WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Januari 14, 2010

CATATAN LINGKUNGAN HIDUP SUMATERA SELATAN TAHUN 2009


WALHI Sumatera Selatan

”Bencana Ekologis dan Konflik Agraria/SDA Tak Berkesudahan”

Di tahun 2009, Propinsi Sumatera Selatan terus dibanjiri dengan rentetan bencana ekologi dan sengketa SDA. Praktek ’sesat fikir’ pembangunan yang diterapkan, semakin mempertajam kwalitas dan kwantitas persoalan lingkungan hidup di daerah ini. Kebijakan pembangunan, baik yang merupakan warisan masa lalu maupun yang tengah dilangsungkan saat ini, terus saja menegasikan asfek-asfek keadilan lingkungan dan kepentingan rakyat.
Beberapa catatan kritis terhadap potret persoalan lingkungan di tahun 2009, dapat kami paparkan sebagai berikut :

Potret Hutan Sumatera Selatan
Hutan Sumatera Selatan terus mengalami penghancuran dan penyusutan. Berbagai aktifitas industri, seperti; pertambangan, perkebunan, pertambakan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) serta pembangunan infrastruktur (pelabuhan dan rel kereta api), merupakan penyumbang terbesar kerusakan hutan Sumatera Selatan. Belum lagi persoalan seperti pembalakan liar dimana sepanjang tahun 2009 masih secara intensif terjadi diberbagai tempat seperti Pagar Alam, Musi Rawas, OKI, dan Musi Banyuasin – telah semakin memperburuk wajah hutan di daerah ini.

Di sektor Pertambangan – berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh WALHI Sumsel, setidaknya di Kabupaten Lahat terdapat hampir 20 ribu hektar kawasan hutan yang saat ini telah dijadikan sebagai kawasan penambangan terbuka oleh beberapa perusahaan, diantaranya : PT. Bukit Asam, PT Bara Lahat, PT Bumi Merapi Energi, PT. Bara Alam Utama, PT. Muara Alam Sejahtera dan PT. DAU. Kuasa Penambangan (KP) tersebut tersebar dibeberapa Kecamatan, diantaranya; Kecamatan Merapi Barat, Merapi Timur, Merapi Selatan, Gumay Talang, Kikim Barat, Kikim Timur dan Pulau Pinang. Parahnya Kuasa Penambangan di dalam kawasan hutan tersebut, hingga saat ini belum mendapatkan izin pinjam kawasan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.

Di sektor Perkebunan – eksistensi PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB) di Kabupaten MUBA, yang memperluas usahanya hingga mencapai ribuan hektar di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bentayan masih terus berlangsung. Kerusakan hutan untuk keperluan industri perkebunan juga terjadi di beberapa tempat di Kabupaten Lahat. Sementara usaha penambakan di kawasan hutan terdapat di Kabupaten OKI dan Banyuasin.

Pada sektor Hutan Tanaman Industri – PT. Rimba Hutani Mas (RHM) yang terletak di Kabupaten MUBA, saat ini telah dan semakin masif menghancurkan kawasan hutan alam gambut Merang – Kepayang. Berdasarkan penelusuran dan identifikasi yang dilakukan WALHI Sumsel bersama Wahana Bumi Hijau (WBH) ditemukan bahwa PT. RHM terus mengeksploitasi kawasan hutan gambut tropis tersebut yang saat ini sesungguhnya merupakan satu-satunya yang masih tersisa di Sumatera Selatan. Pada areal PT. RHM masih dipenuhi dengan kayu alam yang mempunyai kepadatan cukup tinggi. Berdasarkan analisa dokumen AMDAL perusahaan, tingkat kepadatan hutan masih mencapai lebih dari 68 meter kubik per hektar. Di dalam analisa Citra Landsat tahun 2003, kawasan yang menjadi konsesi RHM tersebut mempunyai tingkat kepadatan kayu yang tinggi, dimana yang tergolong tegakan padat adalah 28.510 hektar. Analisis yang WALHI dan WBH lakukan dengan menggunakan citra tahun 2007, secara umum kawasan konsesi RHM mempunyai kepadatan kayu tinggi adalah 39.000 hektar. Sementara tingkat kedalaman gambut pada beberapa titik di areal konsesi PT. RHM ditemukan berkedalaman sampai 7 meter, dengan kandungan karbon alam mencapai 23,6 juta ton.
Selain pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah mengalihfungsikan kawasan Hutan Lindung Air Telang seluas 600 Ha – di tahun 2009, WALHI Sumsel mencatat bahwa rencana pembangunan Jalur Rel Kereta Api untuk keperluan pengangkutan batu bara yang menghubungkan Tanjung Enim (Sumatera Selatan) sampai dengan Linau (Bengkulu) sepanjang 160 KM, berpotensi mengancam kelangsungan kawasan Hutan Lindung Bukit Nanti di kawasan hulu sungai Ogan, Laham dan lengkayap (Kabupaten Ogan Komering Ulu). Selain itu, pembangunan tersebut dipastikan pula akan berpengaruh terhadap kelangungan dan kelestarian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Peningkatan Bencana
1. Banjir dan Lonsor
Rentetan bencana alam berupa banjir dan tanah longsor merupakan persoalan yang terus melanda daerah ini, bahkan cendrung terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008. Sepanjang tahun 2009 setidaknya tercatat 45 kali bencana banjir dan 8 kali bencana longsor yang meliputi berbagai Kota/Kabupaten di Sumatera Selatan, diantaranya : Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lubuk Linggau, Pagar Alam, OKU (Selatan), Prabumulih, Lahat, OKI, Muara Enim, dan Kota Palembang.
Selain bencana Banjir dan Longsor, beberapa Kabupaten di Sumatera Selatan dilanda pula bencana, seperti; putting beliung, hujan abu, dan kekeringan. Bahkan telah terjadi peningkatan suhu bumi yang cukup ekstrem di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu bumi hanya berkisar antara 23 – 30◦C.
2. Kabut Asap
Kebakaran lahan dan hutan di Sumsel terus terjadi. Parahnya di tahun 2009, bencana tersebut menyebar diseluruh wilayah di Sumatera Selatan.
Setidaknya tercatat sejak Bulan Mei - September 2009 terdapat 2058 titik api (hotspot). Dengan rincian; Bulan Mei 126 hotspot, Juni 174 hotspot, Juli 182 hotspot, Agustus 591 hotspot dan September 985 hotspot yang tersebar di 14 Kabupaten/Kota Sumatera Selatan.
Kebakaran khusus di bulan September 2009 telah menyebabkan 4 Kabupaten/ Kota (Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin dan Palembang) diselimuti oleh kabut asap yang cukup tebal (Satelit NOAA/-19/AVHRR).
Atas kejadian tersebut, realitasnya tidak ada upaya konkret dari Pemerintah Daerah untuk mengatasi bencana yang notabene merupakan bencana langganan yang selalu melanda daerah ini. Justru Pemerintah berdiam diri dan hanya mengharapkan ‘keajaiban’ terjadinya pengalihan atau perubahan musim dari kemarau ke musim penghujan.
3. Pencemaran
Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2009, lebih banyak dilakukan oleh PT. Pertamina (10 kasus) dan Perusahaan Migas lainnya, seperti : Conoco Philips dan Elnusa. Beberapa kasus pencemaran tersebut lebih banyak disebabkan oleh kebocoran dan ledakan pipa, peledakan dan sumur tua milik perusahaan, semburan api dan lumpur, serta tumpahan minyak. Selain dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan dari permasalahan tersebut, rentetan peristiwa akibat kelalaian usaha dan operasi perusahaan, juga mengakibatkan jatuhnya korban – seperti peristiwa yang terjadi dalam kasus meledaknya Pipa Pertamina di desa Lembak Kecamatan Lembak Kabupaten Muara Enim dengan korban berjumlah 8 orang, dimana 3 orang mengalami luka bakar diseluruh tubuh, 1 orang meninggal di tempat kejadian dan 4 orang lainnya mengalami trauma hebat. Selain itu 1 Orang jga meninggal Dunia akibat Ledakan tanki Minyak di Sungai Gerong Banyuasin
Kasus pencemaran lainnya, juga tercatat dilakukan oleh buangan limbah perkebunan kelapa sawit, seperti; PT. Bumi Sawindo Permai (Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim), PT. Mutiara Bunda Jaya (Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir), limbah CPO PTPN VII (Kecamatan Gunung Megang Muara Enim), Pencemaran Debu oleh PT. Sumatera Prima Fiberboard yang bergerak di bidang usaha pengolahan fiber, – serta industri sektor lainnya (Semen Baturaja, Rumah Pemotongan Hewan, dan Stasiun Kompresor Gas).


Perkotaan
Pada Sektor Perkotaan laju kerusakan lingkungan terus terjadi. Beberapa catatan WALHI Sumsel tentang kondisi lingkungan hidup di Kota Palembang:

1. Konversi Rawa
Palembang merupakan Kota yang terletak di atas lahan rawa dengan luas mencapai 22.000 Ha atau sekitar 54 % dari luas wilayah Kota yang mencapai 40.000 Ha. Keberadaan wilayah rawa di kota Palembang tersebar hampir merata di setiap wilayah yang ada di Kota Palembang, baik itu diseberang Ulu maupun diseberang Ilir.
Dari luasan rawa tersebut, diperkirakan saat ini luas rawa di Kota Palembang hanya tersisa sekitar 7.300 Ha. Berkurangnya jumlah rawa ini di sebabkan oleh konversi rawa yang di jadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh Pihak Swasta maupun Pemerintah Daerah itu sendiri Seperti Konversi lahan yang dilakukan oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 Ha yang digunakan untuk pembangunan Apartemen, Pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan Rawa yang di konversi mencapai 60 Ha, Pembangunan Kantor Bank Sumsel di Jaka baring dengan luas 3 Ha, Pembangunan Komplek Perkantoran PEMPROV Sumsel dan sarana olahraga di Jaka baring seluas 80 Ha, pembangunan Kantor DPRD Palembang seluas 3 Ha.
Parahnya konversi rawa tersebut malah dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui PERDA No 5 tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa. Dalam Perda ini pengalihfungsian lahan rawa, hanya dikenakan biaya administrasi sesuai dengan lahan yang akan dimamfaatkan, tanpa adanya upaya reklamasi – telah menjadi peluang bagi kalangan swasta untuk memanfaatkan areal rawa.
Terhadap masifnya konversi rawa tersebut telah berakibat timbulnya masalah banjir dan persoalan lainnya di Kota ini.

2. Ruang Terbuka Hijau
Mandat Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dimana menyebutkan bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30 % sampai saat ini belumlah di relisasikan oleh pemerintah Kota Palembang. Berdasarkan catatan WALHI Sumsel kondisi RTH yang ada di kota ini hanya berkisar 3 % dari luas kota Palembang.
Hal ini semakin diperparah dengan praktek alih fungsi keberadaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Palembang, seperti; alih Fungsi RTH yang berada di simpang 4 Jalan Rajawali menjadi pusat penjualan mobil dan pertokoan dan alih Fungsi RTH menjadi Komplek pertokoan Palembang Square dan Hotel Arya Duta.
Berseberangan dengan langkah tersebut, Pemerintah justru mengeluarkan kebijakan melakukan Pengusuran terhadap pemukiman-pemukiman masyarakat Miskin Perkotaan serta pasar pasar tradisional yang di gunakan rakyat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti Penggusuran Pasar 7 Ulu dan 10 Ulu yang dialaskan Pemerintah kota akan dijadikan/bangun Ruang Terbuka Hijau dan Contoh lain nya Penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Pemukiman rakyat yang ada di Sepanjang sungai Musi yang berada di 7 Ulu sampai dengan 10 Ulu.

3. Transportasi
Keinginan Pemerintah Kota Palembang untuk menciptakan sarana dan Prasarana Transportasi yang berwawasan lingkungan dan dapat mengurangi persoalan kemacetan lalu lintas yang ada di kota Palembang saat ini mulai direalisasikan, seperti Program pengadaan Trans Musi. Untuk itu, hingga saat ini Pemkot telah membangun sebanyak 54 buah halte yang akan digunakan sebagai tempat pemberhentian bus.
Namun dalam catatan kami, ternyata sampai dengan akan dijalankannya Program ini, yakni pada pertengahan bulan Januari 2010 nanti, tidaklah memiliki kajian Lingkungan atau Analisis Lingkungan (AMDAL), yang merupakan salah satu syarat mutlak bagi setiap Kegiatan yang mempunyai dampak terhadap Lingkungan (UU RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saat ini telah di Revisi menjadi UU no 32 Tahun 2009 tentang Pengelolan dan Pengendalian Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Program Car Free Day yang dilaksanakan pada setiap hari Sabtu dan Minggu Pukul 05.30 – 09.00 Wib, dengan tujuan untuk mengurangi polusi udara (emisi) dengan cara mengurangi penggunaan kendaraan pribadi pada saat CFD ternyata “jauh panggang dari pada api”. Hal ini dikarenakan lokasi CFD masih banyak dimanfaatkan oleh pengguna kendaraan pribadi, selain bahwa lokasi pelaksanaan CFD saat ini masih terfokus pada wilayah Kambang Ikan (Kambang Iwak).

4. Galian C
Penambangan Galian C terus terjadi baik yang dilakukan secara Legal maupun Ilegal.
Dalam Catatan WALHI Sumsel ada beberapa titik atau wilayah yang dijadikan tempat penambangan, dan hal tersebut berdampak luas terhadap Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat di sekitar Lokasi seperti Debu, Kerusakan Jalan, maupun bagi kesehatan masyarakat. Beberapa lokasi galian C di Kota Palembang yang sempat WALHI investigasi adalah:
  1. Galian C Ilegal yang dilakukan oleh Bapak Arsyad bekerjasama dengan PT. Yoanda Prima PT. SMJ dan PT. Diamond.di Jalan HBR Motik Mako Brimob Kompi B Polda Sumatera Selatan Kelurahan Talang Kelapa Kecamatan Alang-alang Lebar dengan luas Lahan galian 3,3 Ha,
  2. Galian C Ilegal yang dilakukan oleh Saudara ASMADI dan ARSYAD di Perumahan Perumnas Talang Kelapa seluas 1 ha, dan di lokasi gerbang lama Perumahan Perumnas Talang Kelapa atau di dekat rumah kediaman pribadi Wagub Sumsel Bapak Edy Yusuf (seluas ±6,5 ha) dan di lokasi pertambangan ini telah menelan Korban Jiwa seorang anak laki-laki bernama Ahmad Faisal umur 8 Tahun yang terjadi pada 20 Mei 2009 yang sampai saat ini pihak pemilik Galian C ini tidak juga di Proses secara Hukum oleh aparat berwenang sesuai dengan hukum yang berlaku
  3. Pertambangan Bahan Galian Golongan C Ilegal oleh Zainal, Asmadi dan Mayor Kuswanto yang juga melibatkan pihak ke 3 yaitu PT. DIAMON, Galian C ini terletak di areal kelurahan Suko sari Kecamatan alang alang lebar tepatnya disekitar lokasi Komplek perumahan Veteran cacat dengan jumlah areal galian berada di 3 Lokasi yang berdekatan, dengan total luas mencapai 30 Ha
Atas Kasus Galian C yang dilakukan secara Ilegal ini, pada tanggal 30 Juli 2009, WALHI telah melayangkan surat kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kota Palembang, DPRD Sumsel, DPRD Palembang serta Badan Lingkungan Hidup Sumsel dan Kota Palembang – yang intinya mendesak Pihak terkait untuk segera melakukan tindakan penegakan Hukum yang berlaku atas Aktifitas galian C tersebut yang secara jelas telah melanggar UU RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Pembinaan Retribusi Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 32 Tahun 1991, Tentang Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

5. Sungai Musi
Kondisi Sungai Musi saat ini terus saja mengalami Pendangkalan. Sedikitnya dalam setiap tahunnya telah terjadi penumpukan Lumpur dan sampah yang mencapai 6 juta ton.
Hal ini di sebabkan Konversi Hutan/Lahan yang ada di hulu sungai untuk keperluan pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, HTI dan industri lain nya sehingga terjadi Degradasi dan Defortasi terhadap DAS Musi. Selain itu Pencemaran air Sungai yang terjadi sepanjang tahun 2009 oleh perusahaan seperti pencemaran minyak yang dilakukan oleh Pertamina, Limbah CPO PT. SAP, dan Limbah dari PT. Pusri, juga telah memperparah Kualitas air Sungai Musi.

Konflik Agraria
Sengketa pertanahan di Sumsel hingga saat ini terus menjadi salah satu persoalan yang kerap mengemuka. Di tahun 2009 tercatat sebanyak 21 kasus struktural yang mencuat, dengan luasan lahan sengketa seluas 24.243 Ha dengan korban sebanyak 3224 KK.
Persoalan sengketa pertanahan tersebut dipicu akibat perampasan lahan secara sefihak perusahaan-perusahaan disektor perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, diantaranya : PTPN VII (Banyuasin, Ogan Ilir, dan Pagar Alam), PT. Berkat Sawit Sejati (Musim Mas), PT. Hindoli, PT. Buluh Cawang Plantation (Wilmar Group), PT. Empat Lawang Agro Perkasa, PT. Pratama Usaha Jaya, PT. Lonsum, PT. Way Musi Agro Indah, PT. Rosalindo, PT. Waringin Agro Jaya, PT. Tunas Baru Lampung, PT. Minanga Ogan, PT. Sentosa Mulya Bahagia, Sentosa Bahagia Bersama (Haji Alim), PT. MHP.
Terhadap persoalan sengketa pertanahan tersebut, Pemerintah sendiri cendrung mengabaikan bahkan membiarkan masalah yang muncul – sehingga menjadikan sengketa pertanahan semakin meningkat kwantitas dan mempertajam kwalitasnya. Berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pertanahan, telah berdampak kepada berbagai bencana struktural dan sosial bagi rakyat, seperti; kemiskinan, konflik horizontal, dan kriminalisasi.
Sementara disisi lainnya, pola yang kerap dilakukan oleh negara maupun perusahaan dalam merespon sengketa yang terjadi – masih menggunakan cara-cara klasik, yaitu melibatkan Preman, Aparat Kepolisian (Brimob), maupun menciptakan konflik-konflik horizintal.

Rekomendasi
  • Mendesak Pemerintah untuk segera melakukan MORATORIUM terhadap aktifitas Perkebunan,Pertambangan dan Hutan Tanaman Industri di Sumsel
  • Mendesak Pemerintah untuk segera menutup dan mencabut Kuasa Pertambangan, Izin Perkebunan dan Konsesi HTI yang mencaplok Hutan Lindung.
  • Mendesak Pemerintah untuk segera melakukan Audit HGU seluruh perusahaan yang ada di Sumsel yang terbukti telah melakukan Perluasan di luar Kepemilikan Izin nya
  • Mendesak Pemerintah untuk Bertindak Responsif dalam menyelesaikan persoalan Kasus Kasus Agraria (Tanah) dan Pencemaran yang disebabkan Oleh Perusahaan perusahaan yang ada di Sumsel
  • Mendesak Pemerintah Kota untuk segera merealisasikan 30 % RTH, Menghentikan segala bentuk penimbunan Rawa, Mengevaluasi Kebijakan Transportasi dan Segera melakukan Evaluasi terhadap Kebijakan CFD
  • Mendesak Pemerintah Untuk menghentikan segala aktifitas penggusuran yang mengatasnamakan pemenuhan RTH di kawasan perkotaan
  • Mengajak Seluruh Masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyelematkan Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan

Demikianlah catatan lingkungan hidup tahun 2010 ini kami sampaikan.

Palembang, 13 Januari 2010


Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumatera Selatan



Anwar Sadat
Direktur Eksekutif
















Artikel Terkait:

0 komentar: