WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Maret 31, 2011

KEMBALI PETANI KAB. MUSI BANYUASIN DI TANGKAP

BERIKUT KRONOLOGISNYA

Pak sabar merupakan salah satu dari 300 Orang masyarakat desa Simpang Bayat Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA), Dia di tangkap oleh Pihak Kepolisian pada tanggal 25 Maret 2010, dengan tuduhan telah melanggar UU kehutanan No 41 Tahun 1999 Pasal 51 yaitu memasuki kawasan Hutan Tanpa Izin. Penangkapan ini didasari oleh Pengaduan oleh pihak PT. Pakerin yang merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di HTI sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan 226/Kpts-II/1998 dan memiliki konsesi seluas 43.000 Ha di MUBA.

Kamis, 24 Maret 2011
Pukul 9.30 Wib Istri Pak Sabar yang bernama Siti Hasanah (48 Thn),Pamit dengan Pak sabar untuk pergi mencuci Pakaian dan mengambil Air di Sungai, yang jaraknya sekitar 200 Meter dari rumah.

Saat Pamitan Ibu Siti berpesan kepada Pak sabar untuk Hati Hati dan Jaga diri di rumah, mendengar hal itu Pak sabar pun berkata pada Istrinya untuk juga berhati hati di Sungai.

Ketika Ibu Siti pergi ke Sungai, Pak sabar sedang melakukan aktifitas di Rumahnya untuk memperbaiki Dinding Rumah yang mulai Bolong.

Tak lama sekitar 1,5 Jam, tepatnya pukul 11.00 Wib dari kepergian Ibu Siti ke sungai, dia pun mendengar suara Pak sabar yang meraung kesakitan dan meminta Tolong kepadanya. ” Ibu sakit Bu, tolong tolong”,teriakan Pak Sabar yang didengar Bu Siti.

Mendengar suara teriakan dari suaminya tersebut, Ibu Siti pun langsung mengemasi barang barang cuciannya dan berlari menuju Rumahnya.

Tak terlalu lama setelah dia berlari, yang kira kira telah menempuh jarak 100 Meter dari Sungai dan rumahnya. Dia melihat suaminya yang sedang tidak memakai Pakaian (Red:Bertelanjang Dada), sedang di Fiting (Lehernya di jepit dengan Lengan) dan ditarik tarik paksa oleh seorang berpakaian Sipil yang diikuti oleh 9 Orang lainnya. Yang kemudian orang yang menarik Pak sabar tersebut diketahui berasal dari Kepolisian Sekta Bayung Lincir yang bernama Sefrianto, sedangkan untuk 9 orang yang mengikuti tersebut 4 Orang anggota Polisi dan 5 orang lainnya adalah karyawan perusahaan PT. Pakerin yang merupakan salah satu perusahaan HTI yang memiliki Konsesi di wilayah Bayung Lencir atau tepatnya di Desa Simpang Bayat, namun sejak 11 tahun belakangan tidak digarap lagi.

Melihat perlakuan kasar yang dilakukan oleh pihak Polisi kepada suaminya, Ibu Siti pun langsung melepaskan barang barang yang di bawahnya, dan langsung berlari mendekati suaminya yang sedang ditarik tarik oleh pihak Kepolisian.

Saat posisi Bu Siti telah berada di dekat Pak Sabar, Pihak Polisi pun langsung memberikan Bu Siti selembar kertas yang berisi surat Penangkapan dari Polsekta Bayung Lencir untuk Pak Sabar (Surat Penangkapan Terlampir).

” Lepaskan Pak, ini Negara Hukum jangan di perlakukan seperti Hewan, itu namanya tidak manusiawi”, Kata Ibu Siti kepada Sefrianto Polisi yang menarik narik suaminya.

Lalu perkataan tersebut dijawab oleh Sefrianto ”Siapa yang melakukan seperti Hewan”, ” Itu diseret seret seperti hewan ” Kata Ibu Siti yang membantah perkataan polisi tersebut.

Tanpa mengubris perkataan dari Ibu Siti, Polisi itupun tetap membawa Pak sabar dengan cara seperti semula.

Melihat suaminya tetap dibawah secara paksa oleh pihak kepolisian, Ibu Siti pun langsung berinisiatif untuk Pulang kerumah dan mengambil Pakaian untuk suaminya. Selanjutnya Bu Siti kembali berjalan mengejar Pak Sabar dan Rombongan Polisi yang membawanya.

Sekitar 20 menit berjalan Bu Siti pun kembali bertemu dengan rombongan pihak kepolisian dengan karyawan PT. Pakerin yang membawa Pak Sabar, yang saat itu sudah berada di Pinggir Jalan Desa, tempat 3 Mobil mereka yang terdiri dari 1 Mobil Dinas milik Polisi dan 2 Mobil terindikasi milik Perusahaan di parkirkan.

Bu Siti memaksa untuk ikutan masuk kedalam mobil yang di naiki oleh Pak Sabar, tetapi ditolak oleh pihak kepolisian, karena Bu siti tetap memaksa, akhirnya Bu siti diikutkan rombongan tersebut, dengan menaiki Mobil yang lain dengan tujuan ke Polsekta Bayung Lencir.


Kondisi Saat ini

Setelah selama 2 Hari ditahan di Polsekta Bayung Lencir (Kamis, 25/3/11) ,tepat pada Hari Sabtu 27/3/11 Pihak Polsekta pun memindahkan pak sabar di Polresta Musi Banyuasin dan selanjut pada hari Minggu, 28/3/11 sampai saat Pak sabar di titipkan di tahanan RUTAN Musi Banyuasin.


Selengkapnya...

Jumat, Maret 11, 2011

Mayoritas Lahan Sumsel Bukan buat Rakyat

PALEMBANG, KOMPAS.com — Tata guna lahan di Sumatera Selatan dinilai semakin tak seimbang. Semakin banyak lahan digunakan untuk pertambangan serta perkebunan sehingga mengurangi alokasi lahan untuk masyarakat. Akibatnya, potensi konflik lahan di masa depan dikhawatirkan kian besar.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, dari total lahan Sumatera Selatan sekitar 8,7 juta hektar, hanya sekitar 2 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat.

Mayoritas lahan tersebut digunakan untuk perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) dengan luas mencapai sekitar 4 juta hektar.

Sebanyak 2,4 juta hektar lahan lainnya digunakan untuk pertambangan batu bara. Pada akhir 2009, tercatat sebanyak 229 kuasa pertambangan yang beroperasi di 10 kabupaten.

Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Organisasi Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan, saat ini pertambangan batu bara telah meluas ke kantong pertanian. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), misalnya, terdapat delapan KP batu bara. Satu dari delapan KP itu baru saja beroperasi tahun ini, sedangkan tujuh lainnya masih dalam tahap persiapan.

Adanya tambang batu bara di daerah pertanian dikhawatirkan akan menyebabkan pencemaran lingkungan yang berdampak pada turunnya produksi pertanian. "Lahan yang berdekatan dengan tambang batu bara biasanya akan tercemar dan sulit ditanami lagi," kata Hadi di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (10/3/2011).

Menurut Hadi, terus bertambahnya lahan yang digunakan untuk pertambangan dan perkebunan ini memperkecil akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya lahan pertanian.

"Saat ini, petani padi di Sumsel rata-rata memiliki satu hektar sawah dan banyak lainnya yang hanya menjadi buruh tani. Idealnya, setiap petani memiliki empat hektar sawah, baru bisa sejahtera hidupnya," katanya.

Selain mengurangi sumber ekonomi masyarakat, ucap Hadi, minimnya porsi lahan untuk masyarakat ini juga mengakibatkan konflik per buatan ruang. Tanpa adanya penanganan, konflik-konflik ruang tersebut dikhawatirkan akan semakin tajam.

Selama ini, konflik-konflik lahan antara petani dan pihak perkebunan, pengelola HTI, ataupun tambang telah berulang kali terjadi di Sumatera Selatan. Konflik lahan ini biasanya disebabkan penggusuran lahan garapan masyarakat oleh perusahaan pengelola lahan.

Beberapa konflik lahan terakhir terjadi di Kabupaten Muaraenim, Banyuasin, dan OKUT. Pada pertengahan Februari lalu, misalnya, perwakilan warga tiga desa di Kecamatan Martapura, OKUT, mengadukan penggusuran lahan garapan dan rumah mereka kepada Lembaga Bantuan Hukum Palembang. Lahan di kawasan hutan negara register 13 itu akan digunakan oleh perusahaan yang memiliki izin mengelola.

Ketua III Forum Komunikasi Warga Muhroji (47) mengatakan, penggusuran yang terjadi pada 27 Januari itu menghancurkan tujuh rumah dan sekitar 650 hektar kebun karet garapan warga. Kami keberatan karena penggusuran itu dilakukan tanpa peringatan dan ganti rugi.

"Padahal, kebun karet yang digusur sebenarnya sedang produktif dan satu-satunya sumber nafkah kami," ucapnya.



Selengkapnya...

Rabu, Maret 09, 2011

Jalur KA Tanjung Api-api Segera Dilanjutkan

PALEMBANG, KOMPAS - Pembangunan jalur kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Api-api dipastikan akan menembus hutan bakau di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, sepanjang 24 kilometer. Sejumlah kalangan khawatir pembangunan ini merusak habitat satwa langka yang hidup di salah satu hutan bakau terbesar di Asia tersebut.

Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengatakan, izin untuk pinjam pakai kawasan hutan lindung mangrove itu telah diajukan kepada Menteri Kehutanan. Pengerjaan ditargetkan akan dimulai Agustus tahun ini.

”Proses pengajuan izin antara 4-6 bulan. Sampai proses perizinan selesai, pengerjaan dihentikan dulu,” kata Alex seusai mengikuti pemaparan Paparan Pembangunan Jalan Kereta Api dan Pelabuhan Tanjung Api-api di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (7/3) malam.
Menurut Alex, pengajuan izin pinjam-pakai lebih mudah dan sederhana daripada pengajuan izin alih fungsi lahan. Hal ini karena pengajuan izin pinjam-pakai ini tidak perlu melalui persetujuan DPR.

Ganeshan Varadarajan, Direktur PT Adani Sumatera Selatan, yang mengerjakan pembangunan jalur kereta api ke Tanjung Api- api mengatakan, pembangunan diperkirakan memakan waktu 36-48 bulan. ”Studi kelayakan telah selesai. Sekarang tinggal menunggu proses hukum dan perizinan. Setelah beres, pembangunan dimulai,” katanya.

Sekitar tiga tahun lalu, Pemerintah Provinsi Sumsel telah mengajukan izin alih fungsi lahan hutan lindung bakau tersebut dengan sistem tukar guling. Namun, proses ini terganjal kasus suap alih fungsi lahan yang melibatkan sejumlah anggota DPR.

Pembangunan kawasan industri dan pelabuhan internasional di Selat Bangka itu menuai kritik. Menurut laporan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumsel, hutan bakau seluas 600 hektar itu terpanjang di Asia. Hutan bakau yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sembilang ini juga menjadi habitat sejumlah satwa langka, seperti elang laut, biawak, berbagai jenis burung migran, dan ikan pesut. ”Pembangunan jalur kereta api dan kawasan industri akan merusak habitat satwa-satwa langka itu,” kata Hadi Jatmiko dari Walhi Sumatera Selatan.

Selengkapnya...

Jumat, Maret 04, 2011

Walhi Minta Pembangunan Mal Bawah Tanah Dihentikan

Liputan6.com, Palembang: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Palembang memprotes pembangunan mal bawah tanah di lahan parkir Bumi Sriwijaya. Pembangunan dinilai tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) dan analisa dampak lingkungan. Demikian diutarakan perwakilan Walhi Hadi Jatmiko di Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (2/3).

Menurut Hadi, pembangunan mal bawah tanah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup. Termasuk melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Kegiatan Wajib Amdal. Walhi meminta pembangunan dihentikan.

Menanggapi tuntutan Walhi, Wakil Wali Kota Palembang Romy Herton yang menerima pendemo menegaskan, pembangunan mal bawah tanah merupakan tanggung jawab gubernur. Pemerintah kota setempat sudah memanggil pihak pelaksana tetapi belum mau datang.(AIS)



Selengkapnya...

Kamis, Maret 03, 2011

IMB dan Amdal Under Mall Harus Dikebut

PALEMBANG– Proses pembuatan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan pengkajian Amdal terhadap pembangunan underground mall (under mall) di Lapangan Parkir Bumi Sriwijaya, Palembang harus dikebut.

“Kami sudah mengatakan berulang kali bahwa proses pembuatan IMB dan Amdal itu dipercepat. Sekarang tinggal menunggu kontraktor saja untuk melengkapi beberapa persyaratannya, seperti site atau gambar, tata letak dan lainnya,” ujar Wali Kota Palembang H Eddy Santana Putra,kemarin. Dia mengemukakan, jika kontraktor under mall telah melengkapi semua persyaratan dalam permohonan ataupun pengajuan pembuatan IMB, secara otomatis pembuatan IMB ini akan cepat selesai, yakni paling lambat akhir Maret mendatang.

Pada dasarnya kontraktor tidak diperbolehkan untuk melakukan pembangunan. Tapi, kalau menggali tidak apa-apa.Pembangunan itu tetap harus memiliki IMB dan kajian Amdal sesuai dengan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan,” terangnya. Untuk masalah polusi debu yang bertebaran di sekitar pembangunan under mall,menurut Eddy, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pemadam Kebakaran (PBK) Palembang untuk melakukan penyemprotan pada area sekitar yang terkena dampak dari pembangunan proyek ini.

“Baik polusi debu, jalanan becek akibat dari pembangunan under mall semua sudah diantisipasi dengan mengerahkan PBK untuk menyemprotnya, gunanya untuk meminimalisir efek yang ditimbulkan,” ujarnya. Wakil Wali Kota Palembang H Romi Herton menambahkan, bahwa pembangunan under mall di lapangan Bumi Sriwijaya tersebut merupakan aset milik Pemprov Sumsel.

Dia mengklaim, pihaknya sudah berulang kali memanggil pihak kontraktor untuk membicarakan masalah izin IMB dan Amdal ini. “Saat ini IMB dan Amdal masih dalam proses. Kami akan koordinasikan dahulu dengan Pemprov Sumsel untuk menghentikan pembangunan under mall sebelum dikeluarkannya izin IMB dan Amdal.Apalagi, saat ini pembangunan under mall berdampak luas terhadap lingkungan sekitar,”tuturnya.

Dia menegaskan,setiap bangunan yang akan didirikan dalam lingkup Kota Palembang harus memiliki kajian Amdal serta mengantongi IMB dari Pemkot Palembang. Ini merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan semua pihak yang akan mendirikan bangunan, tak terkecuali under mall. Sebelumnya,kemarin siang Mahasiswa Hijau Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel berunjuk rasa di depan kantor Pemkot Palembang.

Mereka menuntut agar Pemkot segera menghentikan aktivitas pembangunan under mallsebelum kontraktor mengantongi izin IMB dan memiliki dokumen Amdal. “Dalam tata ruang Kota Palembang, kawasan itu diperuntukkan untuk kawasan pendidikan dan olahraga.Tapi, mengapa sekarang diperuntukkan untuk kawasan bisnis ataupun private. Jelas ini telah mengangkangi Undang- Undang.

Apalagi, pembangunan under mall sudah berjalan dan belum mengantongi izin IMB dan Amdal serta berdampak terhadap lingkungan sekitar. Kami minta Pemkot dapat segera menghentikan pembangunan itu,” tegas Koordinator Aksi (Korak) Mahasiswa Hijau Indonesia Sumsel, Ryan kemarin.

Selengkapnya...