WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Juni 19, 2009

MA Siapkan 100 Hakim Spesialis Lingkungan

LANTARAN masih rendahnya penegakan hukum di bidang lingkungan, Mahkamah Agung (MA) dan Kementrian Lingkungan Hidup, kemarin, menandatangani nota kesepahaman tentang kerja sama meningkatkan peranan hukum lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan.

Isi dari nota kesepahaman tersebut di antaranya akan dilatihnya 100 orang hakim dengan pengetahuan yang mendalam mengenai lingkungan hidup. Ke-100 hakim tersebut nantinya akan menjadi hakim spesialis lingkungan hidup yang akan khusus menangani berbagai kasus lingkungan hidup di seluruh Indonesia.

"100 hakim, kami rasakan cukup sebagai langkah awal, karena kami lebih mementingkan kualitas dibanding kuantitas. Percuma banyak-banyak namun pengetahuannya mengenai lingkungan hidup tidak mendalam," ujar Ketua MA Harifin A. Tumpa usai menandatangani MoU tersebut dengan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar di Jakarta, kemarin.

Menteri LH sendiri mengungkapkan dari tahun 2002 hingga tahun 2007 hanya 33 kasus tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang masuk ke pengadilan. "Dari total tersebut hanya 19 di antaranya yang diputuskan setimpal. Sisanya ada yang dihukum tidak setimpal maupun ada yang bebas, karena keburu lari ke luar negeri," kata Rachmat.

Selama ini hakim-hakim yang memiliki keahlian mengenai lingkungan hidup hanyalah sejumlah sepuluh orang. Dengan ditingkatkannya menjadi 100 orang hakim, baik Harifin dan Rahmat berharap juga meningkatkan ketakutan para pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup sebanyak sepuluh kali lipat juga.

Sementara itu, sejak tahun 2006 tercatat bahwa sediktinya 59,2 juta hutan di Indoensia telah mengalami kerusakan dengan diiringi tingkat deforestasi 1,19 juta hektar per tahunnya. Selain itu, terumbu karang di wilayah perairan Indonesia selama lima puluh tahun terakhir telah berkurang sebanyak 90 persen dan masih akan terus menurun jumlahnya hari ke hari.(MI)




Selengkapnya...

Jumat, Juni 12, 2009

Lapak Harus Digusur

Ketua DPRD Tak Setuju Eksploitasi Kambang Iwak Besar

Sejumlah kalangan mendesak pengelola KIF Park dan pemerintah agar segera memindahkan lapak menganggur dari taman Kambang Iwak Besar. Alasannya, lapak itu mengganggu kenyamanan dan keindahan taman kota.

Menurut Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palembang M Yansuri, Rabu (10/6) di Palembang, sejak awal Pemerintah Kota Palembang melontarkan wacana pengembangan kompleks Kambang Iwak Besar, pihaknya sudah tidak menyetujui rencana tersebut. Apalagi, ketika dia mendengar bahwa saat ini terjadi pergantian manajemen atau pengelola.

”Artinya, rencana eksploitasi ini kan tetap berlangsung. Dari dulu saya tidak setuju karena eksploitasi Kambang Iwak ini tanpa persetujuan resmi dari DPRD Kota Palembang,” kata Yansuri.

Khusus mengenai lapak hitam di Kambang Iwak Besar, Yansuri meminta pengelola agar segera memindahkan ke lokasi lain. Dia menilai bahwa lapak-lapak itu tidak layak dan tidak patut diletakkan begitu saja di Kambang Iwak.

Meski pengelola beralasan lapak itu akan digunakan lagi, Yansuri tetap menilai lapak harus dipindah. Apalagi, lapak-lapak pedagang lokasinya ada di ruang hijau. Aturan pemerintah jelas menyebutkan bahwa ruang hijau atau taman kota harus bersih dari kegiatan perdagangan, apalagi untuk lokasi menyimpan lapak- lapak yang menganggur.

”Kami sudah berulang kali mendesak pemerintah dan pengelola agar tidak sembarangan mengeksploitasi Kambang Iwak ini. Namun, sepertinya hanya menjadi angin lalu tanpa ada perhatian. Padahal, Kambang Iwak Besar ini kan milik warga Palembang,” katanya.

Walhi menelusuri

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Anwar Sadat menambahkan, pihaknya sedang menelusuri fakta apakah Pemkot Palembang melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang atau tidak. Jika nantinya diperoleh fakta pelanggaran, bukan tidak mungkin Walhi Sumsel akan mengajukan gugatan kepada pemerintah.

”Keberadaan lapak-lapak hitam itu juga menunjukkan bahwa pemerintah kota kurang peduli dengan aspek keasrian dan kenyamanan ruang hijau kota,” katanya.

General Manager ”Ki-Walk” Victorius Amrillah mengatakan, pihaknya belum berencana memindahkan lapak-lapak hitam karena akan digunakan lagi. Jika harus dipindah, pengelola akan mengeluarkan biaya berlebih untuk mengangkut saat akan digunakan lagi.

Sumber Kompas



Selengkapnya...

Selasa, Juni 09, 2009

APA KABAR UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN?

Oleh Khalisah Khalid *

Undang-Undang ”Pinggiran”

Meskipun tidak terdaftar dalam Prolegnas DPR RI tahun 2009, revisi Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23/1997 diam-diam menjadi daftar RUU prioritas yang akan dibahas oleh dalam masa sidang DPR RI, di tengah minimnya perhatian masyarakat sipil dengan undang-undang yang sesungguhnya menjadi jaminan atas masa depan kehidupan rakyat dan lingkungan hidup.

Setelah kurang lebih 12 tahun undang-undang ini berlaku dan menjadi landasan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Ironisnya, angka kerusakan lingkungan justru beranjak naik dari hari ke hari dan laju bencana ekologis meningkat setiap tahunnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, pada tahun 2007 sebanyak 205 kali peristiwa bencana ekologis terjadi dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat menjadi 359 kali bencana ekologis.

Fakta bencana yang terjadi di Situ Gintung pada Maret 2009 bukan sesederhana sebagaimana dikatakan oleh pemerintah, terkait dengan curah hujan yang meningkat, bencana ekologis ini juga dipicu oleh perubahan bentang alam yang terjadi di hulu yang selalu diawali dengan pelanggaran terhadap tata ruang kawasan. Bahwa begitu banyak kebijakan pembangunan yang mengabaikan siklus alam dan beresiko tinggi terhadap alam dan manusia, ditambah dengan ketiadaan informasi siklus alam dan karakter wilayah kepada masyarakat.

Krisis ekologi terjadi karena negara, pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern' telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Ekspansi sistem monokultur, eksploitasi hutan, industri keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi sekalipun telah menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada sumber-sumber kehidupan (agraria-sumber daya alam).

Lalu di mana sesungguhnya undang-undang lingkungan hidup ini efektif diimplementasikan, jika tidak mampu menekan laju kerusakan lingkungan hidup di Indonesia? Secara filosofis dan sosiologis masih menempatkan lingkungan hidup bukan sebagai bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 39/1999. Rino Subagyo, Direktur ICEL mengatakan bahwa undang-undang lingkungan hidup memang tidak memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dibandingkan dengan undang-undang lain yang bersifat sektoral.

Undang-Undang ini secara substansi memang begitu multi tafsir sehingga mempengaruhi upaya penegakan hukum lingkungan. Selain itu secara struktural Undang-Undang Lingkungan Hidup ini memang kalah dibandingkan dengan kebijakan investasi yang lebih pro kepada kepentingan pemilik modal besar, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Undang-Undang ini juga begitu sarat dengan kelemahan-kelemahan yang bisa memastikan lingkungan hidup berada di nomor urut belakang dalam memastikan jaminan kehidupan warga negara, bahwa undang-undang ini tidak saling berkesesuaian atau tidak saling terkait dengan kurang lebih 12 undang-undang lainnya antara lain Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Minerba, maupun Undang-Undang Tata Ruang. Hal yang paling sederhana adalah proyek pembangunan bisa terus berjalan, meskipun analisis dampak lingkungan hidupnya belum disetujui karena ijin proyek telah diberikan oleh institusi yang lain.

Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lalu bagaimana masa depan revisi undang-undang ini dipastikan dapat lebih optimal setelah direvisi, mengingat secara politik, struktural dan kultural lingkungan hidup belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Reformasi pengelolaan lingkungan hidup yang terdiri dari reformasi kelembagaan dan perundang-undangannya menjadi kebutuhan mendesak.

Sesungguhnya reformasi kelembagaan ini sudah sejak lama disuarakan oleh gerakan lingkungan hidup di Indonesia, yang selama ini dinilai tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas hanya untuk mengkoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup di tingkat nasional dan tidak memiliki fungsi-fungsi operasional. Departemen Lingkungan Hidup dipastikan akan lebih memiliki political power yang lebih ”bergigi,” dibandingkan kedudukannya saat ini yang hanya sebagai kantor Kementerian Negara. Kelembagaan ini diharapkan juga didukung oleh keikutsertaan masyarakat yang memiliki hak untuk mengakses informasi, hak untuk berpartisipasi dan hak untuk mendapatkan keadilan.

Namun kelembagaan ini juga tidak akan dapat berbuat banyak, jika tidak dipayungi oleh undang-undang untuk memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat sebagaimana yang menjadi mandat konstitusi. Payung hukum tersebut antara lain Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Undang-Undang Agraria.

Tanpa adanya agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, kita tinggal menghitung lagi berapa banyak rakyat yang akan meninggal, luka-luka dan menjadi pengungsi ekologis akibat salah urus negara di dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam. Sayangnya, agenda tersebut belum disuarakan dalam agenda Pemilu 2009.

Sumber : Buletin SADAR

* Penulis adalah Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.




Selengkapnya...

Sabtu, Juni 06, 2009

Pernyataan Sikap Hari Lingkungan Hidup 2009

Aliansi Sahabat Lingkungan Sayang Alam (Salink Salam) Sumsel

Sispala Wanala Agung, Sispala Mapassri, Sispala Ipastek, Mapala Mafesripala, Mapala MDP, Mapala Gema Persada LH, Mapala Ubidar, Forum Wong Kito Plembang(FWKP),Komite Pemuda untuk Demokrasi (KPMD), Sahabat Walhi (SAWA)Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel,Walhi Sumsel

Ternyata dengan bergantinya pucuk kepemimpinan Politik di Propinsi Sumatera Selatan, tidaklah membuat perubahan terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan menjadi lebih baik, di bawah kepemimpinan Gubernur H. Alex Noerdin Paradigma berpikir pemerintah tetap menjadikan Lingkungan Hidup sebagai Objek yang harus segera di ekploitasi dan menghasilkan keuntungan Ekonomis.

Implementasi dari itu adalah Kebijakan kebijakan yang berpotensi merusak Lingkungan Hidup terus di Produksi, Alih Fungsi Hutan Menjadi Perkebunan Besar Kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan Pertambangan Makin marak terjadi di seluruh Wilayah, sehingga wajar jika hutan yang tersisa pada akhir tahun 2008 hanya 1,2 juta Ha dengan rata rata kerusakan per tahunnya 100.000 Ha.

Di sektor pertambangan saat ini telah bermunculan izin-izin Pertambangan baik itu yang baru diajukan dan yang telah dikeluarkan, seperti ekploitasi batubara di Kabupaten Lahat, Muara Enim serta menyusul di kabupaten Muba, OKU dan OKUT. Hal ini telah berdampak pada rusaknya puluhan Ribu Hektar Hutan,Baik itu Hutan Lindung dan Hutan Konservasi yang seharusnya tidak boleh dialih fungsikan dengan alasan apapun. atas ekploitasi atau rusaknya Hutan Hutan Alam, telah menyebabkan terjadinya peningkatan bencana alam, dimana pada tahun 2008 hanya terjadi 41 kali ,namun ditahun 2009 yang baru berjalan 5 bulan telah terjadi 45 kali, baik itu bencana banjir, Tanah Longsor dan Puting Beliung .

Selain dari faktor alih fungsi Hutan tersebut, menurunnya kualitas Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan juga di akibat oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menghadapi para penjahat Lingkungan ( perusahaan . Red). Contohnya Pencemaran yang dilakukan oleh PT Pertamina,akibat dari kebocoran pipa saluran minyak, dan meledaknya sumur-sumur ekploitasi migas yang dimilikinya, dan sedikitnya dalam tahun ini telah terjadi 6 kasus pencemaran yang dilakukan PT. Pertamina namun pemerintah tidak pernah memberikan Sanksi sesuai dengan yang tertera pada Undang undang No 23 tahun 1997.

Dampak terhadap kondisi hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin mengalami penyempitan dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi (ulu dan Ilir), air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan perusahaan seperti Pertamina, PT Pusri, PT. Semen Baturaja, Pabrik Pengelolaan Karet, Tambang Batubara, dll yang ada di sepanjang aliran sungai, yang membuang limbahnya ke sungai musi sehingga kualitas air sungai mengalami Penurunan, jika dibiarkan akan berdampak dengan Musnah nya seluruh Spesies Binatang yang ada di sungai dan membahayakan jiwa masyarakat yang sampai saat ini masih menggunakan Air sungai musi untuk menunjang kebutuhan Air nya sehari hari.

Tidak lepas dari persoalan tersebut di sektor perkotaan seperti di kota Palembang ternyata upaya perusakan terhadap Lingkungan hidup terus juga di rutin dilaksanakan. Palembang yang kita ketahui sebagai Kota rawa karena 50 % dari luasan wilayah kota palembang yang mencapai 40.062 Ha adalah rawa. Kondisinya wilayah rawa telah berubah (terus Menyempit) akibat dari aktifitas penimbunan rawa secara besar besaran yang dilakukan oleh Perusahaan maupun individu, dan hal ini di Legitimasi (diizinkan) pemerintah melalui Perda kota Palembang No 5 tahun 2008.Selanjutnya Ruang terbuka Hijau ( RTH) yang merupakan Hak bagi setiap masyarakat yang ada di perkotaan yang dimandatkan dalam UU no 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa RTH di perkotaan harus mencapai 30 % dari luas wilayah, ini berarti palembang harus memiiliki lahan seluas 12.000 Ha yang diperuntukan bagi RTH ternyata sampai saat ini mandat tersebut tidak pernah di realisasikan oleh Pemkot palembang Padahal RTH saat ini kurang dari 5 % ,mirisnya RTH yang ada bukannya di rawat (dipertahankan)malah dialih Fungsikan menjadi tempat tempat bisnis seperti yang terjadi di Simpang 4 Rajawali,kambang iwak dan lainnya.

Untuk menyelesaikan dan mencegah semua persoalan diatas mempunyai dampak yang semakin besar dan luas maka dibutuhkan sebuah peran dan komitmen kuat dari pemerintah, atas ini kami Menyatakan :
  1. Stop Alih Fungsi Hutan dan lahan Gambut menjadi perkebunan besar Kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pembangunan Pelabuhan dan Pertambangan.
  2. Selamatkan sungai Musi dan Ekosistem yang ada di dalamnya segera dan hentikan segala Aktifitas Industri (perusahaan) yang ada di sepanjang Aliran sungai dan Hentikan segera pembuangan Limbah industri ke sungai.
  3. Stop Penimbunan Rawa
  4. Stop Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi tempat bisnis dan segera Realisasikan 30% RTH di Kota Palembang.
  5. Berikan sanksi Pidana bagi pemerintah dan Perusahaan yang melakukan perusakan Lingkungan Hidup di sumsel tanpa terkecuali.
  6. Segera masukan pendidikan Lingkungan Hidup dalam Kurikulum sekolah SD,SMP,dan SMA


CP :
Hadi Jatmiko 0812 7312042






Selengkapnya...

Kamis, Juni 04, 2009

“Sumatera Selatan Menuju Lumbung Bencana Ekologi”

Kertas Posisi WALHI Sumatera Selatan Dalam Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia

Pengantar
Hari lingkungan hidup sedunia yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1972, menandai perang atas berbagai persoalan ekologi yang terjadi selama ini. Hari lingkungan hidup sedunia dimunculkan sebagai upaya guna mempromosikan isu lingkungan dan menampakkan peran aktif manusia guna membenahi persoalan lingkungan, menjadikan manusia sebagai agen aktif keberlanjutan dan pengembangan yang adil, mempromosikan pemahaman bahwa masyarakat memiliki dan mampu memainkan peran penting dalam mengubah sikap terhadap berbagai persoalan dan kerusakan lingkungan guna terjaminnya kehidupan manusia yang lebih baik, aman, dan sejahtera. Hari lingkungan hidup sedunia menggunakan pendekatan membangun kesadaran, mendukung anggota masyarakat untuk menyuarakan pikiran mereka dan melakukan yang terbaik untuk memperbaiki lingkungan.

Semua kita faham bahwa alam merupakan komponen terpenting yang menjadi prasyarat bagi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia. Selama ini alam telah menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang bagi hidup manusia. Interaksi manusia dengan alam tidak dapat terpisahkan, karena segala hal kebutuhan manusia pada dasarnya berasal dari kekayaan alam. Meski demikian, disisi lain kitapun harus memahami, bahwa alam juga memiliki keterbatasan untuk mampu menunjang kehidupan manusia. Tingkat populasi yang terus berkembang, akan turut mempengaruhi tingkat produksi dan konsumsi umat manusia. Sejauh mana kemampuan daya tahan alam, sangatlah tergantung dari pengaturan manusia dalam hal pemanfaatannya. Kearifan manusia mengatur kekayaan alam, akan berpengaruh kepada kelangsungan hidup alam sekitar, yang selanjutnya akan mampu membawa keberlangsungan hidup manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

Persoalannya bahwa kekayaan alam, di berbagai belahan tempat – dalam waktu yang cukup lama hanya diarahkan guna memenuhi selera kepentingan dan pemenuhan kebutuhan hidup sekelompok kecil manusia yang selama ini digarap tanpa terkendali. Dengan tujuan menciptakan kelimpahan materi, sekelompok kecil orang tersebut terus mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhatikan asfek kemanusian dan keseimbangan (kelangsungan dan daya tahan alam).

Alhasil, berbagai persoalan berupa bencana strukturalpun lahir. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan rentetatan bencana alam, adalah potret realitas dari sistem pengelolaan alam selama ini. Ekologi berada pada titik kehancurannya, sementara upaya perbaikan yang dilakukan ternyata tidaklah sebanding dengan daya rusak yang telah diciptakan.
Kondisi Lingkungan Hidup Sumatera Selatan
Reduksi ekologi di daerah ini merupakan realitas yang tidak-lah dapat terbantahkan lagi. Berbagai pembangunan atau investasi yang menegasikan asfek-asfek lingkungan hidup, terus saja dilakukan, hingga menyebabkan lingkungan Sumsel saat ini berada pada situasi yang amat memprihatinkan. Beberapa contoh kebijakan terbaru yang berpotensi mengancam kelangsungan lingkungan hidup di daerah ini diantaranya:
1. Konversi Hutan Alam Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI)
a. PT. Rimba Hutani Mas (RHM)
Memperoleh izin usaha dari Menteri Kehutanan seluas 67.100 ha, yang berada pada kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK). Berdasarkan hasil survey Wetlands International Indonesia Program dan South Sumatra Forest Fires Project-SSFFMP tahun 2002, wilayah ini merupakan kawasan hutan yang masih alami dan produktif serta memiliki ketebalan gambut yang cukup dalam (1-6) m. Tentunya hal ini bertentangan dengan spirit yang terkandung di dalam PP No 3 Tahun 2008 ayat 3 bahwa Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, dan dan juga bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1990 khususnya pasal 9 & 10, yang menyebutkan bahwa kawasan bergambut lebih dari 3 meter merupakan kawasan lindung.
b. PT. SBA Wood Industries dan PT. Bumi Andalas Permai
Pada kawasan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur – Mesuji (OKI) sepanjang tahun 2008, telah dilakukan pembukaan kawasan lindung tersebut menjadi lokasi sarana prasarana bagi kegiatan HTI (group Sinar Mas), berupa: pembukaan kanal Outlet, basecamp, logyard, dengan luas kawasan lindung yang digunakan untuk keperluan tersebut mencapai 190 ha.
2. Konversi Hutan Mangrove Menjadi Pelabuhan TAA
Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang menggunakan kawasan Hutan Lindung Air Telang seluas 600 ha, telah menjadi catatan terpenting di dalam skenario pengrusakan Hutan Lindung di Sumatera Selatan. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah dimulai sejak awal tahun 2008, dimana proses perizinan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap proyek tersebut tidak-lah dikaji secara mendalam mengenai dampak yang akan ditimbulkan terhadap ekosistem sekitar kawasan Hutan Lindung Air Telang dan Taman Nasional Sembilang.
3. Ekspoitasi Tambang Di Kawasan Hutan
Salah satu persoalan yang kerap mengemuka dalam usaha pertambangan, selain permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar, juga dampak lingkungan yang dihasilkan dari usaha tersebut. Diperkirakan banyak terdapat perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan, dimana salah satunya terdapat di Kabupaten Lahat. Beberapa perusahaan di wilayah tersebut melakukan eksploitasi di dalam kawasan hutan (konservasi, lindung, dan hutan produksi), hingga mencapai 20.000 ha, yang parahnya dari berbagai kuasa pertambangan tersebut diperkirakan belum memperoleh izin usaha yang legal.
4. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kawasan Hutan
Salah satunya dilakukan oleh PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB), yang memperluas usahanya hingga mencapai ribuan hektar di dalam kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bentayan.
5. Konversi Rawa
Konversi rawa khususnya di Kota Palembang terus saja terjadi. Dari luasan rawa kota Palembang yang awalnya mancapai 22.000 ha, diperkirakan saat ini hanya sekitar 7.500 ha atau 32% saja yang tersisa, dimana dari sisa tersebut akan terus terancam oleh berbagai kepentingan usaha/bisnis.
6. Konversi dan Minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Sebagai contoh real di Kota Palembang, dari luas wilayah administrasi yang mencapai 40.062 Ha, diperkirakan tidak lebih hanya sekitar 3% saja RTH yang terdapat di Kota Palembang. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Pemerintah Kota Palembang yang terus mengkonversi RTH untuk kepentingan bisnis, seperti yang terjadi di Jalan Veteran (Simpang Rajawali) dan Kambang Iwak. Sementara dalam asfek legalitas, berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di dalam pasal 29 ayat 2 telah menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota, dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau untuk publik paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.

Fakta kasus lainnya, yang berkontribusi merusak lingkungan Sumsel yaitu rentetan peristiwa pencemaran yang diakibatkan oleh kebocoran Pipa Pertamina, dan pencemaran oleh limbah industri dan akibat lainnya.

Fakta dan Peningkatan Bencana Ekologi Di Sumatera Selatan
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 33 Provinsi di tanah air, hingga akhir tahun 2008 terdapat 27 provinsi yang secara serius rentan tertimpa bencana banjir dan tanah longsor, dan Sumsel merupakan satu diantaranya.

Pada tahun 2008, WALHI Sumatera Selatan mencatat setidaknya terdapat 41 kali bencana banjir dan longsor yang pernah terjadi di daerah ini. Sementara di tahun 2009, sejak Bulan Januari hingga Bulan April, tercatat setidaknya telah terjadi 45 kali bencana berupa; banjir, longsor, hujan abu, dan badai. Dengan mendasarkan realitas tersebut, dapat ditegaskan bahwa telah terjadi peningkatan bencana yang luar biasa di daerah ini.

Belum lagi bencana perubahan iklim atau pemanasan global yang saat ini telah begitu dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) saat ini telah terjadi kenaikan suhu bumi di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu permukaan bumi hanya berkisar antara 23 – 30◦C.

Penutup
Dengan memperhatikan realitas peningkatan bencana ekologi yang terjadi di daerah ini, yang diperkirakan ke depan akan terus terjadi secara masif dan ekstrem – kiranya ada dua hal yang menjadi catatan penting untuk dapat diperhatikan oleh masyarakat serta menjadi pekerjaan rumah atau agenda yang perlu didesakkan kepada Pemerintah-an Sumsel, yaitu; Pertama; masyarakat perlu mewaspadai dan mempersiapkan diri terhadap berbagai kemungkinan bencana yang bakal terjadi. Hal ini dapat disegerakan dengan membentuk dan membangun kelompok ”siaga bencana” disetiap komunitas, khususnya di wilayah-wilayah rawan bencana. Kedua; Di level kebijakan, Pemerintah berkewajiban untuk melakukan berbagai hal konkret, berupa menyusun langkah-langkah strategis baik dalam konteks adaptasi maupun moratorium penerbitan izin-izin usaha yang berpotensi merusak lingkungan. Adaptasi dimaksudkan, guna mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi berbagai kejadian bencana yang ekstrem dan tiba-tiba. Langkah lainnya dalam konteks adaptasi yaitu Pemerintahan di Sumatera Selatan berkewajiban untuk mengurangi dan menanggulangi kemiskinan rakyat, karena pada dasarnya masyarakat miskin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bencana yang disebabkan minimnya kemampuan mereka untuk beradaptasi. Dalam konteks ini, jaminan dalam pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan ekologi wajib dipenuhi oleh Pemerintahan di Sumsel (tidak hanya pemenuhan jaminan pengobatan dan sekolah gratis semata).
Pada sisi lainnya, pemerintah harus pula menindak tegas para pelaku perusak lingkungan hidup di Sumsel.

Palembang, 04 Juni 2009

Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan

Cp :
Anwar sadat : 08127855725
Hadi Jatmiko : 0812 7312042





Selengkapnya...