenyataan tersebut, sepertinya pemerintah masihlah setengah hati dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat/lokal yang berada atau berdiam di dalam dan sekitar hutan. Padahal penegasian terhadap keberadaan mereka, tentunya merupakan ancaman social yang kelak harus dibayar mahal oleh pemerintah, jika pemerintah sendiri tetap berpijak pada paradigma lama dalam pengelolaan SDA/Hutan. Dengan jumlah sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang mengelola lahan di sekitar dan di dalam hutan, merupakan potensi sosial yang tidak kecil jika keberadaan mereka terus dimarjinalisasi.

Memperhatikan dampak, khususnya efek sosial terhadap pembatasan rakyat untuk memperoleh manfaat dari kekayaan hutan, paska reformasi, muncul berbagai kebijakan yang memberi ruang keterlibatan masyarakat. Respon tersebut diawali dengan diterbitkannya SK Menhutbun No. 677/Kpts-/1998 tentang ”Hutan Kemasyarakatan (HKm)”, yang diperbaharui melalui SK No. 31/Kpts-II/2001. Selain itu Departemen Kehutanan juga menerbitkan Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004, tentang ”social forestry”. Selanjutnya di dalam PP No. 6/2007, pengganti PP 34/2002, yang kemudian direvisi menjadi PP 3/2008, tentang ”Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan hutan” – juga mengakomodir hak masyarakat, termasuk mereka yang tinggal dan berada di kawasan konservasi untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan, dalam bentuk HKm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan lain-lain.

Dengan dasar kebijakan tersebut, kemudian banyak Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan Organisasi Rakyat (OR) mulai mendorong perwujudan partisipasi rakyat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Di Provinsi Lampung misalnya, pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan telah diimplmentasikan sejak tahun 1998. Pada waktu itu izin HKm pertama kali diberikan kepada dua kelompok masyarakat di kawasan hutan Register 19 Gunung Betung, dan pada tahun 1999 melalui SK Menteri Kehutanan No. 865/Kpts-II/1999, kebijakan ditekankan pada pemanfaatan kawasan hutan Negara oleh masyarakat. Ketika itu, setidaknya pemerintah Propinsi Lampung melalui fihak Kehutanan, telah menetapkan pencadangan areal HKm seluas ± 291.727 ha yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 ha, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 ha dan Hutan Produksi seluas 33.360 ha yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota di Propinsi Lampung.[7]

Selain di Provinsi Lampung, beberapa propinsi lainnya juga mengimplementasikan hal yang serupa, dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan di kawasan hutan Negara. Di Sumut-Aceh, Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 227/95 yang kemudian diganti dengan Keppres No. 33/1998 – tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Ekosistem Leuser – dan terdapat lagi beberapa contoh keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.[8]

Bagaimana dengan provinsi Sumatera Selatan?. Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa kawasan hutan Sumatera Selatan seluas 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Luas kawasan hutan Sumsel tersebut terdiri dari; Hutan Lindung seluas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar.[9]

Dari luas kawasan hutan yang ada di Sumsel tersebut, berbeda dengan beberapa contoh di provinsi lain, senyatanya akses pengelolaan rakyat terhadap sumber daya hutan begitu dibatasi oleh pemerintah. Malah terjadi di banyak tempat, pengusiran terhadap masyarakat kerap dilakukan. Dengan alasan proteksi terhadap kawasan hutan dan pengembangan investasi, banyak masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan telah dipaksa menyingkir. Tidak jarang kebijakan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sesungguhnya tidaklah lagi tepat untuk diterapkan dalam situasi politik saat ini.[10]

Berbanding terbalik dengan pembatasan rakyat terhadap akses lahan dan hutan, sebaliknya pemerintah justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kelompok investasi menjamah kehidupan hutan Sumsel. Berbagai bisnis seperti Pertambangan, HTI, dan perkebunan kelapa sawit terus digalakkan, yang celakanya usaha-usaha tersebut justru berada di dalam kawasan hutan yang semestinya tidak diperuntukkan bagi kepentingan bisnis/industri[11]

Orientasi pengelolaan hutan selama ini yang cendrung hanya diperuntukkan bagi kepentingan bisnis, dengan mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat, pada prakteknya telah memunculkan banyak konflik dan keresahan sosial. Deretan kasus agraria[12] yang berhubungan dengan pembatasan ruang rakyat untuk memperoleh akses kelola terhadap hutan, semakin menjadikan masyarakat semakin sulit dan terjepit. Tidak jarang dari sengketa tersebut, beragam persoalanpun banyak menyertai kehidupan masyarakat, seperti; mendekam dalam kurungan penjara, predikat sebagai daftar pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan mental. Bahkan diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak mempertahankan sejengkal wilayah dan tanah penghidupannya.[13]

Realitas telah mengguratkan, masyarakat selalu berada pada pihak yang dimarjinalkan kepentingannya, khususnya jika modal telah mulai bekerja. Pembatasan dan Penggusuran hak masyarakat selalu menyertai setiap berjalannya program investasi. Keadilan bukanlah hal yang mudah masyarakat dapatkan, karena terjadi di banyak tempat, rakyat harus mengalami nasib semakin dijauhkan dari sarana pokok produksi kehidupannya (lahan dan hutan). Tidak hanya sebatas itu, teror, intimidasi, dan pengkriminalan, merupakan hal yang selalu diterima. Alih-alih demi investasi, selalu menjadi senjata pemerintah dalam memaksakan kehendak terhadap rakyatnya.

Memperhatikan persoalan konflik penguasaan sumber daya hutan di Sumatera Selatan saat ini yang tengah berada pada situasi yang cukup memprihatinkan, sudah selayaknya bagi Bupati/Walikota, dan Gubernur untuk memberi ruang yang luas bagi rakyat untuk memperoleh akses kelola dan manfaat dari kekayaan hutan Sumsel. Hal ini penting dilakukan oleh pemerintah, karena hilangnya hak atas akses kelola terhadap lahan dan hutan, secara nyata dapat berakibat kepada merebaknya kemiskinan yang selanjutnya akan melahirkan serta meningkatnya kriminalitas dan kekacauan.

Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui penggunaan cara-cara kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat lagi untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan memperkental kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan bahwa di bawah sebuah kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam gemilang penderitaan dan kekerasan. Hal itu pula yang membuat rakyat selalu gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi alamnya, maupun potensi dirinya.

Dalam konteks inilah, dengan belajar dari pengalaman pengurusan hutan selama ini yang diakibatkan oleh kebijakan yang keliru. Untuk itu, memberikan akses pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada masyarakat, khususnya masyarakat lokal, adalah solusi dalam mengatasi berbagai persoalan sosial yang kerap muncul selama ini, termasuk masalah ekologi akibat hancurnya hutan kita.

Dengan adanya spirit dari para fihak, khususnya pemerintah dalam mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan, tinggal lagi diperlukan beberapa pra syarat yang perlu dipersiapkan, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola hutan oleh masyarakat; (2) Organisasi masyarakat yang kuat, solid, dan terarah; (3) Kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan.

Pemenuhan terhadap prasyarat tersebut merupakan sebuah agenda yang membutuhkan perjuangan yang tidaklah mudah. Di dalamnya diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah untuk merealisasikannya. Namun hal ini wajib dilakukan, agar keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi tidaklah hanya sekedar sajian retorika dan jargon semata.


Ditulis oleh Anwar sadat Walhi sumsel 


[1] Data luasan hutan departemen kehutanan RI; disampaikan pertama kali oleh Presiden Soeharto dalam pidato tanpa teks tahun 1961 di Solo

[2] WALHI; Hutan Indonesia menjelang kepunahan

[3] Pernyataan Menhut setelah rapat paripurna Kabinet Indonesia Bersatu, di Kantor Kepresiden, dalam rapat kabinet yang membahas pemaparan Menteri yang berkaitan dengan lingkungan hidup
[4] Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Dephut yaitu 2,8 juta ha/thn. Indonesia masih di bawah Bazil yang menempati empat pertama dengan kerusakan 3,1 jt ha/thn, dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0,6%
[5] Di Sumatera Selatan, pada tahun 2008, WALHI Sumsel mencatat sedikitnya telah terjadi 41 kali banjir, dimana di tahun 2009 terhitung sejak bulan Januari hingga April, telah terjadi 24 kali banjir (diperkirakan ke depan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap bencana di daerah ini). Akibat dari bencana banjir ini berbagai sumber penghidupan masyarakat, seperti sawah, ladang dan perkebunan rakyat (sawit, karet, dan jagung) terpaksa hilang dan terancam. Ditahun lalu terhitung sedikitnya 11 ribu ha sawah petani di Sumsel rusak dan terancam puso (gagal panen). Jika di dalam 1 hektarnya petani menderita kerugian sekitar 2 juta, maka diperkirakan total kerugian yang menimpa petani mencapai angka 22 milyar. Hal itu belum dihitung dengan berbagai kerugian material lainnya, seperti; ratusan rumah masyarakat yang harus terbenam hingga menyebabkan ribuan orang harus mengungsi, ribuan rumah terendam termasuk berbagai fasilitas umum, seperti jalan desa, jalan lintas, jembatan, sekolahan, dan tempat ibadah. Akibat bencana banjir tersebut pula, di beberapa tempat telah menyebabkan pasokan sayur-mayur menjadi terhambat, yang berpengaruh kepada meningginya harga akibat menipisnya stok atau persediaan. Diperparah lagi, banjir juga telah mengisolasi perkampungan masyarakat, termasuk sulitnya ribuan orang untuk memperoleh air bersih (bencana banjir di OKU Timur di Bulan Februari 2008 yang melanda 46 Desa di 13 Kecamatan).
[6] salah satunya bagi Warga Benakat di Kabupaten Muara Enim – Suamtera Selatan. Di wilayah tersebut terdapat “Hutan Larangan Rimbo Sekampung”. Kawasan hutan larangan Rimbo Sekampung merupakan hutan milik marga Benakat yang keberadaannya dilindungi secara adat. Hutan tersebut secara resmi dikukuhkan pada 26 April 1920, yang oleh pemerintah Belanda memang diperuntukkan bagi masyarakat Benakat. Pada 25 Oktober 1932 pemerintah Belanda menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan cadangan (boschwezen), sehingga luas keseluruhan hutan larangan Rimbo Sekampung adalah 3.000 ha. Namun sejak sejak tahun 1992 PT. MHP menjarah hutan milik masyarakat tersebut.

[7] WATALA; Kepastian pengelolaan dikawasan hutan Negara, pengalaman belajar bersama di Sumber Jaya, Lampung
[8] Sulaiman N. Sembiring

[9] Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan (Informasi pembangunan kehutanan dan GERHAN - Dishut Provinsi Sumsel, 2005). Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008, berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha (catatan akhir tahun dan siaran pers bersama WALHI Sumsel dan Wahana Bumi Hijau
[10] Salah satunya seperti yang terjadi terhadap masyarakat di dalam kawasan SM Bentayan – MUBA. Masyarakat di sana tinggal dan menetap di dalam kawasan tersebut sejak tahun 1997. Saat pertama kali masyarakat datang, kondisi wilayah telah menjadi padang ilalang akibat aktifitas massif illegaloging. Pada tanggal 29 Oktober 2004 Tim Gabungan dari Polda Sumsel dan BKSDA Sumsel melakukan operasi penertiban Ilegal Logging. Namun dalam operasi tersebut tidak satupun pelaku penebangan hutan ilegal yang ditangkat, team gabungan malah menangkap 6 ( Enam ) orang masyarakat Gersik Belido yang bukan merupakan target operasi. Setelah melalui proses perjuangan yang cukup panjang, masyarakat dijanjikan akan direlokasi, dan sambil mencari tempat yang tepat bagi warga di sana untuk pindah, masyarakat diperbolehkan menetap dan berusaha di dalam kawasan. Namun pada akhir tahun 2007, BKSDA bersama Polda Sumsel kembali melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan, pembakaran rumah warga, serta penjarahan harta benda warga
[11] Di Kabupaten MUBA kita dapat menyaksikan, sepanjang jalan Palembang – Jambi, di Desa Peninggalan dan Simpang Tungkal Kecamatan Bayung Lincir, berdiri perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB). Perusahaan tersebut diperkirakan telah mencaplok hutan konservasi SM Bentayan hingga mencapai ribuan hektar. Demikian juga terjadi di Kabupaten Lahat, beberapa perusahaan Pertambangan beroperasi di dalam kawasan hutan konservasi, HL, dan HP, dimana perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki izin.
[12] Dalam kurun waktu 19 tahun sejak 1989 hingga tahun 2008, setidaknya di Sumatera Selatan terdapat 244 kasus sengketa tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural.
[13] Di Kabupaten OKI, sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dibeberapa desa dengan PT. Persada Sawit Mas (PSM) telah menyebabkan dua orang meninggal dunia, 23 orang dipenjarakan, dan puluhan orang distatuskan sebagai DPO. Sementara di Muba, sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. SMB selain telah menyebabkan enam orang dipenjara, beberapa orang mengalami defresi karena tanah penghidupannya diserobot perusahaan, hingga akhirnya meninggal dunia. Situasi demikian, banyak pula terjadi dibanyak tempat di tanah air dan di daerah ini.








Artikel Terkait:

0 komentar: