WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Juli 20, 2011

Perebutan Ruang Hidup di Lahan Sawit

KOMPAS.com - Konflik lahan sawit antara masyarakat dan perusahaan terus meletup di berbagai daerah di Sumatera Selatan. Perusahaan perkebunan dibuat pusing dengan berbagai aksi nekat masyarakat. Bagi masyarakat sendiri, hal ini adalah perebutan ruang hidup.

Ketegangan terasa ketika memasuki area afdeling I perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Betung di Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pertengahan Juni lalu. Dari balik tenda-tenda plastik oranye dan biru yang didirikan bawah pokok-pokok sawit, terlihat wajah-wajah waspada.

Di tenda utama yang didirikan di tengah jalan utama perkebunan, belasan orang dengan ketegangan yang sama telah menanti. Selama 18 hari mereka menduduki dan menghentikan aktivitas perkebunan sawit di afdeling 1 PTPN VII Unit Usaha Betung. "Kami harus waspada pada orang luar yang masuk ke sini. Siapa tahu provokator yang mau mengarahkan aksi ini ke perusakan karena kami maunya aksi damai saja," kata Joni (44), juru bicara warga.

Sebanyak 725 keluarga dari lima desa yang termasuk dalam wilayah eks-marga Teluk Kijing turut dalam pendudukan lahan tersebut. Mereka meninggalkan rumah dan berteduh di tenda-tenda selama belasan hari. Dua perempuan lanjut usia Ci Ima (70) dan Fatima (60) turut bergabung menemani putra mereka. Tuntutan mereka adalah pembagian plasma seluas 1.693 hektar.

Menurut Joni, lahan itu dulunya adalah lahan garapan masyarakat, baik untuk tanam karet ataupun mengambil hasil kayu. Tuntutan plasma telah diajukan sejak tahun 2002 itu, namun belum ada penyelesaian memuaskan. "Kami sudah berulangkali protes dan berunjukrasa ke pemerintah kabupaten. Tapi pemerintah pun hanya memberikan kata-kata dukungan dan surat imbauan. Tak pernah ada dukungan nyata," ucapnya.
Aksi pendudukan tersebut baru berakhir ketika warga menerima surat dari PTPN VII bahwa lahan plasma akan diupayakan dengan bantuan dari pemerintah daerah. Namun, surat itu pun dirasakan mengambang bagi mereka, karena belum ada kepastian kapan dan area mana yang akan digunakan sebagai lahan plasma.

Kesejahteraan rendah
Jika ditelusuri, berbagai tuntutan konflik lahan berakar pada masalah kesejahteraan. Menurut penuturan warga eks-marga Teluk Kijing, keberadaan perkebunan sawit di sekitar desa mereka tak menjamin masyarakat lebih sejahtera. Saat ini justru banyak penduduk yang menjadi buruh ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. "Kami jadi seperti orang asing di tanah kami sendiri. Ada lahan di sekitar rumah sendiri, tapi tak bisa menggarapnya," ucap Joni.

Di Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, ratusan warga dari tujuh desa pun berulangkali menggelar aksi unjukrasa kepada PT Guthrie Pecconina Indonesia (PT GPI). Kelompok masyarakat itu menu ntut pembagian lahan plasma pada lahan seluas 2.970 hektar. Menurut mereka, lahan ini merupakan lahan desa yang ditanami sawit oleh perusahaan asal Malaysia itu.
Kepala Desa Karang Anyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Ade Kurnia (42) mengatakan, sejak adanya perkebunan kelapa sawit di desanya membuat sungai dan sawah rusak. Masyarakat kehilangan pendapatan hingga separuhnya. "Sudah dua tahun ini sawah di desa kami gagal panen. Tiap musim hujan kebanjiran karena parit-parit dari perkebunan meluap ke sawah kami. Padahal, dulunya sawah itu bisa menyediakan beras untuk kebutuhan setahun," katanya.

Selain itu, warga juga tak bisa lagi mencari ikan di Sungai Lulung Bekuang, salah satu sungai terbesar di desa mereka. Hasil ikan merosot karena kondisi sungai rusak oleh perkebunan.

Perluasan masif
Seiring meningkatnya tuntutan masyarakat, perluasan kebun sawit berlangsung dengan sangat pesat. Di Sumatera Selatan, luas kebun sawit mencapai 818.248 hektar kebun sawit pada 2010. Pertumbuhan luas lahan sawit ini dua tahun cepat dari rancangan RTRW semula. Seharusnya, luas kebun sawit lebih dari 800 hektar di Sumsel tersebut baru tercapai pada tahun 2012.

Namun, kepemilikan lahan pun timpang. Sebanyak 55,56 persen kebun sawit di Sumsel merupakan kebun inti perusahaan, sebanyak 28,89 persen merupakan kebun plasma, dan hanya 15,55 persen yang merupakan kebun sawit rakyat. Sejumlah perkebunan sawit di Sumsel pun merupakan perusahaan asing sehingga banyak keuntungan sawit mengalir ke luar negeri.

Berdasar data Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan, saat ini masih ada 30 sengketa lahan perkebunan yang belum terselesaikan. Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mencatat, konflik lahan terus memanas selama dua tahun terakhir. Setidaknya telah ada belasan aksi masyarakat karena konflik lahan sejak Januari 2011. Tahun 2010, jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi sekitar 40 konflik, mulai dari unjukrasa hingga perusakan.

Aksi masyarakat pun bisa menjadi nekat. April lalu, sebanyak tujuh orang tewas dalam bentrokan masyarakat di Desa Sei Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan petugas keamanan peusahaan perkebunan sawit PT Sumber Wangi Alam.

Hal ini menunjukkan masyarakat kian frustasi karena konflik lahan ini. Keberpihakan pemerintah pun sangat minim dan masalah cenderung dibiarkan berlarut-larut. Jika dibiarkan, bisa jadi konflik kian besar dan meluas, kata D irektur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat.

Upaya perusahaan
Dari pihak perusahaan perkebunan, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara-cara negosiasi dan pemberian sumbangan ditempuh untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik. Termasuk juga membina warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Terkait lahan Teluk Kijing, Manajer Distrik Banyuasin PTPN VII M Natsir mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah pernah menawarkan lahan plasma, namun warga menolak karena menilai lokasinya terlalu jauh.
Sebagai ganti, PTPN VII memberi sumbangan ternak sapi untuk dikelola masyarakat. Pada pemberian ternak sapi itu, warga eks-marga Teluk Kijing telah menandatangani surat perjanjian untuk tidak lagi mempermasalahkan lahan tersebut. "Tapi kok berulang lagi," tuturnya.

Pemberian lahan plasma dari lahan perkebunan, ucap Natsir, tak dapat dilakukan dengan mudah karena lahan tersebut merupakan aset negara. Berdasarkan data PTPN VII, lahan yang digunakan PTPN VII sendiri berstatus lahan negara.

Lahan tersebut merupakan kawasan perkebunan Belanda yang pada masa kemerdekaan dinasionalisasi dan dikelola perkebunan negara. "Jadi memang tak pernah ada proses pembebasan lahan, karena memang tak perlu. Sebab sejak awal itu adalah lahan negara," kata Natsir menerangkan.

Anthony Yeow, Presiden Direktur PT Hindoli, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin mengatakan, tuntutan lahan dari masyarakat sungguh membuat pusing perusahaan. "Klaim-klaim lahan masyarakat di Indonesia ini memang sangat rumit. Kami selalu berusaha mengalah dalam kasus seperti ini," ucapnya.

Di awal keberadaannya, PT Hindoli juga menghadapi sejumlah tuntutan dari masyarakat. Namun, gejolak padam tatkala mas yarakat sekitar perkebunan sejahtera. Dengan sistem kemitraan, petani plasma PT Hindoli menikmati penghasilan rata-rata lebih dari Rp 2 juta sebulan. "Dari situ kami belajar, bahwa kunci menghindari konflik adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar," ujar Anthony.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan mengatakan, penataan kembali kepemilikan lahan sangat penting untuk meredam konflik. Ketimpangan kepemilikan lahan sawit diduga menjadi salah satu sumber konflik lahan. "Di karet nyaris tak pernah ada konflik karena 95 persen kebun karet dimiliki rakyat," ucapnya.
Menurut Singgih, Salah satu upaya mengurangi potensi konflik adalah dengan menggeser kepemilikan kebun sawit menjadi 60 persen kebun masyarakat dan 40 persen perusahaan. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota perlu membatasi pemberian izin pada perusahaan perkebunan dan lebih memprioritaskan masyarakat.
Pembukaan perkebunan sawit tak disangkal telah membuka dan menggerakkan ekonomi di berbagai daerah terpencil. Namun, sudah saatnya pe merintah daerah lebih bijaksana dalam memberikan izin pembukaan perkebunan ini. Jangan sampai kemajuan membuat masyarakat kian merasa terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri.



Artikel Terkait:

0 komentar: