WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Desember 31, 2011

Pernyataan Sikap Aksi Walhi Sumsel dan Petani di Sumsel


PERNYATAAN DAN TUNTUTAN
Aksi Walhi Sumsel dan Petani di Sumsel kepada Pemprop Sumsel

“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan,
apalagi penghisapan dari modal-asing terhadap Rakyat Indonesia (Bung Karno)”

Semua orang menyadari bahwa tanah merupakan aset penting bagi kehidupan manusia. Terlebih bagi kaum tani, tanah adalah sumber terpokok kehidupan. Tanah tempat petani hidup, tanah tempat petani menafkahi keluarga, tanah tempat petani memiliki kemampuan untuk mampu menyekolahkan anak-anaknya, tanah bagian dari harkat dan martabatnya, dan secara mendasar tanah bagi petani adalah bagian yang tidak tepisahkan dalam kehidupan, darah dan urat nadinya.
Namun sejarah telah mengguratkan, penindasan terhadap kaum tani khususnya berupa penguasaan atau penggusuran lahan secara sefihak yang dilakukan oleh kekuatan modal hingga detik ini terus berlangsung. Parahnya penggusuran tersebut secara terang didukung penuh oleh Pemerintah yang seharusnya melindungi hak atas tanah rakyat. Hal tersebutlah yang menjadikan rakyat petani telah atau selalu hidup dalam gelimang kesengsaraan dan penderitaan.
            Sangat banyak tentunya dapat dijadikan contoh bagaimana praktek kekejaman pemilik modal yang disokong oleh Pemerintah dalam menggusur tanah kehidupan rakyat. Tidak hanya tanah yang hilang, berbagai peristiwa seperti; mendekam dalam penjara, hidup ketakutan, pengkriminalisasian, bahkan kehilangan nyawa selalu dialami rakyat dalam upaya pemilik modal merampas setiap jengkal tanah rakyat.
            Terhadap kasus atau persoalan yang saat ini kami sampaikan merupakan sekelumit kasus yang ada di Indonesia termasuk di Propinsi Sumatera Selaran. Persoalan kami ini, banyak diantaranya telah bertahun-tahun hingga saat ini tidak pernah secara serius dituntaskan oleh Pemerintah. Tentunya kita tidak ingin bersama peristiwa berdarah akan terus menyelimuti kehidupan rakyat, karena sudah menjadi wajib hukumnya bagi pemerintah untuk melindungi hak rakyat, termasuk mensegerakan penuntasan kasus-kasus agraria (konflik tanah) sebagai bagian dari penyelenggaraan HAM.
            Untuk itu kami masyarakat dari berbagai Desa di 2 (dua) Kabupaten; OKI dan MUBA Propinsi Sumatera Selatan bersama lembaga pendamping (WALHI Sumatera Selatan dan lainnya), tanpa kompromi dan tidak ingin terus-menerus dipermainkan, dengan ini secara tegas menuntut:
  1. Cabut/bekukan izin HGU PT. Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa Sodong sampai dengan konflik tanah terselesaikan;
  2. Cabut izin HGU PT. Selatan Agro Mulya Lestari (SAML) di Desa Nusantara dan sekitarnya karena izin terbit tidak berdasarkan persetujuan rakyat pemilik tanah dan hanya akan mengancam kelangsungan pangan rakyat dan kedaulatan pangan bagi bangsa;
3.      3.1. Cabut izin lokasi PT. Bumi Sriwijaya Sentosa (BSS) dan tolak rencana terbitnya izin HGU A/N Perusahaan tersebut di Desa Totan, Jerambah Rengas, Cambai, Sungutan Air Besar, Pulauan, Penanggoan Duren, dan berbagai desa di sekitarnya;
3.2.  Bebaskan/lepaskan status kawasan hutan terhadap wilayah Desa di atas yang tidak berdasarkan fakta obyektif lapangan dan tanpa prosedur yang melibatkan rakyat yang telah hidup dan menentap di wilayah itu sejak sebelum Indonesia diproklamasikan;
  1. Cabut izin HPHTI PT. Pakerin di Kabupaten MUBA;
  2. Enclave tanah rakyat Desa Sinar Harapan dari izin HPHTI PT. Bumi Persada Permai (BPP), serta kembalikan tanah rakyat yang telah dirampas oleh perusahaan tersebut;
  3. Cabut izin HGU PT. Berkat Sawit Sejati (BSS) di Desa Sinar Harapan;
  4. Kembalikan tanah rakyat Desa Suka Damai yang telah diserobot oleh PT. Hindoli;
  5. Kembalikan tanah rakyat Desa Simpang Tungkal yang telah diserobot oleh PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB);

Demikianlah, untuk menjadi perhatian serius dari Pemerintah.


Palembang, 27 Desember 2010



    Dede Chaniago
 Koordinator Aksi



Selengkapnya...

Pernyataan Sikap Aksi : “Hentikan Teror dan Kekerasan Polri untuk Kenyamanan dan Keadilan Rakyat”


PERNYATAAN DAN TUNTUTAN

“Hentikan Teror dan Kekerasan Polri untuk Kenyamanan dan Keadilan Rakyat”

Dalam UU Kepolisian (Nomor 2 Tahun 2002) disebutkan bahwa keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditujukan guna terwujudnya keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggranya perlindunga, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya letentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
            Namun kenyataannya, hal itu hanya menjadi jargon atau bahasa pemanis yang prakteknya jauh dari kenyataan. Polri dianggap oleh masyarakat tidak lebih sebagai gerombolan yang menyeramkan dan menakutkan. Alih-alih menegakkan hukum, namun berbagai cara kerap dilakukan oleh anggota Polri, yakni; mengebiri, mengintimidasi, mengkriminalisasi, memeras dan memperkosa hak-hak rakyat – yang muara dari itu semua ditujukan hanya untuk memperkaya diri sendiri dan atasannya.
            Tidak terkecuali terhadap rakyat petani. Secara umum Polri telah memposisikan dirinya tidak lebih bagaikan “Polisi Onderneming”, yang berada pada garda terdepan dalam membela kepentingan para pemilik modal. Bersama rekan sejatinya tersebut (para pemilik modal), berbagai skenario telah dan terus diciptakan guna diserahkannya hak atas tanah rakyat.
            Hal itulah yang semakin kerap memperkeruh situasi, dimana konflik tanah yang ada juga selalu beriring dengan kucuran darah dan air mata rakyat. Dengan alasan menjaga netralisasi dan kondusifitas, namun pemenjaraan, teror dan kekerasan dilakukan Polri terhadap rakyat yang sesungguhnya tengah mempertahankan dan menjaga kedaulatan, kehormatan dan hak asasinya.
            Untuk itu, dengan mendasarkan pada kenyataan telah cukup banyak perlakuan yang tidak baik dari Polri terhadap rakyat dalam konflik agrarian/SDA yang ada, kami sebagai masyarakat korban bersama WALHI Sumatera Selatan dan lembaga lainnya dengan ini menuntut kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, untuk:
  1. Hentikan turut campur Polri dalam penanganan konflik pertanahan di Sumatera Selatan;
  2. Tarik mundur seluruh aparat yang berada di wilayah konflik pertanahan di Sumatera Selatan;

Demikianlah, untuk menjadi perhatian serius dari Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.

Palembang,27 Desember 2011
Koordinator aksi 
Dedek Chaniago 

Cp :
Anwar sadat : 08127855725
Hadi jatmiko : 08127312042
 
Selengkapnya...

Jumat, Desember 30, 2011

Petani: Tarik Polisi dari Perkebunan

Palembang - Lebih kurang 2000 petani dari Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Ogan Kpmering Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), mendesak polisi agar menarik anggotanya dari perusahaan perkebunan.
Desakan ini disampaikan langsung oleh petani, ke Polda Sumsel dan Gubernur Sumsel, Selasa (27/12).
Menurut Kordinator aksi, Anwar Sadat, alasan desakan ini, karena oknum polisi kerap menyalahgunakan kewenangannya dengan meneror warga, bahkan mengancam dengan menggunakan senjata api.
"Selama ini telah banyak korban jiwa oleh aparat kepolisian untuk itu mereka perlu ditarik, terutama pada desa Sodong dan Kabupaten Musi Banyuasin," ujar Anwar Sadat.
Dituturkan Sadat, yang juga Direktur Walhi Sumsel, salah satu contoh keterlibatan Polisi membekingi pengusaha ditunjukkan dalam insiden berdarah di desa Sodong, Mesuji, Sumsel. Dalam insiden berdarah itu, salah seorang warga setempat tewas dengan luka tembak di bagian dada.
Sementara itu, Suratman, wakil warga  desa simpang Bayat dan Siinar Harapan, Musi Banyuasin meminta agar pengamanan di lahan dan perkebunan cukup dakukan oleh Satpam perusahaan.
"Kita ini bukan teroris, jadi tidak perlu dengan polisi yang bersenjata, cukup dilakukan oleh Satpam," ujarnya.
Terkait desakan tersebut kepala Bidang Humas Polda Sumsel, Kombes Pol. Sabarudin Ginting mengatakan keberadaan Polisi di sejumlah areal perkebunan bukan untuk mengamanakan pemilik modal semata melainkan setiap warga yang ada disekitar kebun. 
"Kami tidak bisa menarik polisi pada daerah yang rawan konflik, karena kami mengkhatirkan tidakan anarkis," ujar Ginting.
Sumber : Gatra.com
Selengkapnya...

Ribuan Massa Datangi Mapolda Dan Kantor Gubernur Sumsel

Palembang- Setelah berorasi di Mapolda Sumsel, Ribuan Massa padati kantor Gubernur Sumsel untuk menuntut Pemprov Sumsel mencabut izin Hak Guna Usaha PT. Sumber Wangi Alam (SWA) di desa Sodong sampai konflik tanah terselesaikan.
Massa yang sebelumny berunjuk rasa di depan Mapolda Sumsel, melanjutkan aksi mereka dengan berjalan kaki dan dengan jumlah yang lebih banyak. Sebanyak 20 truk membawa massa tambahan yang datang dari kabupaten OKI.
Selain izin HGU PT. SWA, terdapat beberapa perusahaan lain yang mereka tuntut agar izin HGU nya dicabut pemerintah Sumsel. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain PT. Selatan Agro Mulya Lestari di desa Nusantara karena dinilai izin terbit berdasarkan persetujuan rakyat pemilik tanah dan hanya akan mengancam kelangsungan pangan rakyat.
Selain itu , izin lokasi dan HGUbeberapa perusahaan antara lain, PT. Bumi Srriwijaya, PT. Pakerin di Muba, PT. Bumi Persada Permai, PT. Berkat Sawit Sejati, PT.Hindoli dan PT. Sentosa Mulya Bahagia.
Pemprov Sumsel akhirnya menerima perwakilan massa untuk menemui Wakil Gubernur yang berada di Kantor Pemprov Sumsel. Usai pertemuan dan negoisasi antara wakil Gubernur Sumsel dan Perwakilan massa, menghasilkan kesepakatan bahwa Gubernur Sumsel akan mengundang bupati OKI dan Bupati Muba bersama warga dari desa dari kedua kabupaten tersebut untuk menyikapi tuntutan warga pada tanggal 17 Januari 2012.
Sementara,aksi tersebut mendapat pengamanan ketat dari kepilisian, Kapolresta Palembang Agus Sulistyo turun langsung ke lapangan untuk mengamankan aksi tersebut.
Sebelumnya, Massa melakukan aksi di depan Mapolda Sumsel dan menuntut agar kepolisian tidak mencampuri konflik pertanahan yang terjadi di Sumsel. Rakyat menilai, dengan alasan menjaga netralisasi dan kondusifitas, polri menggunakan kekerasan dan mengkiriminalisasi rakyat yang tengah mempertahankan lahan mereka.
Rakyat juga menuntut agar polda sumsel menarik seluruh aparat yang berada di wilayah konflik pertanahan di Sumatera Selatan.
Setelah bernegoisasi dengan polda sumsel yang diwakili kabid humas polda sumsel Sabarudin Ginting. Kepolisian menerima dan mendukung upaya-upaya massa agar potensi konflik pertanahan dapat diselesaikan. Sehingga tidak perlu terjadi bentrokan.
“Keberadaan polisi dimanapun untuk mengamankan wilayah hukum dalam rangka mencegah pertikaian dan pengrusakan yang merugikan semua pihak, sehingga tidak perlu adanya penarikan aparat”, ungkap Ginting.
Dia meminta pada massa jika di daerah terdapat personil kepolisian yang melanggar, rakyat jangan takut melaporkan kapolres atau ke polda sumsel langsung. “Laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh kabid propam polda sumsel yang nakal di lapangan”,tambahnya. 

sumber : trijayaFM

Selengkapnya...

Selasa, Desember 27, 2011

Ribuan Petani OKI Sumsel Aksi di Palembang

Palembang - Sebanyak 1.800 petani dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, melakukan aksi di Palembang. Mereka menuntut agar kepolisian ditarik dari lokasi perkebunan, serta mencabut izin perusahaan sebab keberadaannya merugikan rakyat.

Aksi dimulai pukul 09.00 dengan mendatangi Markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang. Mereka membawa spanduk dan ratusan bendera Walhi Sumsel. Mereka bergerak dari kantor Walhi Sumsel, di kawasan Bukitkecil, Palembang. Di Mapolda Sumsel mereka menuntut agar kepolisian menarik aparatnya yang diduga terlibat sebagai pengaman sejumlah perusahaan perkebunan. Pihak Polda Sumsel berjanji akan mengusut dugaan tersebut.

Di antara pengunjukrasa, yang sebagian dari Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, itu, kemudian melakukan aksi ke Kantor Gubernur Sumsel di Jalan Kapten A. Rivai Palembang.

Di sini, mereka menutut Gubernur Sumsel Alex Noerdin untuk memerintahkan Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) Ishak Mekki untuk mencabut Izin Guna Usaha beberapa perusahaan asing yang beroperasi di OKI.

"Beberapa perusahaan itu kami dapatkan informasi merupakan perusahaan asing dari Malaysia. Yang menjadi permasalahan bagi kami, perusahaan-perusahaan itu menyerobot lahan kami," kata Sudir, seorang pengunjuk rasa.

Menurut Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel, yang mendampingi para pengunjukrasa, permasalahan sengketa tanah milik petani di Sumatera Selatan, cukup banyak, semuanya berpotens terjadinya konflik berdarah seperti yang terjadi di Mesuji.

"Jadi guna mengantisipasi hal tersebut terjadi, sebaiknya pemerintah mencabut semua izin guna usaha semua perusahaan yang bermasalah itu," katanya.


Ditemui Wakil Gubernur

Demonstran diterima Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf. Kepada pengunjukrasa Eddy menyatakan akan menyampaikan semua tuntutan warga ke Gubernur Sumsel Alex Noerdin yang kini tengah berada di luar kota.

"Saat ini Gubernur Sumsel Alex Noerdin tengah ada tugas di luar. Saya berjanji, saat gubernur pulang pada tanggal 29 Desember nanti langsung saya sampaikan orasi kalian pada beliau," jelas Eddy, yang menyampaikan hal tersebut sambil naik mobil pick up pendemo yang terparkir di halaman kantor Gubernur Sumsel, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang.

Mendapatkan pernyataan itu, sebagian pengunjukrasa tidak terima dengan menyatakan tidak setuju. Mereka tetap ingin bertemu dengan Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Tapi reaksinya tidak terlalu berlebihan.

sumber : detiknews.com Selengkapnya...

Tuntutan ribuan Petani Kepada POLDA dan Gubernur Sumsel

Foto Kompas.com
Inilah tuntutan Aksi Ribuan Petani Sumsel hari ini (27/12) di Kantor POLDA Sumsel dan Kantor Gubernur Sumsel :
  1. Hentikan Keterlibatan POLRI dan TNI dalam Konflik Pertanahan di Sumsel
  2. Tarik aparat TNI dan POLRI dari Lokasi Konflik Pertanahan yang ada di Sumsel
  3. Cabut HGU PT. Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa SODONG (OKI)
  4. Cabut HGU PT. SAML di Desa Nusantara dan sekitanya (OKI)
  5. Cabut Izin HPHTI PT. Bumi Bersama Permai (BPP) di Desa Sinar Harapan dan sekitarnya (MUBA)
  6. Cabut izin HPHTI PT. PAKERIN
  7. Cabut izin Lokasi PT. Bumi Sriwijaya Sentosa (BSS) di Desa Toman, Jerambah rengas, Lebung Hitam, penangokan Duren dll di Kabupaten OKI
  8. Cabut izin HGU PT. Hindoli di desa Suka Damai (MUBA)
  9. Cabut izin PT. Berkat Sawit sejati di desa Sinar Harapan (MUBA) 
  10. Jalankan Reforma Agraria Sejati di Sumsel
  11. Segera lakukan Moratorium Izin Perkebunan, HPHTI dan Pertambangan di Sumsel
  12. Segera Bentuk Komite Penyelesaian Konflik Agraria di Sumsel
  13. Usut tuntas Pelanggaran HAM berat yang terjadi di mesuji dan Bima.            
Selengkapnya...

Senin, Desember 26, 2011

Polri Tantang Walhi Buktikan Korban Tewas di Bima


Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution menantang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Barat membuktikan jumlah korban tewas dalam pembubaran dan kerusuhan massa di Kecamatan Lambu, Bima, Nusa Tenggara Barat, lebih dari dua orang.

"Jangan ngomong saja," ujar Saud di kantornya, jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin, 26 Desember 2011. Saud kembali menegaskan bahwa korban jiwa dalam kerusuhan ini berjumlah dua orang, dengan 10 orang luka-luka.

Sebelumnya Walhi mengklaim jumlah korban tewas dalam kerusuhan di Pelabuhan Sape berjumlah lima orang. Walhi beranggapan tiga korban jiwa lainnya masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri sendiri. Walhi pun mempertanyakan keberadaan dan keselamatan ketiganya.

Sementara, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengatakan korban tewas kerusuhan di Bima sebanyak tiga orang. Mereka adalah Arif Rahman, 19 tahun, Syaiful, 17, dan Arifuddin A. Rahman.

Saud sebelumnya mengatakan pihaknya telah menetapkan 47 tersangka dalam kerusuhan yang terjadi di Kecamatan Lambu, Bima Nusa Tenggara Barat, Sabtu 24 Desember lalu. Termasuk tiga orang yang dianggap sebagai aktor lapangan atau provokator kerusuhan tersebut. "Inisial H, AS alias O, dan SY," katanya.

Saud mengatakan tersangka dengan inisial H merupakan DPO Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dalam kasus pembakaran kantor Camat Lambu pada 10 Maret 2011. Saud mengatakan ketiganya ditetapkan sebagai provokator karena mereka paling banyak dalam mengumpulkan dan mengerahkan massa.

Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2011/12/26/058373769/Polri-Tantang-Walhi-Buktikan-Korban-Tewas-di-Bima  Selengkapnya...

Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis

oleh :
S. Rahma Mary H
Noer Fauzi Rachman
 
Awal Desember 2011, publik Indonesia disentakkan dengan pengaduan perwakilan masyarakat beberapa desa di Mesuji Lampung kepada wakil rakyat di DPR RI. Mereka mengadukan peristiwa pembunuhan sekitar 30 orang masyarakat desa di sekitar perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.  Peristiwa itu terjadi antara 2009-2011.
Wakil masyarakat menyingkap tabir kejahatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada masyarakat disekitar perkebunan kelapa sawit. Pertama, kasus pembunuhan warga Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Sumber Wangi Alam,  kedua, kasus penembakan warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo, dan ketiga, terbunuhnya seorang warga dalam konflik tanah di Register 45 Sungai Buaya Lampung antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji Lampung dengan PT. Silva Inhutani.
Ketiga kasus diatas tergolong pelanggaran HAM yang dilandasi perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi disekitar tahun 1990-an. Pemerintah menyetujui permohonan-permohonan ijin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri yang diajukan perusahaan-perusahaan itu. Kemudahan memperoleh ijin lokasi bagi kedua perkebunan sawit dan ijin pengusahaan hutan tanaman industri untuk PT. Silva Inhutani menjadi permulaan konflik agraria ini.
Konflik agraria di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan tersebut, memecah kebekuan atas penanganan ribuan konflik agraria. Pemerintah lebih banyak mendiamkan konflik-konflik tersebut. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). BPN bahkan mencatat 8000 konflik agraria di Indonesia. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani. HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai dengan fungsinya dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut tanah, juga menjadi sasaran yang dikriminalkan aparat kepolisian.

Akar Konflik: Penggunaan dan Penyalahgunaan Kewenangan
Di masa Orde Baru, terutama disekitar tahun 1980-1997, pemerintah banyak memberikan ijin-ijin lokasi dan pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan dan pengusahaan hutan. Dari hasil investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui bahwa PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) mendapatkan ijin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI pada 1994 untuk tanah seluas 10.000 hektar untuk kebun inti dan 5000 hektar untuk kebun plasma. PT. BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya 2.455 hektar diluar ijin yang dikeluarkan BPN. Ijin pengusahaan hutan juga dikeluarkan Menteri Kehutanan untuk PT. Silva Inhutani pada 1991 diatas tanah seluas 32.600 hektar. Sementara PT. Sumber Wangi Alam, diduga mengambil alih tanah masyarakat Desa Sungai Sodong seluas 1533 hektar untuk perkebunan sawit.
Pemberian ijin-ijin untuk perusahaan-perusahaan tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan penduduk desa yang terlebih dahulu ada diatas tanah-tanah tersebut. Masyarakat tak dimintai persetujuan atas keluarnya perijinan tersebut. Pemicu konflik agraria di areal HTI Register 45 Sungai Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian tanah itu merupakan tanah adat. Tuntutan penduduk Desa Gunung Batu untuk pengembalian tanah yang diambil alih perusahaan seluas 7.000 hektar, hanya dikabulkan pemerintah seluas 2.300 hektar untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Ironisnya, pihak perusahaan dan aparat menuduh penduduk desa itu di tuduh sebagai perambah hutan (Siaran Pers YLBHI, WALHI, Sawit Watch, KPSHK, HuMa, SPI, 16 Desember 2011).
Perampasan tanah oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan, membuat penduduk yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat keberlanjutan kehidupannya. Karena itu, mereka kembali menuntut pengembalian tanah-tanah adat khususnya setelah masa reformasi 1998. Sayangnya, penuntutan kembali hak-hak atas tanah oleh masyarakat adat ini direspon secara represif oleh aparat Negara dan perusahaan.
Kasus Mesuji membukakan mata mengenai betapa mudahnya tanah-tanah masyarakat beralih menjadi penguasaan perkebunan besar. Masa lalu, sekarang, dan masa depan, penduduk desa pedalaman, mengalami penyingkiran melalui penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan dalam memberikan konsesi dan mengunakan aparatus represifnya. Penyingkiran rakyat dari tanah model Mesuji ini adalah salah satu bentuk saja dari bentuk-bentuk penyingkiran lainnya. Hall, Hirsch, dan Li (2011), dalam bukunya Powers of Exclusion mengidentifikasi beberapa bentuk eksklusi (penyingkiran) masyarakat dari akses terhadap tanah atas tindakan para aktor yang berkuasa. Keenam bentuk eksklusi itu adalah: (1) regularisasi akses terhadap tanah melalui program sertifikasi tanah, formalisasi, dan pemindahan masyarakat, (2) ekspansi ruang dan upaya intensifikasi untuk mengkonservasi hutan melalui pembatasan pertanian, (3) datangnya tanaman-tanaman baru secara massif, cepat, dan terjadinya konversi tanah-tanah untuk produksi tanaman sejenis (monocropped), (4) konversi lahan untuk penggunaan diluar sektor agraris, (5) proses perubahan kelas agraria pada skala desa tertentu, dan (6) mobilisasi kolektif untuk mempertahankan atau menuntut akses tanah dengan mengorbankan pengguna tanah lain atau penggunaan tanah lainnya.
Kelapa sawit, menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia selama duapuluh tahun terakhir. Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas ini membuat pemerintah mendorong investasi besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Terjadilah pembukaan tanah dan hutan besar-besaran khususnya di wilayah Sumatera. Kebijakan pemerintah yang pro investasi, mengakibatkan tercerabutnya hak-hak rakyat atas tanah. Rakyat tersingkir dari ruang hidupnya. Pemerintah menggunakan hukum negara secara membabi buta sebagai alat pelegitimasi perampasan tanah, dan menegasikan hukum lokal yang telah ada. Perusahaan, memanfaatkan perijinan tersebut untuk memperluas areal pengusahaan kelapa sawit.
Dalam kasus Mesuji, pemerintah sebenarnya telah mengetahui bahwa ada hak-hak penduduk di atas tanah yang disengketakan itu. Ini terlihat, misalnya dari kewajiban yang harus dilakukan perusahaan kepada mereka yang tinggal disekitar perkebunan. Dalam SK yang dikeluarkan, Menteri Kehutanan mewajibkan PT. Silva Inhutani memberikan ijin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional dan anggota-anggotanya yang berada dalam wilayah kerjanya untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan mengangkut hasil hutan ikutan seperti rotan, madu, sagu, damar, buah-buahan, getah-getahan, rumput-rumputan,  bambu, kulit kayu, untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Tetapi ‘niat baik’ ini sudah didahului dengan penyalahgunaan kewenangan berupa penyerahan tanah-tanah rakyat kepada perusahaan dengan Surat Keputusan pemberian ijin HTI.
Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Secara umum kita menyaksikan tak henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan melalui proses yang saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah rakyat dimasukkan dalam kategori sebagai “tanah negara”, lalu atas dasar definisi “tanah negara” itu, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan, memberi konsesi untuk badan-badan usaha produksi raksasa. Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional. Setelah mencuatnya kasus Mesuji, berturut-turut konflik agraria bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan, dan yang terbaru adalah kasus penembakan masyarakat di Sape, Bima karena memprotes tambang emas. Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik agraria ini.
Mesuji secara spektakuler memberi pelajaran sangat penting, apalagi pemerintahan SBY tengah memfinalisasi Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria yang berjiwakan fungsi sosial atas tanah. Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan lainnya  dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai pelayan perusahaan kapitalis dengan menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Ketidakadilan agraria ini bersifat kronis, dan tampil “meledak” seperti dalam kasus Mesuji ini,  tidak bisa diatasi dengan cara business as usual. Kita memerlukan langkah dari pimpinan tertinggi pemerintahan, Presiden Republik Indonesia, untuk menangani konflik-konflik agraria yang kronis. Kewenangan birokrasi sektoral tidak memadai mengatasi konflik-konflik agraria yang kronis ini. Masih dapatkah dalam proses finalisasi PP tentang Reforma Agraria itu dimasukkan pembentukan suatu lembaga khusus yang mengelola pelaksanaan reforma agraria, termasuk konflik-konflik agraria yang kronis? Quo vadis?
 
_______
*) S. Rahma Mary H, SH, MSi adalah Manager Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Noer Fauzi Rachman PhD adalah Anggota Perkumpulan HuMa, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen studi agraria dan kebijakan pertanahan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selengkapnya...

Bima, Sudut Kecil Ruang Hidup Rakyat

Oleh : Pius Ginting Juru Kampanye Tambang dan Energi WALHI Nasional

Sekali masa, Marx menulis surat  bahwa era  kapital pada masa pertengahan abad 19 belum mendekati usai. Ruang luas untuk berkembang masih tersedia. Kapital baru berkembang di sudut kecil dunia (a little corner of the world), benua Eropa Barat. Banyak ruang benua belum dieksploitasi, jadi sumber bahan mentah dan lalu pasar tambahan. Tambang di Papua belum lagi dipetakan, bahkan riwayat panjang tambang timah di pulau Bangka oleh kapital Belanda baru dimulai tahun 1850.

Kini, awal abad 21. Kapital benar-benar menguasai semua ruang hidup. Sebaliknya, ruang hidup rakyat lah yang tersisa tinggal sudut-sudut kecil. Perusahaan perkebunan, pertambangan, industri kayu menempati sebagian besar ruang hidup di Indonesia dan negeri terbelakang lainnya. Tak hanya di darat, di laut pun ruang hidup rakyat terdesak ekspansi kapital. Sengketa rakyat dan kapital terjadi di lepas pantai Teluk Tolo, pulau  Tiaka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Agustus 2011 adalah salah satu contoh.

Kapital telah mengeksploitasi hampir sempurna semua benua, ruang hidup rakyat. Kapital  telah hisap minyak Indonesia lewat beragam bendera korporasi, seperti Caltex (kini Chevron), Shell dan lainnya hingga Indonesia telah lewati puncak produksi minyaknya tahun 1977.

Di negeri terbelakang, salah satu prioritas kapital adalah memakan sumber daya alam, sektor yang perlu lahan luas. Ekspansi kapital terhadap sisa-sisa terakhir ruang hidup rakyat tak terelakkan menimbulkan konflik intens. Kapital yang menghidupri diri di sektor sumber daya alam membutuhkan ruang luas, dan bagaimanapun rakyat perlu ruang hidup. Penghujung tahun 2011 kembali terjadi konflik rakyat dengan kapital, yakni di Bima, pulau Sumbawa, NTB.

Luas pulau Sumbawa adalah 14.386 km persegi. Di sebelah barat, telah terdapat tambang Newmont Nusa Tenggara. Kini menguasai ruang seluas 13,2 kilometer persegi untuk tambang Batu Hijau.[1] Newmont mengklaim memiliki tiga blok tambang lain ke arah timur, yakni Lunyuk Utara, Elang, Rinti, dan Teluk Panas. Keseluruhan blok baru ini akan membutuhkan lahan lebih luas dibanding tambang Batu Hijau. Belum lagi penggunaan ruang lautan yang terdampak limbah tambang, kini besarnya 140.000 ton per hari (21 kali harian sampah kota Jakarta) dibuang ke Teluk Senunu, sebelah barat daya P.Sumbawa. Sebelah timur pulau Sumbawa adalah Kabupaten Bima.

Pilkada dan Izin Pertambangan
Tanggal 28 April 2010 adalah tanggal disahkannya paket 15 buah  izin usaha pertambangan oleh Bupati Bima. Adalah janggal izin pertambangan dikeluarkan sebanyak itu sekaligus di tingkat Kabupaten, mengingat pertambangan membutuhkan ruang yang luas.  PT. SMN dapatkan IUP bernomor
188/45/357/004/2010, seluas 24.980 Ha; dan  PT. Indo Mineral Cipta Persada mendapatkan 3 Izin Usaha Pertambangan. Luas Izin Usaha Produksi mineral logam minimal 5.000 (lima ribu) hektare dan maksimal 100.000 (seratus ribu) hektar, menurut Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Luas ke 15 izin perusahaan tersebut jauh diatas luas minimum, seperti tambang SMN.  Kelimabelas izin ini dikeluarkan dua bulan jelang Pilkada Bima, 7 Juni 2010. Sudah sering dilaporkan aktivis dan media bahwa para kepala daerah yang ikut lagi dalam ajang pilkada obral izin untuk dapatkan dana pemenangan. Ridha Saleh, dari Komnas HAM menyatakan dana izin pertambangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumben untuk menghimpun dana kampanye pilkada. Indikasinya, pemerintah daerah royal mengeluarkan izin pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah.[2]

Pilkada Bima 2010 tergolong sengit, bahkan kantor partai kandidat yang menang pilkada dibakar warga yang kecewa calonnya kalah. Kesengitan tentu berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan. Sengketa pilkada ini pun berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, namun pengadilan tetap memenangkan kandidat incumbent yang keluarkan izin tambang tersebut.


Kian tumbuh,  kian mendominasi ruang hidup rakyat
PT. SMN beroperasi di kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Dalam mengerjakan proyek tambang di Bima, perusahaan ini mengajak Arch Exploration, perusahaan tambang terdaftar di Australia. PT.SMN tampaknya dipasang untuk mendapatkan izin-izin dari bupati. Disamping Bima, PT. SMN juga koalisi dengan Arch Exploration untuk proyek tambang emas di Trenggalek, Jawa Timur.

Managing Director Arch Exploration Limited, John Carlile seorang geologis lebih dari 30 tahun bekerja di eksplorasi emas di perusahaan BHP dan Newcrest (perusahaan induk Nusa Halmahera Mineral, NHM) di Asia, Indonesia. Sebelumnya, sebagai manajer ekplorasi bagi tambang  Newcrest Mining, John bertanggung-jawab bagi pembangungan dan pengelolaan eksplorasi, akusisi dan  sejumlah aktivitas korporasi yang berujung kepada penemuan jutaan ons emas di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara.

John Carlile bisa saja melihat dengan mata sendiri Rusdi Tungapi mati ditembak polisi pada tahun 2006 setelah aksi rakyat sekitar tambang menolak hutan dan tanah pertanian mereka dirusak operasi pertambangan di sekitar Teluk Kao, Halmahera. Berdasarkan penuturan, warga yang protes dikumpulkan, di suruh jongkok. Oleh komandan kepolisian, Rusdi Tungkapi disuruh berdiri dan maju ke depan. Ditembak di depan manajer dan staf perusahaan. Sayang, rekaman media tidak ada seperti kejadian di Pelabuhan Sape, di Bima. Tapi melihat kejadian penembakan di Bima terhadap rakyat dalam posisi yang tak menyerang  sama sekali, tampaknya kekejaman kepolisian tersebut masuk akal terjadi.

John ditunjuk menjadi Managing Director Arc Exploration pada tahun 2008[3]. Sebagai eksekutif di perusahaan, dia memastikan budaya kerja perusahaan dan perwakilan ideologi perusahaannya dalam pelaksanaan misi perusahaan. Dia menerapkan perubahan di perusahaan untuk “meningkatkan efesiensi dan meningkatkan keuntungan bagi perusahaan”.

Arc Exploration mengeluhkan penolakan masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang di Bima pada bulan Febuari 2010. Rakyat yang akrab dengan tanah dan laut hidup sebagai petani dan nelawan tentu peka akan daya dukung lingkungan bagi kehidupan mereka. Bima sebelah timur berbatasan laut dengan Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten ini penolakan masyarakat terhadap tambang membuat Bupati yang baru saja menang Pilkada tahun 2010 mengeluarkan surat menghentikan semua kegiatan izin pertambangan.

Untuk tetap menjalankan operasi tambangnya, Arch Exploration nyatakan dalam Quarter Activities Report Juni 2011 akan melakukan diskusi dan pertemuan intens dengan pejabat pemerintah. Lalu, 29 November 2011, perusahaan nyatakan memulai kembali operasinya.[4] Rakyat agraris yang sangat tergantung kepada alam dalam setiap hari kehidupannya tentu merasa terancam dengan kegiatan tambang yang membongkar lapisan tanah yang bisa dicocok-tanami. Lanjutnya kembali kegiatan tambang inilah yang mendorong warga melakukan aksi protes hingga melakukan aksi pendudukan di Pelabunan Sape, Kabupaten Bima.

Di jajaran direktur Arc Exploration, terdapat George Tahija. Sebagai direktur non eksekutif, dia terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan perusahaan, mengawasi mendorong kinerja direktur eksekutif dan manajemen. Pada saat yang sama dia juga sebagai seorang Komisaris Freeport Indonesia. George adalah anak Julius Tahija.

 Julius pernah jadi  sersan tentara KNIL, lalu menjadi Ketua Dewan Direksi PT Caltex Pacific Indonesia  (kini Chevron) pada tahun 1966, saat Orde Baru membukakan pintu lebar bagi investasi asing di Indonesia. Julius bisa meraih jabatan tertinggi di Caltex tentunya tak terlepas dari jasanya menyelamatkan perusahaan tersebut dinasionalisasi pada tahun 1950-1965 karena kedekatan eratnya dengan Sukarno. Julius dan petinggi Caltex lainnya mendorong agar Freeport melakukan investasi di Indonesia pada tahun 1965[5]. Atas  jasanya, Julius diberikan saham oleh Freeport. Padahal, pemerintah sendiri sebagai representasi kepentingan publik Indonesia tidak mendapatkan saham dari Freeport pada masa tersebut.   

George adalah salah seorang personifikasi kapital yang terus berkembang, dari generasi bapaknya awal masa Orde Baru hingga awal abad 21, berusaha dapatkan ruang baru untuk berkembang. Kendati itu bertabrakan dengan ruang hidup rakyat.

William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Universitas Ohio, tanggal 8 Desember 2011 dalam orasinya pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, didukung perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara menyebutkan “”ekonomi kapitalis pasar sebagai sistem ekonomi yang paling baik.” [6] Ajuran dia, “kita perlu meninggalkan tradisi teoretisi sosial Karl Marx dan menggantikannya dengan pendekatan filsuf politik Niccolo Machiavelli. Pendekatan Marx terjerumus dalam perang antarkelas dan kurang peka pada cara-cara lain untuk menambah dan meratakan sumber daya politik. Sebaliknya, pendekatan Machiavelli terfokus
pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik demi pencapaian tujuannya. Sang individu ciptaan Machiavelli merupakan basis yang menjanjikan buat sebuah theory of action, teori tindakan.”

Sungguh, tindakan Brimob Polda NTB adalah sebuah tindakan Machiavellis. Moralitas pribadi dan publik harus dilepaskan dalam mengatur. Penguasa harus bisa bertindak tak sesuai moral, secara metodik lakukan kekerasan, penipuan dan sejenisnya.

Pilihan waktu penyerangan saat akhir pekan, jelang liburan Natal dan Tahun Baru, diharapkan kurangi  perhatian publik. Mengulang kembali kesuksesan penembakan Yurifin dan rakyat Kolo Bawah diatas perahu kecil lepas Pantai Tolo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, usai protes atas ingkar janji kesejahteraan oleh Medco-Pertamina, di Pulau Tiaka.  Serangan sukses,. Komandan, Anggota Kepolisian, personel Perusahaan tidak ada yang diadili atas pelanggaran HAM atau pidana, atas hilangnya nyawa rakyat bersenjatakan semangat penyelamatan ruang hidup!

Tapi rakyat Bima, Kolo Bawah, Mesuji, sekitar Teluk Kao dll tidak akan bisa diam lama. Karena mereka sungguh terdesak di sudut kecil ruang hidup yang tersisa.  Kemana mereka lagi mereka pergi? Atau bakar diri bersama, bapak, ibu, anak, depan kantor Bupati?

----------------------------------
 


[1] http://www.infomine.com/minesite/minesite.asp?site=batuhijau

[2] http://www.vhrmedia.com/Obral-Izin-Tambang-Menjelang-Pilkada--berita4489.html

[3]http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1131-51684774/WiseOwlIndonesianGold


[4] http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1497-50502448/ExplorationRecommencesatBima


[5] Denise Leith, The Politics of Power, Freeport in Soeharto’s Indonesia, University Hawai’i Press 2003

[6] http://www.paramadina.or.id/2011/12/09/publikasi/artikel/marx-atau-machiavelli.html
Selengkapnya...

Kamis, Desember 22, 2011

Ratapan Warga Sungai Sodong Sumsel tentang Kasus Mesuji

Sungai Sodong - Warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan (Sumsel) angkat bicara mengenai kasus Mesuji. Warga mengungkapkan inti permasalahan, yaitu sengketa di atas lahan yang mereka diami selama puluhan tahun hingga hadirnya perusahaan PT Sumber Wangi Alam (SWA) pada tahun 1996 hingga dijanjikan menjadi petani plasma.

Desa Sungai Sodong, merupakan salah satu desa yang didiami Suku Kayu Agung. Bahasa yang dipakai pun bukan bahasa yang dipakai di Palembang atau Lampung. Di Kecamatan Mesuji, Sumsel itu, Suku Kayu Agung juga mendiami beberapa desa yaitu Desa Sungai Badak, Desa Nipah Kuning, dan Desa Pagar Dewa. Tak heran, banyak warga di keempat desa itu berkerabat.

Kecamatan Mesuji di Sumsel dengan Kabupaten Mesuji di Lampung dipisahkan oleh Sungai Mesuji yang lebarnya 100-200 meter.

Untuk mencapai Desa Sungai Sodong, Sumsel, membutuhkan waktu 8-10 jam perjalanan darat dari Provinsi Lampung. Di desa itu, ada 400 kepala keluarga yang mencakup 1.500 jiwa.

Menurut Riyadi (bukan nama sebenarnya-red), salah satu warga yang dituakan di desa itu, sebelum ada perkebunan, Suku Kayu Agung sudah menempati tanah ulayat di wilayah itu turun temurun. Riyadi bahkan sudah sekitar 4 dasawarsa, semenjak lahir, mendiami wilayah itu.

Suku Kayu Agung hidup dari hutan dengan mencari kayu dan hasil hutan. Karena dekat dengan Sungai Mesuji, maka memancing ikan di sungai juga menjadi pilihan untuk bertahan hidup.

"Sekarang memancing sudah nggak karena di sungai semenjak ada industri, kalau habis pemupukan sawit, bekas pupuk turun ke sungai, ikan jadi susah," tutur Riyadi.

Dengan bahasa campur-campur, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, Riyadi menjawab pertanyaan detikcom pada Rabu (21/12/2011). detikcom juga sempat menunjukkan rekaman video kasus Mesuji yang sudah tersebar luas di masyarakat.

Awal sengketa seperti apa?

Inti permasalahan ini adalah karena PT SWA tidak menepati janji mereka yang akan memberikan hak tanah plasma yang seluas 533 hektar tahun 1996. Lahan ini yang disebut plasma kelompok. Selain itu kami juga dijanjikan akan ada plasma desa seluas 1.000-an hektar. Kami hanya menuntut dipenuhinya hak kami yang seluas 533 ha saja, agar kami bisa makan, kami ini orang bodoh.

Kami sudah mengadukan kasus ini ke DPRD Kayu Agung sekali, dan Bupati OKI (Ogan Komering Ilir) dua kali pada awal 2011, namun tidak ada respons.

Sebelumnya pada awal tahun 2011 kami sempat menduduki lahan perkebunan sebanyak ratusan orang selama beberapa hari, akhirnya setelah ditemui pihak Kapolsek, Kapolres, mereka membubarkan aksi.

Sementara, peristiwa terbunuhnya dua warga kampung, hanya berjarak 10-15 hari setelah melakukan aksi di DPRD. Kami kaget, bukannya permintaan kami ditindaklanjuti tapi malah terjadi aksi pembunuhan.

Masalah video pembunuhan bagaimana?

Kami tidak mengenali video tersebut terjadi di kampung ini. Karena bentuk bangunan yang berbeda dengan rumah kebanyakan di wilayah kampung Sungai Sodong. Di Sungai Sodong itu rumah semuanya berbentuk panggung. Kan yang di video itu rumah rendah.

Selain itu wajah para korban juga tidak ada yang kami kenal, dan kami bisa memastikan bahwa wajah tersebut bukanlah Indra dan Syaktu Macan. Namun benar adanya warga, yaitu Indra Syafii (16) dan Syaktu Macan (17) tewas terbunuh. Mereka masih berkerabat, Syaktu itu paman Indra Syafii.

Awal kejadian terbunuhnya bagaimana Pak?

Jadi begini, tanggal 21 April 2011, Indra dan Syaktu itu akan pergi ke pasar naik motor berboncengan untuk membeli racun ilalang (herbisida). Di tengah jalan mereka dicegat dan terjadilah peristiwa itu. Kami baru mengetahui kejadian tersebut karena ada mayat sekitar jam 13.00 WIB datang. Saya nggak tahu siapa yang membawa mayat.

Setelah dilihat, ternyata Indra yang mati dengan luka tembak di dada kiri, dada kanan, dan dada tengah. Selain itu ada luka tembak di kepala, serta leher yang digorok hampir putus. Saya lihat dengan mata kepala sendiri.

Sementara Syaktu ditemukan dalam keadaan penuh luka bacok, dan masih nempel pisau. Pisaunya gede dan bergerigi, bukan pisau biasa.

Syaktu masih hidup, masih bisa ngomong. Sempat ditanya oleh warga, siapa yang melakukan? Dia mengatakan itu adalah Pam (sekuriti perusahaan-red), preman dan Brimob. Ketika dibawa ke Puskesmas nyawa Syaktu tidak tertolong.

Kondisi kampung sebelum ada mayat itu biasa saja, setelah itu baru geger. Takut ada yang menyerang lagi. Tapi kita nggak menyerang.

Apakah ada kehadiran Brimob?

Ada, mereka sering berjaga di sekitar PT.

Jumlah Brimob yang berjaga?

Nggak tahu pasti.

Kalau yang Bapak sebut preman apakah jumlahnya banyak?

Sekitar 40-an orang.

Sejak kapan mereka di sana?

Kalau tidak salah seminggu sebelum penusukan

Pam pernah melakukan kekerasan terhadap warga?

Tidak, tapi dari tatapan mereka saat kami melewati areal kebun yang dijaga mereka itu menunjukkan ketidaksukaan mereka kepada warga.

Pam dipersenjatai?

Senjata tajam, golok.

Setelah kejadian tersebut, kami warga hanya diam di kampung saja, kami juga tidak mengetahui kelanjutan kasus ini. Apakah dilanjutkan prosesnya atau tidak.

Namun kami ini warga Sodong apabila dijahatin kami tentu balas, tapi jika orang tersebut baik satu kali kami akan balas dengan 10 lebih kebaikan.

Sehari setelah kasus tersebut, pada tanggal 22 April 2011, ada satu warga yang diamankan oleh pihak kepolisian, namanya Goni. Dia berumur 16 tahun warga Desa Pagar Dewa, namun kakeknya merupakan warga Sungai Sodong.

Goni pada tanggal 22 April 2011 bermaksud mendatangi pemakaman, namun di sana malah ditetapkan sebagai tersangka. Namun warga tidak mengetahui. Kami tidak tahu Goni ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus apa, sekarang sudah berada di LP Tanjung Raja.

Dihukum berapa lama?

Nggak tahu saya

sumber : DetikNews. Selengkapnya...

PETANI SENYERANG KEMBALI LAKUKAN AKSI PENDUDUKAN LAHAN

SENYERANG – Ribuan Petani Kelurahan Senyerang, Tanjab Barat, Jambi yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) kembali melakukan aksi pendudukan lahan dan tanah adat yang telah dirampas anak perusahaan Sinarmas Forestry, PT. Wirakarya Sakti (WKS). Aktifitas pendu-dukan lahan dimulai pada pukul 19.55 WIB hari ini, Rabu (21/12), di kanal 15 dan 16. Untuk menuju lahan yang akan diduduki, para petani terpaksa membangun jembatan darurat di kanal 19 yang sengaja diputus pihak perusahaan.

Aksi pendudukan ini, dipicu oleh tumpukan kekecewaan petani Senyerang terhadap janji-janji yang pernah ucapkan Pemerintah dalam setiap upaya perjuangan yang dilakukan. Baik Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Pemerintah Propinsi Jambi maupun Kementrian Kehutanan. Bahkan, yang terakhir sudah ditangani oleh Dewan Kehutanan Nasional.
Konflik antara petani Senyerang dengan PT. WKS sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, sejak tahun 2001, berawal dari dikeluarkannya Perda No. 52 oleh Bupati Tanjung Jabung Barat, Usman Ermulan. Bupati yang kini kembali menjabat tersebut merekomendasikan pengalih-fungsian kawasan kelola rakyat seluas 52.000 hektar yang berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi Kawasan Hutan Produksi (HP), dan selanjutnya diserahkan kepada PT. WKS guna dikelola menjadi bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI).
Berbekal Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 64/Kpts-II/2001, tanpa proses perundingan dengan masyarakat, PT WKS menggusur lahan petani dan tanah adat masyarakat Senyerang dan sekitarnya untuk kemudian ditanami tanaman akasia-ekaliptus. Pada saat itu, aktifitas pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara-cara kekerasan, dikawal oleh aparat Kepolisian/TNI dan preman bayaran.
Petani Senyerang akan terus berjuang menduduki lahan dan menanam tanaman cepat tumbuh dan menghasilkan diatasnya. Setelah berhasil menduduki dan menanami satu kanal, petani akan menduduki dan menanami kanal yang lainnya. Perjuangan petani Senyerang tidak akan berhenti sampai ada itikad baik dari Perusahaan dan Pemerintah untuk memenuhi tuntutan petani. Lahan seluas 7.224 Ha yang terletak dari kanal 1 sampai kanal 19 yang dirampas PT. WKS tersebut harus kembali seutuhnya. Karena lahan tersebut adalah satu-satunya kawasan kelola rakyat Senyerang yang masih tersedia untuk memperbaiki tarap hidup dan mengembangkan diri. Kini dan di masa depan.
Kepada seluruh Organisasi Massa, LSM, Pengamat, Akademisi, Media Massa dan kelompok-kelompok pro demokrasi lainnya, Petani Senyerang mohon dukungan atas perjuangan yang sedang dan akan terus dilakukan. Kiranya juga berkenan menyebarkan informasi ini seluas-luasnya.
Kami juga meminta agar Aparat Kepolisian/TNI tidak turut campur dan melakukan tindakan kekerasan terhadap petani Senyerang yang sedang memperjuangkan tanah kembali.
Saat ini, di lapangan, petani Senyerang akan berhadap-hadapan langsung dengan aparat Kepolisian/TNI dan preman bayaran perusahaan. Yang petani Senyerang inginkan adalah tanah, bukan tindakan kekerasan dan perlakukan semena-mena. Negara harusnya melindungi rakyat, dan bukan pengusaha saja.
Demikian Siaran Pers ini disampaikan kepada semua pihak untuk menjadi perhatian bersama. Terima kasih.

Hormat kami,
Petani Senyerang, Persatuan Petani Jambi - PPJ

***

LATAR BELAKANG KONFLIK
  • PT. WKS adalah anak perusahaan Sinarmas Forestry, mendapatkan areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 357.461 hektar di lima Kabupaten di Propinsi Jambi, yaitu Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Tebo. Seperti yang kerap terjadi, penunjukan kawasan dan penetapan SK oleh Menteri Kehutanan atas areal konsesi HTI tersebut dibuat secara sepihak dan tanpa perundingan dengan masyarakat.
  • Kenyataannya pula, areal konsesi tersebut berada di perkampungan, kebun-kebun masyarakat dan tanah adat. Sesuai dengan SK Menhut No.744/1996, sesungguhnya jika ditemukan areal-areal perkampungan dan kebun masyarakat, maka areal tersebut menjadi pengecualian dan atau dikeluarkan dari wilayah konsesi perusahaan. Akan tetapi, pihak perusahaan justru menggusur semua tanaman, pondok masyarakat dan tanah adat sebagai upaya untuk menyatakan bahwa kampung, kebun masyarakat dan klaim adat itu tidak pernah ada di wilayah tersebut.
  • Maka terjadilah konflik masyarakat setempat dengan PT WKS. Konflik pecah pada Desember 2007 di Desa Lubuk Mandarasah, Kabupaten Tebo. Pada saat itu, 12 alat berat PT. WKS yang menggusur kebun karet dan sawit warga dibakar oleh petani. Karena aksi pembakaran ini, kemudian 21 orang petani Desa Lubuk Mandarsah ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian.
  • Kemudian pada tanggal 10 November, tahun 2010 lalu, satu orang petani Desa Senyerang meninggal duni karena ditembak oleh Aparat Kepolisian (Brimob) Tanjab Barat, saat petani melakukan aksi blokade Sungai Pengabuan. Petani Senyerang menuntut agar lahan seluas 7.224 Ha segera kembali.
Demikian gambaran singkat kasus dan latar belakang konflik antara masyarakat melawan PT. WKS yang terjadi




--
Salam,

Zainul Mubarok
Selengkapnya...

Selesaikan Kasus Mesuji, Pemerintah Diminta Cabut Izin PT SWA


Kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) harus segera diungkap. Agar penyelesaian berjalan baik, pemerintah diminta mencabut izin operasional PT Sumber Wangi Alam (SWA) terlebih dahulu.

“Saya pikir kalau perusahaan itu berhenti beroperasi, dan pemerintah menyelesaikan persoalan secara fair, itu yang baru namanya pemerintahan yang pro rakyat. Masak pihak yang jelas-jelas menyebabkan Indonesia menjadi sorotan international
tetap dibiarkan beroperasi. Kalau persoalan sudah selesai, mungkin mereka baru beroperasi kembali,” kata Direktur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat kepada pers di kantornya, Kawasan Bukitkecil, Palembang, Selasa (20/12/2011) malam.

Menurut Sadat, dalam kasus Mesuji diduga ada unsur pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Hal ini dilihat dari sejumlah bukti yang ditemukan.

“Konflik itu sendiri memiliki indikasi pelanggaran HAM. Sejumlah bukti seperti selongsong peluru, luka akibat sangkur, dan pengakuan saksi bahwa seorang korban sebelum meninggal dunia menyebut adanya sosok aparat keamanan yang turut menyiksanya, semua itu harus diverifikasi. Artinya adanya pelanggaran HAM, kasus ini harus ditelusuri. Komnas HAM sudah tahu soal bukti-bukti sebagai indikasi pelanggaran HAM,” terangnya.

Kedua, tentu saja persoalan tanah ulayat yang telah dirampas perusahaan harus segera diselesaikan. Sebab menurutnya, itulah pangkal dari semua persoalan sehingga melahirkan konflik berdarah itu.

"Kalau dibilang saat ini tenang atau damai, dapat saja diterima. Tapi, percayalah, mana ada manusia di dunia ini yang tenang jika haknya dirampas dan keluarganya tewas atau diteror,” kata Sadat.

“Yang ketiga, yakni proses hukum yang saat ini sudah dijalankan kepolisian dan pengadilan. Jadi, masih ada dua lagi persoalan,” imbuhnya.

Sebelumnya Komnas HAM memastikan ada 8 orang tewas terkait insiden bentrok petani dengan perusahaan sawit. 8 Orang itu tewas di 3 tempat berbeda di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumsel.

"Ada 3 kasus di 2 provinsi," demikian jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim ketika dihubungi detikcom, Kamis (15/12). Ifdhal pun menjelaskan 3 kasus itu.

1. Kasus antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Peristiwa terjadi 21 April 2011. Ada pembunuhan 2 warga. Pembunuhan terhadap warga ini membuat warga marah karena menduga 2 warga tewas korban dari PT SWA. Akhirnya, warga menyerang PT SWA yang menyebabkan 5 orang tewas yaitu 2 orang Pam Swakarsa dan 3 orang karyawan perusahaan.

2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, terjadi sejak tahun 2009. PT Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Nah, penambahan HGU itu melebar hingga ke wilayah pemukiman warga sekitar. HGU ini menjadi sumber konflik karena warga yang sudah tinggal bertahun-tahun di wilayah pemukiman diusir. Rumah-rumah warga dirobohkan.

Komnas HAM masih menyelidiki adanya korban dari kasus kedua ini. Sehingga, Komnas HAM belum menyatakan ada korban tewas dari kasus ini.

3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di register 45, Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, pada 10 November 2011. PT BSMI ini memang letaknya berdekatan dengan PT Silva Inhutani.
Ada penembakan terhadap warga yang dilakukan Brimob dan Marinir, 1 warga tewas dan 6 warga menderita luka tembak.

Selengkapnya...

Tim Pencari Fakta Bertolak ke Mesuji Malam Ini


Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji mulai bergerak melakukan investigasi ke lapangan. Malam ini, 21 Desember 2011, sejumlah anggota tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berangkat ke Mesuji, Lampung, untuk menindaklanjuti data yang sudah terkumpul.

"Nanti malam sebagian dari kami berangkat ke Lampung. Sebagian lagi akan berangkat ke Mesuji, Sumatera Selatan. Yang ke Sumsel salah satunya Pak Ota (Mas Achmad Santosa, anggota Satuan Tugas Antimafia Hukum)," kata Ketua TGPF Denny Indrayana saat ditemui di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, siang ini.

Denny mengatakan investigasi ke lapangan dilakukan setelah pihaknya mengumpulkan data terkait kasus Mesuji dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). "Setelah mengumpulkan data, kami ke lapangan untuk verifikasi dan klarifikasi, baru kemudian melaporkan hasilnya ke publik," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut.

Di Lampung, Denny yang dibantu tim asistensi akan fokus melihat kondisi sejumlah orang yang disebut-sebut menjadi korban kekerasan aparat keamanan perusahaan sawit. Menurut Denny, pihaknya juga akan melakukan verifikasi jumlah korban, serta mencari tahu kebenaran video kekerasan yang diserahkan warga Mesuji ke Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, pekan lalu.

"Berapa pun jumlah korbannya, satu orang pun, penting untuk diketahui demi memberikan keadilan bagi korban. Soal video juga penting diverifikasi ketimbang berlarut-larut meributkan hal itu," ujarnya.

Mengenai kapan TGPF akan rampung melakukan tinjauan lapangan dan penelaahan data, Denny belum bisa memastikan. Ia menyebut, perumusan hasil kajian membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kunjungan TGPF ke lapangan saja, kata dia, membutuhkan waktu beberapa hari.

Seperti diketahui, ada tiga kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji. Pertama adalah kasus pengelolaan lahan adat di kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya yang menewaskan Made Asta pada 6 November 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 hektare antara warga Desa Sei Sodong dengan PT Sumber Wangi Alam (SWA), yang berakhir dengan terbunuhnya dua petani tak bersenjata pada 21 April 2011. Ketiga adalah kasus lahan sawit seluas 17 ribu hektare antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning dengan PT BSMI yang mengakibatkan tewasnya Zaini, November lalu.

Dari ketiga kasus tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Berry Nahdian Furqon menilai pemicu konflik adalah karena pihak perusahaan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama, antara 10-17 tahun. Sementara warga yang memiliki tanah tersebut tidak menuai manfaat yang pantas.

Perusahaan sawit umumnya bertindak atas dasar Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004. UU tersebut dinilai telah memberikan legalitas sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU, menurut Walhi, memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan untuk melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.

Adapun lima warga Mesuji mengadu ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu. Pengacara warga, Bob Hasan, menuturkan, sejak 2009 sampai 2011 sudah 30 korban tewas dari pihak warga. Tujuh di antaranya korban insiden di Mesuji, Sumatera Selatan. Mereka juga menyerahkan rekaman video pembunuhan sadis sejumlah orang.

Selengkapnya...

Selasa, Desember 20, 2011

Jumlah Korban Mesuji itu Akumulasi sejak 2004


JAKARTA--MICOM: Ketua Tim Advokasi warga Mesuji Saurip Kadi mengatakan catatan dari pihaknya menunjukkan jumlah korban kasus Mesuji temuan pihaknya mencapai 32 orang yang merupakan akumulasi sejak tahun 2004.

"Jumlahnya sekarang 32 orang dan kemungkinan masih bertambah. Itu akumulasi dari kejadian tahun 2004 sampai 2011," ujarnya ketika dihubungi, Senin (19/12).

Ia menjelaskan lebih lanjut, semua korban tersebut merupakan kasus sengketa tanah di Sumatra Selatan dan Lampung. "Itu kami dapat dari 11 titik di Lampung dan Sumsel. Kasus-kasus yang lalu harus diungkap juga. Adapun polisi dan DPR kemarin hanya mendatangi dua tempat saja," tuturnya.

Namun Saurip enggan memaparkan di mana 11 titik lokasi tersebut pada saat ini. "Nanti akan diungkapkan pada waktu yang tepat, sekaligus ada testimoni dari keluarga korban."

Mengenai tim investigasi gabungan pencari fakta sendiri, ia mengaku pesimis dengan hasilnya. Karena sebelumnya, pemerintahan daerah setempat, Komnas HAM dan Walhi telah melakukan investigasi terhadap kasus-kasus pembantaian tersebut.

"Ini ujung-ujungnya buying time, kemudian nanti keputusan-keputusan yang lama diperhalus, mengaburkan fakta yang sebelumnya. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah tindakan, bukan investigasi lagi," tukasnya. (Wta/OL-2)

sumber : micom Selengkapnya...