WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, November 30, 2011

Konflik SDA di Sumsel capai 268 kasus

Palembang - Konflik Sumber Daya Alam (SDA) berdimensi struktural di sektor kehutanan dan perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang terjadi dari tahun 1989 hingga 2011, telah mencapai 268 kasus.

Menurut Masrun Jawawi, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, di Palembang, Sabtu, sejak 1989 hingga saat ini setidaknya ada 268 konflik SDA di daerah ini.

Umumnya konflik SDA itu, hingga kini belum mendapatkan penyelesaian secara permanen dan sewaktu-waktu dapat terpicu hingga menimbulkan bentrokan fisik, kata dia.

Secara khusus peneliti Walhi Sumsel itu membeberkan hasil kajiannya dalam konsultasi publik yang diselenggarakan Walhi dengan tema "Studi Pemahaman dan Praktek ADR/Alternative Dispute Resolution, Konflik Sumber Daya Alam di Provinsi Sumsel, di Hotel Bumi Asih Palembang, Jumat (25/11).

"Konflik SDA itu melibatkan masyarakat dan petani, perusahaan perkebunan swasta, PTPN VII, dan perusahaan HTI yang menimbulkan korban jiwa dan kekerasan fisik," ujar dia.

Dia menyebutkan, kasus SDA itu, di antaranya adalah kasus di Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Desa Suka Damai, Kabupaten Musi Banyuasin, Desa Gersik Belido, Kabupaten Musi Banyuasin, serta Desa Pulau Kabal, Kabupaten Ogan Ilir.

Salah satu konflik yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya adalah di Desa Pulau Kabal yang merupakan konflik tapal batas dengan Desa Kayuara Batu, Kabupaten Muaraenim.

"Konflik di sini terjadi sejak 2005 lalu, dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya," kata dia.

Perlu ada negosiasi yang benar dengan mekanisme ADR, untuk menyelesaikan masalah ini, ujar dia lagi.

Dalam konsultasi publik itu, Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumsel, mengatakan banyak kasus sengketa tanah ini dikarenakan adanya undang-undang yang tumpang tindih.

"Misalnya pelaksanaan UU No 60 Tahun 1960 tentang Agraria banyak tumpang tindih dengan UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU BPN, dan lainnya," kata dia.

Mengenai penanganan konflik menggunakan mekasnisme ADR, pihaknya sangat sependapat.

Karena itu, saat ini BPN juga bertindak sebagai mediator konflik, kata dia lagi.


Sumber : antaranewa.com



Artikel Terkait:

0 komentar: