WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Juli 20, 2012

Dialog Konflik Lahan PTPN-Masyarakat Ogan Ilir Mentok


“Negosiasi itu tidak berarah karena mereka (PTPN) masih beranggapan bahwa persoalan yang terjadi di Ogan Ilir sebagai konflik agraria yang biasa saja."

Setelah beberapa kali melakukan unjuk rasa dan pertemuan mediasi di Jakarta, penyelesaian konflik lahan yang terjadi antara masyarakat Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dengan pihak PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis menemui jalan buntu.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Sumatera Selatan Anwar Sadat, di Jakarta, hari ini.

Pada hari Senin (16/7), beberapa LSM, yaitu Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Elsam, dan Sawit Watch, mendampingi setidaknya 85 warga dari 22 desa di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, menghadiri pertemuan dengan pihak PTPN VII yang dimediasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di Jakarta.

“Negosiasi itu tidak berarah karena mereka masih beranggapan bahwa persoalan yang terjadi di Ogan Ilir sebagai konflik agraria yang biasa saja. Kalau ada pertentangan, mereka inginnya bisa diselesaikan di pengadilan, sementara masyarakat ya masih mau negosiasi. Jadinya, ya sudah, deadlock, tidak ada kesepakatan,” kata Anwar.

Anwar menjelaskan mediasi tersebut merupakan hasil konsesus dengan warga yang melakukan unjuk rasa pada tanggal 5 Juli silam. Ditambahkannnya, LSM memberikan rekomendasi kepada mediator agar dibentuk saja tim penyelesaian konflik yang bisa melakukan verifikasi terhadap data kedua belah pihak, namun usulan tersebut tidak ditanggapi.

“Kalau bisa mediasi, masyarakat inginnya ada win-win solution karena kalau dipaksakan lewat jalur pengadilan, mereka jelas punya keterbatasan atau akhirnya tidak berani dan jadinya (konflik) malah dibiarkan dan berlanjut terus,” tutur dia.

Konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan tersebut sudah berlangsung sejak 1982. Masyarakat dari 22 desa tersebut menginginkan kembali hak atas tanah mereka yang dulu diambil dengan paksa. Dari catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), baru 6.000 hektar lahan dari 20.000 hektar yang mendapatkan HGU (hak guna usaha).



Artikel Terkait:

0 komentar: