WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Februari 13, 2012

Bencana Besar Mengancam

PALEMBANG– Dampak pembangunan yang semakin menggeliat di Kota Palembang, terutama di kawasan resapan air, mengantarkan kota ini menuju bencana ekologi terdahsyat.

“Palembang kini tidak lagi terancam banjir besar, tapi sudah menuju musibah ekologi terdahsyat. Sebab, saat ini bencana banjir sudah dirasakan di berbagai wilayah, mulai Ulu hingga Ilir Kota Palembang,” ungkap Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat kemarin.

Musibah ekologi disebabkan tidak adanya keseriusan pemerintah daerah dalam memperhatikan lingkungan, terutama dalam proses perencanaan pembangunan. Kondisi ini semakin diperparah dengan penimbunan daerah resapan air utama di Palembang, yaitu wilayah Jakabaring.“ Terus saja membangun, tapi tidak memperhatikan lingkungan.Akibatnya, banjir juga akan terus terjadi,” tukasnya.

Anwar mengatakan,sejauh ini Perda No 5/2008 tentang Pemanfaatan Rawa dinilai belum berjalan maksimal. Begitu juga dengan Undang-undang (UU) No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak ada keseriusan pemerintah daerah untuk menegakkan aturan tersebut. “Dari pantauan kami, pembangunan yang ada saat ini tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Artinya, pemerintah tidak serius dalam menegakkan aturan,” tuding Anwar.

Untuk menekan dampak kerusakan ekologi ini, pihaknya berharap ada aturan yang jelas mengenai wilayah resapan air, yang tidak boleh ditimbun untuk pembangunan. “Saat ini tidak jelas yang mana kawasan rawa konservasi dan mana rawa yang harus dilindungi. Seharusnya kejelasan itu ada,”tandasnya. Sementara iut, Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Kota Palembang M Hidayat mengatakan, pengawasan yang dilakukan pemerintah kota terhadap pendirian bangunan di Palembang memang masih lemah.

Pihaknya mencatat, lahan rawa yang banyak disalahgunakan terdapat di kawasan pinggiran, seperti Jakabaring, Kenten, Kalidoni, Tegal Binangun. “Penyalahgunaan rawa ini banyak dilakukan developer. Padahal, dalam perda sudah disebutkan bahwa beberapa persen dari lahan harus dimanfaatkan untuk rawa. Namun, selama ini pengembang perumahan tidak menyediakannya, dan pengawasan dari pihak eksekutif untuk hal ini juga kurang,”kata Hidayat.

Dia menilai makin maraknya penimbunan lahan resapan air ini, lantaran permohonan izin penimbunan dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan developer kepada Dinas TataKotadijadikansatudari seharusnya dibuat berbeda. “Kalau sudah proses finishing untuk pembangunannya, pihak Pemkot tidak lagi memperhatikannya. Padahal, mereka juga harus melihat spek drainase, ketinggian bangunan, dan lahan resapan air yang dibangun developer.Untuk itu, pemerintah kota harus lebih aktif,”jelasnya. Sebelumnya,Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra mengklaim, izin penimbunan rawa dan pendirian bangunan saat ini sudah diperketat.

Dengan adanya pengetatan izin dan pemanfaatan rawa secara optimal, diharapkan dapat memperbaiki kondisi lingkungan agar tidak semakin rusak. Sebab, banjir yang terjadi di Palembang akibat banyaknya aktivitas penimbunan rawa, yang berdampak pada menurunnya daerah resapan air. Khusus mencegah banjir di pemukiman warga,kawasan pil banjir akan diperluas agar sebelum membangun rumah warga mengetahui kondisi lahan yang akan ditempatinya.

Selain wilayah Mataram, Kecamatan Seberang Ulu 1,pemasangan pil banjir akan dikembangkan ke kawasan yang masuk tipologi daerah dataran rendah dan rawa, seperti di Gandus,Kertapati, Plaju.“Pil banjir ini seperti batasan dalam membangun rumah. Jadi, kalau bangun di daerah rendah,minimal ketinggian rumah itu diatur pada pil banjir ini,”ungkap Eddy.



Artikel Terkait:

0 komentar: