WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, November 27, 2010

Puluhan Gajah Rusak Pondokan

Palembang, Kompas - Sebanyak 36 gajah sumatera yang habitat aslinya di Hutan Konservasi Tulung Selapan dan Kuala, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, merusak puluhan hektar kebun karet dan ketela pohon milik warga. Selain itu, gajah juga merusak tiga pondokan kayu milik buruh karet.

Menurut Muhammad Harun, Kepala Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Tulung Selapan, yang dikonfirmasi dari Palembang, Sumsel, Kamis (25/11), kawanan gajah liar tersebut pertama kali diketahui kehadirannya pada Senin lalu.

Dua hari pertama, lanjut Harun, gajah-gajah itu masih berada di perbatasan hutan tanaman industri dengan hutan karet rakyat di Desa Ulak Kedondong. Selang dua hari kemudian, gajah-gajah itu sudah memasuki lahan perkebunan dan bertahan di sana hingga kemarin.

Harun memperkirakan, lebih dari 5 hektar kebun karet dan ketela pohon warga rusak parah. Sebagian gajah diduga memakan daun dan batang ketela pohon serta daun tanaman karet muda, sedangkan sebagian lainnya menginjak-injak tanaman hingga mati.

”Dini hari tadi (kemarin), gajah sudah merusak tiga pondokan milik buruh karet. Karena itu, saya minta warga waspada dan berjaga-jaga. Jika sewaktu-waktu kawanan gajah masuk ke pusat permukiman, kentungan harus dibunyikan bertalu-talu,” kata Harun.

Koordinator Divisi Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, membenarkan kejadian itu. Kasus perusakan kebun dan permukiman warga, katanya, memang kerap terjadi di Ogan Komering Ilir, terutama di Kecamatan Pampangan, Tulung Selapan, dan Rambai.

”Namun ingat, jangan salahkan gajahnya. Satwa dilindungi itu terpaksa bermigrasi keluar dari habitat aslinya, menuju kawasan baru, untuk mencari sumber pangan dan air. Pemicunya, habitat asli mereka tak lagi bisa menyediakan sumber pangan karena dikonversi menjadi hutan tanaman industri, terutama perkebunan sawit,” kata Hadi menjelaskan.

Pemangsa warga

Dari Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, dilaporkan, seekor harimau yang diduga memangsa Martunis (25), warga Desa Panton Luas, Kecamatan Tapak Tuan, Aceh Selatan, dini hari kemarin masuk dalam perangkap kayu yang sengaja dibuat warga.

Fakhrurradhi, staf Yayasan Leuser Internasional, ketika dihubungi di Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan, mengatakan, warga meminta harimau tersebut direlokasi ke tempat lain karena trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu itu.

Tanggal 12 Oktober lalu, Martunis ditemukan tewas mengenaskan. Diduga, korban diterkam dan diseret harimau ke suatu lokasi yang jaraknya cukup jauh.

Sehari sebelumnya, korban bersama saudara laki-lakinya, Hirlan Ahmadi, pergi ke kebun di sekitar perbukitan Serindit untuk mencari rotan. (ONI/MHD)

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/26/04255634/puluhan.gajah.rusak.pondokan

Selengkapnya...

Rabu, November 24, 2010

PERNYATAAN SIKAP EKSEKUTIF NASIONAL WALHI

PERNYATAAN SIKAP EKSEKUTIF NASIONAL WALHI TERHADAP PERMINTAAN MAAF GUBERNUR SUMSEL ALEX NOERDIN ATAS PELECEHAN DAN PENGHINAAN PADA WALHI


23 November 2010

Pada 27 Oktober 2010, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melaporkan Gubernur Sumatera Selatan ke Mabes Polri atas kekerasan, pelecehan dan penghinaan terhadap Walhi, termasuk tindak kekerasan terhadap Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, yang terjadi pada 27 September 2010. Hal ini merupakan tindak lanjut dari tidak terpenuhinya tenggat waktu 3X24 jam dalam somasi kepada Gubernur yang telah disampaikan sebelumnya pada 19 Oktober.

Ternyata di hari yang sama, Gubernur Sumsel Alex Noerdin telah menyampaikan permintaan maafnya kepada Walhi dalam acara peringatan hari jadi sebuah suratkabar di Hotel Aryaduta, Palembang yang kemudian diberitakan oleh sejumlah media lokal.

Meskipun permohonan maaf tersebut tidak disampaikan secara khusus kepada Walhi dan telah melewati tenggat waktu yang ditetapkan dalam somasi, Walhi mengapresiasi pernyataan maaf tersebut. Dalam pernyataannya, Gubernur atas nama pemprov Sumsel menghargai Walhi yang menjaga kelestarian lingkungan hidup serta mengajak untuk bersama-sama membangun Sumsel. Oleh karena itu, Walhi berkeputusan untuk mencabut laporannya khusus di Mabes Polri.

Akan tetapi, pencabutan laporan atas pelecehan dan penghinaan di Mabes Polri tidak serta-merta menghentikan penyidikan terhadap kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat Pemprov Sumsel kepada aktivis Walhi Sumsel. Seluruh keluarga besar Walhi dan Walhi Sumsel khususnya juga akan tetap konsisten dalam perjuangannya memastikan pelestarian lingkungan dan pemenuhan hak dan keadilan ekologis bagi masyarakat, termasuk dalam penolakan alih fungsi dan komersialiasi kawasan publik terbuka hijau GOR Palembang.

Seyogyanya kasus ini menjadikan pelajaran untuk ke depannya agar pemerintah menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat dalam memperjuangkan hak atas lingkungan.

Kontak:

Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, +62 815 110 979

Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Selatan, +62 812 7855 725

Selengkapnya...

Selasa, November 23, 2010

HTI Sinar Mas Group Usir Gajah dari Rumahnya


KAYUAGUNG - Puluhan gajah liar tiba-tiba masuk ke kawasan Desa Ulak Kedondong Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Gajah ini tanpa diduga merusak kebun garapan warga serta pondok kediaman petani.


Informasi yang dihimpun, kawanan gajah liar ini sudah tiga hari berada di kawasan Desa Ulak Kedondong dan sekitarnya. Bahkan, warga harus memasang obor dan menabuh kentongan untuk mengusir kawanan gajah liar agar menjauh dari pemukiman penduduk.

Namun obor dan kentongan tadi tidak membuat takut gajah. Justru puluhan ekor gajah ini mengamuk dengan merusak rumah dan kebun warga seraya mengeluarkan suara nyaring membuat warga ketakutan.

Kepala Dusun (Kadus) III Desa Ulak Kedondong, M Harun mengatakan, warga di desanya bersiap-siap menyelamatkan diri dari kemungkinan amukan gajah liar itu.

Selain merusak kebun dan pondok-pondok warga, kawanan gajah dewasa yang berjumlah sekitar 36 ekor itu juga membuat warga takut dengan suaranya yang nyaring sepanjang hari hingga malam.

“Gajah liar itu muncul dari kawasan Desa Kuala II Kecamatan Tulung Selapan. Jika saat ini gajah ini berada di kawasan Cengal, artinya gajah itu berjalan lebih dari 30 kilometer menyusuri sungai dan

belukar, sebab daerah tempat tinggalnya kini semakin habis akibat adanya perusahaan perkebunan yang membuka areal,” katanya.

Kawanan gajah ini menuju Kecamatan Cengal harus melalui Sungai Kuala 12, Sungai Kuala Lebung Itam dan Sungai Lumpur, baru menuju Kecamatan Cengal.

“Kawasan habitat gajah di Kuala 12 saat ini kondisinya sudah berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI), sehingga gajah liar ini mencari lokasi tempat baru,” kata M Harun seraya meminta dinas terkait segera mengambil langkah-langkah untuk menanggulangi permasalahan ini.

Sementara itu, Kapolres OKI AKBP Slamet Widodo SIk melalui Kapolsek Cengal Ipda DK Zendrato Amd.IK mengatakan, pihaknya belum mengetahui keberadaan kawanan gajah yang dikabarkan memasuki kawasan Desa Ulak Kedondong itu.

“Kita belum dapat laporan, namun petugas Dinas Kehutanan tentu lebih mengerti upaya untuk mengusir kawanan gajah liar itu,” kata Kapolsek. (std)

Selengkapnya...

Minggu, November 21, 2010

REDD, Ladang Baru Korupsi

Upaya mereduksi emisi karbon melalui pelestarian hutan atau REDD+ bisa
jadi adalah peluang terbaik untuk menyelamatkan hutan yang tersisa
sekaligus memperlambat laju pemanasan global. Namun, mekanisme ini
juga bisa jadi ladang baru korupsi.

Pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+)
menjadi kontroversi sejak awal kemunculannya. Bagi penentangnya,
mekanisme ini dinilai sebagai siasat negara maju, yang merupakan
emiter karbon terbesar, untuk lari dari tanggung jawab. Daripada
mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan, mereka justru
menawarkan uang kepada negara berkembang asalkan mau melestarikan
hutan yang tersisa.

Di tengah kontroversi itu, negosiasi REDD+ ternyata paling cepat
kemajuannya dibandingkan proyek perubahan iklim lainnya, seperti
transfer teknologi dan bantuan dana untuk adaptasi. Negara-negara
berkembang yang memiliki hutan, seperti Indonesia, dengan gembira
menyambut REDD+, lebih karena melihat besaran dana yang akan didapat.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia memiliki 94
juta hektar hutan dari total 214 hutan tropis di 10 negara Asia
Tenggara sehingga berkepentingan besar terhadap REDD+.

Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR)
menyebutkan, jika Indonesia sukses mengurangi deforestasi sebesar 5
persen saja, kita bisa memperoleh 765 juta dollar AS dalam setahun
melalui mekanisme REDD+. Jika berhasil mereduksi deforestasi hingga 30
persen, bisa memperoleh pendapatan hingga 4,5 miliar dollar AS setahun.

Dalam diskusi panel di International Anti-Corruption Conference (IACC)
Ke-14 di Bangkok, Tim Clairs, penasihat senior UN-REDD Programme,
mengatakan, dana yang telah siap untuk mekanisme REDD+ melalui
lembaganya mencapai 4 miliar dollar AS dalam kurun 2009-2012. Dana ini
di luar kerja sama langsung antarnegara, seperti komitmen bantuan 1
miliar dollar AS yang diperoleh Indonesia dari Norwegia yang
ditandatangani tahun ini.

Rentan korupsi

Namun, di tengah antusiasme negara donor dan juga negara penerima,
Bernd Markus Liss, penasihat kebijakan hutan dari Kerja Sama Teknis
Jerman di Filipina, mengatakan, REDD+ rentan menumbuhsuburkan korupsi.
Potensi korupsi dari REDD+ bisa terjadi sejak proses penentuan lahan,
penghitungan nilai karbon yang rentan dimanipulasi, munculnya broker
karbon, hingga penghilangan akses komunitas lokal terhadap hutan.

Menurut kajian UNDP (Tackling Corruption Risk in Climate Change,
2010), celah korupsi dalam penentuan lahan sangat mungkin terjadi
dengan menyuap petugas mengeluarkan terlebih dulu kayu-kayu bernilai
tinggi di area konsesi. Selain itu, perusahaan multinasional ataupun
industri agrobisnis juga bisa menyuap pejabat untuk memasukkan lahan
yang mereka punyai dalam proyek REDD+.

Liss menyarankan pemberian lisensi, audit, dan investasi REDD+
dilakukan secara transparan. Bahkan, transparansi saja tidak cukup
jika hal itu tidak memasukkan aspek kemanfaatan bagi masyarakat
tempatan. Jika masyarakat sekitar hutan justru bertambah sengsara
setelah hutan mereka dimasukkan dalam proyek REDD+, konflik pasti akan
terjadi.

Kekhawatiran tentang pembajakan oleh koruptor juga disampaikan Peter
Larmour dari The Australian National University. Menurut dia, jika
program REDD+ dikorup, masyarakat lokal sekitar hutan akan tambah
sengsara. Sebab, di satu sisi, REDD+ membuat mereka kehilangan akses
untuk memanfaatkan hutan secara langsung.

Karena itu, parameter antikorupsi telah disepakati sebagai kunci bagi
kesuksesan program REDD+ sehingga PBB mewajibkan negara yang ikut
program ini membuat sistem yang terukur, dapat dilaporkan, dan dapat
diverifikasi. Pemerintah Indonesia meresponsnya dengan membuat
Strategi Nasional (Stranas) REDD+.

Namun, kesangsian masih tinggi mengingat sektor kehutanan selama ini
merupakan ladang subur korupsi. Dan korupsi pula yang menggagalkan
program konservasi dan rehabilitasi hutan. Bahkan, dalam Stranas REDD+
2010 disebutkan, sektor hutan lekat dengan praktik mafia hukum.

Ahmad Dermawan, peneliti dari CIFOR, mengatakan, negara-negara yang
berpeluang mendapatkan dana REDD+ adalah negara yang memiliki reputasi
buruk dalam pemberantasan korupsi, salah satunya adalah Indonesia.

Ditetapkannya salah satu negosiator REDD+ Indonesia dalam Konferensi
Internasional tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Wandojo Siswanto,
sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menguatkan
kesangsian tentang integritas para pihak, terutama dari kalangan
pemerintah. Mantan Direktur Perencanaan dan Keuangan Kementerian
Kehutanan ini diduga menerima suap dari Direktur PT Masaro Radiokom
Anggoro Widjojo dalam perkara pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

Selain potensi korupsi dari kalangan pengelola negara, Dermawan juga
mengingatkan, beberapa perusahaan (baik skala nasional maupun
internasional), yang sebelumnya terlibat penghancuran hutan dan
lingkungan, kini ramai-ramai mengajukan proposal REDD+. Karena itu,
semestinya ada upaya untuk melacak rekam jejak sektor swasta agar
program REDD+ tidak menjadi area korupsi dan pencucian uang.

Julie Walters dari Australian Institute of Criminology mengatakan,
korupsi kehutanan sangat dekat dengan kejahatan pencucian uang. Karena
itu, untuk mengungkap kasus ini salah satunya adalah dengan melacak
uang hasil kejahatan sektor kehutanan ini.

Namun, menurut Ajit Joy, Country Manager UN Office on Drugs and Crime
(UNODC) Indonesia, upaya mengungkap pencucian uang ini tidak mudah
dilakukan. Apalagi hal ini juga melibatkan sindikat kejahatan
transnasional.

Dalam kasus di Indonesia, menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency
International Indonesia Todung Mulya Lubis, masalahnya menjadi lebih
rumit lagi karena sejumlah perusahaan kayu juga memiliki bank sendiri
sehingga uang hasil dari korupsi di sektor kehutanan bisa dengan mudah
dicuci.

Tanpa memperbaiki komitmen antikorupsi para pihak, REDD+ tampaknya
akan menjadi ladang baru bagi korupsi baru. Dan rakyat sekitar hutan
menjadi pihak yang paling rentan terdampak dan secara global mitigasi
perubahan iklim bisa gagal

Ahmad Arif

Selengkapnya...

Paduan Maut : Korupsi dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi ancaman bagi keberlanjutan spesies
manusia di bumi. Bagi masyarakat di negara berkembang, yang rentan
terdampak, ancaman itu kian serius karena upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim rentan dibajak koruptor.

Pesan tentang pentingnya mewaspadai korupsi dalam perubahan iklim
ditegaskan dalam International Anti-Corruption Conference (IACC) Ke-14
di Bangkok, Thailand, pada 10-13 November 2010. Sejumlah sesi secara
khusus membahas korupsi yang bisa menggagalkan upaya adaptasi dan
mitigasi terhadap perubahan iklim itu.

Laporan teranyar Global Humanitarian Forum (The Anatomy of Silent
Crisis, Geneva, 2009) menyebutkan, perubahan iklim menyebabkan
kematian 300.000 orang dalam setahun dan berdampak pada hidup 325 juta
orang. Banjir, kekeringan, topan, naiknya muka air laut, gelombang
panas, gagal panen, hingga meningkatnya penyebaran berbagai penyakit
hanya sebagian contoh dari dampak perubahan iklim yang telah hadir.

Namun, negara yang paling terdampak dan membutuhkan bantuan untuk
beradaptasi adalah juga yang paling korup. Berdasarkan survei
Transparency International (TI) 2010, hampir semua negara rentan
terhadap perubahan iklim memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di
bawah 3,5 (dari skala 10).

Negara dengan IPK terendah adalah Somalia, yaitu 1,1, diikuti Myanmar
dengan nilai 1,4 dan Afganistan juga 1,4. Indonesia, sebagai salah
satu negara kepulauan yang juga rentan terdampak, memiliki IPK 2,8
atau peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei.

Korupsi jalan terus

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan
Bank Dunia memperkirakan komunitas internasional membutuhkan dana 170
miliar-765 miliar dollar AS per tahun untuk menghadapi perubahan
iklim. Walau jumlah dana yang dibutuhkan sudah dihitung, tetap saja
belum ada kesepakatan bagaimana uang itu dikumpulkan, didistribusikan,
dan dimonitoring. Di tengah ketidakpastian ini, korupsi sudah mengintai.

UNFCCC di Kopenhagen 2009 berkomitmen mengalokasikan dana 30 miliar
dollar AS pada 2010-2012, dan menjadi 100 miliar dollar AS pada 2020,
untuk membantu negara berkembang beradaptasi terhadap perubahan iklim.
”Semakin besar dana yang mengalir, potensi korupsi juga besar,” kata
Iftekhar Zaman, Direktur Eksekutif TI Banglades.

Besarnya potensi korupsi dalam pengelolaan dana untuk menghadapi
perubahan iklim, kata Iftekhar, karena belum ada kemajuan dan
perubahan integritas di kalangan politisi, khususnya di negara
berkembang. ”Lebih dari separuh politisi korup,” katanya, mengacu pada
studi yang dilakukan di Banglades. Apa yang terjadi jika uang itu
digelontorkan sebelum politisi korup menyadari gentingnya dampak
perubahan iklim terhadap rakyat?

Hakan Tropp, penasihat pada Program Pembangunan PBB (UNDP) Water
Governance Facility (WGF), menilai, korupsi menyebabkan biaya adaptasi
kian mahal, tak terjangkau pendanaan yang ada, dan jauh dari sasaran.
”Padahal, yang paling terdampak adalah yang paling miskin,” katanya.

Menurut Hakan, potensi korupsi juga besar jika mekanisme yang dipakai
masih sama seperti proyek multinasional sebelumnya. ”Apakah kita masih
mau mengirimkan dana melalui proyek Bank Dunia seperti sebelumnya?”
ujarnya. Dia menyarankan agar dicari terobosan baru yang lebih
transparan dan tidak top down dalam penyaluran dana adaptasi ke negara
yang membutuhkan.

Pengalaman masa lalu mengajarkan, proyek yang didanai melalui lembaga
keuangan multinasional dengan mekanisme top down dan minim partisipasi
lokal rentan dikorup, selain juga salah sasaran dan memicu konflik.
Direktur Bank Dunia Sri Mulyani, yang menjadi pembicara dalam
pembukaan konferensi, menyatakan, Bank Dunia kini punya komitmen
tinggi terhadap pemberantasan korupsi.

Belajar dari kegagalan proyek yang disalurkan lewat pemerintah,
menurut Hakan, penentu kebijakan global kini juga tengah menjajaki
kemungkinan penyaluran dana adaptasi melalui sektor swasta. Namun, di
banyak negara berkembang, sektor swasta juga tak kalah korup
dibandingkan pemerintahnya.

Menurut Hakan, prasyarat yang harus disiapkan sebelum menerapkan
program adaptasi di negara berkembang adalah meningkatkan integritas
pemerintah dan sektor swastanya. Selain itu, juga meningkatkan
partisipasi gerakan sipil untuk turut mengawasi.

Susannah Kinghan, konsultan dari Water Integrity Network (WIN),
menyebutkan, salah satu titik rentan korupsi dalam adaptasi adalah
sektor air. Mengingat besarnya dampak perubahan iklim pada masalah
air, alokasi dana ke sektor ini juga besar.

Masalah menjadi lebih kompleks karena air lekat dengan masalah politik
dan konflik lintas batas negara. Ia mencontohkan Sungai Yordan, yang
menjadi sumber konflik antara Israel, Jordania, dan Palestina. Contoh
lain adalah konflik perebutan air Sungai Mekong yang melibatkan China,
Myanmar, hingga Thailand.

Susannah juga menyebutkan tentang tren korupsi berupa penyesatan
informasi untuk menutupi tanggung jawab yang mestinya dipikul
pemerintah. Ia mencontohkan banjir di Pakistan dan Banglades, yang
oleh otoritas setempat disebutkan karena perubahan iklim. Padahal,
banjir itu juga karena kerusakan hutan dan buruknya tata kelola air.

Contoh itu mengingatkan pada kasus banjir dan longsor di Wasior, Papua
Barat, serta kasus lain di Indonesia. Pemerintah biasa menyalahkan
alam. Membuka akses informasi, kata Susannah, bisa mencegah korupsi
karena itu artinya publik turut berpartisipasi aktif sejak dari
perencanaan hingga pengawasan.

Upaya mengatasi perubahan iklim mensyaratkan perubahan cara pandang
untuk tak lagi melihat permasalahan sebagai business as usual, apalagi
korupsi as usual. Namun, faktanya, negara maju, pembuang emisi karbon
terbesar, sibuk bersiasat untuk menghindar dari tanggung jawab. Di
negara berkembang, korupsi masih jalan terus dan belum ada tanda
menjadi lebih baik. (Ahmad Arif)


Selengkapnya...

Jumat, November 12, 2010

Surat Protes atas Penembakan Petani Jambi

Kepada Yth.

Kepala Kepolisan Republik Indonesia

Di tempat


Atas tewasnya Ahmad (45) warga Desa Senyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, yang merupakan anggota dari Persatuan Petani Jambi (PPJ) yang ditembak oleh Brimob Polda Jambi pada hari Senin, 8 November 2010 pada pukul 13.30 (waktu setempat), maka dengan ini;

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan menyatakan protes keras dan mengutuk tindakan penembakan yang dilakukan oleh anggota Brimob Polda Jambi di lapangan.

Bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri terhadap petani dan warga sipilnya sudah sangat sering terjadi di Propinsi Jambi. Dalam kasus yang sama antara Petani dengan PT. WKS (anak perusahaan Sinar Mas Group), pada priode Desember 2007 sebanyak 21 orang petani Desa Lubuk Mandarsah ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian. Kemudian pada tanggal 2-3 Agustus 2010 yang lalu, dua petani Desa Senyerang di tembak oleh Kepolisian Resort Tanjabbar saat tengah berhadap-hadapan dengan warga. Dan hari ini Senin, 8 Nopember 2010 perbuatan keji serupa kembali dilakukan oleh Brimob Polda Jambi terhadap petani, 2 orang di tembak dan 1 orang bernama Ahmad (45) meninggal dunia akibat bersarangnya peluru tajam di kepala korban.

Bahwa tindakan brutal yang dilakukan oleh Brimob Polda Jambi dengan cara menembaki massa aksi petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) merupakan pelanggaran HAM yang bertentangan dengan hukum dan melanggar pasal 7 UU No. 9 Tahun 1998, berbunyi : Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk Melindungi Hak Asasi Manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan.

Bahwa pihak kepolisian tidak dibenarkan terlibat dan ikut campur dalam konflik pertanahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, dengan cara melindungi perusahaan, menghadang masyarakat dan melakukan serentatan tindakan pelanggaran HAM.

Bahwa semestinya pihak kepolisian memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang terlibat konflik lahan seluas 7.224 ha antara masyarakat dengan PT. WKS. Polisi harus melindungi rakyat, bukan sebaliknya menjadi “Anjing” perusahaan.

Atas perlakuan keji Brimob Polda Jambi tersebut diatas, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan, menyatakan sikap dan mendesak kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia serta mendesak kepada pemerintahan terkait untuk :

  1. Mengutuk keras tindakan brutal dan represiv aparat kepolisian (Brimob Polda Jambi) atas penembakan yang menewaskan Anggota PPJ;
  2. Menuntut ditegakkannya hukum dengan menindak tegas pelaku penembakan terhadap Anggota PPJ;
  3. Usut tuntas peristiwa tersebut dan segera copot Komandan Brimobda Jambi dan Kapolda Jambi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kekerasan yang dilakukan oleh jajaran bawahannya;
  4. Segera cabut izin PT. WKS dari Provinsi Jambi;
  5. Menuntut kepada Menteri Kehutanan RI untuk segera mengembalikan tanah petani yang telah dirampas oleh PT. WKS; dan
  6. Segera hentikan segala bentuk kekerasan terhadap petani.

Demikianlah surat ini kami sampaikan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Palembang, 9 Nopember 2010


Anwar Sadat

Direktur Eksekutif

Selengkapnya...

Ribuan desa belum menikmati Listrik

Perlu Ada Percepatan

Palembang, - Pembangunan jaringan infrastruktur listrik di desa melalui program listrik desa dinilai sia-sia karena belum diimbangi dengan suplai aliran listrik memadai. Oleh karena itu, PT PLN perlu mempercepat penambahan pasokan listrik agar program ini selesai tepat waktu pada 2014.
Pejabat Pembuat Komitmen Listrik Desa Sumsel, Agus Herkules, di Palembang, Kamis (11/11), mengatakan, program listrik desa masih terus berjalan sepanjang tahun 2010. Berdasarkan data proyek, kini 2.413 desa di Sumatera Selatan sudah dialiri listrik atau 81,25 persen dari total 2.970 desa. Artinya, masih tersisa 557 desa lagi yang belum berlistrik.
Dia menargetkan program listrik desa tersebut tuntas pada 2014. Namun, pembangunan jaringan infrastruktur tidak serta-merta bisa menjamin penduduk di desa terkait langsung menikmati layanan listrik.
”Alasannya, pembangunan jaringan listrik ini perlu diimbangi dengan penambahan suplai energi dari PT Perusahaan Listrik Negara. Padahal, kita tahu sendiri bahwa PT PLN masih mengalami kekurangan daya, terutama jika timbul ada masalah pada pembangkit,” kata Agus.
Rp 22, 9 miliar
Tahun ini Sumsel mendapat alokasi dana dari APBN Rp 22,9 miliar untuk membangun jaringan tegangan menengah sepanjang 104,29 kilometer sirkuit dan jaringan tegangan rendah sepanjang 85,35 kilometer sirkuit. Dana yang dimasukkan dalam pos program listrik desa ini juga termasuk pembelian 4.000 unit kWh.
”Pengerjaan jaringan sedang dilakukan di sejumlah titik serta langsung ditangani Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk program tahun 2010, difokuskan pada 20 desa yang sudah dapat menikmati aliran listrik. Dari ke-20 desa tersebut, ditargetkan menggaet 4.000 pelanggan baru,” katanya.
Dalam pemasangan jaringan dan transmisi, Agus memastikan jaringan yang dibangun dan sampai ke rumah pelanggan dialiri listrik. Namun, dalam pengaliran atau pasang baru, warga harus mengajukan permohonan menjadi pelanggan kepada PT PLN.
Sebelumnya Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengatakan, pengembangan jaringan kelistrikan daerah perlu diimbangi dengan percepatan penambahan suplai listrik dari PT PLN. Sebagai solusi, sejumlah pemerintah kabupaten sedang membangun pembangkit.
”Yang digunakan antara lain PLTMH atau pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk daerah hulu. Selain itu, ada juga yang mencoba sistem PLTS atau pembangkit listrik tenaga surya, terutama di daerah bantaran sungai, rawa-rawa, dan pesisir pantai,” katanya.


Selengkapnya...

Penanganan Banjir Kota Palembang Belum Maksimal

Palembang,- Bencana banjir di Kota Palembang dua kali berturut-turut dalam sepekan ini terjadi karena upaya penanganan bencana dari Pemerintah Kota Palembang belum maksimal. Untuk itu, perlu ada perubahan kebijakan dalam pengaturan sistem drainase dan lingkungan perkotaan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, banjir terjadi pada Senin malam dan Rabu (9/11) dini hari. Sejumlah tempat yang tergenang parah misalnya halaman kantor gubernur dan kantor bank di Jalan Kapten Rivai.
Menurut Asnawi Sukamto (43), kepala keamanan Bank Mandiri di Jalan Kapten Rivai, dua kantor bank yang digenangi banjir adalah Bank Mandiri dan BCA. Malam itu, banjir bertambah parah karena pintu saluran air menuju Sungai Sekanak dalam kondisi tertutup.
”Kami tidak bisa membuka air karena kewenangannya pemkot. Biasanya kalau siang dijaga, malam hari pintu air tidak pernah dijaga,” katanya.Rata Penuh
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Palembang, khususnya Dinas Pekerjaan Umum, perlu memperbaiki sistem penjagaan pintu air agar dampak banjir di jalan utama Kota Palembang bisa diminimalisasi.
Menurut Momon Sodik Imanuddin, pengamat ekologi dari Universitas Sriwijaya, Palembang, pengendalian banjir di Palembang tak hanya cukup dilakukan dengan membenahi drainase saja, tetapi juga perlu diimbangi dengan pembenahan tata ruang lahan rawa. ”Rawa ini merupakan salah satu karakteristik dari Palembang yang fungsinya untuk menampung air hujan. Kalau rawa beralih fungsi, terjadilah banjir,” ujarnya.


Selengkapnya...

Senin, November 08, 2010

Petani Jambi tewas di tembak BRIMOB

Jambi-KPA: Jambi semakin memanas. Sengketa lahan antara petani dan PT Wira Karya Sakti (WKS), kembali memakan korban jiwa. Satu orang petani tewas di tembak polisi dan puluhan petani lainnya luka-kuka. Satu kapal Tongkang dibakar warga di perairan sungai Pengabuan, Senyerang, Jambi.

Insiden berdarah ini terjadi Senin siang (8/11/2010), sekitar jam 13:00, saat ribuan petani dari lima kabupaten di Jambi melakukan aksi blokir jalan di kawasan perairan sungai Pengabuan, Senyerang, Jambi.

Entah bagaimana awalnya. Saat petani sedang melakukan aksi damai dengan cara menutup jalur produksi dan distribusi yang selama ini digunakan oleh PT Wira Karya Sakti (WKS), tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah belakang. Para petani yang sedang duduk-duduk, sambil membentangkan sepanduk berisi tuntutan, agar PT WKS harus segera mengembalikan lahan milik warga seluas 7.224 hektar milik warga Senyerang, yang kini dikuasai anak perusahaan PT Sinar Mas Groups itu, berubah kacau.

Seorang petani yang bernama Ahmad, tiba-tiba tersungkur dan berlumuran darah. Batok kepalanya, jebol tertembak sebuah peluru panas yang datang dari arah ratusan pasukan Brimob Polda Jambi yang menjaga aksi ribuan petani itu.

Melihat ada seorang petani tertembak dan mati ditempat, aksi damai yang dilakukan petani itupun berubah beringas. Ratusan warga yang tinggal disekitar perairan sungai Pengabuan pun ikut marah dan membakar satu Kapal Tongkang yang diduga milik PT Wira Karya Sakti.

Melihat situasi semakin kacau, ratusan polisi dan brimob dari Polda Jambi pun semakin kalap. Mereka menggepuk semua warga dan petani yang ada disekitar kawasan perairan sungai tersebut.

Melihat pasukan dari kepolisian itu kalap, warga dan petani pun beramburan untuk menyelamatkan diri.

Hingga berita ini diturunkan, Kapal Tongkang yang dibakar warga, belum dipadamkan. Api pun masih membumbung tinggi. Belum dapat diketahui pasti berapa jumlah korban yang luka-luka dan apakah masih ada korban tembak lainya.

Namun, dapat diperkirakan kerugian matriil akhibat insiden ini mencapai ratusan juta rupiah. Para petani berjanji tetap akan kembali melakukan aksi hingga semua tuntutan atas kepemilikan tanah yang kini dirampas perusahaan PT Wira Karya Sakti, dikembalikan kepada petani.

Bagi para petani, tanah adalah sumber kehidupan yang harus dipertahankan sampai mati. Tak ada sedikitpun rasa gentar bagi petani, walau pada aksi-aksi sebelumnya juga sudah pernah terjadi insiden semacam ini. Hingga kini, sedikitnya sudah dua petani yang tewas tertembak timah panas dalam sengketa lahan antara PT Wira Karya Sakti dengan petani*-Sidik Suhada-

www.kpa.or.id

Selengkapnya...