WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Oktober 05, 2011

Spekulan Hutan Masih Bisa Bermain

KONFERENSI Hutan Indonesia akhir September lalu menghadirkan sejumlah ahli, pembuat kebijakan, dan pelaku bisnis. Mereka menyimpulkan, tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan hutan yang tersisa. Kata sepakat yang tidak mudah dilaksanakan karena kebutuhan lahan untuk industri perkebunan sarat kepentingan.

Upaya penanaman pohon bukan langkah nyata untuk mengurangi emisi karbon.
“Analisa yang dilakukan oleh Cifor menunjukkan bahwa penanaman pohon memberikan kontribusi kecil dalam upaya mengurangi emisi di Indonesia,” kata Frances Seymor, Direktur Jenderal Cifor, dalam mengantar pertemuan yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Cifor (Center for International Forestry Research) adalah lembaga internasional untuk penelitian kehutanan yang berpusat di Washington DC, AS. Lembaga ini termasuk salah lembaga yang peduli atas konservasi hutan di seluruh dunia. Terutama hutan tropis di wilayah khatulistiwa.

Frances menekan bahwa hutan Indonesia tidak saja memiliki manfaat bagi menjaga ketahanan pangan tetapi juga memiliki peran penting di arena global.

Indonesia termasuk tiga wilayah memiliki hutan tropis dunia, bersama Kongo (Afrika) dan Brazil (Amerika Selatan), ikut dalam mengurangi perubahan iklim.

“Hutan Indonesia berperan penting di arena global, menekan laju percepatan perubahan iklim. Hutan mampu menyerap karbon yang tersebar,” kata Frances di sela-sela acara konferensi.

Jadi Buruh Kebun
Dalam sesi diskusi, panelis Abetnego Tarigan, Direktur EKsekutif Sawit Watch, menekankan pentingnya skema yang memberikan akses kepada masyarakat di sekitar hutan.

Ia mengungkapkan sejumlah praktik yang terjadi selama ini, masyarakat tidak lebih ditempatkan sebagai buruh kebun yang berada di posisi tawar yang rendah bila dihadapkan pada investor perkebunan.

“Apapun bentuknya, pengelolaan hutan harus tetap memberikan perhatian bagi kesejahteraan rakyat. Ini hal yang prinsip,” kata Abetnega Tarigan.

Menurut Frances, kebutuhan lahan hutan untuk mendukung pengembangan pertanian, energi, pertambangan dan industri kertas dan pulp (bubur kertas), tetap menjadi perdebatan.
Padahal, hutan alam lebih sehat dan lebih resisten terhadap ancaman kebakaran.

Frances yang sudah lima tahun di Indonesia melalui proyek Ford Faoundation dan program WWF --sebuah yayasan yang konsen terhadap kelestarian lingkungan, memuji langkah pemerintah Indonesia. Pasca penanda-tanganan letter of intent (LoI) oleh Presiden SBY dan pemerintah Norwegia, kebijakan moratorium pemberian izin pembukaan hutan selama dua tahun.

Moratorium selama dua tahun ini dikritik kalangan aktivis lingkungan “saya” lain. Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) organisasi lingkungan, misalnya, selama ini sangat kritis terhadap kebijakan pemerintahan berkaitan dengan lingkungan. Termasuk pemberian konsesi perkebunan ribuan hektar kepada investor hutan tanaman industri.

Sumber pendanaan iklim yang berasal dari luar negeri yang mengedepankan pendekatan pasar dianggap bukan langkah yang bijak untuk menjawab tantangan isu perubahan iklim global.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Saddat, pendanaan iklim termasuk melalui proyek REDD+ (reduce emission from deforestation Degradation plus) --proyek pengurangan emisi dari kerusakan dan degradasi hutan, menilai tidak tepat sasaran. Proyek REDD+ tidak melibatkan masyarakat lokal, semacam memberikan advokasi kepada masyarakat lokal.

Kekawatiran lain, pendanaan iklim selain membebani utang kepada asing, juga dimanfaatkan oleh “spekulan” untuk membelanjakan dana yang justru menjadi anggaran yang membebani seluruh rakyat negeri ini.

“Satu hal lagi, investasi melalui pendanaan iklim merupakan upaya lain agar negara-negara maju menghindari tanggung jawab atas kebangkrutan dan kehancuran ekologi global. Negara-negara maju ini pula yang menciptakan kerusakan ekologis,” kata Saddat.

Dan suara-suara kritis seperti ini tidak terdengar dalam pertemuan Indonesia Forestry Conference dalam rangka Tahun Hutan Internasional PBB 2012. Ke-lompok seperti tidak diundang dalam konferensi ini.

Sumber : www.sripoku.com



Artikel Terkait:

0 komentar: