WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, April 10, 2012

Bukan Sekedar Turun !

Hanya menunda kenaikan ! itulah hasil akhir pertandingan terbuka antara kubu oposisi dan koalisi di senayan 30 maret lalu. Partai koalisi menang dengan skor telak ! setelah Partai Banteng dan Partai Jendral Purnawirawan  keluar ruangan. Perang itu bak sebuah isyarat, satu jenderal aktif, lebih sakti dibanding seribu jenderal veteran.

Ketidakpastian harga BBM adalah cermin negara yang tidak berdaulat atas Sumber Daya Alam khususnya sektor energi.  Dan kali ini, tuntutan semestinya selangkah lebih maju, agar rakyat tetap mempunyai alasan untuk terus bergerak.

Persoalan turun- naik, energi terbarukan adalah salah satu cara untuk atasi persoalan energi. Namun, hal tersebut hanyalah pucuk yang belum menyentuh “akar” persoalan. Karena akar masalah itu segalanya bermuara kepada negara yang masih dijajah.

Hari ini, bisa saja BBM naik tapi lusa kembali turun. Kemudian timbul pertanyaan, jika BBM turun apakah perosalan energi selesai ? saya berani menjawab “belum selesai”. Karena bukan persoalan mahal atau tidaknya, namun mengenai  siapa pihak yang paling diuntungkan atas SDA Indonesia.  Tentu, hal itu diukur bukan dari mahal atau murah harga sumber daya. Namun siapa sesungguhnya yang berkuasa atas segala kekayaan  Nusantara.

Kedaulatan ! itulah yang menjadi akar. Dan siapa sesungguhnya yang berdaulat di negeri ini, itu yang mesti diperbincangkan. Karena, jika kita hanya mempersoalkan mahal atau murahnya harga, soal gas dan fosil yang dipakai, soal beberapa kasus dan Undang-Undang yang perlu di advokasi, soal presiden yang harus diganti. Tetap saja, akan menjadi kegiatan rutin menyulam kain lapuk, hari ini bolong besok tambal lagi. Begitulah seterusnya, sibuk menambal kain lapuk, padahal yang perlu dilakukan adalah mengganti kain lama dengan yang  baru.

Kain lapuk itu adalah sistem negara kita yang tidak berdaulat, sistem yang diljalankan sejak tiga abad silam, dimana kapitalisme dan feodalisme mengalami masa kejayaannya. Hingga hari hari ini, sistem jajahan dan feodal itu tetap mengakar di negeri agraris yang tidak pernah berpihak kepada pelaku agraris.

Padahal sebagai negara agraris, bahkan  tidak agraris sekalipun,  menuju  Indonesia yang berdaulat,  harus diawali dengan perombakan struktur agraria. Pengertian agraria disini bukan sebatas lahan pertanian ( kulit Bumi ) dan petani, namun persoalan agraria adalah persoalan laut, udara, gunung, sungai danau dan berbagai kekayaan alam yang terkandung didalam dan luar perut bumi.

Sungguh sesat pikir dan disayangkan sebagian besar orang beranggapan, bahwa perjuangan agraria adalah perjuangan milik petani semata, perjuangan  demi mendapat  sertifikat tanah . Karena  agraria menurut Gunawan Wiradi, berasal dari bahasa latin  “ager”, sama artinya dengan “pedusunan/ wilayah”. Didalam wilayah dusun, tidak hanya terdapat lahan pertanian dan petani, pedusunan itu meliputi gunung, laut, tambang, sungai dan bahan mineral lain yang dikelola oleh masing-masing pelaku.

Selain itu ,dalam konstitusi negara kita, ayat 1-5 pasal satu UUPA 1960, bahwa agraria meliputi permukaan bumi, dibawah tubuh bumi, air dan yang berada dibawah air, serta ruang angkasa.

Artinya, istilah sumber daya alam, lingkungan hidup, tata ruang, energi, hutan, tambang, BBM dll, adalah istilah baru untuk unsur-unsur lama yang tercantum dalam UUPA 1960. Untuk itu, Undang-Undang sektoral harus tunduk terhadap Undang-Undang Pokok, yakni Undang-Undang Pokok Agararia( Noer Fauzi ).

 Jadi sekali lagi, persoalan agraria bukan hanya persoalan petani dan pertanian, melainkan persoalan semua pihak yang berkepentingan terhadap bumi, air dan segenap kekayaan yang terkandung didalamnya. Dan pihak yang berkepentingan tersebut wajib bekerja, berfikir, bertindak untuk melakukan perombakan struktur agraria atau dikenal dengan istilah gerakan reforma agraria.

Langkah melakukan  perombakan struktur, pekerjaan utamanya  bukanlah menambal sulam kebijakan Undang-Undang sektoral melalui advokasi kasus. Tapi  bagaimana cara mencari jalan terang untuk memperkuat dan mengembalikan fungsi Undang-Undang Pokok yang menaungi UU sektoral tadi. Hal itu  merupakan agenda khsusus yang harus dilakukan dengan khusuk dalam langkah advokasi.

Bahkan, strategi itu tak perlu lagi dibuat kotak, bahwa saya ahli disektor Tambang, si B ahli disektor Lingkungan Hidup, si C ahli pertanian. Kotak itu akan menjadi bulat, jika semua aktor memahami kondisi agraria secara utuh.

Kemudian dalam kondisi sekarang ini, kita tidak bisa menunggu penguasa bermurah hati melakukan perombakan struktur agraria dalam bentuk seperangkat peraturan apalagi MoU melaui advokasi kasus sektoral. Gerakan masyarakat sipil yang luas dan masif tetap menjadi  cara paling efektif   memaksa penguasa agar  berpihak, bila perlu merebut kuasa mengganti sistem.

Yang dimaksud gerakan sipil masif itu  gerakan mendongkrak. Yakni  merubah sistem dari level terendah. Memajukan, membantu, mengapresiasi kerja-kerja akar rumput dengan cara menurunkan gagasan langit itu agar dimengerti bumi.  

Cara menurunkan gagasan dari langit ke bumi itu bukan mencetak seribu poster, menggalang seminar, atau memperbanyak jaringan milis. Namun gagasan itu akan dicerna dengan upaya melakukan pendidikan dikampung-kampung, membantu rakyat  terlibat dalam demokratisasi desa, memperkuat organisasi rakyat juga  membantu  merebut kepemimpinan.

Karenanya, perjuangan sejati tidak sebatas BBM naik SBY turun. Namun berbagai pihak pun harus turun kebumi, mempraktekan gagasan langit mereka ke desa-desa, kabupaten-kabupaten dan wilayah. Karena akar rumput masih berjuang sendiri, akibat tangan mereka tak pernah mencapai langit dan keengganan kita menyentuh bumi.Jjika kita mau dan mampu, tak perlu lagi memikirkan berapa skor hasil pertandingan di senayan. Kita tetap bergerak tanpa menunggu pertandingan para politisi dan kaum veteran.

Oleh : April Perlindungan (sarekat Hijau indonesia)



Artikel Terkait:

0 komentar: