WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Januari 31, 2010

Adipura Bakal Terganjal Drainase

Sunday, 31 January 2010
PALEMBANG (SI) – Proses penilaian Adipura tahap pertama oleh pemerintah pusat hampir memasuki tahap akhir.Sejumlah titik penilaian masuk dalam kategori aman,kecuali drainase dan saluran air yang tak maksimal.

Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang Kms Abubakar mengemukakan, dari 160 titik pantau penilaian Adipura tahun 2009–2010,Palembang saat ini masih berada di posisi aman untuk kategori kota metropolitan.Namun, untuk titik penilaian drainase dan saluran air lain, masih perlu peningkatan.

”Kita yakin masuk lima besar karena sejumlah titik pantau, seperti pasar, terminal, rumah sakit, penilaiannya mungkin masih bagus. Meskipun kita belum tahu berapa nilainya,saya optimistis masih bagus. Nah, kalau drainase, kemungkinan masih belum optimal karena banyak drainase yang perlu peningkatan kebersihannya,”ujarnya di Palembang kemarin. Selain drainase, lanjut Abu, penghijauan kota juga kemungkinan masih belum maksimal.

“Tetapi sekarang kita sudah upayakan untuk menggalakkan penghijauan, khususnya di pemukiman di kelurahan dan kecamatan. Karena itu, kita harapkan agar ini terus ditingkatkan, sehingga penghijauan di Palembang bisa makin optimal,” bebernya. Sedangkan untuk yang paling baik, tambah Abu, kemungkinan penilaian di bidang pengomposan dan 3R (reuse, recycle, dan reduce).

“Upaya kita untuk menerapkan 3R ini, sudah maksimal. Itu terlihat dari tempat sampah di berbagai dinas, instansi, sekolah, atau pusat perbelanjaan yang sudah dipisah antara sampah organik dan nonorganik.Inilah yang harus ditingkatkan lagi,”paparnya. Sementara untuk penilaian tahap kedua, diperkirakan baru akan dilakukan pada awal Maret mendatang.

“Memasuki tahap kedua ini, kita minta peran serta masyarakat untuk lebih aktif dalam menjaga kebersihan lingkungannya.Termasuk, dengan membersihkan drainase yang ada di tempat tinggalnya,” tegasnya. Mengenairendahnya nilaisistem drainase dan saluran air sendiri,Kepala Dinas PU-BM Palembang Kira Tarigan menjelaskan,untuk pembenahan drainase dan kolam retensi di Palembang,pihaknya mengajak seluruh camat dan lurah untuk bekerja sama.

“Kita minta seluruh camat dan lurah untuk membantu mengawasi drainase dan saluran air yang ada di kawasannya. Sebab, mereka yang mengawasi terdekat dengan lingkungan nya,” sebutnya. Kira menambahkan, sejauh ini Palembang memang masih membutuhkan penambahan kolam retensi.

Untuk kota dengan luas 102,47 km2, setidaknya Palembang membutuhkan sampai 50 kolam retensi. “Sekarang ini, baru ada 20 kolam.Untuk itu, tahun depan kita akan upayakan penambahan kolam retensiyangbarulagi.Inijugauntuk menunjang 19 sistem drainase yang ada di Palembang,”tegasnya. Dia mengatakan,dari 20 kolam retensi yang ada juga telah mengalami pendangkalan.

“Idealnya kolam retensi itu memiliki kedalaman sampai 5 meter. Sekarang karena sudahtertutupLumpurdansampah, kedalaman tinggal 2,5 meter saja.Ini sangat memengaruhi daya tampung dari kolam retensi,”kata dia. Selainsampahdanlumpur,lanjut Kira,limbah cucian mobil juga membuat sedimentasi di kolam retensi makin parah. “Sedimentasi makin parah karena limbah cucian mobil membentuk endapan.

Kita sudah peringatkan sejumlah cucian mobil untuktidakmembuanglimbahnya di kolam retensi.Tapi,masih ada juga yang melanggar,”ungkapnya. Untuk menanggulangi hal ini, tambah Kira,tahun ini Dinas PU-BM fokus melakukan pengerukan kolam retensi. Sebanyak 13 kolam retensi akan dikeruk mulai pertengahan tahun ini.

“Tahun lalu kita sudah keruk lima kolam retensi,yakni kolam di samping RS Siti Khodijah,Talang Aman,Perumnas,depan Yayasan IBA, dan Kambang Iwak Kecik (samping Masjid Taqwa),”urainya. Mengenai dananya, imbuh dia, termasuk dalam dana pemeliharaan rutin di Dinas PU-BM, yakni Rp250 juta.

“Dananya masuk dana rutin.Yang jelas, tahun ini kita fokus juga melanjutkan pengerukan di kolam retensi. Bahkan pada tahun ini,kita akan mendapatkan kucuran dana dari Jepang sebesar Rp40 miliar. Rencananya dana ini untuk normalisasi Sungai Bendung, Sungai Aur,Sekanak,dan Sungai Buah. Ini juga ada bantuan dari Balai Sungai Wilayah Sumatera VIII,”jelas dia.

Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya dan Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (walhi) Sumsel, Hadi Djatmiko mengungkapkan, pihaknya akan melakukan pengawalan ketat terhadap rencana tata ruang wilayah yang akan digagas Pemkot Palembang. “Tujuannya agar kolam retensi dan drainase yang ada saat ini tidak akan terulang lagi pada masa mendatang. Ini merupakan pekerjaan yang harus segera diselesaikan Pemkot Palembang,” ujarnya tadi malam.

Hadi mengatakan, kondisi kolam retensi dan drainase di Kota Palembang memang cukup memprihatinkan. ”Seharusnya pemkot tidak hanya berupaya meningkatkan jumlah kolam retensi tersebut, tetapi juga harus mencarikan solusi. Bahkan, upaya pengerukan yang dilakukan Pemkot Palembang jangan hanya formalitas, harus terus rutin dilakukan, ”tegasnya. Dia menambahkan,Pemkot Palembang seharusnya dapat lebih memperketat pemberian izin untuk memperluas galian tersebut.

”Jangan sampai proyek tersebut sampai ke tangan yang kurang berkompeten, sehingga terkesan hanya menghambur-hamburkan uang APBD. Bahkan, daripada melakukan pembangunan kolam retensi yang baru, ada baiknya lebih perhatian untuk memperluas ruang terbuka hijau dan mempertahankan rawa-rawa sebagai daerah serapan air yang ada, itu lebih dari cukup untuk meminimalisasi timbulnya banjir di kota Palembang ini.Tanpa upaya itu semua, drainase dan banjir tetap menjadi masalah,”katanya. (andhiko tungga alam)




Selengkapnya...

Pengesahan RTRW Sumsel Molor

Sabtu, 30 Januari 2010 | 02:31 WIB

PALEMBANG, KOMPAS - Pengesahan rencana tata ruang wilayah Provinsi Sumatera Selatan molor hingga akhir 2010. Kurangnya koordinasi internal antardinas, aspirasi masyarakat, dan lemahnya basis data spasial ditengarai menjadi penyebab.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Penataan Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Selatan Regina Ariyanti mengakui hal itu pada diskusi publik ”Mewujudkan Rencana Tata Ruang Provinsi Sumatera Selatan yang Berbasiskan Keselamatan Rakyat dan Lingkungan” Jumat (29/1) di Wisma Maharani, Kota Palembang.

”Seharusnya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTRW provinsi harus disahkan selambatnya akhir 2009. Sebab, tahun 2010, RTRW provinsi akan dijadikan acuan untuk menyusun RTRW kabupaten dan kota,” kata Regina seusai diskusi.

Penyebab molornya pengesahan RTRW Sumsel terutama karena lemahnya koordinasi antardinas dan instansi pemerintah. Menurut Regina, beberapa dinas seolah tak terbuka terhadap rencana kerja mereka yang berkaitan penggunaan wilayah. Bappeda Sumsel mengonfirmasi rencana kerja dinas itu sejak Januari.

Penyebab lain adalah kurangnya sosialisasi publik mengenai RTRW sehingga banyak aspirasi masyarakat yang belum terakomodasi dalam rancangan RTRW Sumsel. Masalah itu akan diatasi dengan cara menggiatkan konsultasi publik di tingkat kabupaten kota.

Tak berpihak

Pemutakhiran data spasial berupa peta wilayah, foto udara, dan citra satelit juga menjadi masalah. Jumlah data masih minim sehingga berpengaruh terhadap kedetailan teknis penyusunan RTRW.

”Kami sudah bekerja sama dengan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebagai penyedia data. Semoga tahun ini pemutakhiran data bisa terwujud,” kata Regina.

Regina berjanji akan menuntaskan RTRW akhir tahun 2010 seoptimal mungkin. Namun, menurut Raflis, anggota Transparancy International Indonesia, kemunduran pengesahan RTRW justru akan membuka peluang terhadap investasi yang tak berpihak pada kepentingan publik maupun lingkungan hidup.

Salah satu contoh adalah wacana alih fungsi lahan Gedung Olahraga Sriwijaya di Kota Palembang menjadi pusat perbelanjaan dan hotel. Padahal, dalam RTRW yang masih berlaku, kawasan itu seharusnya menjadi ruang terbuka hijau.

”Pemerintah daerah harus konsisten. Seluruh izin pembangunan harus distop sampai ada rencana yang detail,” katanya.

Dosen arsitektur Universitas Muhammadiyah Palembang, Zuber Angkasa, mengatakan, para akademisi siap membantu Pemprov Sumsel menyusun RTRW. ”Kami siap membantu sesuai keahlian masing-masing,” ujar Zuber. (YOP)




Selengkapnya...

Sabtu, Januari 30, 2010

DAFTAR PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PRIORITAS TAHUN ANGGARAN 2010
NO : JUDUL RUU
1 RUU tentang Intelijen
2 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
3 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum
4 RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian
5 RUU tentang Kelautan
6 RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar
7 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman
8 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang
Jalan
9 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun
10 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi
11 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi
12 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat
13 RUU tentang Penanganan Fakir Miskin
14 RUU tentang Jaminan Produk Halal
15 RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
16 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
17 RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
18 RUU tentang Keperawatan
19 RUU tentang Gerakan Pramuka
20 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan
21 RUU tentang Bantuan Hukum
22 RUU tentang Mata Uang
23 RUU tentang Perekonomian Nasional
24 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
25 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik
26 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
27 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
28 RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan
29 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang
Protokol
30 RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan DPR
31 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya
32 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
33 RUU tentang Konvergensi Telematika
34 RUU tentang Tindak Pidana Teknologi Informasi
35 RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara
36 RUU tentang Administrasi Pemerintahan
37 RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
38 RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
39 RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
40 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi
41 RUU tentang Keimigrasian
42 RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
43 RUU tentang Perdagangan
44 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara
45 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Koperasi
46 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian
47 RUU tentang Keantariksaan
48 RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
49 RUU tentang Transfer Dana
50 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
51 RUU tentang Pengelolaan Keuangan Haji
52 RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah
53 RUU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
54 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
55 RUU tentang Badan Usaha Milik Daerah
56 RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan
57 RUU tentang Informasi Geospasial
58 RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta

NO DAFTAR RUU KUMULATIF TERBUKA

1 Daftar RUU Kumulatif Terbuka tentang Pengesahan Perjanjian Internasional
2 Daftar RUU Kumulatif Terbuka akibat Putusan Mahkamah Konstitusi
3 Daftar RUU Kumulatif Terbuka tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
4 Daftar RUU Kumulatif Terbuka tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota
5 Daftar RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang






Selengkapnya...

Kamis, Januari 28, 2010

Walhi Sumsel Ingatkan Amdal Bus Transmusi

Antara - Selasa, 26 Januari

Palembang (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel) mengingatkan agar rencana operasional Bus Rapid Transit (BRT) Transmusi di Kota Palembang harus dilengkapi lebih dulu dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Manager Pengembangan Sumberdaya Organisasi (PSDO) WALHI Sumsel Hadi Jatmiko mendampingi Direktur Eksekutifnya Anwar Sadat di Palembang, Selasa, mengingatkan, menjadi kewajiban Pemkot Palembang sebagai pemrakarsa BRT Transmusi untuk melengkapi Amdal-nya.

"Dokumen Amdal itu dapat menjadi acuan, sehingga operasional Bus Transmusi tidak akan menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat dan berdampak buruk bagi pelestarian lingkungan di Palembang," ujar Hadi pula.

Menurut dia, hingga saat menjelang peluncuran operasional Bus Transmusi itu ternyata belum diketahui adanya dokumen Amdal tersebut.

Padahal Amdal merupakan syarat mutlak bagi setiap kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup, seperti diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup serta PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal.

Apalagi, lanjut Hadi, tujuan operasional Bus Transmusi itu adalah untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, mengurangi emisi karbon dari gas buang kendaraan bermotor, serta menciptakan keamanan, kenyamanan dan ketepatan waktu bagi masyarakat pengguna kendaraan umum sehingga akan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi.

Karena itu, WALHI Sumsel mendesak Pemkot Palembang untuk menghentikan sementara operasional BRT Transmusi sebelum semua persyaratan Amdal dipenuhi.

Pemkot Palembang juga diminta segera membuat peraturan daerah (perda) tentang pembatasan kepemilikan dan pemakaian kendaraan pribadi sebagai solusi untuk mengatasi polusi udara dan mengurangi kemacetan di jalan.

"Kami juga menuntut agar Pemkot Palembang segera merealisasikan 30 persen ruang terbuka hijau sesuai dengan mandat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang sebagai salah satu solusi mengatasi persoalan lingkungan di Palembang ini," demikian Hadi Jatmiko.





Selengkapnya...

Minggu, Januari 24, 2010

Walhi Sumsel Kritik Keras Komnas HAM

Sriwijaya Post - Sabtu, 23 Januari 2010 14:04 WIB

PALEMBANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel mengkritik kerjasama antara Komnas HAM dengan Pemprov Sumsel. Kerjasama tersebut dinilai mengaburkan semua persoalan pelanggaran HAM di Sumsel.

Pernyataan tersebut dikeluarkan Walhi Sumsel terkait dengan kerjasama pembangunan jejaring hak asasi manusia di Provinsi Sumsel. Perjanjian itu sendiri ditandatangani Kamis (21/1) lalu.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat dalam pesan singkatnya menyesalkan munculnya pernyataan dan kerjasama tersebut. Menurutnya masih banyak kejadian di Provinsi Sumsel yang menunjukan pelanggaran HAM.

"Kerjasama itu hanya akan menjustifikasi atau mengaburkan persoalan pelanggaran HAM oleh Pemprov Sumsel terhadap rakyat Sumsel yang sampai saat ini masih berjuang mati-matian mendapatkan tanah yang telah dirampas oleh perusahaan perkebunan," kata Sadat.

Lebih lanjut, sementara rakyat berjuang keras mendapatkan hak atas tanah dan lingkungan hidup, Pemda Sumsel hanya duduk diam dan membiarkan perampasan hak yang dimiliki oleh rakyat Sumsel.

Dalam pernyataannya, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menyatakan bahwa Pemprov Sumsel sudah memenuhi hak rakyat akan kesehatan, perumahan, pendidikan dan bantuan hukum.

Ifdhal mengatakan, kerjasama jejaring HAM yang dilakukan Komnas baru dilakukan di tiga provinsi, yakni Bali, Kalimantan dan Sumsel. Untuk Sumsel, pelayanan dasar yang menjadi hak masyarakat sudah dilakukan Pemprov Sumsel, seperti kebutuhan akan hak kesehatan, pendidikan, perumahan dan perlinndungan hukum dengan penyediaan bantuan hukum secara gratis.

Soegeng Haryadi




Selengkapnya...

Sabtu, Januari 23, 2010

Walhi Surati Komnas HAM

Palembang, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan mengirimkan surat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta agar meneliti lebih jauh berbagai persoalan HAM di Sumsel.

Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, Jumat (22/1), mengatakan, pihaknya mengirimkan surat tersebut sebagai tanggapan atas penandatanganan nota kesepahaman Jejaring HAM antara Komnas HAM dan Pemerintah Provinsi Sumsel, Kamis (21/1).

Menurut Anwar, masih terdapat berbagai kasus pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat Sumsel, seperti kasus sengketa tanah di Rengas dan Sidomulyo. Komnas HAM diharapkan memeriksa kembali berbagai persoalan HAM di Sumsel.

Sakiti rakyat

Anwar mengatakan, upaya Komnas HAM membangun kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumsel hanya menyakiti hati rakyat. Sebab, kerja sama itu seolah-olah menunjukkan pemerintah provinsi telah melindungi hak asasi warga Sumsel.

Anwar menambahkan, surat tersebut ditembuskan kepada Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Direktur Sawit Watch, Sekjen Komisi Pembaruan Agraria, dan Sekjen Serikat Petani Indonesia.

Kecewa hasil pertemuan

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Sumsel Erza Saladin dalam acara bincang Kompas di Radio Sonora Palembang mengaku kecewa dengan hasil pertemuan Komisi I DPRD Sumsel dan PTPN VII, Rabu.

Erza mengutarakan, pertemuan tersebut hanya mengungkapkan data yang dimiliki PTPN VII, BPN Sumsel, dan Pemerintah Provinsi Sumsel secara panjang lebar. ”Jawaban dari pihak PTPN VII hanya formalitas dan tidak ada keputusan yang bisa diambil,” kata Erza.

Menurut Erza, kunci penyelesaian masalah sengketa tanah antara masyarakat dan PTPN VII adalah surat Gubernur Sumsel kepada Menteri BUMN. Melalui menteri, masalah ini diyakini bisa dituntaskan secara tepat dan adil. (WAD)

Pernyataan atau surat Walhi tersebut dikirimkan bedasarkan Berita yang di tulis media dibawah ini.


Pemprov Penuhi Empat Hak Rakyat

Sriwijaya Post - Kamis, 21 Januari 2010 22:43 WIB


PALEMBANG - Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim SH, LLM dan Gubernur Sumsel Ir H Alex Noerdin SH, Kamis (21/1) menandatangani kerjasama membangun jejaring HAM di Sumsel. Bagi Komnas HAM, Sumsel dinilai satu-satunya provinsi yang telah memenuhi hak rakyat akan kesehatan, perumahan, pendidikan dan bantuan hukum.

Ifdhal Kasim mengatakan, kerjasama jejaring HAM yang dilakukan KOmnas baru dilakukan di tiga provinsi, yakni Bali, Kalimantan dan Sumsel. Khusus untuk Sumsel, pelayanan dasar yang menjadi hak masyarakat sudah dilakukan Pemprov Sumsel, seperti kebutuhan akan hak kesehatan, pendidikan, perumahan dan perlinndungan hukum dengan penyediaan bantuan hukum secara

gratis. “Pelayanan ini harus ditingkatkan. Kebijakan yang dibuat Pemprov Sumsel sudah mengacu kepada pemenuhan hak dasar yang menjadi hak azasi bagi warganya,” kata Ifdhal.
Untuk tujuan jejaring pertama sudah dilakukan Pemprov Sumsel, maka yang kedua perlu dilakukan adalah upaya sosialisasi HAM di masyarakat dan ketiga adalah pendidikan HHAM kepada

aparatur pemerintahan, mulai dari kalangan pejabat daerah hingga kepala daerah. Pasalnya, bukan tidak mungkin ada saja kebijakan pemerintah yang melanggar HAM, seperti kasus pengusuran. “Di Jakarta kalau terjadi penggusuran, rakyat lebih takut kepada Pol-PP bukan kepada tentara,” katanya.

Untuk menindaklajuti kerjasama membangun jejaring HAM di Sumsel, Alex Noerdin menunjuk Asisten III dr H Aidit Aziz sebagai pejabat penghubung dengan Komnas HAM, termasuk rencana-rencana pendidikan HAM bagi para aparatur pemerintahan. “Pertemuan ini tidak hanya sebatas MoU tetapi akan ditindaklajuti. Dan Pak Gubernur sudah menunjuk Asisten III sebagai penghubung,” kata Ifdhal.

Alex Noerdin sendiri menyambut baik kerjasama dengan Komnas HAM.Bahkan dirinya tidak menyangka, apa yang telah dilakukan Pemprov Sumsel dengan memberikan fasilitas sekolah dan berobat gratis masuk dalam lingkup kerja dan perhatian Komnas HAM. Begitu juga dengan program rumah murah dan bantuan hukum gratisbagi warga yang sedang dalam persoalan hukum.

Semua kita lakukan untuk kesejahteraan rakyat. Berdasarkan pengalaman, keempat program ini, pasti ada kekurangan. Tapi begitu masuk tahun kedua dan ketiga, semua sudah berjalan dengan baik,” katanya. “Selama ini, kita hanya melihat Ketua Komnas HAM di TV dan di koran, tetapi kini ia datang ke Palembang dengan rombongan,” kata Alex.
Kasus Rengas

Mengenai kasus sengketa lahan PTPN VII dengan rakyat, memang harus diselesaikan. Ifdhal memuji kunjungan Alex Noerdin ke rumah sakit dan meninjau langsung korban penembakan, merupakan langka antisipatif. Hanya saja, persoalan tersebut harus diselesaikan dari akar masalahnya. “Harus ada kepastian status tanah, dan keamanan atas tanah dan jaminan hidup warga. Ini harus dijawab oleh pemerintah daerah,” katanya.

Ifdhal juga mengaku pimpinan Polri telah menegur jajaran dibawahnya di Polda Sumsel. Hanya saja, sejauh mana bentuk sanksi yang diberlakukan Polda Sumsel terhadap oknum Brimob tersebut, sejauh ini Komnas HAM belum dilaporkan. “Kami akan pantau terus, sejauh mana penyelesaian kasus Rengas di Ogan Ilir,” katanya. sripo

(sin)





Selengkapnya...

Rabu, Januari 20, 2010

Menanti Hancurnya Merang Kepayang...

Wajah hutan Merang Kepayang di Kabupaten Musi Banyuasin tak jauh berbeda dengan wajah hutan-hutan konservasi lainnya di Indonesia. Hutan gambut terakhir yang berfungsi sebagai penyeimbang tata air tanah dan cadangan karbon terbesar di Sumatera Selatan ini hanya tinggal menanti saat-saat kehancuran.

Potret kerusakan hutan ini terlihat saat Kompas bersama puluhan akademisi dan aktivis pencinta lingkungan se-Sumatera Selatan menjelajahi hutan Merang Kepayang yang terletak di perbatasan Sumatera Selatan- Jambi akhir tahun 2009.

Sejumlah lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Merang Redd Pilot Project (MRPP), GTZ, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Wahana Bumi Hijau, Telapak, Warsi, Universitas Muhammadiyah Palembang, dan kalangan pencinta alam lainnya.

Secara umum, ancaman kepunahan ekosistem hutan Merang Kepayang disebabkan faktor perilaku manusia yang tak berwawasan lingkungan. Ditinjau lebih spesifik, penyebabnya meliputi aktivitas penebangan resmi maupun liar yang tak terkontrol, masuknya industri pengolahan ke dalam hutan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan perambahan masyarakat.

Penggundulan hutan primer dan pembukaan rawa gambut ini sudah merambah ke empat alur sungai yang melintasi hutan Merang Kepayang, yakni Sungai Buring, Tembesu Daro, Beruhun, dan Kepayang.

Melihat kondisi ini, para pencinta lingkungan pun lantas menyuarakan keprihatinan yang mendalam. Alasannya, peran penting hutan Merang Kepayang ini tak hanya terletak pada karakteristiknya sebagai lahan gambut tertutup, tetapi juga terkait dengan potensi ekonomisnya sebagai hutan yang menyimpan cadangan karbon terbesar di Sumsel.

Salah satu langkah penyelamatan lalu digagas MRPP-GTZ dengan cara melakukan penelitian ilmiah terhadap kondisi kekinian hutan itu.

Tim dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) dipercaya melaksanakan studi kekinian atas kondisi hutan tersebut.

Menurut Ketua Tim Peneliti UMP Lulu Yuningsih, pihaknya berhasil memotret aktivitas perusakan hutan yang mengerikan, mulai dari penebangan liar dan penebangan yang berizin, perambahan lahan, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kategori kerusakan sudah kompleks karena terlihat mulai dari kawasan daerah aliran sungai, lahan gambut, sampai kawasan hutan primer.

Adapun berdasarkan hasil survei MRPP, saat ini ada lebih dari 9.000 hektar lahan kritis di hutan Merang dari luas total 24.000 hektar. Sisanya mulai mengalami kerusakan bertahap hingga menjadi lahan kritis sebelum akhirnya hancur.

”Jika tak segera dilakukan gerakan penyelamatan, saya pastikan dalam dua-tiga tahun lagi mayoritas kawasan hutan Merang Kepayang menjadi lahan kritis. Kurang dari lima tahun, hutan, termasuk flora-fauna di dalamnya, bakal punah,” katanya.

Penelitian tim Universitas Muhammadiyah juga memperlihatkan bahwa faktor utama perusak hutan Merang Kepayang antara lain aktivitas penebangan liar, industri pengolahan, alih fungsi hutan karena ekspansi perkebunan sawit, serta perambahan oleh masyarakat setempat.

Anggota staf Penyidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, Siswoyo, mengatakan, aktivitas perusakan hutan sulit diberantas karena pelakunya adalah masyarakat, cukong kayu, aparat desa, dinas kehutanan, dan kepolisian. Hal tersebut terjadi karena mispersepsi kebijakan, yakni munculnya anggapan bahwa perlindungan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.

Sumber: Kompas
(ONI)




Selengkapnya...

Kamis, Januari 14, 2010

CATATAN LINGKUNGAN HIDUP SUMATERA SELATAN TAHUN 2009


WALHI Sumatera Selatan

”Bencana Ekologis dan Konflik Agraria/SDA Tak Berkesudahan”

Di tahun 2009, Propinsi Sumatera Selatan terus dibanjiri dengan rentetan bencana ekologi dan sengketa SDA. Praktek ’sesat fikir’ pembangunan yang diterapkan, semakin mempertajam kwalitas dan kwantitas persoalan lingkungan hidup di daerah ini. Kebijakan pembangunan, baik yang merupakan warisan masa lalu maupun yang tengah dilangsungkan saat ini, terus saja menegasikan asfek-asfek keadilan lingkungan dan kepentingan rakyat.
Beberapa catatan kritis terhadap potret persoalan lingkungan di tahun 2009, dapat kami paparkan sebagai berikut :

Potret Hutan Sumatera Selatan
Hutan Sumatera Selatan terus mengalami penghancuran dan penyusutan. Berbagai aktifitas industri, seperti; pertambangan, perkebunan, pertambakan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) serta pembangunan infrastruktur (pelabuhan dan rel kereta api), merupakan penyumbang terbesar kerusakan hutan Sumatera Selatan. Belum lagi persoalan seperti pembalakan liar dimana sepanjang tahun 2009 masih secara intensif terjadi diberbagai tempat seperti Pagar Alam, Musi Rawas, OKI, dan Musi Banyuasin – telah semakin memperburuk wajah hutan di daerah ini.

Di sektor Pertambangan – berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh WALHI Sumsel, setidaknya di Kabupaten Lahat terdapat hampir 20 ribu hektar kawasan hutan yang saat ini telah dijadikan sebagai kawasan penambangan terbuka oleh beberapa perusahaan, diantaranya : PT. Bukit Asam, PT Bara Lahat, PT Bumi Merapi Energi, PT. Bara Alam Utama, PT. Muara Alam Sejahtera dan PT. DAU. Kuasa Penambangan (KP) tersebut tersebar dibeberapa Kecamatan, diantaranya; Kecamatan Merapi Barat, Merapi Timur, Merapi Selatan, Gumay Talang, Kikim Barat, Kikim Timur dan Pulau Pinang. Parahnya Kuasa Penambangan di dalam kawasan hutan tersebut, hingga saat ini belum mendapatkan izin pinjam kawasan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.

Di sektor Perkebunan – eksistensi PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB) di Kabupaten MUBA, yang memperluas usahanya hingga mencapai ribuan hektar di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bentayan masih terus berlangsung. Kerusakan hutan untuk keperluan industri perkebunan juga terjadi di beberapa tempat di Kabupaten Lahat. Sementara usaha penambakan di kawasan hutan terdapat di Kabupaten OKI dan Banyuasin.

Pada sektor Hutan Tanaman Industri – PT. Rimba Hutani Mas (RHM) yang terletak di Kabupaten MUBA, saat ini telah dan semakin masif menghancurkan kawasan hutan alam gambut Merang – Kepayang. Berdasarkan penelusuran dan identifikasi yang dilakukan WALHI Sumsel bersama Wahana Bumi Hijau (WBH) ditemukan bahwa PT. RHM terus mengeksploitasi kawasan hutan gambut tropis tersebut yang saat ini sesungguhnya merupakan satu-satunya yang masih tersisa di Sumatera Selatan. Pada areal PT. RHM masih dipenuhi dengan kayu alam yang mempunyai kepadatan cukup tinggi. Berdasarkan analisa dokumen AMDAL perusahaan, tingkat kepadatan hutan masih mencapai lebih dari 68 meter kubik per hektar. Di dalam analisa Citra Landsat tahun 2003, kawasan yang menjadi konsesi RHM tersebut mempunyai tingkat kepadatan kayu yang tinggi, dimana yang tergolong tegakan padat adalah 28.510 hektar. Analisis yang WALHI dan WBH lakukan dengan menggunakan citra tahun 2007, secara umum kawasan konsesi RHM mempunyai kepadatan kayu tinggi adalah 39.000 hektar. Sementara tingkat kedalaman gambut pada beberapa titik di areal konsesi PT. RHM ditemukan berkedalaman sampai 7 meter, dengan kandungan karbon alam mencapai 23,6 juta ton.
Selain pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah mengalihfungsikan kawasan Hutan Lindung Air Telang seluas 600 Ha – di tahun 2009, WALHI Sumsel mencatat bahwa rencana pembangunan Jalur Rel Kereta Api untuk keperluan pengangkutan batu bara yang menghubungkan Tanjung Enim (Sumatera Selatan) sampai dengan Linau (Bengkulu) sepanjang 160 KM, berpotensi mengancam kelangsungan kawasan Hutan Lindung Bukit Nanti di kawasan hulu sungai Ogan, Laham dan lengkayap (Kabupaten Ogan Komering Ulu). Selain itu, pembangunan tersebut dipastikan pula akan berpengaruh terhadap kelangungan dan kelestarian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Peningkatan Bencana
1. Banjir dan Lonsor
Rentetan bencana alam berupa banjir dan tanah longsor merupakan persoalan yang terus melanda daerah ini, bahkan cendrung terjadi peningkatan dibandingkan dengan tahun 2008. Sepanjang tahun 2009 setidaknya tercatat 45 kali bencana banjir dan 8 kali bencana longsor yang meliputi berbagai Kota/Kabupaten di Sumatera Selatan, diantaranya : Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lubuk Linggau, Pagar Alam, OKU (Selatan), Prabumulih, Lahat, OKI, Muara Enim, dan Kota Palembang.
Selain bencana Banjir dan Longsor, beberapa Kabupaten di Sumatera Selatan dilanda pula bencana, seperti; putting beliung, hujan abu, dan kekeringan. Bahkan telah terjadi peningkatan suhu bumi yang cukup ekstrem di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu bumi hanya berkisar antara 23 – 30◦C.
2. Kabut Asap
Kebakaran lahan dan hutan di Sumsel terus terjadi. Parahnya di tahun 2009, bencana tersebut menyebar diseluruh wilayah di Sumatera Selatan.
Setidaknya tercatat sejak Bulan Mei - September 2009 terdapat 2058 titik api (hotspot). Dengan rincian; Bulan Mei 126 hotspot, Juni 174 hotspot, Juli 182 hotspot, Agustus 591 hotspot dan September 985 hotspot yang tersebar di 14 Kabupaten/Kota Sumatera Selatan.
Kebakaran khusus di bulan September 2009 telah menyebabkan 4 Kabupaten/ Kota (Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin dan Palembang) diselimuti oleh kabut asap yang cukup tebal (Satelit NOAA/-19/AVHRR).
Atas kejadian tersebut, realitasnya tidak ada upaya konkret dari Pemerintah Daerah untuk mengatasi bencana yang notabene merupakan bencana langganan yang selalu melanda daerah ini. Justru Pemerintah berdiam diri dan hanya mengharapkan ‘keajaiban’ terjadinya pengalihan atau perubahan musim dari kemarau ke musim penghujan.
3. Pencemaran
Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2009, lebih banyak dilakukan oleh PT. Pertamina (10 kasus) dan Perusahaan Migas lainnya, seperti : Conoco Philips dan Elnusa. Beberapa kasus pencemaran tersebut lebih banyak disebabkan oleh kebocoran dan ledakan pipa, peledakan dan sumur tua milik perusahaan, semburan api dan lumpur, serta tumpahan minyak. Selain dampak sosial dan lingkungan yang diakibatkan dari permasalahan tersebut, rentetan peristiwa akibat kelalaian usaha dan operasi perusahaan, juga mengakibatkan jatuhnya korban – seperti peristiwa yang terjadi dalam kasus meledaknya Pipa Pertamina di desa Lembak Kecamatan Lembak Kabupaten Muara Enim dengan korban berjumlah 8 orang, dimana 3 orang mengalami luka bakar diseluruh tubuh, 1 orang meninggal di tempat kejadian dan 4 orang lainnya mengalami trauma hebat. Selain itu 1 Orang jga meninggal Dunia akibat Ledakan tanki Minyak di Sungai Gerong Banyuasin
Kasus pencemaran lainnya, juga tercatat dilakukan oleh buangan limbah perkebunan kelapa sawit, seperti; PT. Bumi Sawindo Permai (Kecamatan Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim), PT. Mutiara Bunda Jaya (Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir), limbah CPO PTPN VII (Kecamatan Gunung Megang Muara Enim), Pencemaran Debu oleh PT. Sumatera Prima Fiberboard yang bergerak di bidang usaha pengolahan fiber, – serta industri sektor lainnya (Semen Baturaja, Rumah Pemotongan Hewan, dan Stasiun Kompresor Gas).


Perkotaan
Pada Sektor Perkotaan laju kerusakan lingkungan terus terjadi. Beberapa catatan WALHI Sumsel tentang kondisi lingkungan hidup di Kota Palembang:

1. Konversi Rawa
Palembang merupakan Kota yang terletak di atas lahan rawa dengan luas mencapai 22.000 Ha atau sekitar 54 % dari luas wilayah Kota yang mencapai 40.000 Ha. Keberadaan wilayah rawa di kota Palembang tersebar hampir merata di setiap wilayah yang ada di Kota Palembang, baik itu diseberang Ulu maupun diseberang Ilir.
Dari luasan rawa tersebut, diperkirakan saat ini luas rawa di Kota Palembang hanya tersisa sekitar 7.300 Ha. Berkurangnya jumlah rawa ini di sebabkan oleh konversi rawa yang di jadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh Pihak Swasta maupun Pemerintah Daerah itu sendiri Seperti Konversi lahan yang dilakukan oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 Ha yang digunakan untuk pembangunan Apartemen, Pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan Rawa yang di konversi mencapai 60 Ha, Pembangunan Kantor Bank Sumsel di Jaka baring dengan luas 3 Ha, Pembangunan Komplek Perkantoran PEMPROV Sumsel dan sarana olahraga di Jaka baring seluas 80 Ha, pembangunan Kantor DPRD Palembang seluas 3 Ha.
Parahnya konversi rawa tersebut malah dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui PERDA No 5 tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa. Dalam Perda ini pengalihfungsian lahan rawa, hanya dikenakan biaya administrasi sesuai dengan lahan yang akan dimamfaatkan, tanpa adanya upaya reklamasi – telah menjadi peluang bagi kalangan swasta untuk memanfaatkan areal rawa.
Terhadap masifnya konversi rawa tersebut telah berakibat timbulnya masalah banjir dan persoalan lainnya di Kota ini.

2. Ruang Terbuka Hijau
Mandat Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dimana menyebutkan bahwa setiap kota harus memiliki RTH minimal 30 % sampai saat ini belumlah di relisasikan oleh pemerintah Kota Palembang. Berdasarkan catatan WALHI Sumsel kondisi RTH yang ada di kota ini hanya berkisar 3 % dari luas kota Palembang.
Hal ini semakin diperparah dengan praktek alih fungsi keberadaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Palembang, seperti; alih Fungsi RTH yang berada di simpang 4 Jalan Rajawali menjadi pusat penjualan mobil dan pertokoan dan alih Fungsi RTH menjadi Komplek pertokoan Palembang Square dan Hotel Arya Duta.
Berseberangan dengan langkah tersebut, Pemerintah justru mengeluarkan kebijakan melakukan Pengusuran terhadap pemukiman-pemukiman masyarakat Miskin Perkotaan serta pasar pasar tradisional yang di gunakan rakyat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti Penggusuran Pasar 7 Ulu dan 10 Ulu yang dialaskan Pemerintah kota akan dijadikan/bangun Ruang Terbuka Hijau dan Contoh lain nya Penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Pemukiman rakyat yang ada di Sepanjang sungai Musi yang berada di 7 Ulu sampai dengan 10 Ulu.

3. Transportasi
Keinginan Pemerintah Kota Palembang untuk menciptakan sarana dan Prasarana Transportasi yang berwawasan lingkungan dan dapat mengurangi persoalan kemacetan lalu lintas yang ada di kota Palembang saat ini mulai direalisasikan, seperti Program pengadaan Trans Musi. Untuk itu, hingga saat ini Pemkot telah membangun sebanyak 54 buah halte yang akan digunakan sebagai tempat pemberhentian bus.
Namun dalam catatan kami, ternyata sampai dengan akan dijalankannya Program ini, yakni pada pertengahan bulan Januari 2010 nanti, tidaklah memiliki kajian Lingkungan atau Analisis Lingkungan (AMDAL), yang merupakan salah satu syarat mutlak bagi setiap Kegiatan yang mempunyai dampak terhadap Lingkungan (UU RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saat ini telah di Revisi menjadi UU no 32 Tahun 2009 tentang Pengelolan dan Pengendalian Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Program Car Free Day yang dilaksanakan pada setiap hari Sabtu dan Minggu Pukul 05.30 – 09.00 Wib, dengan tujuan untuk mengurangi polusi udara (emisi) dengan cara mengurangi penggunaan kendaraan pribadi pada saat CFD ternyata “jauh panggang dari pada api”. Hal ini dikarenakan lokasi CFD masih banyak dimanfaatkan oleh pengguna kendaraan pribadi, selain bahwa lokasi pelaksanaan CFD saat ini masih terfokus pada wilayah Kambang Ikan (Kambang Iwak).

4. Galian C
Penambangan Galian C terus terjadi baik yang dilakukan secara Legal maupun Ilegal.
Dalam Catatan WALHI Sumsel ada beberapa titik atau wilayah yang dijadikan tempat penambangan, dan hal tersebut berdampak luas terhadap Lingkungan dan Kehidupan Masyarakat di sekitar Lokasi seperti Debu, Kerusakan Jalan, maupun bagi kesehatan masyarakat. Beberapa lokasi galian C di Kota Palembang yang sempat WALHI investigasi adalah:
  1. Galian C Ilegal yang dilakukan oleh Bapak Arsyad bekerjasama dengan PT. Yoanda Prima PT. SMJ dan PT. Diamond.di Jalan HBR Motik Mako Brimob Kompi B Polda Sumatera Selatan Kelurahan Talang Kelapa Kecamatan Alang-alang Lebar dengan luas Lahan galian 3,3 Ha,
  2. Galian C Ilegal yang dilakukan oleh Saudara ASMADI dan ARSYAD di Perumahan Perumnas Talang Kelapa seluas 1 ha, dan di lokasi gerbang lama Perumahan Perumnas Talang Kelapa atau di dekat rumah kediaman pribadi Wagub Sumsel Bapak Edy Yusuf (seluas ±6,5 ha) dan di lokasi pertambangan ini telah menelan Korban Jiwa seorang anak laki-laki bernama Ahmad Faisal umur 8 Tahun yang terjadi pada 20 Mei 2009 yang sampai saat ini pihak pemilik Galian C ini tidak juga di Proses secara Hukum oleh aparat berwenang sesuai dengan hukum yang berlaku
  3. Pertambangan Bahan Galian Golongan C Ilegal oleh Zainal, Asmadi dan Mayor Kuswanto yang juga melibatkan pihak ke 3 yaitu PT. DIAMON, Galian C ini terletak di areal kelurahan Suko sari Kecamatan alang alang lebar tepatnya disekitar lokasi Komplek perumahan Veteran cacat dengan jumlah areal galian berada di 3 Lokasi yang berdekatan, dengan total luas mencapai 30 Ha
Atas Kasus Galian C yang dilakukan secara Ilegal ini, pada tanggal 30 Juli 2009, WALHI telah melayangkan surat kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kota Palembang, DPRD Sumsel, DPRD Palembang serta Badan Lingkungan Hidup Sumsel dan Kota Palembang – yang intinya mendesak Pihak terkait untuk segera melakukan tindakan penegakan Hukum yang berlaku atas Aktifitas galian C tersebut yang secara jelas telah melanggar UU RI No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Pembinaan Retribusi Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 32 Tahun 1991, Tentang Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C.

5. Sungai Musi
Kondisi Sungai Musi saat ini terus saja mengalami Pendangkalan. Sedikitnya dalam setiap tahunnya telah terjadi penumpukan Lumpur dan sampah yang mencapai 6 juta ton.
Hal ini di sebabkan Konversi Hutan/Lahan yang ada di hulu sungai untuk keperluan pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, HTI dan industri lain nya sehingga terjadi Degradasi dan Defortasi terhadap DAS Musi. Selain itu Pencemaran air Sungai yang terjadi sepanjang tahun 2009 oleh perusahaan seperti pencemaran minyak yang dilakukan oleh Pertamina, Limbah CPO PT. SAP, dan Limbah dari PT. Pusri, juga telah memperparah Kualitas air Sungai Musi.

Konflik Agraria
Sengketa pertanahan di Sumsel hingga saat ini terus menjadi salah satu persoalan yang kerap mengemuka. Di tahun 2009 tercatat sebanyak 21 kasus struktural yang mencuat, dengan luasan lahan sengketa seluas 24.243 Ha dengan korban sebanyak 3224 KK.
Persoalan sengketa pertanahan tersebut dipicu akibat perampasan lahan secara sefihak perusahaan-perusahaan disektor perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, diantaranya : PTPN VII (Banyuasin, Ogan Ilir, dan Pagar Alam), PT. Berkat Sawit Sejati (Musim Mas), PT. Hindoli, PT. Buluh Cawang Plantation (Wilmar Group), PT. Empat Lawang Agro Perkasa, PT. Pratama Usaha Jaya, PT. Lonsum, PT. Way Musi Agro Indah, PT. Rosalindo, PT. Waringin Agro Jaya, PT. Tunas Baru Lampung, PT. Minanga Ogan, PT. Sentosa Mulya Bahagia, Sentosa Bahagia Bersama (Haji Alim), PT. MHP.
Terhadap persoalan sengketa pertanahan tersebut, Pemerintah sendiri cendrung mengabaikan bahkan membiarkan masalah yang muncul – sehingga menjadikan sengketa pertanahan semakin meningkat kwantitas dan mempertajam kwalitasnya. Berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pertanahan, telah berdampak kepada berbagai bencana struktural dan sosial bagi rakyat, seperti; kemiskinan, konflik horizontal, dan kriminalisasi.
Sementara disisi lainnya, pola yang kerap dilakukan oleh negara maupun perusahaan dalam merespon sengketa yang terjadi – masih menggunakan cara-cara klasik, yaitu melibatkan Preman, Aparat Kepolisian (Brimob), maupun menciptakan konflik-konflik horizintal.

Rekomendasi
  • Mendesak Pemerintah untuk segera melakukan MORATORIUM terhadap aktifitas Perkebunan,Pertambangan dan Hutan Tanaman Industri di Sumsel
  • Mendesak Pemerintah untuk segera menutup dan mencabut Kuasa Pertambangan, Izin Perkebunan dan Konsesi HTI yang mencaplok Hutan Lindung.
  • Mendesak Pemerintah untuk segera melakukan Audit HGU seluruh perusahaan yang ada di Sumsel yang terbukti telah melakukan Perluasan di luar Kepemilikan Izin nya
  • Mendesak Pemerintah untuk Bertindak Responsif dalam menyelesaikan persoalan Kasus Kasus Agraria (Tanah) dan Pencemaran yang disebabkan Oleh Perusahaan perusahaan yang ada di Sumsel
  • Mendesak Pemerintah Kota untuk segera merealisasikan 30 % RTH, Menghentikan segala bentuk penimbunan Rawa, Mengevaluasi Kebijakan Transportasi dan Segera melakukan Evaluasi terhadap Kebijakan CFD
  • Mendesak Pemerintah Untuk menghentikan segala aktifitas penggusuran yang mengatasnamakan pemenuhan RTH di kawasan perkotaan
  • Mengajak Seluruh Masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyelematkan Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan

Demikianlah catatan lingkungan hidup tahun 2010 ini kami sampaikan.

Palembang, 13 Januari 2010


Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumatera Selatan



Anwar Sadat
Direktur Eksekutif














Selengkapnya...

Rabu, Januari 13, 2010

Stok Ludes Walhi Cari Tambahan

PALEMBANG, - Walhi Sumsel kehabisan stok buku Membongkar Gurita Cikeas : Dibalik Skandal Bank Century. Seratus eksemplar buku yang diterima Sabtu lalu, ludes dibeli masyarakat dari berbagai kalangan yang datang langsung ke Kantor Walhi Sumsel.

Walhi Sumsel berencana menambah stok buku. Namun hal itu tergantung dari stok buku yang masih disediakan jaringan Walhi Sumsel di Yogyakarta. Waktunya belum bisa dipastikan stok buku tersebut dapat diperoleh lagi. “Kita belum tahu apakah masih ada jatah buku tersebut untuk Sumsel atau tidak,” ujar Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Selasa (12/1).

Sebelum benar-benar ludes, hingga pukul 13.30 kemarin hanya tersisa tujuh dari 100 eksemplar buku yang ditulis George Junus Aditjondro. Buku benar-benar habis sekitar pukul 18.00. “Animo masyarakat untuk mendapatkan buku tersebut tinggi,” tambah Hadi.

Pembelinya dari berbagai kalangan. Diantaranya adalah anggota DPRD Sumsel, anggota DPRD OKI, dosen Unsri dan IAIN Raden Fatah Palembang, PNS, warga sekitar Kantor Walhi Sumsel dan sebagainya. Bahkan ada orang dari luar kota seperti Prabumulih dan Bandung yang menghubungi Walhi Sumsel melalui telepon atau FB menanyakan buku tersebut.

Anggota DPRD Sumsel dari Partai Amanat Nasional (PAN) Rusdi Tahar mengaku telah membeli buku kemarin. Menurutnya buku itu menjadi menarik karena menjadi polemik di tingkat elit dan publik. “Banyak hal yang bisa diperdebatkan dalam buku itu sehingga menjadi motivasi membeli buku,” katanya dalam pesan singkat.

Meski buku laku keras, Walhi Sumsel tetap tidak melayani pembelian jarak jauh. Ada masyarakat di luar Kota Palembang ingin bertransaksi jarak jauh melalui pengiriman. “Tetapi kami hanya melayani pembeli yang datang langsung ke Kantor Walhi,” ujar Hadi.

Kemungkinan adanya kenaikan harga buku bila ada tambahan stok nanti, dikatakan diusahakan tidak terjadi. Harga buku tetap Rp 60 ribu per eksemplar meski tidak menutup kemungkinan berubah. “Soal harga buku tergantung dari jaringan Walhi Sumsel di Yogyakarta,” katanya.sripo




Selengkapnya...

DPRD Usul Raperda Pembakaran Lahan

Palembang, Kompas - DPRD Sumatera Selatan akan mengajukan rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang pembakaran lahan. Raperda tersebut dibuat berdasarkan hak inisiatif anggota DPRD.

Ketua Fraksi PKS DPRD Sumsel Yuswar Hidayatullah, Senin (11/1), mengutarakan, Fraksi PKS mengusulkan raperda tersebut karena bahaya yang ditimbulkan akibat kebakaran lahan.

Menurut Yuswar, setiap terjadi kebakaran lahan selalu petani yang diperkarakan. Padahal, petani sudah memiliki budaya membakar untuk membuka lahan. Kearifan lokal tersebut perlu diatur dalam perda.

”Raperda itu juga mengatur perusahaan perkebunan besar. Perusahaan harus mempunyai alat dan personel pemadam kebakaran jika terjadi kebakaran tidak meluas,” kata Yuswar.

Ia mengungkapkan, dengan adanya perda tersebut, perusahaan besar tidak bisa seenaknya membuka lahan dengan cara membakar. Pemerintah kabupaten/kota juga harus aktif mencegah terjadinya kebakaran lahan.

Yuswar menambahkan, pemerintah kabupaten/kota bertindak selaku koordinator dalam upaya mencegah kebakaran lahan. Pemerintah kabupaten/kota harus mengawasi setiap orang atau perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar.

”Pembakaran lahan jangan sampai menjadi kejadian luar biasa. Apalagi, selalu masyarakat yang disalahkan, tetapi perusahaan tidak pernah disalahkan,” ujarnya.

Menurut Yuswar, perda tersebut juga mendorong dilakukannya program pelatihan petugas pemadam kebakaran lahan.

”Dulu, program seperti itu pernah ada. Tetapi, setelah dananya habis, program tidak dilanjutkan,” kata Yuswar.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengendalian Kebakaran Hutan Dinas Kehutanan Sumsel Bambang Utoyo mengutarakan, perda tersebut sudah pernah dibahas antara Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup Sumsel.

Bambang menuturkan, dalam peraturan Menteri Kehutanan ditegaskan, pembakaran lahan tidak diperbolehkan kecuali untuk penelitian.

Perhatikan petani

Deputi Direktur Walhi Sumsel Muhammad Fadly mengatakan, raperda tersebut harus memerhatikan kepentingan petani. Sebab, petani masih harus membuka lahan dengan cara membakar. Belum ada teknologi untuk membuka lahan tanpa membakar.

”Pembahasan raperda itu terhenti karena Walhi menolak aturan tanpa pembakaran seperti yang diinginkan pemerintah,” kata Fadly.

Ia mengungkapkan, petani sebelum membakar lahan sudah berkoordinasi dengan petani lain yang memiliki lahan di sekitarnya. Petani juga telah membuat sekat bakar untuk mencegah kebakaran lahan meluas. Menurut dia, Riau pernah memiliki perda semacam itu, tetapi dicabut setelah uji materi. (WAD)




Selengkapnya...

Galian Ilegal Dilarang

Palembang, Kompas - Pemerintah Kota Palembang menginstruksikan semua camat agar melarang segala jenis penambangan di kawasan perkotaan. Pengawasan harus dilakukan secara ketat agar aktivitas ilegal bisa dihentikan dengan memerhatikan aspek kelestarian lingkungan.

Demikian disampaikan Wakil Wali Kota Palembang Romi Herton di Palembang, Senin (11/1). Dia menyesalkan aktivitas penambangan galian jenis C atau pasir dan batu yang masih berlangsung di beberapa tempat, antara lain di Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Alang-alang Lebar, dan beberapa kawasan di Kecamatan Gandus.

”Sudah muncul sejumlah reaksi dari masyarakat. Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, saya instruksikan semua camat menghentikan semua jenis kegiatan galian. Camat sudah diajak rapat untuk melaksanakan instruksi ini di lapangan,” katanya.

Romi menjelaskan, para camat tidak boleh berhenti begitu saja meskipun aktivitas pertambangan itu terhenti. Agar tidak terulang lagi, camat juga diimbau agar mengawasi secara intensif. Dalam waktu dekat, pemerintah akan mengambil langkah yang dianggap perlu dengan berkoordinasi terlebih dulu dengan sejumlah pihak.

Razia dilangsungkan

Sebelum mengeluarkan instruksi tersebut, Pemerintah Kota Palembang melalui jajaran satuan polisi pamong praja sempat menggelar razia di Kecamatan Gandus dan Alang-alang Lebar. Di satu sisi, pemerintah bisa menghentikan aktivitas penambangan ilegal untuk sementara waktu.

”Namun, di sisi lain justru muncul reaksi dari pengusaha, antara lain mengadukan pemerintah kota kepada Polda Sumsel dan Poltabes Palembang. Saya tegaskan, pemerintah tidak gentar dan akan terus mengawasi,” katanya.

Langkah itu diambil karena pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat, yakni semua aktivitas galian tambang jenis C di Kota Palembang tergolong tidak resmi alias ilegal.

”Intinya, tidak ada galian yang statusnya resmi. Semuanya dilarang karena tidak pernah ada izin keluar dari pemerintah,” katanya.

Merusak lingkungan

Romi menambahkan, pertimbangan lain terkait dengan potensi dan ancaman kerusakan lingkungan. Alasan pendukung lain juga terkait dengan aspek keselamatan para penambang dan warga sekitar.

”Seharusnya setelah muncul korban jiwa beberapa waktu lalu, pengusaha segera sadar dan menghentikan aktivitasnya. Kenyataannya, para pengusaha galian sama sekali tak mengindahkan aturan dan imbauan pemerintah,” kata Romi.

Mengenai indikasi adanya oknum aparat keamanan yang membekingi pengusaha, Romi tidak gentar. Dia tetap akan menindak oknum tersebut seandainya dugaan ini benar.

Lurah berperan

Sekretaris Camat Alang-alang Lebar Saparudin mengatakan bahwa peran penting tidak hanya di tangan camat, tetapi juga di lurah. Lurah bisa tegas melarang dan melakukan pemantauan di lapangan. Jika ada reaksi dari warga, lurah setempat juga bisa menenangkan warga.

”Intinya, jangan ada reaksi yang berlebihan dari warga, termasuk pengusaha,” katanya.(ONI)





Selengkapnya...

Warga Palembang Berbelanja "Gurita Cikeas"

Jon (25), warga Palembang, Senin (11/1), membolak-balik sebuah buku bersampul putih bergambar gurita. Wajahnya tampak serius.

Buku warna putih itu adalah buku Gurita Cikeas karya George J Aditjondro yang beberapa waktu lalu menimbulkan kontroversi. Buku itu menghilang dari rak toko buku karena isinya membuat penguasa merasa tidak nyaman.

”Buku ini menarik karena mengundang kontroversi. Sangat disesalkan kenapa buku ini tidak dijual terbuka, seharusnya biarkan masyarakat membaca,” kata Jon.

Jon mengambil dompet dan mengeluarkan uang Rp 60.000 untuk membayar buku tersebut kepada Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko.

Walhi Sumsel menjual buku Gurita Cikeas sejak dua hari yang lalu. Menurut Hadi, masyarakat bisa membelinya di Sekretariat Walhi Sumsel di Jalan Sumatera Nomor 5, Palembang. Informasi mengenai penjualan buku tersebut beredar melalui layanan pesan pendek (SMS).

Hadi mengatakan, buku terbitan Galangpress tersebut dikirim dari jaringan lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta.

Walhi Sumsel mendapat kiriman 100 eksemplar buku dan saat ini sudah terjual sekitar 15 eksemplar.

”Motivasi menjual buku ini supaya masyarakat obyektif dalam menilai masalah Bank Century. George berusaha membongkar rahasia di balik kasus Bank Century,” kata Hadi.

Deputi Direktur Walhi Sumsel Muhammad Fadly mengatakan, pihaknya tidak merasa khawatir karena menjual buku tersebut.

”Walhi menginginkan keterbukaan sehingga menjual buku Gurita Cikeas. Buku ini tidak dicekal, jadi secara hukum tidak ilegal menjualnya,” kata Fadly.

Ia menambahkan, aparat keamanan, seperti petugas intelijen maupun polisi, dipersilakan membeli buku tersebut di Sekretariat Walhi Sumsel.

Namun, Walhi Sumsel membatasi pembelian buku tersebut hanya satu buku untuk satu orang. Walhi Sumsel tidak melayani pembelian melalui pengiriman paket supaya diketahui identitas pembelinya.

Menurut Fadly, jaringan lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta siap mengirimkan buku Gurita Cikeas ke Palembang lebih banyak lagi.

Fadly mengakui bahwa penjualan buku tersebut mendatangkan keuntungan.

”Keuntungan memang ada, tetapi tidak besar. Harga buku menjadi Rp 60.000 karena mahalnya ongkos kirim dari Yogyakarta,” katanya.

Fadly memastikan Walhi Sumsel juga akan menjual buku tandingan Gurita Cikeas yang berjudul Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku karya Setiyardi.

”Sekarang kami sedang mencari distributor buku tandingan itu untuk dijual di Sekretariat Walhi Sumsel,” ungkapnya.

Buku memang bisa dilarang, tetapi pikiran kritis tidak bisa dihancurkan. (WAD kompas)





Selengkapnya...

Dukungan Untuk Aksi Reklaiming Masyarakat Desa Rengas, Sumatera Selatan

Pernyataan Sikap Elemen Rakyat Di Sumatera Selatan dan Organisasi-organisasi
Tingkat Nasional

Wisma Olga 09/01/10, Palembang

Konflik antara masyarakat Desa Rengas 1 dan Rengas 2 Kecamatan Payaraman Kabupaten Ogan Ilir Sumatera selatan dengan Perusahaan Milik Negara PT. PN VII telah berlangsung sejak tahun 1982 dimana perusahaan yang tidak memiliki HGU ini telah sewenang-wenang merampas Tanah Rakyat dengan luas 1529 Ha. Atas perampasan yang dilakukan oleh Perusahaan tersebut menyebabkan tanah yang ada di desa Rengas menjadi semakin Sempit sehingga memaksa warga desa berubah menjadi Buruh Tani dan penyewa lahan.
Kondisi ini akhirnya memicu masyarakat untuk berjuang dan melakukan perlawanan terhadap perusahaan yang telah merampas tanah mereka. Banyak upaya perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu perjuangan yang dilakukan melalui jalan Litigasi maupun Non-litigasi, salah satunya Aksi Ribuan Massa yang beberapa hari lalu mereka lakukan, tepatnya pada tanggal 28 dan 29 Desember 2009. Masyarakat yang tergabung dalam Sarekat Kesejahteraan Petani Sumatera Selatan (SKPSS) menuntut DPRD Sumatera Selatan agar segera membentuk Panitia Khusus (PANSUS) guna menyelesaikan kasus ini serta menuntut Gubernur Sumatera Selatan agar segera mengeluarkan surat yang isinya menginstruksikan PTPN VII untuk segera mengembalikan tanah warga Desa Rengas, serta meminta BPN Sumatera Selatan agar memberikan kepastian tertulis yang menerangkan bahwa tidak termasuknya tanah warga Desa Rengas 1 dan 2 di dalam izin HGU PTPN VII

Dari aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut di dapatlah beberapa hasil, yaitu :

1. DPRD Sum-Sel melalui Wakil Ketuanya yaitu Saudara A.Jauhari menyatakan bahwa DPRD Sumsel di bawah tanggal 10 Januari 2010 akan membentuk PANSUS guna menyelesaikan masalah ini.

2. Gubernur Sumsel melalui surat pernyataan yang di tanda tangani oleh Asisten 1 saudara Mukti Sulaiman menyatakan bahwa Gubernur berjanji pada tanggal 6 Januari 2010 akan mengundang Perwakilan Masyarakat untuk melakukan rapat yang dipimpin langsung oleh Gubernur guna menyelesaikan persoalan konflik antara masyarakat dengan PT. PN VII

3. Sedangkan BPN Sumsel menyatakan bahwa benar tanah masyarakat masuk dalam ajuan HGU Perusahaan serta BPN melalui Surat yang di tanda tangani oleh kepala BPN Sumsel Saudara Suhaili Syam yang menyatakan bahwa BPN Sumsel tidak akan memproses pengajuan HGU perusahaan selama konflik antara perusahaan dengan masyarakat belum diselesaikan.

Berangkat dari janji yang di berikan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tersebut, tepat tanggal 6 Januari 2010 jam 10.00 Wib, perwakilan masyarakat Desa Rengas 1 dan 2 mendatangi kantor Gubernur Sumsel untuk menghadiri pertemuan (Rapat) yang telah dijanjikan tersebut. Namun kenyataannya, Pemerintah Sumatera Selatan dalam hal ini Gubernur Sumatera Selatan melalui Asisten 1 Mukti Sulaiman mengatakan kepada Perwakilan masyarakat yang menemuinya bahwa pertemuan yang telah di janjikan tersebut tidak pernah ada (dibatalkan), dan saat ini Gubernur Sumsel Alex Noerdin sedang berada di luar Kota. Jawaban yang sama pun di dapat oleh masyarakat ketika masyarakat mendatangi dan melakukan dialog dengan para pimpinan anggota DPRD Sumsel guna menanyakan soal pembentukan PANSUS yang telah dijanjikan oleh DPRD yaitu PANSUS yang telah dijanjikan oleh DPRD akan dibentuk dibawah tanggal 10 Januari 2010 itu dibatalkan. Masyarakat yang kecewa pun kembali ke desa nya masing-masing, namun hal itu tidaklah menyurutkan perjuangan masyarakat untuk mengambil tanah nya kembali.

Atas dasar Surat Pernyataan/Rekomendasi yang dikeluarkan oleh BPN Sumsel pada Tanggal 29 Desember 2009 serta keterangan dari langsung dari BPN yang menyatakan bahwa pihak PT.PN VII tidak berhak mengelolah tanah masyarakat seluas 1529 Ha karena tidak memiliki/belum Memiliki HGU sebagai alas sah sebuah perusahaan perkebunan untuk mengusahakan tanah di suatu wilayah maka, tepat pada tanggal 07 Januari 2010, masyarakat melakukan aksi Reklaiming/ Pendudukan di tanah atau lahan mereka yang selama 27 tahun telah dirampas oleh PT. PN VII, adapun bentuk kegiatan dalam Aksi Reklaiming tersebut yaitu masyarakat secara bersama sama melakukan penanaman pohon karet, nanas dan lain nya, serta melakukan pemagaran dan pembuatan patok-patok batas diatas tanah tanah mereka.

Reklaiming yang dilakukan oleh masyarakat desa Rengas tersebut ternyata mengundang masyarakat Desa lain seperti Desa Lubuk Bandung dan Desa Betung yang jaraknya berdekatan dengan Desa Rengas (satu kecamatan payaraman) dan tanah nya juga dirampas oleh PT.PN VII PG Cinta Manis selama berpuluh tahun untuk melakukan hal yang sama (Reklaiming). Atas Aksi Reklaiming yang diikuti oleh 2 desa ini semakin menunjukan jelas kepada kita bahwa PT.PN VII adalah Perusahaan yang memang mengalami banyak masalah terhadap tanah yang dikelolah dan diusahakannya selama ini.

Atas Aksi Reklaiming yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rengas 1 dan 2, Desa Lubuk Bandung dan Desa Betung Kecamatan Panyaraman Kabupaten Ogan Ilir tersebut, maka dengan ini kami menyatakan :

1. Mendukung gerakan Reklaiming yang dilakukan oleh Masyarakat Desa Rengas, Desa Lubuk Bandung dan Desa Betung di lahan Mereka yang selama 27 tahun telah dirampas oleh PT.PN VII PG Cinta Manis.

2. Menuntut pihak Perusahaan PT.PN VII dan Aparat yang berwenang dalam hal ini Kepolisian Daerah Sum-sel dan TNI AD untuk tidak melakukan Tindakan Refresif terhadap masyarakat, guna menghalang halangi Masyarakat untuk mendapatkan hak sah atas Tanahnya yang di buktikan dengan surat menyurat dan Dokumen yang menjelaskan tanah tersebut memang Milik Masyarakat.


Demikian Pernyataan sikap ini kami buat, harapan kami semua pihak dapat-mengindahkan tuntutan yang telah kami buat.

WALHI SUMSEL
SPI SUMSEL
KP - SHI SUMSEL
PERSERIKATAN OWA
SP OGAN ILIR
KPI SUMSEL
DKR SUMSEL
LBH PALEMBANG
UPLINK PALEMBANG
SAHABAT WALHI SUMSEL
KPA NASIONAL
DEMOS
DPP SHI
LS-ADI





Selengkapnya...

Rabu, Januari 06, 2010

Warga Rengas & Sidomulyo Kecewa Berat

PALEMBANG - Poniran (25) warga Desa Sidomulyo kecewa berat ketika harapan ke Palembang untuk bertemu Gubernur Sumsel di Pemprov Sumsel batal. Gubernur Sumsel sedang tidak berada ditempat. Padahal pertemuan tersebut diharapkan menjadi penyelesaian sengketa tanah antara warga antara warga desa dengan PTPN VII. Pertemuan itu sendiri bagian dari kesepakatan warga dengan Pemprov Sumsel dalam aksi beberapa hari lalu. Kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk surat keterangan tersebut ditandatangani oleh Asisten I Pemprov Sumsel Mukti Sulaiman.

"Jangan salahkan kami bila warga bertindak anarkis," ujar Poniran yang ditemui di DPRD Sumsel setelah gagal melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumsel, Rabu (6/1).

Lebih kecewa lagi ketika mendapatkan kenyataan bahwa tak satupun pejabat pemprov menemui mereka. Padahal menurut Poniran, pertemuan itu sudah dijanjikan beberapa hari sebelumnya.

"Masa tidak ada satupun orang di Pemprov Sumsel dengan warga seperti kami," kata Poniran.

Sedangkan warga lain mengatakan, bila persoalan berlarut-larut jangan salahkan bila massa yang lebih besar mendatangi Pemprov Sumsel kembali. Massa dari dua desa akan kembali berunjukrasa secara besar-besaran. "Kami dari pemprov ke dewan untuk meminta pertimbangan. Bila perlu dewan menegur keras Gubernur Sumsel atas batalnya memenuhi janji," ujar warga tersebut.





Selengkapnya...

Banyak Mengendap, Berpotensi Terulang

PALEMBANG(SI) – Walhi Sumsel mencatat ada 56 kasus konflik pertanahan (lahan) selama 2007–2009. Namun,sebagian besar kasus masih mengendap dan berpotensi tinggi konflik berulang dan memuncak.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat menyatakan, untuk 2009, sebanyak 21 kasus lahan terjadi, dengan korban 1.424 kepala keluarga (KK) dan luasan konflik lahan mencapai 24.243 ha. “Konflik agraria di Sumsel cukup tinggi.Hal tersebut terlihat secara kuantitas dan kualitas. Adapun rekaman kasus berdimensi struktural memang sebagian muncul ke permukaan.Sebenarnya banyak kasus lahan yang laten atau tidak muncul,” ujarnya, Minggu (3/1). Sadat mengatakan, sengketa lahan tersebut memiliki kecenderungan peningkatan yang konstan.

Selain itu, konflik lahan tersebut tidak terselesaikan dan kecenderungan akan muncul lagi ke permukaan dalam waktu selanjutnya. Selain itu, tercatat pada 2008, konflik lahan yang terjadi sebanyak 24 kasus lahan, dengan korban 1.629 KK dan luasan konflik lahan mencapai 42.515 ha. Angka tersebut meningkat dibandingkan pada 2007 yang hanya 11 kasus dengan korban 2.806 kepala keluarga, dengan sengketa lahan seluas 8.774 ha. “Berdasarkan analisis kami, konflik tersebut berlarut-larut sehingga menyebabkan dua faktor, yakni kejenuhan rakyat atau korban dan bentuk perlawanan untuk mencoba mempertahankan hak mereka atas tanah,” katanya.

Mengenai interpretasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengklaim banyak kasus yang terselesaikan, kata Sadat lagi, sepertinya keliru.Seharusnya pemerintah lebih fairterhadap publik. Sadat menambahkan,kasus lahan yang terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin yakni masyarakat Desa Sinar Harapan hingga kini belum final dan masih jalani proses. Pihaknya menyayangkan sikap pemerintah dan pihak terkait yang belum serius menuntaskan kasus lahan tersebut.Malah,mereka bertindak ketika rakyat atau petani benar-benar bereaksi.

“Saat di-pressure dengan aksiaksi massa, mereka baru menyikapi, tetapi sebagian besar diabaikan sehingga belum clear,mulai sejarah kepemilikan lahan,hak kepemilikan lahan, sehingga berlarutlarut. Belum lagi persoalan izin hak guna usaha (HGU) yang tidak ada oleh perusahaan.Makanya,wajar masyarakat menuntut hak mereka atas perampasan tanah,”bebernya. Menurut dia,dalam penyelesaian konflik lahan tersebut,sebagian besar melibatkan aparat penegak hukum,terutama kepolisian.Menurut dia, dari seluruh kasus yang mencuat,mayoritas terjadi tindak kekerasanaparat,mulaipemuk
ulan, penangkapan,hingga penembakan sehingga mengakibatkan dampak psikis dan psikologis bagi rakyat.

“Tentu saja masyarakat merasa khawatir dan ketakutan. Terutama, ketika aparat mulai menjaga aset-aset milik perusahaan besar, seperti tanah dan lainnya. Belum lagi jika perusahaan menggunakan jasa preman.Kami melihat,desain penyelesaian lahan yang dilakukan cenderung secara legal melalui aparat kepolisian, preman, penciptaan konflik horizontal antar warga hingga menggunakan perpanjangan tangan lewat tokoh adat dan kepala desa,”urainya. Sementara itu, dominasi konflik lahan terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan besar hampir 75%.

Sedangkan 25% konflik dengan perusahaan di sektor hutan tanaman industri (HTI),karet,dan tebu.Dengan proporsi luasan perkebunan sebanyak 1,7 ha HTI,800.000 ha untuk sawit, 6.000 ha tebu dan karet. “Dalam proses produksi tersebut sebagian besar memiliki permasalahan HGU.Di mana, perusahaan besar tersebut menguasai atau bahkan merampas lahan rakyat tanpa HGU,yang terkadang seolah menjadi legal dengan izin lokasi yang diberikan pejabat setempat serta ekspansi yang tak ada izin lokasi,”katanya.

Sementara itu,Kadiv Advokasi Walhi Sumsel Yuliusman mengatakan, keberadaan Undang-undang (UU) Perkebunan No 18/2004 maupun UU Penanaman Modal Asing (PMA) No 25/2007 cenderung merugikan petani atau masyarakat. “Dengan UU Perkebunan tersebut, rakyat setempat tak dapat masuk dalam wilayah perkebunan atau menghindari reclaiming dan UUPMA sendiri.Terutama,terkait jangka waktu yang cukup panjang bagi perusahaan dalam menguasai lahan dan terkadang lahan tak dikembalikan ke rakyat,”kata dia.

Untuk itu,Walhi Sumsel mengharapkan pemerintah dapat melakukan reformasi agraria secara konsisten, kemudian memastikan jaminan perlindungan hak atas tanah, land reform tanah untuk petani tak memiliki tanah,dan memberikan jaminan kelangsungan pengelolaan lahan untuk kesejahteraan rakyat. “Hentikan pula industrialisasi pertanian dan hentikan proyek-proyek liberalisasi pertanian yang mengancam petani, paling tidak penerapan UUPA No 5/1960,”katanya.

Selain itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sumsel Eti Gustina menyatakan, pihaknya telah mencatat 81 kasus sengketa lahan selama lima tahun terakhir. Menurut dia, masih banyak pula petani di Sumsel yang hidup di garis kemiskinan dan mendapatkan perlakuan tidak adil dalam proses pembangunan. “Salah satu kebijakan Pemprov Sumsel yang berdampak seperti lumbung pangan, karena cenderung tidak pro-poor, karena targetnya peningkatan produksi bukan untuk penduduk miskin yang berada di sektor pertanian,”katanya. Selain itu, lanjut dia, peningkatan CPO dan perkebunan akasia memiliki tujuan ekspor dan melegitimasi ekspansi investor yang lapar tanah dan berimbas pada perampasan tanah hingga mengancam ketahanan pangan nasional.

Etimenilai,berbagaikonflikpertanahan hampir selalu mewarnai hidup kaum petani di Sumsel sebagai korban.Menurut dia,kasus tanah yang berdimensi struktural masih didominasi sengketa antara masyarakat dengan perkebunan besar yang di-back upaparat keamanan. “Malah kasus-kasus reclaiming lahan, aksi panen paksa, disikapi secara represif dan meng-akibatkan korban dari kalangan rakyat. Seperti baru-baru ini, kasus Rengas Ogan Ilir versus PTPN VII Cinta Manis dengan aksi penembakan aparat,”tandasnya.

Belum lagi,lanjut Eti,dalam kasus kekerasan aparat yang terjadi di Tanjung Enim terhadap warga setempat yang mayoritas merupakan buruh tani. Di mana, konflik perebutan lahan antara warga dengan perusaan (PT MHP) juga berujung dalam tindakan kekerasan aparat Brimob/Polres setempat dan terjadi aksi penembakan terhadap 10 warga setempat. Di lain pihak,Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan (Sumsel) Rohman menegaskan, dua pelanggaran terkadang dilakukan aparat, yakni bentuk kekerasan,pemukulan,hingga penembakan, dan basis persoalan terletak pada perampasan hak atas tanah petani.

“Untuk itu, kami meminta penegakan hukum seadil-adilnya. Kasus pelanggaran HAM seperti ini kerap terjadi dan menuntut aparat pemerintah cepat tanggap. Jika pressure terjadi, rakyat semakin tidak percaya adanya bentuk keadilan dan peningkatan kesejahteraan yang sering dijargonkan,” tandasnya.




Selengkapnya...

GUBERNUR SUMATERA SELATAN INGKAR JANJI TERHADAP PETANI

Pernyataan Sikap

"Pemberian beras miskin dan bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat bukan solusi mengatasi kemiskinan. Begitu pula dengan program sekolah dan berobat gratis kepada rakyat miskin bukan solusi untuk mengatasi petani miskin di pedesaan dari keterpurukan".

Adalah "bantuan langsung tanah" menjadi solusi mengatasi kemiskinan masyarakat petani. Karena petani membutuhkan kedaulatan dalam pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, hutan dan air. Hal ini merupakan prasyarat utama bagi masyarakat petani di Indonesia.

Jumlah penduduk yang terbesar di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan merupakan rumah tangga petani yang hidup di desa. Maka, sangat wajar kalau nasib petani menjadi sorotan bagi kita semua. Pertanyaan mendasar yang harus segera dijawab oleh pemerintah saat ini adalah; Mau dikemanakan nasib petani ketika mereka tidak mempunyai lahan garapan?

Fenomena ini mesti mejadi perhatian kita semua dan harus dilihat secara arif dan bijaksana khususnya oleh Perintah Daerah Sumatera Selatan. Adalah jargon politik saja jika pembagunan menuju kesejahteraan rakyat tanpa melakukan penataan struktur dan sistem politik, ekonomi dan sosial yang berbasiskan kekuatan sumber daya desa (reforma agraria).

Karena sejarah telah membuktikan bahwa negara yang melakukan reforma agraria, termasuk negara dunia pertama (negara maju) sebelum mencapai negara industri terlebih dahulu melakukan hal ini. Misalnya, Jepang dan Taiwan.

Amanat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sebetulnya secara tegas telah memandatkan dilakukannya reforma agraria. Bicara tentang pemanfaatan dan pengelolaan SDA tidak lepas dari bagaimana sumber produksi dapat memberikan peningkatan ekonomi masyarakat lokal (petani).

Peningkatan dimaksud adanya unsur keberpihakan dan kesebandingan distribusi terhadap petani. Sehinga petani sebagai orang yang hidup di desa menjadi sejahtera. Namun Pemerintah selama ini mengabaikan petani. Karena tidak diangap layak untuk menyumbang PAD kecuali investor. Kondisi inilah yang melecehkan petani dan membuat petani semakin terpuruk.

Pengingkaran dan Pembohongan Publik

Konteks Sumatera Selatan sepuluh hari yang lalu (28-29 Desember 2009) petani dua desa melakukan unjuk rasa di kantor pemerinta Propinsi dalam rangka memperjuangkan tanahnya yang telah dirampas oleh Perusahaan Nasional. Persoalan yang dikemukakan, yaitu penyerobotan lahan petani Desa Rengas (Kabupeten Ogan Ilir) oleh PT. PN VII seluas 1.529 ha dan juga penyerobotan lahan petani Desa Sido Mulyo (Kabupaten Banyuasin) oleh PT. PN VII seluas 387 ha.

Bahkan jauh sebelumnya selama satu minggu (tanggal 19-23 Oktober 2009) masyarakat Sidomulyo juga telah melakukan unjuk rasa ke Pemprov, DPRD Sumsel, Kanwil BPN Sumsel dan Disnakertrans Sumsel. Gubernur menjajikan selama 20 hari kasus masyarakat dapat diselesaikan. Tetapi janji penyelesaian hanya tinggallah janji. Gubernur Sumsel tidaklah serius menangani dan menepati janjinya untuk menyelesaikan kasus masyarakat.

Seperti publik ketahui bahwa Aksi masyarakat dua desa (Rengas dan Sidomulyo) pada hari senin, 28 Desember 2009 menghasilkan kesepakatan bahwa Gubernur Sumsel Akan memfasilitasi pertemuan secara langsung antara Pemerintah Sumsel, Warga dan Perusahaan pada tanggal 6 Januari 2010 yang dituangkan dalam surat rekomendasi dan ditanda tangani oleh Asisten 1 Mukti Sulaiman . Guna membicarakan dan membahas penyelesaian kasus masyarakat dua desa dengan PT.PN VII. Kemudian janji Gubernur tersebut diperkuat dengan munculnya statmen Asisten 1 Pemerintahan Propinsi Sumsel yang menyatakan bahwa Hari ini, Rabu 6 Januari 2010 Gubernur akan memimpin langsung pertemuan yang dijanjikan (Baca; Koran Sindo edisi Senin 4 Januari 2010).

Namun, lagi-lagi jurus dan mantra tipu daya Gubernur Sumsel kembali di mainkan dan dipertontonkannya di hadapan publik. Gubernur Sumsel kembali mengingkari janjinya dan menghianati aspirasi masyarakat petani. Hal ini semakin menunjukan kepada kita semua bahwa Rezim pemerintahan ALDY saat ini adalah REZIM ANTI RAKYAT. Dan tidak ada bedanya dengan Rezim Orde Baru. Oleh karena itu perlu kami tegaskan dan kami sampaikan kepada seluruh masyarakat Sumatera Selatan bahwa;

  1. Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap nasib petani kecil di pedesaan. Pembiaran atau menggantung-gantung kasus rakyat, mengingkari janji dan begitu kuatnya keberpihakan pemerintah terhadap investasi bukti nyata yang dipertontonkannya.
  2. Paradigma dan watak eksploitatif Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan semakin tampak. Hal ini dibuktikan dengan begitu maraknya praktek eksploitasi SDA seperti tambang dan pembangunan atau perluasan perkebunan di Sumatera Selatan.
  3. Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan sangat tidak berpihak kepada petani kecil di pedesaan.


Demikianlah hal ini kami sampaikan. Saatnya perjuangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan atas pengelolaan SDA harus terus dilakukan.





Selengkapnya...