WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Januari 19, 2011

Siaran Pers : Cara Menghentikan Daya Rusak Batubara adalah membiarkan Batubara dalam Perut Bumi

Siaran Pers WALHI Sumsel


Salah satu Daya Rusak Tambang Batubara berdasarkan catatan WALHI Sumsel pada Tahun 2010 adalah Pencemaran terhadap Sungai sungai yang ada di Sumatera selatan, sedikitnya terjadi 4 kali pencemaran oleh perusahaan Pertambangan yang beroperasi di Kabupaten Muara Enim dan Lahat. Adapun sungai sungai yang tercemar tersebut adalah Sungai enim di Muara Enim, Sungai Lematang di Lahat dan Sungai Musi di Palembang. dan sampai saat ini sungai sungai yang tercemar tersebut belum juga di pulihkan.

Selain dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara yang telah kami sebutkan diatas, Tambang Batubara pun yang dalam hal ini sistem pengangkutannya, mengancam Transportasi Umum Kereta Api yang ada di Sumatera selatan, yang menghubungkan Lubuk Linggau – Palembang (260 Km). Setiap harinya jalur ini dilewati oleh 8 Buah Kereta api yang hilir mudik mengangkut 40 Gerbong batubara dari Wilayah Kuasa Pertambangan (KP) PT. Bukit Asam yang ada di tanjung Enim. Sedangkan untuk jalur Tanjung Enim – Tarahan Lampung (420 KM), setiap hari Rel ini di lewati oleh 14 buah kereta Babaranjang (Batubara Rangkaian panjang) yang hilir mudik dengan 40 gerbong berisi Batubara dengan muatan pergerbongnya 40 Ton, yang sangat tidak berbanding dengan kereta pengangkut Penumpang, setiap harinya hanya berangkat 2 Kali sehari (Pagi Kereta Ekonomi – Malam eksekutif dan bisnis) yang masing masing setiap berangkat mengangkut sekitar 600 Orang penumpang.

Dampak atau Daya rusak dari intensifnya aktifitas pengangkutan batubara Tanjung Enim – Palembang – Tarahan lampung, setiap harinya kereta penumpang mengalami keterlambatan jadwal sampai di Tujuan 3-5 Jam dikarenakan harus menunggu kereta Babaranjang lewat ( baca: PT.KAI lebih mengutamakan angkutan Batubara dari keselamatan Penumpang).

Selain itu juga setidaknya selama tahun 2010, telah terjadi sedikitnya 2 kali kecelakaan kereta api pengangkut Batubara (baca;anjlok) yang terjadi pada bulan Januari di Km 333+34 di Basmen Penimur, Desa Lubuk Raman, Kecamatan Rambang Dangku, Muara Enim dan pada bulan Desember di Stasiun Blambanganumpu, Waykanan lampung. Anjloknya kereta Babaranjang tersebut telah menyebabkan 3 ribu orang penumpang kereta Api Ekonomi, eksekutif dan bisnis yang berangkat pada Pagi dan malam hari dengan tujuan Palembang – Lubuk Linggau atau sebaliknya, Palembang – lampung dan sebaliknya terlantar 6-9 Jam.

Fakta lainnya kerusakan akibat dari Pengangkutan Batubara ini, juga dialami di angkutan sungai, dan mengancam terputusnya Transportasi darat di Kota Palembang yang dalam hal ini Jembatan AMPERA yang merupakan satu satunya jembatan di tengah Kota Palembang yang menghubungkan wilayah Palembang seberang ilir dan seberang Ulu. Yaitu pada tahun 2008 terjadi 5 kali kejadian tongkang pengangkut Batubara yang berisis 1000 – 2000 Ton, menabrak tiang penyangga jembatan Ampera berakibat terjadinya keretakan pada tiang jembatan yang berumur setengah abad tersebut dan terancam Roboh.

Banyaknya persoalan kerusakan yang ditimbulkan atas ekploitasi batubara di sumatera selatan ini ternyata tidaklah berhenti pada tahun 2010 karena di awal tahun 2011 masyarakat Sumsel disodorkan kembali berita tentang Kerusakan Jalan Negara sepanjang 230 Km yang menghubungkan Lahat-Muara Enim-Prabumulih- Ogan Ilir- Palembang, akibat aktifitas truk pengangkut Batubara dari Kabupaten Lahat dan Muara enim menuju lokasi penampungan (Cockpile) di Dermaga Kertapati, Dermaga Zikon Plaju Palembang dan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Berdampak terjadinya kemacetan, sehingga dalam Pengamatan WALHI Sumsel, dahulunya sebelum dilakukannya Eksploitasi Batubara di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muara enim oleh PT. Bara Alam Utama, PT. Batubara lahat, PT. Bara Merapi Energi, PT. Satria Mayangkara Sejahtera, PT. Andalas, PT. MME, PT Bara Alam Sejahtera dan PT.Muara Alam Sejahtera dan juga eksploitasi Batubara secara besar besaran oleh PT. Bukit Asam, jarak tempuh 2 kota ini dengan kecepatan rata rata 60 Km/jam hanya memerlukan waktu 3 – 4 jam tapi kini dengan kondisi jalan yang rusak setidaknya membutuhkan waktu 5 – 6 Jam.

Fakta diatas semakin menguatkan kita semua bahwa Pertambangan Batubara sangatlah lekat dengan DAYA RUSAK sehingga dengan ini WALHI Sumsel tanpa hentinya kembali menginggatkan dan meminta kepada pemerintah Republik Indonesia dibawah Pimpinan SBY dan Khususnya Pemerintah Daerah Sumsel yang dipimpin oleh Gubernur Alex Noerdin yang merupakan pelayan dan pelindung Masyarakat Bahwa :

  1. Rencana Pembangunan Rel Khusus untuk pengangkutan Batubara di Sumatera Selatan sepanjang 270 KM dari Tanjung Enim ke Dermaga Tanjung Lago (Tanjung Api Api) Kabupaten Banyuasin dan juga Rencana pembangunan Jalan darat khusus Batubara dari Kabupaten Lahat ke Tajung Api Api Kabupaten Banyuasin, tidak akan dapat menyelesaikan dan menghentikan Kerusakan Lingkungan Hidup, sosial, Budaya, dan ekonomi rakyat akibat Pertambangan Batubara dan malah akan mempercepat proses Hancurnya semua aspek aspek tersebut.
  2. Satu satunya Cara untuk menghentikan semua Daya Rusak Pertambangan Batubara adalah membiarkan Batubara tetap dalam perut Bumi.
  3. Menyerukan kepada masyarakat Sumatera Selatan untuk terus mengumpulkan kekuatan dan mengorganisir diri untuk Pulihkan Sumatera selatan, dengan melakukan perlawanan dan menolak segala bentuk Pertambangan di Sumatera selatan.

Palembang, 19 Januari 2011
Eksekutif Daerah WALHI Sumsel

Hadi jatmiko,ST
Kadiv. Pengembangan Organisasi dan
Pengorganisasian Rakyat

Kontak Person :
1. Anwar Sadat (Dir) : 0812 785 5725
2. Hadi Jatmiko : 0812 731 2042


Selengkapnya...

Selasa, Januari 18, 2011

Kondisi DAS Musi Makin Parah

PALEMBANG (SINDO)- Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) makin memperihatinkan.Tercatat,dari sekitar 7,7 juta hektare (ha) DAS yang ada,hanya 800 ha saja lahan yang masih dalam keadaan baik.

Kepala Divisi (Kadiv) Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian pada Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengungkapkan,sesuai dengan tingkat kerusakannya, lahan kritis pada wilayah DAS di Sumsel terbagi dalam empat ketegori. Masingmasing agak kritis seluas 1,7 juta ha,kritis 3,5 juta ha,potensial kritis 1,5 juta ha dan sangat kritis 784 ha. Dia menilai, alih fungsi hutan alam dan lahan alami (rawa) oleh berbagai aktifitas pembalakan liar dan industri secara nyata telah menjadi penyebab utama permasalahan ekologi ini.

“Proyek perkebunan skala besar seperti kelapa sawit ataupun Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga saat ini semakin masif dalam menghancurkanwilayahDAS,hutan gambut dan kawasan suaka alam lainnya,”ujar Hadi kepada Seputar Indonesiadi Palembang, kemarin. Tak hanya itu, lanjut Hadi, ancaman terhadap DAS,utamanya juga bersumber dari sektor pertambangan.

Tercatat sejak 2009, sedikitnya ada 300 kuasa penambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah.Parahnya lagi,hampir sebagian besar KP tersebut berada di wilayah DAS. Di sisi lain, dampak dari aktivitas penambangan ini telah menyebabkan pencemaran dan perusakan terhadap sumber air bersih masyarakat (sungai).

Seperti, pencemaran yang terjadi di Sungai Larangan, Desa Payo oleh PT SMS; pencemaran di Sungai Nipai,Kecamatan Merapi, Kabupaten Lahat oleh PT Andalas; pencemaran terhadap Sungai Enim di Muara Enim; dan sungai Musi Palembang oleh PT Bukit Asam. Akibat pencemaran ini, air sungai menjadi keruh, berwarna hitamkecoklatandanberbau. Kondisi ini belum lagi ditambah dengan pencemaran lain seperti debu,jalan rusak, ilagal loging dan lain-lain.

“Kasus semacam ini hanyalah salah satu contoh bagaimana daya rusak dariberoperasinya industrikerukdi Sumsel,”papar Hadi. Menurut Hadi,pada skala yang lebih besar, dampak pengrusakan wilayah DAS dapat menyebabkan sejumlah bencana ekologis,seperti kebakaran hutan dan lahan,banjir, ataupun longsor.Bahkan,dari data yang ada, sepanjang 2010 lalu, di Sumsel sedikitnya telah terjadi 102 kali peristiwa banjir.

Angka ini, dinilai telah mengalami lonjakan yang cukup tinggi dibandingkan 2009 lalu yang hanya 45 kali. Begitupula dengan bencana longsor yang kuantitasnya bertambah menjadi 22 kali dibanding tahun lalu yang sebanyak 8 kali. “Bencana longsor ini pun lebih banyak terjadi di daerah pertambangan seperti Muara Enim,Lahat, Empat Lawang, ataupun Pagaralam,” terang Hadi. Sementara itu,perwakilan dari Badan Pengolahan DAS Sungai Musi Utami menuturkan, sebagai langkah pencegahan pihaknya secara rutin telah melakukan reboisasi dan penanaman kembali kawasan hutan yang gundul.

“Kami tak pernah menutup mata dengan kondisi kerusakan ini. Bahkan, data yang ada pada Walhi itupun nyatanya didapat dari BP DAS Musi. Namun demikian, kami masih tetap terperangah dengan apa yang telah terjadi dengan lingkungan kita hari ini.Ke depan,memang harus disusun langkah pencegahan yang lebih nyata,”papar Utami Terkait dengan banyaknya penambangan di sekitar DAS,

Utami menuturkan,bahwa apa yang telah menjadi kebijakan pemerintah di sepanjang DAS Musi tentunya telah melalui berbagai pertimbangan. Namun, hal tersebut tentunya harus tetap memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungan.“Terkait dengan kebijakan pertambangan kita tak bisa menjelaskan secara rinci. Sebab, ada banyak pihak terkait dalam hal ini,”tandasnya.


Selengkapnya...

Pencemaran KI Kesalahan Pemerintah

PALEMBANG(SINDO) – Pencemaran air Kambang Iwak (KI) masih terus terjadi. Buktinya, puluhan ikan jenis nila ditemukan mengapung di kolam yang dijadikan lokasi bisnis ini kemarin.

Sehari sebelumnya, Minggu (16/1), puluhan ikan jenis yang sama juga ditemukan sudah menjadi bangkai. Matinya puluhan ikan ini diduga karena air di kolam tersebut sudah tercemar limbah lemak makanan dari warung makanan dan bangunan di sekitar lokasi. Ditambah, volume air kolam terus menyusut. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, Anwar Sadat mengatakan, pencemaran ini merupakan dampak kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang menjadikan lokasi tersebut sebagai lokasi usaha.

Sebab, dapat dipastikan setiap aktivitas tersebut akan mengganggu ekosistem kolam. “Sejak awal kami sudah memperingatkan pemerintah untuk tidak memanfaatkannya sebagai tempat aktivitas ekonomi, tapi masih tetap dilakukan,” ujar Sadat di Palembang kemarin. Dia meminta Pemkot dan semua tempat usaha di KI untuk bertanggung jawab atas peristiwa ini. Badan Lingkungan Hidup (BLH) menurut dia harus segera melakukan upaya untuk menanggulangi pencemaran ini.

BLH juga harus berani menindak tegas dan memberi peringatan kepada para pengelola setempat untuk bertanggung jawab terhadap pencemaran tersebut. “Penting untuk memperin-gatkan kepada para pengelola setempat, karena mereka yang bertanggung jawab sepenuhnya.Minimal harus ada sanksi administratif, meski tidak menimbulkan korban jiwa,”jelas dia. Peristiwa pencemaran tersebut memberi kesan buruk bagi pengelolaan lingkungan hidup di Palembang yang ternyata tidak baik.

“Kami akan memantau dan memastikan keberadaan lingkungan di Kambang Iwak kembali seperti semua,”tegas dia. Sementara itu,Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra mengatakan akan memindahkan sisa ikan yang masih ada di KI. Dia mengusulkan agar ikan-ikan yang ada dibawa ke Sungai Musi. ”Saya sarankan agar seluruh ikan di Kambang Iwak dipindah dulu ke lokasi lain, Sungai Musi juga bisa, sayang semua ikan yang sudah besar-besar itu mati semua nanti,” ujar Eddy di DPRD Kota Palembang kemarin.

Eddy juga memerintahkan BLH Kota Palembang bersama Dinas Pertamanan, Pemakaman, dan Penerangan Jalan Umum Palembang (DP2JUP) mensterilkan air kolam. Eddy juga meminta para pelaku usaha di kawasan tersebut memasang airgrass (instalasi pengolahan limbah cair). ”Kita beri batas waktu satu bulan bagi mereka (pelaku usaha) untuk memasangnya,”tegas Eddy. Akibat peristiwa ini,Pemkot Palembang mengalami kerugian puluhan juta rupiah.

Meskipun begitu, Eddy mengaku belum akan memberikan tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran tersebut. ”Kita tidak bisa memvonis siapa yang salah, kolam itu juga ada saluran pembuangan limbah dari rumah tangga,jadi nanti lihat hasil penelitian dari BLH, itu kan ada tujuh lubang saluran, semuanya dicek kadar airnya,” kata ketua DPD PDI Perjuangan Sumsel ini. Kepala BLH Palembang Kms Abu Bakar mengatakan segera memasang aerator (air mancur) di KI. Hal ini dilakukan untuk menambah oksigen pada air kolam.

”Air mancur yang di tengah kolam itu sudah bagus,tapi belum cukup. Karena itu, kita minta DP2JUP untuk ditambah aerator di dekat bumbu desa,”ujarnya. BLH sudah mengambil sampel air dari tujuh saluran di KI. Sampel tersebut selanjutnya akan dibawa ke laboratorium. ”Lima hari baru bisa diketahui hasil (uji laboratorium). Setelah itu, baru diketahui saluran yang mana yang paling banyak limbahnya,”jelasnya.

Abu menambahkan, selain pelaku meminta pelaku usaha di KI untuk memasang air grass, pihaknya juga meminta pengelola Hotel Swarna Dwipa untuk membangun instalasi pengolahan limbah khusus. Sebab, dari penelitian mereka, volume limbah Swarna Dwipa cukup besar, dan tidak bisa hanya ditanggulangi dengan air grass.

Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan (DP2K) Sudirman Tegoeh mengatakan, sebelum pencemaran terjadi, pihaknya berencana kembali menyebar benih ikan di KI.Menurut Sudirman, ikan-ikan di KI tersebut akan dipindahkan ke kolam retensi di simpang Polda. ”Sebagian bisa kita pindahkan di kolam retensi simpang Polda dan kolam budi daya yang kita bina, jangan di Sungai Musi, sayang ikan itu sudah besar-besar,” tukasnya.

Selengkapnya...

Senin, Januari 17, 2011

4.800 Truk Batubara Setiap Hari

PRABUMULIH, — Upaya mengeksplorasi batubara secara intensif dari bumi Sumatera Selatan di sisi lain berdampak negatif. Jalan negara di lima kabupaten/kota mulai Lahat, Muaraenim, Prabumulih, OI, dan Palembang kondisinya belakangan ini kian parah.

Bagaimana tidak rusak bila 4.800 truk membawa sedikitnya 30 ton batubara setiap hari. Jumlah itu melebihi tonase maksimal. Pemerintah daerah didesak bertindak tegas menghentikan sementara aktivitas perusahaan batubara.

Saking frustasi akan kondisi yang tidak juga membaik sejumlah anggota DPRD Prabumulih bersama masyarakat setempat melakukan aksi demo menarik. Mereka menebar ikan hias di jalan yang berlubang, Kamis (13/1) sore.

Mereka mengklaim kerusakan jalan itu akibat truk/fuso pengangkut batubara. Mereka akan melakukan sweeping jika Pemkot Prabumulih tidak mengambil tindakan tegas. Angkutan batubara akan dipungut Rp 25 ribu untuk perbaikan jalan.

“Sebelum bibit ikan yang ditebar ini berkembang biak, jalan harus sudah mulus kembali,” kata TR Hulu, anggota Komisi II DPRD Prabumulih.

Mereka pantas marah karena lebih dari 4.800 angkutan batubara mengangkut beban di atas 30 ton ke Palembang lewat Prabumulih setiap hari. Kerap kali kendaraan itu konvoi sampai belasan mobil dan mengakibatkan kemacetan berkilometer.

Di Lahat, bentuk protes disampaikan langsung oleh ratusan warga Merapi. Mereka mendatangi Pemkab Lahat minta segera menutup dan menghentikan aktivitas pertambangan yang telah merusak jalan Kabupaten.

Namun Kadishub Inforkom Lahat, Drs Syaifudin, mengaku daerah tidak punya wewenang menertibkan dan merazia kendaraan angkutan batubara bermuatan melebihi ketentuan berat 8 ton sampai 14 ton di jalan negara kelas III A Lahat-Muaraenim.

Syaifudin mengaku tahu ada kecurangan sopir memodifikasi bak kendaraan untuk menambah muatan batubara. Namun pihaknya tidak bisa melakukan penertiban karena penambahan spek dilakukan setelah pemeriksaan kir selesai.

Soal tanggung jawab terhadap kerusakan jalan akibat angkutan batubara, Syaifudin mengatakan, perusahaan melakukan sharing perbaikan kerusakan jalan kabupaten itu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Namun untuk jalan negara tidak masuk perjanjian.

Sulit KontrolData dari Dishub Inforkom Kabupaten Lahat, sekitar 4.000 angkutan batubara dari 55 Perusahaan pertambangan setiap hari melintasi jalan negara Lahat-Muaraenim. Ada juga yang melewati jalur Muarapayang, Merapi, dan Gumay menuju Palembang.

Sementara angkutan batubara yang melintas di wilayah Kabupaten Muaraenim dalam sehari diperkirakan mencapai 700-800 unit. Kadishub Kabupaten Muaraenim, Drs Fathurrahman didampingi Sekretaris Drs H Nusirwan, mengaku tidak dapat memberi angka pasti.

Pihaknya sulit melakukan kontrol berapa banyak jumlah kendaraan angkutan batubara yang melintas di wilayah Kabupaten Muaraenim karena tidak terdata.

Menurut dia, Gubernur Sumsel memberi izin delapan perusahaan angkutan batubara yang mengantongi yakni PT LMB, PT CSS/SSP, PT PCM, PT LKS, PT Gumai, PT Perusda Lahat, PT Bara Alam Utama dan PT SMJ.

“Tapi di surat izin itu tidak mencantumkan jumlah, jenis, maupun plat kendaraan. Kita minta pengusaha angkutan atau perusahaan tidak memaksa sopir membawa batubara di atas tonase kendaraan,” kata Fathurrahman.

Bukan hanya jalan rusak, padatnya angkutan batubara truk dan fuso membuat waktu tempuh Prabumulih-Palembang bertambah dua kali lipat jadi tiga jam dari biasanya 1,5 jam. Pada hari libur Sabtu-Minggu bisa lebih lama lagi.

Sementara Endang Sudarto, Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Potensi Sumber Daya Alam yang diwawancarai terpisah minta ada larangan penghentian operasional perusahaan batubara sementara waktu hingga pihak perusahaan membuat komitmen untuk menjaga lingkungan.

Jika tidak segera disikapi, lanjut Endang, tidak menutup kemungkinan kerusakan lingkungan akan semakin parah. Sementara keberadaan perusahaan tambang belum memberi kontribusi yang menguntungkan bagi pemerintah kabupaten dan masyarakat.

Lakalantas Tinggi Menurut dia, masyarakat bersama anggota DPRD akan menggelar aksi demo besar-besaran di jalan dan melarang masuk truk-truk bertonase berlebih melintas masuk Prabumulih.

Walikota Prabumulih, Drs H Rachman Djalili MM, mengatakan, perbaikan jalan nasional itu akan menggunakan dana APBN 2011. Besaran dana yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat cukup fantastis mencapai Rp 5 miliar. Agar segera terlaksana, Pemkot Prabumulih saat ini sudah menyiapkan proses tendernya.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Prabumulih Ir HM Zulfan MM menyebut jalan rusak berat di wilayahnya sepanjang sekitar 12 kilometer akibat kendaraan angkutan batubara dari Lahat melebihi tonase 8 ton.

“Tapi yang lewat terkadang lebih dari itu. Bahkan ada yang mencapai 20 ton lebih,” ujarnyaEddy Rianto, anggota Komisi I DPRD Prabumulih, menuding kerusakan terjadi sejak eksplorasi besar-besaran batubara di Kabupaten Lahat dan Muaraenim. Pengguna jalan jadi korban.

“Kita hanya dapat imbas jalan rusak. Ini perlu tindakan tegas dari pemerintah,” ujar Eddy.

Data di Polres Muaraenim, pada tahun 2009 terdapat 162 kasus lakalantas di wilayah itu dan tahun 2010 sejumlah 149 kasus. Korban mengalami luka ringan, luka berat, dan sampai meninggal.

Kapolres Muaraenim, AKBP Drs Budi Suryanto melalui Kasatlantas AKP Afri Darmawan Sik, mengatakan, kendaraan yang terlibat kecelakaan dominan angkutan beban seperti truk dan fuso bermuatan batubara. Lakalantas terjadi karena sopir capek menempuh perjalanan jauh dan lama.

“Sopir nyetir dengan kecepatan tinggi atau ugal-ugalan karena mengejar target,” kata Afri.

Ditambahkan Afri, muatan batubara yang sering tumpah juga mencelakakan pengendara motor. Sementara debu yang beterbangan menganggu penglihatan dan pernapasan.

BergeserSementara itu sekitar 80 persen jembatan dan jalan lintas Sumatera di wilayah Muaraenim dalam kondisi memprihatinkan. Seperti badan jalan jembatan kerangka baja di Desa Pinang Belarik dan Parjito, Kecamatan Gunung Megang yang bergelombang, berlubang, telah bergeser posisinya.

Untuk wilayah Prabumulih, kerusakan jalan dari perbatasan Muaraenim-Prabumulih hingga Desa Sindur Kecamatan Cambai. Puluhan kilometer jalan negara berlubang. Sementara dari Kecamatan Lembak hingga ke Gelumbang, lubang besar dapat ditemui hampir di sepanjang jalan.

Seorang sopir angkutan batubara SS, mengatakan, setuju saja jika kendaraan yang mengangkut batubara sesuai dengan aturan tonase yang berlaku. Namun harus dilaksanakan secara serius dan konsekuen oleh seluruh petugas terkait.

Dia mengaku membawa 35 ton-40 ton batubara bukan kehendak sopir tetapi atas perintah perusahaan.

“Sebab jika sedikit katanya rugi tidak sesuai antara biaya operasional dengan harga penjualan batubara yang diangkut,” ujar dia.

Seperti Gempa Tiap Hari

PERUSAHAAN batubara di Lahat dinilai belum memberi kontribusi positif pada masyarakat. Aksi demo warga Merapi dilakukan karena menilai PT BAU mengenyampingkan perekrutan tenaga kerja dari kalangan lokal.

Aksi demo juga pernah dilakukan para pekerja untuk menuntut penyetaraan gaji sesuai dengan upah minimum provinsi.

Kepala Desa Sukamarga Kecamatan Merapi Barat, Zakaria, mengatakan, sampai saat ini kontribusi perusahaan pertambangan terhadap masyarakat sekitar sama sekali tidak ada.

Bahkan sejumlah warga yang mengajukan proposal permohonan bantuan untuk pembangunan maupun rehab rumah ibadah, serta fasilitas desa lainnya, tidak pernah direalisasikan dan disetujui perusahaan.

“Selalu ada alasan pihak perusahaan ketika kami meminta bantuan. Kalau pun memberi paling hanya sebesar Rp 500 ribu setelah kami minta seperti pengemis,” katanya.

Hal senada dikatakan Kepala Desa Telatang Merapi Barat, Jundri, yang minta agar pemerintah meninjau ulang keberadaan perusahaan tambang yang ada di Lahat, baik dampak terhadap lingkungan maupun keberpihakan mereka kepada masyarakat.

“Puluhan perusahaan pertambangan yang ada hanya mengeruk kekayaan saja tanpa mau memberikan bantuan kepada masyarakat,” kata Jundri.

Kepala Desa Tanjung Baru, Akhyar, mengatakan, perusahaan batubara seharusnya melakukan penyiraman ruas jalan agar tidak menimbulkan debu yang menyebabkan kecelakaan dan pencemaran lingkungan.

Sementara tokoh pemuda Merapi, Firdaus Alamsyah, berpendapat dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan dan angkutan batubara lebih banyak ketimbang positifnya. Kontribusi perusahaan pertambangan sedikit pun tidak terlihat.

Dana CSR dan dana sharing yang selalu digembar-gemborkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak pernah terlihat.

Rumah BergetarAngkutan batubara tidak hanya membuat jalan rusak dan lalulintas macet. Kerusakan lingkungan seperti pencemaran udara, lahan pertanian dan sumber air bersih juga terjadi. Selain itu, rumah warga yang berada di pinggir ruas jalan selalu bergetar saat truk/fuso batubara melintas.

Kenyamanan warga pun terganggu. Seperti dirasakan, Rusmiati (43), warga Kota Lahat yang bermukim di ruas jalan kabupaten sekitar aliran Sungai Lematang. Setiap hari angkutan batubara PT LMB lewat sini.

Rusmiati mengaku resah terhadap getaran yang selalu terasa di rumahnya setiap kali kendaraan itu melintas. Bukan hanya itu, rumahnya yang tepat berada di pinggir aliran Sungai Lematang saat ini mengalami terbis sekitar 50 cm akibat getaran itu.

“Longsor ini yang ke dua kalinya, semakin hari semakin dalam. Mobil LMB setiap hari melintas di depan rumah kami yang bergetar seperti gempa,” katanya.

Ia sudah mengadukan permasalahan tersebut kepada pihak berwajib tapi sampai sekarang belum ada tindakan. Rusmiati khawatir akibat getaran setiap waktu rumahnya terancam ambles.

“Ini baru permulaan, longsornya sekarang sudah sepanjang satu meter besar kemungkinan longsor ini akan terus terjadi jika tidak segera ditindaklanjuti. Tolonglah kami,” katanya.

Keluhan juga diungkapkan Hanafia (43) warga Merapi yang mengaku resah dengan bisingnya suara kendaraan batubara yang melintas.

“Mereka mulai mengangkut batubara dari pukul 03.00 hingga malam hari, suaranya sangat menganggu warga namun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa mengeluhkan dan menggerutu saja,” ujarnya.

Tokoh pemuda Merapi Firdaus Alamsyah juga mengatakan hal serupa, menurutnya, ribuan kendaraan yang mengangkut batubara setiap harinya selalu memarkirkan kendaraannya di pinggir ruas Jalan Lintas Sumatera (jalinsum) Merapi-Muaraenim yang menyebabkan jalanan semakin sempit.

Selengkapnya...

Rabu, Januari 12, 2011

Walhi Desak Sumsel Atasi Kerusakan Lingkungan

Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan mendesak pemerintah daerah setempat segera mengambil langkah untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup, termasuk menghentikan pencemaran sungai, penggundulan hutan, dan pengrusakan ekologis lainnya.


Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat, didampingi stafnya Hadi Jatmiko di Palembang Rabu mengemukakan, sejumlah fakta hasil temuan dan investigasi yang mereka lakukan selama 2010 menunjukkan masih berlangsungnya praktik penjarahan dan penghancuran sumber daya alam di Provinsi Sumsel.

"Kami khawatir, kalau tidak ada langkah tegas untuk mengatasi kerusakan lingkungan hidup itu, pada tahun 2011 ini, akan terjadi lebih parah lagi," kata Sadat pula.

Pada Selasa (11/1), Walhi Sumsel di Kantor LKBN ANTARA Biro Sumsel telah menyampaikan catatan kritis atas potret dan praktik penyelenggaraan lingkungan hidup di Sumsel tahun 2010 di hadapan dinas dan instansi terkait, kalangan akademisi, praktisi pers dan LSM serta mahasiswa.

Hadi Jatmiko menegaskan bahwa dalam realitasnya, berbagai program pembangunan dan investasi di Sumsel yang dikampanyekan oleh pemda setempat sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan rakyat, dinilai hanya merupakan `bualan` semata yang justru makin memperlebar kemiskinan rakyat serta memasifkan kehancuran lingkungan hidup di daerah ini.

Dia mencontohkan, penyelenggaraan event SEA Games ke-26 pada November 2011 di Sumsel, dengan berbagai program pembangunan maupun investasi lainnya, lebih tertuju pada semakin terakumulasi modal dan kekayaan kepada para elit bisnis dan politik di daerah ini yang secara paralel juga telah mereduksi kualitas lingkungan hidup yang ada.

Secara detail Walhi Sumsel memaparkan kondisi kerusakan ekologis yang terjadi di daerahnya, seperti adanya alihfungsi GOR Palembang sebagai kawasan publik untuk dijadikan Palembang Sport and Convention Centre (PSCC) guna mendukung pelaksanaan SEA Games itu.

Terjadi pula alihfungsi rawa di kawasan Jakabaring Palembang tanpa melalui kajian mendalam atas dampak lingkungan yang akan ditimbulkan berbagai aktivitas pembangunan di dalamnya, ujar Hadi lagi.

Walhi menemukan pula kasus penggalian tanah galian C untuk penimbunan rawa di Jakabaring itu diduga tanpa izin dan tidak dilengkapi persyaratan dokumen kajian lingkungan hidup.

Keberadaan industri ekstraktif yang memiliki daya rusak lingkungan dan dampak buruk bagi masyarakat di Sumsel, juga diungkapkan Walhi Sumsel, seperti pertambangan batu bara, pertambangan minyak dan gas bumi, serta laju degradasi dan deforestasi hutan alam di Sumsel yang terus berlanjut tanpa diikuti upaya menanganinya secara baik.

"Kami telah beberkan kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup di Sumse ini, termasuk yang terjadi di depan mata di Kota Palembang dan seharusnya menggerakkan pemerintah dan pihak terkait segera mengambil langkah untuk menanganinya," demikian Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.



Selengkapnya...

Senin, Januari 10, 2011

2011 yang menghilangkan Ruang Hidup Kami


Oleh: Hadi Jatmiko,ST

Tak terasa besok kita sudah memasuki Tahun yang baru, tahun dimana setiap orang mempunyai harapan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dari tahun sebelumnya,begitupun dengan aku semoga harapan ku selama ini muncul menjadi nyata di tahun 2011.

Evaluasi dan refleksi atas harapan harapan sebelumnya pun ku lakukan, dimana dari banyaknya mimpi atau harapan yang ada di tahun belakang ternyata ada Dua Harapan yang tidak terwujud dan malah di 2011 ini harus ku benam sedalam dalam nya, kedalam “dangkal” nya Sungai Musi, sungai yang membelah kota kami menjadi dua,Kota seberang Ilir dan seberang Hulu.

Sea games, siapa yang tidak tahu dengan sea games. Tukang sapu dijalanan, pengemis, dan tukang becak ketika ditanya apa itu sea games pasti mereka akan tahu. Sea games merupakan ajang pertandingan olahraga paling bergengsi di Asia Tenggara, sedikitnya ada 10 Negara yang akan ikut bertanding memperebutkan piala dari 40 cabang olahraga.

Namun bagaimana jika kegiatan yang sebesar itu dilakukan di sebuah kota yang belum memiliki kelengkapan Infrastruktur sarana dan prasarana olahraga yang memadai?. Itulah yang terjadi di Kota kami, (Palembang) dengan modal pernah menjadi tuan rumah dari Pekan Olahraga Nasional ke 16 (PON) tahun 2004 yang lalu, gubernur secara berani meminta agar Pemerintah di Jakarta menjadikan Propinsi kami sebagai tuan rumah dari pelaksanaan Sea Games XXVI tahun 2011, tepatnya di Bulan Nopember. Dan tak ayal gayung pun bersambut presiden dalam rapat terbatasnya di Penghujung tahun 2010 menetapkan Sumsel sebagai Tuan Rumah Pembukaan dan penutupan Sea Games XXVI dengan 22 Cabang Olahraga (seagamessumsel.com)

Setelah resmi menjadi tuan rumah Sea Games, pembangunan untuk Venues venues tempat ke 22 Cabang olehraga tersebut dipertandingkan pun mulai digalakan. Jakabaring salah satu keluarahan yang ada di Kota Palembang menjadi wilayah yang ditunjuk untuk menjadi lokasi pembangunan Venues Venues tersebut. Namun sebelum jauh para pembaca dan masyarakat Indonesia dan Internasional membanggakan dan mendukung kesuksesan pelaksanaan event ini di Sumsel tepatnya di Kota Palembang ini, Ada baiknya semua orang (Masyarakat Indonesia, dan Internasional) mengetahui bagaimana pemerintah kami, membangun fasilitas venues venues cabang olahraga untuk Sea Games yang hanya berlangsung tidak lebih dari satu Bulan tersebut, tetapi menghancurkan semua ruang Hidup kami dan generasi kami puluhan bahkan sampai ratusan tahun mendatang.

Awal petaka kehancuran

Kota kami Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri,kota ini dibelah oleh satu sungai dengan sebutan sungai musi dengan panjang mencapai 720 Km, dua wilayah yang terpisah ini seberang ilir dan seberang ulu dihubungkan oleh satu buah jembatan tua yang diberi nama AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) di buat pada tahun 60 –an masa pemerintahan presiden soekarno.

Luas Kota kami adalah 40.006 Ha, merupakan dataran rendah berawa yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan range 2 – 3 Meter, dibagian utara kota (Seberang Ilir) tanah kota ini relatif landai 5 – 9 Persen, sedangkan bagian selatan (Seberang ulu)adalah Tanah datar 0 – 4 Persen.

50 Persen dari luas kota kami yaitu 20.000 Ha adalah rawa. Namun karena Pesatnya perkembangan pembangunan Kota, rawa rawa pun ditimbun disulap menjadi bangunan bangunan perkantoran,Perumahan dan lain nya, sehingga pada tahun 2006 yang lalu menurut walikota pada acara Seminar Nasional Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional , sisa rawa yang ada hanya tinggal 30 Persen saja. Dampaknya tak dapat dipungkiri lagi setiap hujan turun, air pun tak dapat diserap dan ditampung lagi oleh rawa, akhirnya Banjirpun datang menyerang rumah rumah Penduduk, perkantoran dan pusat pusat kota kami.

Kini dari sedikitnya rawa yang tersisa tersebut harapan kami cuma tinggal kawasan rawa jakabaring, akan tetapi keberlanjutan lahan rawa dikawasan inipun tidak berlangsung lama karena seperti yang aku sebutkan diatas, wilayah ini telah di tetapkan oleh pemerintah Sumsel untuk menjadi pusat pembangunan Venues venues untuk pertandingan 22 Cabang Olahraga Sea Games XXVI nanti, dengan luas lahan rawa yang di timbun mencapai 300 Ha,dan ini belum termasuk lahan untuk pendukung pembangunan infrastruktur lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa akan ada lebih dari 1 Juta Kubik air yang akan kehilangan “Tempat Tinggalnya” dan artinya air air ini akan mencari rumah rumah baru. (baca;Banjir).

Harapan terakhir pun musnah

Seiring dengan hancurnya lahan lahan Rawa yang tersisa yang selama ini berfungsi sebagai kawasan resapan air. maka agar kota kami tidak mengalami banjir besar seperti yang dialami oleh Kotanya “Para Ahli”(Jakarta), Kamipun mulai melirik mencoba mengantungkan harapan kami kepada pemerintahan, agar dapat melestarikan dan menjaga ruang hijau yang mulai tergerus oleh rakusnya pembangunan. Meminjam data Walhi sumsel ruang Terbuka hijau yang ada di Kota Kami hanya tinggal 3 Persen dari luas Kota yaitu 1.200 Ha. Dan menurut Walhi Ruang Hijau mempunyai fungsi yang hampir sama dengan rawa, tapi punya nilai plus lainnya yaitu penetral kualitas Udara.

Namun apa dikata harapan ku tentang sebuah Ruang Hijau dimana kami bisa bermain dan berdiskusi didalamnya, ruang dimana aku dapat melihat Firman firman utina kecil yang sedang tertawa riang sambil menendang bulatnya bola, ditengah nyaringnya suara klakson kendaraan. Dan ruang dimana udara bersih masih dapat di nikmati ditengah Hitam pekatnya asap asap kendaraan bermotor, dan asap asap dari “lintingan rokok” Raksasa Pabrik pabrik yang beterbangan, dan sedang mewarnai langit kota ini. Harus pupus bersamaan dengan semakin besarnya keinginan pemerintah daerah kami untuk menyukseskan penyelenggaran Sea games di Propinsi ini,sehingga jangankan menambah ruang ruang hijau yang luasnya belum memenuhi Kuota 20 Persen dari luas kota (UU No 26/2007), tapi malah menghancurkan ruang hijau yang telah ada.

Adalah Ruang Hijau GOR merupakan salah satu korbannya, Ruang Hiaju yang berdasarkan RTRW 2014 di tempatkan sebagai Ruang Publik untuk Pendidikan dan Olahraga, kini telah dihancurkan. Pohon Pohon rimbun yang telah umurnya sebanding dengan Umur orang tua kami, harus roboh seiring dengan berdirinya tiang tiang pancang untuk pembangunan Hotel dan cafe, yang katanya merupakan infrastruktur untuk menyukseskan penyelenggaraan Sea Games di kota kami. Tak ketinggalan pinggiran dari Kolam Kolam Retensi yang dahulunya berambalkan rerumputan hijau dan berfungsi sebagai penampung air yang ada di dalam kawasan ini pun ditimbun (diurug) dengan tanah tanah yang mereka ambil dari lokasi lokasi galian galian C yang diduga diambil secara ilegal di Kabupaten Banyuasin dan sekitarnya.

Sebenarnya telah banyak elemen organisasi rakyat seperti Walhi yang melakukan protes secara besar besaran terhadap rencana pemerintah menghancurkan kawasan ini, dan tak tanggung tanggung merekapun melakukan aksi protes ini setiap satu minggu sekali, dan atas murninya perjuangan mereka ini, akupun tertarik untuk bergabung dengan mereka guna melakukan protes. Namun apa dikata semua protes tersebut tidak pernah di dengarkan oleh pemerintah dan pengambil kebijakan (legislatif). dan perjuangan kamipun harus dikalahkan dengan besar dan banyaknya uang yang berterbangan di depan mata para pejabat dan anggota anggota legislatif atau bahkan mungkin Industri Media massa yang hanya diam tidak memberitakan apapun tentang protes protes kami ini.

Kini di menit menit akhir pergantian tahun 2010 – 2011, Untuk yang terakhir kalinya ditahun ini, dengan menggunakan sepeda motor butut ku. Aku mencoba untuk mendatangi dan melewati lagi semua kawasan Rawa dan Kawasan hijau Publik yang telah hancur lebur tersebut, guna merekam semua pemandangan dan kejadian ini sebagai sebuah sejarah kota ini. Sambil merenung dan bertanya kepada semua orang yang masih mempunyai Logika dan Nurani , "Wajarkah apa yang dilakukan pemerintah ini, yang hanya demi sebuah event yang berlangsung hanya sekejap mata dan menghabiskan uang rakyat milyaran bahkan triliunan Rupiah tersebut, harus menghancurkan penopang hidup dan keselamatan dari Puluhan Ribu Rakyat? ", serta tak luput sebuah pertanyaan ku kepada rezim bedebah ini "Ruang hidup kami yang mana lagikah di tahun depan, yang akan kau Hancurkan, Wahai bedebah.?".


Selengkapnya...

Gunung Dempo Longsor 200 Meter.

Setelah beberapa Bulan yang lalu tepatnya bulan Oktober beberapa desa di Pagaralam di serang dengan bencana Banjir Bandang, yang menurut catatan kami pada tahun 2010 banjir bandang telah 2 kali terjadi di Kota ini. Kini di awal tahun 2011 tepatnya Minggu, 09/01/2011 Gunung Dempo yang merupakan satu satunya Gunung yang berada di Propinsi Sumatera Selatan Kota Pagaralam, dilanda Longsor dengan kedalaman 200 Meter. Untuk Lengkap beritanya silakan baca postingan di bawah ini yang saya ambil dari Antaranews. com


PAGARALAM — Kawasan lereng Gunung Dempo, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, di Kampung IV Selter II, Kelurahan Dempo Makmur, Kecamatan Pagaralam Utara, mengalami longsor mencapai ratusan meter.

Berdasarkan pantauan pada Minggu (9/1/2011), lokasi longsor berada pada ketinggian 1.900 meter di atas permukaan laut (mdpl) di tangsi III, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari perbatasan kebun teh milik PT Perkebunan Nusantara VII, atau dua jam perjalanan dari posko SAR atau Taruna Siaga Bencana (Tagana) di daerah ini.

Daerah yang longsor itu juga merupakan jalan yang digunakan untuk mendaki Gunung Dempo yang memiliki ketinggian 3.173 mdpl.

"Diperkirakan lebar longsoran sekitar 100 meter dengan kedalaman sekitar 200 meter karena posisinya berada di sekitar jurang kawasan hutan lindung Gunung Dempo," kata Iwan, pendaki setempat.

Daerah yang mengalami longsor berada di jalan yang akan dilalui oleh pendaki Gunung Api Dempo atau berjarak sekitar 2 kilometer dari Pos Tagana atau Kampung IV perumahan karyawan PTPN VII.

"Kerusakan hutan akibat penggundulan dan terjadi perambahan di wilayah itu diduga menjadi penyebab sehingga daerah tersebut rawan bencana alam. Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) sekitar lereng gunung itu juga sudah mengalami pengikisan akibat sering terjadi banjir bandang, mengingat pohon pelindung hutan lindung Gunung Dempo sudah banyak berkurang," katanya.

Tahun 2010 lalu banjir bandang di daerah tersebut menghanyutkan puluhan batang kayu gelondongan dan merobohkan pohon kayu berukuran besar.

Akibatnya, sebagian besar ladang, kebun, dan sawah warga setempat di sepanjang aliran sungai rusak dan mengalami gagal panen (puso).

"Memang hutan di perbatasan antara kebun teh dan hutan lindung Gunung Dempo banyak mengalami kerusakan yang menjadi penyebab longsor dan sering terjadi banjir bandang. Kerusakan lereng Dempo ini cukup besar sehingga membuat hutan di daerah itu banyak terkikis," ujarnya.

Ketua Pos Pemantauan Gunung Api Dempo, Slamet, mengaku belum bisa memastikan berapa meter luas dan tinggi daerah yang terjadi longsor.

Kejadian itu masih berada di lereng Gunung Dempo sehingga tidak akan berpengaruh dengan puncak Merapi di sana.

"Namun, kondisi longsor tidak bisa dilihat dari jauh karena posisinya berada di hutan rimba Gunung Dempo, selain berada di sekitar hutan lindung cukup lebat dan medan juga sulit dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan," ujarnya.

Menurut dia, hampir sebagian besar DAS sepanjang kawasan kebun teh rusak dan terkikis air akibat banjir badang, apalagi di hulu alur sungai sudah ada satu titik longsor.

"Kalau dilihat dari luar memang tidak tampak jika ada hutan gundul, tetapi kalau sudah masuk dalam hutan akan terlihat dengan jelas," kata dia lagi.

"Sudah puluhan tahun tinggal di daerah Gunung Dempo, baru saat ini mengalami kejadian banjir bandang dan longsor di daerah lereng gunung itu," ujar dia.

Kalau banjir bandang sudah berulang kali terjadi tahun 2001 lalu di Dusun Kerinjing, Kelurahan Burung Dinang, Kecamatan Dempo Utara, dengan 21 korban jiwa.

Penyebabnya karena hutan di hulu sungai gundul dan pencurian hutan kayu jati terus terjadi sehingga saat musim hujan mengalami banjir.

"Hal ini terjadi karena saat hujan deras tidak ada lagi pohon kayu yang dapat menahan laju air," katanya.

Selengkapnya...

Senin, Januari 03, 2011

Batubara dan Gerbong Penarik Kematian.

“..... Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga, Kereta Tiba Pukul Berapa. Biasanya Kereta terlambat, Dua Jam itu Biasa”. Lirik Kereta tiba pukul berapa, by Iwan fals.


Lirik lagu diatas sama hal nya dengan apa yang dialami penumpang kereta api di Sumatera Selatan tujuan Palembang – Lampung, Palembang – Lubuk Linggau.Menurut Yuniar Ibu satu anak yang ditemui oleh Penulis di stasiun Kertapati Palembang beberapa waktu yang lalu mengatakan, selain tidak adanya perubahan fasilitas kereta api yang seperti “Kandang Ayam” ini, keterlambatan kereta api yang mencapai 3 -5 Jam itu terlalu sering dialami penumpang, apalagi kalo naik kereta Ekonomi,kenyamanan dan keselamatan ± 600 penumpang diatasnya tidaklah menjadi perhatian. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) lebih mendahulukan angkutan Batubara daripada Kereta Penumpang sehingga ketika melewati beberapa stasiun, kereta penumpang harus berhenti (15 – 60 menit) menunggu kereta “Babaranjang” (Batubara Rangkaian Panjang) lewat terlebih dahulu.

Cerita diatas merupakan salah satu kisah bagaimana Industri Ekstratif Batubara merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat, diabaikannya fasilitas umum yang seharusnya wajib didahulukan dan diberikan oleh penyelenggara Negara kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hal lainnya bagaimana Batubara merusak sumber sumber kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan, terjadi di Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat, akibat dari aktifitas Eksploitasi Batubara yang dilakukan oleh PT.SMS, Sungai larangan Payo yang sehari harinya digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci, tercemar oleh limbah Batubara perusahaan dan menyebabkan warna air sungai menjadi kecoklatan dan keruh (Baca; Sripo 16/12). Begitupun yang terjadi di Kecamatan Merapi Barat kabupaten Lahat, ratusan warga ketakutan terserang penyakit akibat tercemarnya sungai Nipai oleh Limbah Pertambangan yang diduga dilakukan oleh PT. Andalas (Sripo,25/07).

Pepatah lama “Kecil Kecil Cabe Rawit” dapat mengambarkan bagaimana industri ekstratif Batubara ini bekerja, Produksi yang kecil ternyata tidaklah menjamin bahwa pertambangan Batubara tidaklah mempunyai dampak besar terhadap ekonomi, sosial, Budaya dan Lingkungan hidup. Berdasarkan Data BPS tahun 2009, Produksi batubara Sumatera Selatan hanya 12 juta Ton pertahun (6 Persen dari Produksi batubara Propinsi Kalimantan timur) yang berasal dari 10 Kuasa Pertambangan/KP (Dalam UU No 1 tahun 2009 tentang Minerba di sebut Izin Usaha Pertambangan/IUP), dari 270 KP yang ada di Sumatera selatan.

Respon Pemerintah terhadap Daya Rusak Batubara

Papan Reklame 5 M x 6 M bertuliskan “Gerbong Penarik Kemakmuran”, berwarna ungu dengan background bergambar Kereta api, hampir dapat kita temui di sudut kota Palembang. Iklan “Gerbong Kemakmuran” ini, dalam rangka mensosialisasikan rencana pemerintah Sumsel yang akan menambah (jalur lama tetap dipakai) tiga jalur baru kereta api khusus Pengangkutan Batubara, dimana sebelumnya hanya satu jalur tujuan Muara enim - Palembang – Tanjung karang yang digabungkan dengan rel transportasi umum(penumpang).

Rel kereta api yang akan dibangun oleh Pemprov Sumsel tersebut atas kerjasama dengan beberapa pihak seperti PT. BA dan PT. Adani Global India untuk pembagunan jalur Double Track sepanjang 270 Km, tujuan Tanjung enim - Tanjung Api Api (Okezone,25/8), PT.BA dan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) untuk pembangunan jalur Tanjung Enim – Kertapati – Tarahan, dan Pembangunan rel Tanjung Enim – Srengsem Lampung yang bekerjasama dengan PT. Bukit Asam transpacipic Railway, PT. Transpacifik Railway Infrastruktut dan China Railway enginering Coorporation ( Lihat AR PT. BA 2009).

Program pembangunan rel ini merupakan respon Gubernur Sumatera Selatan H. Alex noerdin terhadap Industri Ekstartif Batubara, Kerusakan yang selama ini terjadi akibat Pertambangan Batubara, tidaklah menyurutkan langkah Gubernur untuk mengeruk habis isi Perut Bumi dan malah mendesak kepada seluruh Pemilik KP yang ada di Sumatera Selatan untuk dapat meningkatkan Produksi 40 Kali lipat, sehingga di tahun 2014 nanti saat semua Infrastruktur transportasi Seperti Rel khusus batubara selesai dibangun, Produksi Batubara Sumsel minimal mencapai 50 Juta Ton/tahun.

Belajar Daya Rusak batubara dari Kalimantan Timur

Sebelum kita terperosok jauh kedalam manisnya bahasa iklan Gerbong Kemakmuran ada baiknya kita melihat bagaimana daya rusak Industri Ekstratif batubara di Propinsi yang telah terlebih dahulu mengeruk habis Kekayaan perut Buminya (batubara).

Kalimantan timur merupakan salah satu Propinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia, setiap tahun sebanyak 200 juta ton Bongkahan “Emas Hitam” ini, dipaksa untuk dimuntahkan kepermukaan Bumi oleh sekitar 1.212 kuasa pertambangan (KP),33 ijin PKP2B (Baca; Deadly Coal, Jatam.org) dan dijual ke Asia dan Eropa yang Rakus energi seperti Jepang, Cina, Belanda,Amerika, Italia dan lainnya.

“Jauh panggang dari api “ Seiring dengan dikeluarkannya Bongkahan Emas Hitam dari perut Bumi Kalimantan ternyata kesejahteraan yang diharapkan tidaklah terwujud, malah mengantarkan Rakyatnya ke jurang kemiskinan. Hasil survey SUSENAS 2007 terjadi peningkatan angka kemiskinan 25,7 persen, yang sebelumnya hanya berjumlah 299,1 Ribu Jiwa namun ditahun 2007 menjadi 324,8 Ribu Jiwa dari total 2.957.465 Jiwa penduduk, dan parahnya sebaran penduduk miskin tersebut terbanyak berada di tiga kota/kabupaten yang memiliki wilayah konsesi batubara terbanyak yaitu Kota Samarinda, Balikpapan dan kabupaten Kutai kertanegara.Hal ini dapat diartikan juga bahwa angka pengganguran yang dikandung dalam perut Propinsi ini, tak akan beda jauh dengan angka kemiskinan padahal jika kita menggunakan akal sehat dengan banyaknya Perusahaan dan Industri di sebuah wilayah, otomatis akan dapat menghisap angka pengganguran yang artinya meningkatnya taraf hidup rakyat.

Hal terparah lainnya adalah rusaknya lingkungan Hidup dikawasan kawasan yang merupakan Penopang hidup Rakyat, setidaknya sejak tahun 2000 ada sekitar 9.000 Hektar hutan di Propinsi ini hilang, digantikan oleh Lobang Lobang raksasa dari aktifitas penggalian Batubara, yang membuat masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta harus rela kehilangan tempat mereka mencari makan yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang.

Selain dari kerugian yang di derita oleh masyarakat adat dayak tadi, hancurnya Hutan juga telah menyebabkan beberapa wilayah di kota samarinda (Ibukota Propinsi Kaltim)yang dihuni oleh Ribuan jiwa, dipaksa harus “menenggelamkan” sebagian tubuhnya di dalam air yang turun (hujan) hanya selama 2-3 jam.

Tidak hanya sebatas itu Daya Rusak Batubara pun juga telah menyapa serta meluluh lantakan lahan lahan Pertanian masyarakat contohnya Desa Makroman, Samarinda Ilir yang dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kota Samarinda,kini harus rela membuang jauh semua predikat tersebut, karena sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa, Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara, yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.

Hilangnya lahan (lumbung) pangan ini, memaksa pemerintah harus mendatangkan tambahan beras sebesar 20 ribu ton bagi 3,7 Jiwa penduduk nya dari luar Propinsi seperti sulawesi selatan dan jawa.ditambah dengan mendatangkan sedikitnya 490 ekor sapi dari Nusa Tengara barat dan Sulawesi selatan guna memenuhi kebutuhan proteinnya.

Saatnya bertindak, Batubara Pembunuh

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.Ar-rum 41)

Semua gambaran kerusakan dan di abaikannya keselamatan rakyat akibat Pengerukan “Emas Hitam” yang dilakukan pemerintah baik itu skala kecil dan besar ,sudah terpampang jelas di depan mata kita, sehingga jika Pemerintah Sumsel tetap bersih keras untuk melanjutkan program peningkatan produksi Batubaranya maka hal yang patutlah kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan terhadap “Kartu Identitas Penduduk (KTP)” para penyelenggara negara di propinsi ini, apakah benar mereka Warga Negara Indonesia Sumsel?,dan jika benar, maka demi Pulihnya Lingkungan Hidup dan keselamatan rakyat Sumsel,segera hentikan ekploitasi Batubara karena Batubara pembunuh.

ditulis oleh : Hadi Jatmiko, ST
Kadiv POPER WALHI Sumsel

Selengkapnya...