WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Agustus 31, 2012

Kapolres OI Akui Ada Kesalahan

PALEMBANG – Kapolres Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Dharmapala mengakui ada kesalahan karena tak meneliti lagi isi surat perintah (sprint) 428 hingga terjadi bentrokan antara warga dan polisi di Desa Limbang Jaya beberapa waktu lalu.

Perwira menengah Polri ini juga mengakui tidak berada di lokasi saat bentrok berlangsung. “Siap, saya akui tidak meneliti lagi isi sprint yang saya tanda tangani serta patroli dialogis sebagaimana isi sprint tidak dilaksanakan,” ungkap terperiksa Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala di hadapan Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Muhammad Zulkarnain selaku pimpinan majelis sidang disiplin di Ruang Catur Cakti, GedungAnton Sudjarwo,Polda Sumsel,kemarin siang.

Pertanyaan bertubi-tubi juga dilakukan Irwasda Polda Sumsel Kombes Pol S Handoko terhadap perwira menengah Polri ini. Bahkan, AKBP Deni Dharmapala juga mengakui, pada 27 Juli 2012, tim yang turun ke lapangan tidak melakukan patroli dialogis di lapangan sesuai sprint 428 yang ditandatanganinya pada malam 26 Juli 2012 berdasarkan analis dan evaluasi (anev). Orang nomor satu di Polres OI itu juga mengaku tidak tahu jika telah terbagi dua tim patroli polisi pada 27 Juli itu. “Saya juga tidak mendapat laporan dari pimpinan tim di lapangan.

Setahu saya berdasarkan hasil anev malam 26 Juli, tim paginya pada 27 Juli melakukan patroli dialogis ke empat kecamatan yang sudah disepakati,tapi saya tidak tahu kalau tim pulang melewati Desa Limbang Jaya,”paparnya. Terungkap juga dalam persidangan bahwa Kapolres OI tidak melakukan kontrol pergerakan tim, dimana tiba-tiba tim 1 yang bertugas melakukan patroli dialogis bergabung dengan tim 2 di Desa Paryaman.

Padahal tim 2 sedang melakukan penggeledahan ke rumah salah satu warga yang diduga menyimpan 1 ton pupuk curian.Kemudian, rombongan kedua tim kembali menuju posko di Cinta Manis melintasi Desa Limbang Jaya. Dalam kesempatan itu, Irwasda Polda Sumsel Kombes Pol S Handoko menyayangkan mengapa Kapolres OI tidak memimpin langsung tim yang turun ke lapangan pada 27 Juli 2012.Padahal,jumlah personel saat itu cukup banyak, yaitu 338 orang, dengan di-back up tim pasukan Satuan Brimob Polda Sumsel.

”Saya hanya membandingkan pada waktu terjadi gesekan dengan warga pada 17 Juli di Desa Ketiau OI, di mana ada anggota Brimob yang terkena sabetan parang dan tusukan bambu. Kapolres OI ada di sana kan,tapi anggota saat itu,baik dari Brimob maupun Polres OI, tidak mengeluarkan tembakan sama sekali dan tidak ada korban dari warga sipil. Sedangkan, saat kejadian di Limbang Jaya, Kapolres tidak ada di lapangan, tapi ada korban dari warga sipil.

Jadi saya ambil hikmah di sini bahwa Kapolres sebagai penanggung jawab wilayahnya seharusnya tak boleh lepas kendali,” papar Kombes Pol S Handoko dalam persidangan. Sementara itu,Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Muhammad Zulkarnain menanyakan kepada Kapolres OI di mana saat kejadian berada. Kapolres menjelaskan,saat kejadian,dia berada di posko pengamanan di seputaran perusahaan PTPN VII Cinta Manis OI.

”Pagi 27 Juli saya berada di Kantor Polres OI untuk menjalankan tugas seperti biasa mengurus surat dan memantau anggota di kantor. Sekitar pukul 09.00 WIB, saya bergerak menuju posko di Cinta Manis. Sampai di posko sekitar pukul 10.00 WIB, saya bertemu Kepala Posko (Kaposko) Iptu Hermawansyah dan sehabis salat Jumat sekitar pukul 14.00 WIB, datang Kasat Intel yang melaporkan kepada saya kegiatan sudah selesai dan saya memerintahkannya membuat laporan anev kegiatan tadi, karena sore hari saya berencana mengurangi jumlah pasukan,” ungkap Kapolres di persidangan.

Selanjutnya, baru sekitar pukul 16.00 WIB,dia mendapat telepon dari Wakapolda Sumsel bahwa ada kejadian di Limbang Jaya. ”Saya langsung melakukan pengecekan dengan menelepon Wakapolres OI Kompol Awan Hariono dan Kaden Kompi C Brimob Kompol Barliansyah, tapi ponsel keduanya tak aktif.Kemudian, saya menelepon Kaden Brimob AKBP Mulyadi, tetapi AKBP Mulyadi mengaku tidak tahu ada kejadian itu karena sudah berada di Mes Cinta Manis,”paparnya.

Beberapa menit kemudian, dia mendapat telepon dari Kabag Ops Polres OI Kompol Riduan Simanjuntak,yang menginformasikan bahwa memang ada kejadian dan satu korban jiwa. “Kemudian, saya langsung mengajak AKBP Mulyadi dan pasukannya meluncur ke lokasi.Di perjalanan,saya mendapat telepon dari salah satu anggota DPRD OI bahwa korban tewas satu anak kecil sudah berada di Puskesmas Tanjung Batu OI,”katanya.

Karena kondisi mencekam di Limbang Jaya,kata Kapolres OI, dia dan anggotanya tertahan di Muara Simpang atau simpang perbatasan menuju Desa Limbang Jaya. ”Saya di sana bertemu Wakapolres OI dan Kabag Ops serta anggota saya lainnya. Sampai sekitar pukul 19.00 WIB kami berada di Simpang itu hingga akhirnya korban tewas dan terluka berhasil dibawa keluar dan dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk divisum dan mendapatkan perawatan intensif,”pungkasnya.

Sidang yang memakan waktu hampir enam jam itu juga menghadirkan tiga saksi baru, yaitu KBO Narkoba Polres OI Ipda Herman S, Kasubag Humas Polres OI Iptu Hermanwansyah yang juga menjabat sebagai kepala posko pengamanan Cinta Manis, dan Kaden Gegana Satuan Brimob Polda Sumsel AKBP Mulyadi. Saksi kepala posko Iptu Hermanwansyah mengatakan, bahwa sprint nomor 428 ditandatangani AKBP Deni Dharmapala seusai rapat anev yang dipimpin Kapolres OI sekitar pukul 21.00 WIB di posko Cinta Manis.

”Saya yang mengonsepnya sesuai arahan Kapolres dalam anev, setelah itu ditandatangani Kapolres dan sprint saya serahkan kepada Kabag Ops malam itu juga sekitar pukul 23.00 WIB di salah satu mes PTPV VII di Cinta Manis. Saya tidak tahu kapan Kabag Ops mendistribusikan sprint itu kepada perwira lainnya karena tugas saya hanya itu,”pungkasnya. Kaden Gegana Satuan Brimob Polda Sumsel AKBP Mulyadi mengakui, seusai mengikuti tim 1 pimpinan Kabag Ops, dia langsung membubarkan anggotanya dan kembali ke tempat istirahat di mes Cinta Manis.

”Saya tidak ada di lokasi Desa Limbang Ja-ya saat kejadian bentrok.Saya baru tahu ada bentrok dari Kapolres OI, lalu saya diajak Kapolres ke lokasi,” ungkap Mulyadi. Setelah mendengarkan keterangan saksi dan terperiksa Kapolres OI hingga pukul 15.25 WIB, pimpinan sidang Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Muhammad Zulkarnain menunda persidangan sampai besok pagi, dengan agenda mendengarkan pertanyaan JPU persidangan dan tuntutan JPU terhadap terperiksa Kapolres OI dalam kasus ini.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Independent Police Watch Ade Indra Chaniago menanggapi, lahirnya sprint Kapolres OI dinilai cukup aneh sehingga harus diusut apa yang menjadi motivasi dan maksud dikeluarkannya sprint tersebut.“Sebab, akibat sprint itu, dibentuk tim dan menjadi titik api tewasnya korban Angga dalam peristiwa tersebut. Jadi, apa motif semua itu?”tukasnya.

Di samping itu,Ade menilai, dalam persoalan tersebut,Polri seharusnya lebih sensitif menilik persoalan lahan yang terjadi. Ditambah, bentuk aksi massa yang dilancarkan seharusnya menjadi pertimbangan dan perhitungan langkah apa yang harus diambil.Sebab, akibat ketidaksensitifan itu menimbulkan konflik dan tewasnya bocah bernama Angga. “Apa motif dan siapa aktor intelektual dalam persoalan ini. Juga jangan sampai seolah Kapolda Sumsel Irjen Pol Dikdik MArief Mansyur bersih dalam persoalan ini,”pungkas dia

Sumber : seputar-indonesia.com
Selengkapnya...

Kamis, Agustus 30, 2012

Enam Perwira Polisi Disidang

POLDA – Kasus bentrokan antara warga Ogan Ilir (OI) dan polisi hingga akhirnya berujung penembakan yang diduga dilakukan oknum anggota Brimob, terus diusut Bidpropam Polda Sumsel. Hari ini (Rabu, 29 Agustus 2012), rencananya akan dilakukan sidang disiplin terhadap enam perwira polisi. Keenam perwira yang terkait sengketa lahan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis, Desa Ketiau,
Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten OI itu, akan disidang di ruang Catur Sakti Polda Sumsel. Persidangan akan dipimpin langsung Wakapolda Sumsel Brigjend Pol Drs M Zulkarnain. Bahkan, keenam perwira itu juga dianggap bertanggungjawab atas tertembak dan meninggalnya satu orang warga di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten OI.
Keenam perwira dimaksud yakni Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala Sik, Wakapolres OI Kompol Awan Hariono Sik, Kanit Brimob Polda Sumsel Kompol M Barly, Kasatreskrim Polres OI AKP Yuskar Effendi serta Kabagops dan Kasatintel Polres OI.
Kemarin (28/08), sekitar pukul 15.00 WIB, tampak Kapolres dan Wakapolres OI bersama beberapa anggotanya mendatangi ruang Subdit Paminal Bidpropam Polda Sumsel. Setelah itu, beberapa anggota Bidpropam Polda menggelar gladi resik di ruang Catur Sakti Polda Sumsel. Namun sayang orang nomor satu di Polres OI itu, saat ditanya kedatangannya ke Bidpropam Polda Sumsel enggan berkomentar.
‘’Ya benar besok (hari ini,red) rencananya akan digelar sidang disiplin kasus di Desa Limbang Jaya, OI. Rencananya pagi, sekitar pukul 09.00 WIB. Yang mimpin nanti Wakapolda Sumsel dan hasilnya akan langsung dilaporkan ke Kapolda Sumsel,” ungkap Pjs Kabidhumas Polda Sumsel AKBP R Djarod Padakova, Selasa (28/08) sore.
Selain itu, sambung Djarod, dirinya juga akan memberikan keterangan resmi kepada awak media, terkait hasil sidang disiplin tersebut. ‘’Nanti silakan tanya, kalau sidang sudah selesai, saya akan jawab semua,” tambahnya.
#10 Kordes Jalani Pemeriksaan
Sementara itu, terkait kasus pembakaran lahan perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis, juga ditindaklanjuti penyidik Satreskrim Polres OI. Selasa (28/08), ada 10 Koordinator Desa (Kordes) dari sejumlah kecamatan mulai diperiksa di Mapolres OI.
Kesepuluh Kordes yang dimintai keterangan itu, Wahab; Waliul Hadi; Asef (Desa Ketiau) Kecamatan Lubuk Keliat; Imron MD dan Airon (Desa Tanjung Atap) Kecamatan Tanjung Batu; Umar; Sukni; Imron dan Siswala (Desa Lubuk Keliat) serta Hendra (Desa Betung Kecamatan Lubuk Keliat). Namun sejauh ini kehadiran kesepuluh warga yang didampingi tim kuasa hukumnya itu diperiksa sebagai saksi.
Kapolres Ogan Ilir (OI), melalui Kasat Reskrim AKP Yuskar Efendi mengakui, bila keberadaan kesepuluh kordes yang diperiksa tersebut masih sebagai saksi, terkait aksi pembakaran lahan perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis di Desa Betung I, Kecamatan Lubuk Keliat, 17 Juli lalu oleh sekelompok massa.
“Mereka dipanggil secara patut sesuai surat undangan untuk dimintai keterangan. Bahkan surat panggilan itu merupakan kali kedua, karena sebelumnya pernah dipanggil. Alasan mereka menunggu didampingi penasehat hukum yang telah ditunjuk warga lainnya,” ujar Yuskar.
Sementara tim advokasi warga yang dipimpin Mualimin SH ini mengakui, ada sepuluh kliennya yang rata-rata kordes di sejumlah kecamatan di Kabupaten OI, sedang dimintai keterangan, terkait kerusuhan yang disertai pembakaran lahan perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis tersebut. “Sebetulnya ada 11 kordes yang dipanggil itu, namun ada satu orang yang tanpa koordinasi telah memenuhi panggilan petugas,” kata Mualimin.
Mualimin menyebutkan, ada enam pengacara juga ikut tergabung dalam tim advokasi hukum pembelaan kordes ini, Yopie Bharata SH, Tommy Indriady SH, Andry Meliansyah SH, Wahyu Hidayat SH dan Nora Herliyanti SH. “Kita berenam ini tidak hanya mendampingi pemeriksaan para kordes, tapi juga turut mengawal dan melakukan pembelaan terhadap 9 warga lainnya yang ditangkap petugas membawa senjata tajam saat kerusuhan itu,” ujar Mualimin.
Kemudian Mualimin juga menambahkan, bila tim advokasinya juga turut melaporkan oknum Brimob Polda Sumsel yang telah melakukan penembakan terhadap warga Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, sehingga ada korban tewas dan luka-luka. “Memang oknum Brimob Polda Sumsel yang terlibat itu sudah dilakukan sidang disiplin oleh internalnya. Namun kita harapkan mereka juga sidang pidana umum,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, ratusan anggota Brimob Polda Sumsel serta petugas kepolisian melakukan sweepping dan patroli ke Desa Tanjung Pinang dan Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten OI, Jumat (27/07), sekitar pukul 16.00 WIB. Dengan menggunakan sekitar 18 kendaraan, ratusan anggota bersenjata lengkap menyisiri setiap lorong di Desa Limbang Jaya, yang diduga mencari provokator dan penjarah pupuk PTPN VII Cinta Manis, yang hilang saat bentrok
Selasa (17/07).
Rupanya kehadiran anggota Brimob yang bersenjata lengkap itu menjadi perhatian warga sekitar. Bahkan melihat muka beringas anggota Brimob itu, membuat masyarakat kurang senang, sehingga mencoba melakukan perlawanan. Buntutnya, terjadilah bentrok yang menewaskan satu korban bernama Angga Prima (12), dan empat warga Limbang Jaya lainnya mengalami luka tembak.

Sumber : Palembang post
Selengkapnya...

Perwira Polisi Disidang disiplin

PALEMBANG - Sidang disiplin yang menghadirkan terperiksa Kapolres Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Dharmapala, langsung dipimpin Wakapolda Sumsel Brigjen Pol M Zulkarnain didampingi dua hakim anggota Kombes Pol S Handoko dan AKBP M Nasir MS. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Bid Propam AKBP Nuryanto, kemarin (29/8), sekitar pukul 10.00 WIB, di ruang Catur Cakti Anton Sudjarwo Polda Sumsel. Agenda sidang disiplin kemarin mendengarkan keterangan tiga saksi.
Dalam persidangan tersebut terungkap beberapa fakta di lapangan saat terjadi bentrok berdarah antara polisi dan warga di Desa Limbang Jawa, Kabupaten OI. Dari keterangan saksi, terdapat dua sprint yang sama, dengan nomor yang sama. Hal inilah yang menjadi perhatian dalam persidangan itu. Dalam sprint itu juga didapati perintah untuk membuat dua tim mengatasi gejolak yang terjadi di kawasan akibat dari bentrok di Desa Limbang Jaya pada 27 Juli lalu.
Saksi yang dihadirkan dalam persidangan tersebut adalah ketua tim saat terjadinya bentrok antara polisi dan warga di Desa Limbang Jaya, Wakapolres OI Kompol Awan Hariono, Kabag Ops Kompol Ridwan Simanjuntak, dan Kasat Intel OI AKP Agus Slamet. Dalam persidangan itu, ketiga saksi habis dicecar majelis hakim maupun dari JPU terkait prosedur yang dijalankan Kapolres dalam menangani kasus Limbang Jaya.
Di persidangan itu terungkap juga dari  keterangan saksi satu, yaitu Wakapolres OI Kompol  Awan Hariono bahwa Desa Limbang Jaya bukan target patroli dialogis dan penindakan dari anggotanya. “Setelah tim satu Kabag Ops dan tim dua yang saya pimpim bertemu di Desa Pariyaman dan bergerak hendak pulang, kami melintas di Desa Limbang Jaya,” ungkap Awan Hariono di hadapan Wakapolda Sumsel selaku ketua majelis Sidang Disiplin.
Ia juga mengakui saat rombongannya melintas, rangkaian mobil polisi yang di belakang yaitu truk dalmas dan Brimob diserang warga. “Saat itu posisi saya sudah di depan atau tidak berada di Desa Limbang Jaya. Tiba-tiba Kabag Ops menelepon saya dan mengatakan bahwa rangkaian mobil di belakang ada masalah dengan warga di Desa Limbang Jaya,” terangnya.
Merasa situasi tidak memungkinkan, selanjutnya Kompol Awan Hariono menghubungi Kaden Brimob yang ada di rangkaian belakang. Hal yang sama dikatakan Kaden Brimob Polda Sumsel Kompol Barliansyah bahwa rombogannya juga ada masalah. “Saya langsung utus sejumlah anggota saya dipimpin seorang perwira pertama berpangkat ipda mengecek ke ke belakang. Saya baru datang ke TKP setelah kondisi bentrok berakhir, alasan saya tidak kembali ke belakang karena sudah ada anggota lain di sana,” jelasnya.
Keterangan berbeda disampaikan Kabag Ops Polres OI Kompol Riduan Simanjuntak, yang mengaku saat terjadi bentrok kembali ke belakang. “Saya melihat sudah ada korban dan warga mengamuk,” katanya.
Ketua sidang Disiplin Wakapolda Sumsel, Brigjen Pol M Zulkarnain, mengatakan, sidang akan ditunda hari ini (30/8) karena waktu sudah sore. ”Kita tak tahu kapan selesai putusannya. Karena sekarang masih berjalan. Yang jelas dalam sidang ini kita mencari fakta yang mendekati kebenaran,” ujar Zulkarnain.
Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala saat ditemui seusai persidangan mengatakan, saksi-saksi diperiksa dan diminta keterangannya untuk mencari fakta yang sebenarnya terjadi pada saat kejadian. ”Ya, biasa itu dalam proses pemeriksaan saksi di persidangan. Kita kan mencari fakta-fakta yang sebenarnya yang terjadi terkait kasus yang terjadi pada beberapa bulan yang lalu,” cetusnya.
Mengenai ada dua sprint yang sama, Deni mengaku tidak ada masalah. “Memang ada keluar dua sprint, itu kan sama saja. Sebelumnya itu dilakukan revisi, itukan nomornya sama, dan juga di hari yang sama, jadi tidak ada dua sprint saat itu. Dan juga setiap paginya yang melakukan pengecekan pasukan dan juga peralatan itu dilakukan oleh ketua kelompok masing-masing, tidak mesti saya,” tambahnya.
Mengenai tindakan yang akan ditempuhnya di akhir persidangan nantinya, Deni hanya mengatakan belum akan mengambil langkah apapun. ”Ini kan baru pemeriksaan saksi. Memang saya dengar pasal yang akan dikenakan adalah Pasal 4 huruf d, PP No/2003 mengenai tanggung jawab tugas kepada bawahan. Ini kan ada mekanisme persidangan, diterima putusannya, atau  mikir-mikir dulu, atau ditolak, itu nanti bisa kita manfaatkan,” pungkasnya.
Selengkapnya...

Sprin Kapolres OI Dipersoalkan-Sidang Disiplin Kasus Penembakan Warga Limbang Jaya

Kepala Polres Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Dharmapala (kanan belakang) menjalani sidang disiplin yang dipimpin Wakapolda Sumsel Brigjen Pol M Zulkarnain, terkait kasus penembakan yang menewaskan warga Desa Limbang Jaya, OI, di Ruang Catur Cakti Mapolda Sumsel, kemarin. Dalam sidang tersebut, majelis hakim mempersoalkan sprin Kapolres OI yang direvisi.
PALEMBANG– Surat Perintah (Sprin) Kepala Polres Ogan Ilir (OI) Nomor 428 tentang kegiatan patroli dan diologis personel Polres, disoal majelis hakim persidangan disiplin, kemarin. Menurut rencana, sidang yang dipimpin langsung Waka Polda Sumsel Brigjen Pol M Zulkarnain di ruang Catur Cakti Gedung Anton Sudjarwo, Mapolda Sumsel ini,awalnya atas perintah Pjs Kabid Humas Polda Sumsel AKBP R Djadrod Padakova berlangsung tertutup.
Namun, entah mengapa tiba-tiba saat sidang baru dibuka beberapa menit, pimpinan sidang memperbolehkan wartawan media cetak dan elektronik meliput dari tempat yang telah ditentukan. Dalam persidangan kemarin, tampak jelas pimpinan sidang Brigjen Pol M Zulkarnain bersama pendamping sidang Irwasda Polda Sumsel Kombes Pol S Handoko serta JPU AKBP Nuryanto mencecar pertanyaan kepada Kabag Ops Polres OI Kompol Riduan Simanjuntak, soal siapa yang memerintahkan melakukan revisi sprin Kapolres OI tersebut.
Majelis hakim juga memertanyakan tugas dan fungsi Kabag Ops, terutama siapa yang memerintahkan membentuk dua tim dari anggota Polres OI. Dengan wajah tegang, Kabag Ops Kompol Riduan mengatakan, Kepala Polres OI AKBP Deni Dharmapala yang memerintahkan membentuk tim sebelum kejadian penembakan, persisnya pada Kamis (26/7) malam. Tim ini, kata Riduan, dibentuk sesuai hasil analisis evaluasi (anev) kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), pasca pembakaran aset dan pencurian pupuk milik perusahaan tebu PTPN VII,Cinta Manis.
”Paginya (pagi sebelum kejadian), saya datang ke posko sekitar pukul 08.30 WIB. Di sana sudah berkumpul duluan tim dari Brimob Polda Sumsel dipimpin Kasubdit Gegana AKBP Mulyadi” “Brimob juga ternyata sudah membagi dua tim untuk melakukan patroli dan dialogis, sementara kami (Polres OI) belum. Lalu, saya membentuk dua tim juga, sebagaimana arahan AKBP Mulyadi. Karena anggota (Polres OI) waktu itu banyak datang terlambat, jadi yang datang langsung masuk ke tim I atau II,”ungkap Riduan.
Mengenai adanya dua sprin Kapolres dengan nomor sama namun ada revisi, perwira dengan melati satu di pundak ini membenarkannya. Menurut dia, yang merevisi sprin tersebut bukan dirinya, tapi anggota bintara polisi di posko Cinta Manis.”Yang jelas, saat terjadi bentrok awal, saya sudah melewati Desa Limbang Jaya, dan saya tak bersama anggota tim I (yang dipimpin Waka Polres OI Kompol Awan Hariono),”kilahnya.
Sementara Waka Polres OI Kompol Awan Hariono mengatakan, tempat kejadian penembakan, yakni Desa Limbang Jaya,Kabupaten Ogan Ilir (OI), sebenarnya bukan target operasi (TO) penindakan dan patroli diologis tim dari Polres OI. “Dalam rapat itu (malam sebelum hari kejadian), Kapolres (OI) mengarahkan kepada anggota yang hadir di rapat anev,agar melaksanakan patroli dialogis dan penegakan hukum di empat kecamatan.
Namun, dalam rapat anev itu, Kapolres tidak menyebutkan Desa Limbang Jaya sebagai target operasi (TO) penindakan dan pembentukan tim,” paparnya. Masih menurut Awan, keesokan paginya (pagi kejadian/ Jumat,27/7) sekitar pukul 08.30 WIB, berdasarkan sprin Kapolres OI Nomor 428, kegiatan patroli diologis dilaksanakan di tiga desa. ”Kami berkumpul semua di posko di Cinta Manis. Saya bertindak sebagai Ketua tim II dan tim I dikomandoi Kabag Ops,”jelas dia. Saat bergerak dari posko, tim lalu berpencar.
Tim penindakan di bawah Kompol Awan Hariono melakukan penyelidikan kasus pencurian pupuk di tiga desa, yakni Desa Sri Kembang, Sri Tanjung, dan Sri Bandung. Sedangkan tim kedua yang dipimpin Kabag Ops Kompol Riduan Simanjuntak bergerak ke desa lain untuk melakukan patroli dialogis. ”Saat kami (tim I) mendapatkan informasi dari tersangka pencurian yang diamankan terlebih dahulu oleh anggota Satuan Reskrim Polres OI, bahwa barang curian 1 ton pupuk bersama tersangkanya ada di Desa Paryaman, kami langsung bergerak menuju ke sana.
Namun, saat dilakukan pemeriksaan ternyata barang bukti pupuk itu tidak ada,”katanya. Dari Desa Paryaman itulah, rombongan tim I dan II, terdiri dari 15 kendaraan dengan posisi konvoi hendak kembali ke posko di Cinta Manis dan melewati Desa Limbang Jaya. Setelah rombongan Tim I di depan atau sudah melewati Desa Limbang Jaya, tiba-tiba Kompol Awan Hariono mendapat telepon dari Kabag Ops Kompol Riduan Simanjuntak, bahwa rangkaian mobil belakang yang terdiri dari mobil dalmas dan brimob mendapat masalah.
“Saya langsung memerintahkan anggota saya untuk mengecek ke belakang. Setelah itu, saya mendapat laporan kembali dari Kaden Brimob Kompol Barlinsyah, yang ada di belakang, bahwa pasukannya diserang warga menggunakan parang dan lemparan batu.Saya juga dapat kabar lagi dari anggota, bahwa ada korban. Setelah itu, barulah saya bersama anggota saya kembali ke Desa Limbang Jaya,” tutur Awan panjang lebar.
Sedangkan Kasat Intel Polres OI AKP Agus Slamet yang kemarin turut dihadirkan, lebih banyak dimintai kesaksiannya soal kerja Satuan Intel Polres OI sebelum kejadian, apakah pernah melaporkan kepada Kapolres OI, bahwa situasi di Limbang Jaya rawan konflik. Namun, lanjut dia, kendati tak ada laporan soal kerawanan di Desa Limbang Jaya,tapi desa ini juga termasuk dari 17 desa yang menjadi prioritas pengawasan kamtibmas anggotanya di lapangan.
”Pascakejadian pembakaran dan pencurian di Cinta Manis, saya secara lisan maupun SMS selalu melaporkan hasil pantauan anggota di lapangan kepada Kapolres OI, atau dalam rapat anev setiap malam kami lakukan. Memang, sehari sebelum kejadian tidak ada laporan yang saya terima dari anggota saya, bahwa akan ada penyerangan warga terhadap polisi yang lewat,” ujarnya.
Setelah mendengar keterangan saksi-saksi, selanjutnya Ketua Majelis Sidang Disiplin Brigjen Pol M Zulkarnain menunda putusan sidang disiplin,dengan terperiksa Kapolres Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Dharmapala. Sidang sendiri akan kembali dilanjutkan hari ini. ”Yang jelas, dalam sidang ini kita mencari fakta yang mendekati kebenaran. Kalau mau benar 100% saya kira hanya tuhan yang tahu,” ujar Zulkarnain seusai sidang.
Terpisah, Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala seusai sidang mengatakan, ia akan mengikuti persidangan sesuai prosedur berlaku, sebagai terperiksa. Pimpinan sidang ingin mengungkap fakta yang terjadi di lapangan, dengan meminta keterangan para saksi. “Apa yang disangkakan JPU kepada saya selaku terperiksa dalam sidang disiplin sesuai pasal 4d dan h,mengenai pelaksanaan tugas dan sebagai pembimbing, saya dalam hal ini sebagai Kapolres OI, apapun putusannya saya akan meminta saran dari pendamping (pendamping di sidang) saya nanti,”ungkap Deni singkat.

sumber: www.indralayaradio.com
Selengkapnya...

Enam Perwira Diadili dalam Kasus Ogan Ilir

PALEMBANG - Enam perwira yang diduga kuat bertanggung jawab dalam kasus penembakan warga Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir (OI), diadili dalam sidang disiplin Rabu (29/8).
Sidang ini berlangsung tertutup di Ruang Catur Cakti Polda Sumsel. Enam perwira yang disidang adalah Kepala Polres OI AKBP Deni Dharmapala,Wakapolres Kompol Awan Hariyono, Kasat Reskrim, Kabag Ops, Kasat Intel, dan Kanit Brimob Daerah Sumsel Barly.
Wakapolda Sumsel Brigjen Muhammad Zulkarnain akan memimpin sidang disiplin di Ruang Catur Cakti Anton Sudjarwo, Polda Sumsel, Rabu ini.
“Sidangnya tertutup untuk umum dan wartawan. Yang memimpin Wakapolda Sumsel dan hasilnya langsung dilaporkan ke Kapolda Sumsel,” ujar Pjs Kabid Humas Polda Sumsel AKBP R Djarod Padakova.
Seusai sidang, dia akan memberikan keterangan resmi kepada wartawan terkait hasil sidang disiplin tersebut. “Nanti silakan tanya kalau sidang sudah selesai. Saya akan jawab semua,” ujarnya.
Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala bersama Wakapolres Kompol Awan Hariyono dan beberapa anggota Polres OI Selasa sore mendatangi ruang Subdit Paminal Bidang Propam Polda Sumsel.
Sebelumnya Kapolda Sumsel Irjen Dikdik Mulyana Arief Mansyur menyampaikan, dari sisi tanggung jawab manajemen dan dari hasil pemeriksaan bidang Propam, pihaknya sudah menemukan enam orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus penembakan yang menewaskan satu warga Limbang Jaya, Kabupaten OI itu.
“Keenam orang itu semuanya perwira,” ungkap mantan Wakabareskrim Mabes Polri ini.
Disinggung sanksi apa saja yang akan diberikan kepada keenam perwira itu, Dikdik enggan menjelaskan lebih lanjut. “Nanti ada proses sidang disiplinnya. Baru nanti diketahui kesalahan apa saja yang mereka perbuat saat itu,” ujarnya.
Lebih dari 100 polisi di tempat kejadian peristiwa bentrok yang menyebabkan tewasnya Angga Prima (12), warga Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten OI, diperiksa tim Bidang Propam Polda Sumsel dan penyidik Ditreskrimum Polda Sumsel.
Setelah melakukan investigasi,, Komnas HAM akhirnya menyimpulkan ada lima pihak yang harus bertanggung jawab, yakni Bupati OI, Kapolres OI, Wakapolres OI, komandan/atasan polisi di lapangan, dan Wakapolda Sumsel.
Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Nur Kholis, Bupati OI diduga bertanggung jawab karena tidak mengambil tindakan yang efektif dalam penyelesaian sengketa lahan. Kapolres OI yang bertindak sebagai penanggung jawab kegiatan patroli diduga bertanggung jawab dalam kegiatan patroli yang tidak terkoordinasi dengan baik.
Lalu, Wakapolres OI diduga bertanggung jawab sebagai komandan lapangan sehingga terjadinya peristiwa kekerasan, serta tidak melakukan pencegahan yang efektif guna menghindari jatuhnya korban jiwa yang meninggal dunia maupun yang luka-luka.
Selain itu, menurut Nur Kholis, para komandan/atasan kepolisian yang tidak melakukan pencegahan bahkan melakukan pembiaran terhadap anak buahnya yang melakukan kekerasan dan pembiaran terhadap korban luka juga harus bertanggung jawab.
“Termasuk Wakapolda Sumatera Selatan, diduga bertanggung jawab secara umum sehubungan dengan terjadinya peristiwa kekerasan di Desa Limbang Jaya,” papar mantan direktur LBH Palembang ini.
Diungkapkan Nur Kholis, rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dan telah ditandatangani oleh Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim itu dibagi dalam lima ranah, yakni ranah pemerintah pusat, Polri, Bupati OI, korporasi, dan ranah masyarakat.
Komnas HAM juga mengeluarkan rekomendasi bagi pihak korporasi. Perusahaan-perusahaan perkebunan perlu menerapkan the Voluntary Principles on Security and Human Rights.
Lalu perusahaan-perusahaan perkebunan harus menerapkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor A/HRC//8/5 tentang Guiding Principles for the Implementation of the Protect, Respect and Remedy Framework.
Selain itu mendesak pihak PTPN VII Unit Cinta Manis untuk mengedepankan dialog dan musyawarah dalam penyelesaian sengketa lahan dengan warga. Sementara bagi masyarakat diharapkan mengedepankan pendekatan dialogis dalam penyelesaian setiap permasalahan yang ada dan menghindari tindakan yang bersifat anarkis.
Selengkapnya...

Rabu, Agustus 29, 2012

Kapolres OI jalani sidang disiplin

Sindonews.com - Kapolres Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Darmaphala menjalani sidang disiplin kasus bentrok polisi dan warga di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), pada 27 Juli 2012 lalu.

Sidang dipimpin langsung Ketua majelis Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Muhammad Zulkarnain, didampingi Irswada Polda Sumsel Kombes Pol H Sukamto Pol, dan Sekretaris sidang AKBP Toat Ahmad di ruang Catur Cakti Anton Sujadjarwo.

Deni Darmaphala tampak hadir bersama ketiga saksi yang dihadirkan dalam persidangan perdana itu yaitu, Wakapolres OI Kompol Awan Hariono, Kabag Ops Polres OI Kompol Riduan Simanjuntak, dan Kasat Intel AKP Agus Slamet.

Di persidangan berdasarkan keterangan saksi Wakapolres OI Awan Hariono, terungkap jelas Desa Limbang Jaya bukan target patroli dialogis dan penindakan.

"Setelah tim satu Kabag Ops dan tim dua yang saya pimpim bertemu di Desa Pariyaman dan bergerak hendak pulang, kami melintas di Desa Limbang Jaya," ungkap Awan Hariono di depan Ketua mejelis sidang Displin, Rabu (29/8/2012).

Saat melintas itulah rangkaian mobil polisi yang di belakang, yaitu truk dalmas dan Brimob diserang warga.

"Saat itu posisi saya sudah di depan atau tidak berada di Desa Limbang Jaya. Tiba-tiba Kabag Ops menelepon saya dan mengatakan, bahwa rangkaian mobil di belakang ada masalah dengan warga di Desa Limbang Jaya," katanya.

Selanjutnya dia menghubungi Kaden Brimob, yang ada di rangkaian belakang dan hal yang sama dikatakan Kaden Brimob Polda Sumsel Kompol Barlin ada masalah.

"Saya langsung utus sejumlah anggota saya, dipimpin seorang perwira pertama berpangkat Ipda mengecek ke kebelakang. Saya baru datang ke TKP, setelah kondisi bentrok berakhir. Alasan saya tidak kembali kebelakang, karena sudah ada anggota lain di sana," kilahnya.

Berbeda dengan keterangan Kabag Ops Polres OI, Kompol Riduan Simanjuntak saat terjadi bentrok dia kembali ke belakang. "Saya melihat sudah ada korban dan warga mengamuk," katanya.
Selengkapnya...

Sidang Disiplin Enam Perwira Tertutup

PALEMBANG– Sidang disiplin enam perwira yang diduga kuat bertanggung jawab dalam kasus penembakan warga Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir (OI), bakal berlangsung tertutup.

Enam perwira yang disidang adalah Kepala Polres OI AKBP Deni Dharmapala,Waka Polres Kompol Awan Hariyono, Kasat Reskrim, Kabag Ops, Kasat Intel,dan Kanit Brimob Daerah Sumsel Barly. Rencananya Waka Polda Sumsel Brigjen Pol Muhammad Zulkarnain akan memimpin sidang disiplin di Ruang Catur Cakti Anton Sudjarwo, Polda Sumsel, hari ini.

“Memang benar besok ada sidang disiplin kasus di Desa Limbang Jaya,OI.Rencananya pagi, sekitar pukul 09.00 WIB. Tapi,sidangnya tertutup untuk umum dan wartawan. Yang memimpin nanti Wakapolda Sumsel dan hasilnya langsung dilaporkan ke Kapolda Sumsel,” ungkap Pjs Kabid Humas Polda Sumsel AKBP R Djarod Padakova kepada SINDO kemarin.

Nantinya,sambung perwira dengan melati dua di pundak ini, seusai sidang, dia akan memberikan keterangan resmi kepada wartawan terkait hasil sidang disiplin tersebut. ”Nanti silakan tanya kalau sidang sudah selesai.Saya akan jawab semua,”katanya. Sementara itu, dari pantauan SINDO di Polda Sumsel kemarin, sekitar pukul 15.15 WIB, tampak Kapolres OI AKBP Deni Dharmapala bersama Wakapolres Kompol Awan Hariyono dan beberapa anggota Polres OI mendatangi ruang Subdit Paminal Bidang Propam Polda Sumsel.

Namun sayang, orang nomor satu di Polres OI itu enggan berkomentar saat ditanya tujuan kedatangannya ke Bidang Propam Polda Sumsel.Bahkan, ajudannya meminta wartawan tidak kembali mengejar atau bertanya kepada Kapolres OI, dengan alasan tak jelas. Kendati tak mendapat keterangan dari Kapolres OI, SINDO sempat melihat sejumlah petugas Bidang Propam Polda Sumsel memantau ruangan yang akan dijadikan tempat sidang disiplin enam perwira itu.

”Ya besok pagi sidangnya, bukan sore ini (kemarin),”ungkap salah satu petugas kebersihan di Ruang Catur Cakti Polda Sumsel yang meminta namanya tidak disebutkan. Sebelumnya, kepada wartawan, Kapolda Sumsel Irjen Pol Dikdik Mulyana Arief Mansyur menyampaikan, dari sisi tanggung jawab manajemen dan dari hasil pemeriksaan Bidang Propam, pihaknya sudah menemukan enam orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus penembakan yang menewaskan satu warga Limbang Jaya,Kabupaten OI.

”Keenam orang itu semuanya perwira.Tapi, saya belum bisa membukanya sekarang, nanti setelah digelar sidang disiplinnya akan diketahui dan pada saatnya nanti akan kita buka,” ungkap mantan Wakabareskrim Mabes Polri ini. Disinggung sanksi apa saja yang akan diberikan kepada keenam perwira itu, Dikdik enggan menjelaskan lebih lanjut. ”Nanti ada proses sidang disiplinnya. Baru nanti kita ketahui kesalahan apa saja yang mereka perbuat saat itu,” ujarnya.

Ditanya apakah Kapolres OI bakal dicopot, Dikdik menjelaskan, hal itu nanti bagian dari tindakan administrasi dalam persidangan, sehingga keputusannya pun harus menunggu hasil dari sidang disiplin.
Selengkapnya...

Senin, Agustus 13, 2012

Limbang Jaya tragedy and the shortcut approach

Donny Syofyan, Padang
The writer is a lecturer at the School of Cultural Sciences at Andalas University

During a land dispute between residents and state-owned plantation company PTPN VII Cinta Manis in Limbang Jaya, South Sumatra, the police’s Mobile Brigade (Brimob) fired into the crowd, resulting in the death of a 12-year-old boy, Angga bin Darmawan, and several injuries.

Yarman bin Karuman, 47, a blacksmith, was injured in the arm and back. The third victim was Farida binti Juni, 48, a housewife, who was injured in the left arm.

The deadly shooting is one among several in land-related conflicts between local residents and companies across the archipelago. It is not the first time that a land dispute involving police officers or soldiers have turned deadly.

The death of the boy in Limbang Jaya demonstrates that the police’s attitude in handling land disputes is deteriorating, suggesting a failed shortcut approach. Such an approach is unsurprising, since the police are easily controlled by the companies that exercise control over land.

The police’s commitment to the public is nonexistent when dealing with a company’s interests. The police repeatedly place themselves in an inferior position to both state and private capitalists, making them the protectors of companies instead of people. The latest shooting was just one example of violence by police officers and military personnel, who frequently moonlight as security guards.

Frankly speaking, the police’s bargaining power against the state-owned plantation company will remain low as long as the security institution accepts unilateral reports issued by the company over people’s real complaints.

As a consequence, the police are subject to exploitation and control. No less alarming is that the police unknowingly place and treat PTPN VII Cinta Manis as an untouchable party vis-à-vis the marginalized residents.

In addition, the police’s shortcut approach indicates that they have ignored all previous criticism regarding their brutal attacks against residents, as widely seen in cases such as a protest against gold prospecting in West Nusa Tenggara’s Bima district, and security forces killing residents of Mesuji district in Lampung while attempting to evict them.

Previous massacres, on the one side, should have been a wake-up call to the police and prevented them from walking the same path or from falling into the same hole over and over again.

Moreover, the preceding tragedies should have been a lesson for the police that their pro-capitalist attitude would simply perpetuate public opposition and resistance to them as an institution.

Going a bit deeper, repeated land disputes between residents and plantation companies cannot be separated from the loss of the cultural approach involving parties entangled in land disputes.

It is saddening that both the police and the plantation company have ignored the necessary cultural approach in settling land disputes: While the police force is prone to the security approach owing to its quick and clear-cut procedure, the plantation company no doubt rests on cost-benefit considerations for its own sake.

A proper cultural approach would never prevail in the absence of a win-win and equal dialogical mechanism, putting the interests of the people in a corner. It is very poor form that the existing dialogue is more of a superficial courtesy and negotiating arena for the company’s benefit. Under such circumstances, local residents have become victimized beings, while the plantation company stands as the decision-maker.

What is urgently needed is a whole-hearted cultural approach that respects local residents as working and dialogue partners. Paradoxically speaking, there is a deep-rooted misinterpretation among large corporations — state and private — that respecting local residents is limited to corporate social responsibility (CSR), whereas in fact CSR should be based on and bolstered by continued partnership between local residents and the company.

The local community no longer has a sense of belonging to the plantation land, since the company makes an effort to get close to them at specific times only.

The cultural approach should also take local wisdom into account, such as respect for traditional property, figures and land in an attempt to settle land disputes.

It is too bad that many companies put too much emphasis on modern management of local residents which, in turn, creates a yawning gap between the two groups.

It is often the case that local wisdom plays a better role in shaping shared understanding and mutual benefit for local people and plantation companies.

Meanwhile, it is clear that the government has failed to realize that all the disputes are a reaction by local residents to the policies of former president Soeharto, who forcefully took their land without compensation in the name of economic development. That is why they feel that the land still belongs to them.

Hence, any efforts to solve the cases fairly necessitate the government considering people’s right to the land, not just blaming them for claiming the right. Such disputes would not occur if the government allowed villagers to continue using land that was under dispute while the companies would still maintain ownership rights.

Sumber : Jakarta Post Selengkapnya...

Jumat, Agustus 10, 2012

WALHI Sumsel: PTPN Ingkar Janji


KBR68H, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyesalkan penanaman tebu baru oleh PTPN VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan di lahan sengketa antara perusahaan tersebut dengan warga.

Aktivis Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengatakan, penanaman tebu di lahan sengketa sudah dilakukan di sejumlah desa seperti Sri Bandung, Betung, Sunor, dan Ketiau selama beberapa hari belakangan dengan pengawalan brimob.

"Jadi janji mereka bahwa akan melakukan pengukuran ulang terhadap lahan yang disengketakan atau lahan PTPNVII sampai saat ini kita belum melihat kemajuan dari statement mereka. Kami melihat bahwa sepertinya pemerintah kabupaten dan provinsi menggunakan standar ganda. Misalnya di satu sisi mereka menyatakan bahwa lahan di luar HGU itu adalah status quo dan nanti akan dipetakan kembali, di sisi lain mereka tetap membiarkan pasukan brimob ataupun aktivitas penanaman oleh PTPN VII dibiarkan oleh mereka."ujar Hadi Jatmiko.

Konflik lahan antara PTPN VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan warga sudah berlangsung sejak tahun 1982. Warga menuntut lahan mereka yang dikuasai oleh perusahaan. Dari sekitar 20 ribu hektar luas lahan yang dikelola perusahaan hanya sekitar 6500 hektar yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Pada 27 Juli lalu terjadi bentrok antara warga dengan brimob yang mengakibatkan seorang anak tewas.
Selengkapnya...

Pascapenembakan, Penyelesaian Sengketa Mandeg

PALEMBANG, KOMPAS.com- Penyelesaian sengketa lahan PTPN VII Cinta Manis yang dituntut masyarakat dari 21 desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, terhenti sejak penembakan oleh anggota Brigade Mobil Kepolisian di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, dua pekan lalu. Masyarakat belum berani mengajukan tuntutan mereka kembali.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) Anwar Sadat mengatakan, saat ini warga tak bebas menyelenggarakan pertemuan untuk membahas tuntutan lahan tersebut. "Setiap kali ada pertemuan, ada polisi datang. Meski baik-baik caranya, tapi warga tetap takut," katanya di Palembang, Sumsel, Kamis (9/8/2012).

Pada peristiwa penembakan di Limbang Jaya, satu korban bernama  Angga bin Darmawan (12) tewas diduga karena tertembak. Empat korban terluka dirawat di rumah sakit. Keluarga Angga sendiri mengaku tak ikut menuntut lahan.

Saat ini pihak PTPN VII Cinta Manis telah beroperasi secara penuh. Penggarapan lahan berlangsung di seluruh lokasi dengan kawalan pihak kepolisian. Sebagian lahan sempat tak ditanami karena sengketa lahan dengan kelompok masyarakat yang menamakan diri Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB). Warga yang tergabung di GPPB mengajukan tuntutan terhadap 15.000 hektar lahan PTPN VII Cinta Manis. Mereka mengatakan lahan tersebut dulunya diambil-alih secara paksa pada zaman Orde Baru sekitar 1982.
Selengkapnya...

Minggu, Agustus 05, 2012

PTPN Punya Swasta?


PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dinilai meninggalkan misinya sebagai perusahaan negara yang berorientasi mensejahterakan rakyat. Luas lahan yang menjadi sengketa PTPN dengan warga mencapai 377.159 hektare.

Aksi ribuan Petani GPPB di Depan POLDA sumsel, tuntut 12 petani yang ditangkap untuk dilepaskan
 

VHRmedia, Jakarta– Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat terjadi 115 kasus konflik agraria hingga Juli 2012. Luas lahan yang disengketakan dengan warga mencapai 377.159 hektare.
Menurut Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Idham Arsyad, konflik lahan biasanya melibatkan warga dengan perusahaan perkebunan swasta dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Hampir seluruh PTPN pernah terlibat konflik lahan dengan warga.
Idham Arsyad mengatakan, PTPN sudah meninggalkan misinya sebagai perusahaan negara yang diorientasikan untuk mensejahterakan rakyat. Orientasi bisnis saat ini lebih dikedepankan.
”Di Ogan Ilir Sumsel, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan. Sebagian terkait dengan perkebunan tebu seperti di Ogan Ilir, Jember, dan Takalar Sulawesi Selatan,” kata Idham Arsyad, Selasa (31/7).
Menurut Idham, setelah berlaku UU Pokok Agraria orientasi kebijakan pertanahan seharusnya untuk kemakmuran rakyat. Penguasaan atas tanah seharusnya diprioritaskan untuk kepentingan rakyat melalui koperasi dan perusaan milik negara. ”Tapi semua serba terbalik hari ini. Penguasa tanah adalah swasta dan PTPN juga bertindak seperti perusahaan swasta,” ujarnya.
Pada pemerintahan Orde Baru, banyak tanah rakyat yang dirampas PTPN tanpa ganti rugi. Rakyat tidak berani melawan karena dapat dianggap antipembangunan atau simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Mayoritas PTPN menguasai lahan melebihi izin hak guna usaha. PTPN VII Ogan Ilir yang mengelola unit Pabrik Gula Cinta Manis misalnya, menguasai 20 ribu hektare lahan. Sekitar 13.500 diantaranya tidak memiliki hak guna usaha. ”Menteri BUMN malah dengan sombongnya mengatakan bahwa itu aset negara yang wajib dipertahankan,” kata Idham.
Sepanjang 2011 konflik pertanahan mencapai 163 kasus. Sebanyak 3 orang tewas, 15 orang luka tembak, dan 35 orang ditahan akibat konflik lahan. (E1)

Sumber : http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5823 Selengkapnya...

Polri Dinilai Hanya Memperkeruh Konflik Agraria


 Banyak korban berjatuhan ketika Polri terlibat dalam penyelesaian konflik agraria.



Konflik agraria antara warga kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan PTPN VII berujung pada tewasnya Angga bin Darmawan, anak berumur 13 tahun asal desa Tanjung Pinang. Timah panas menembus kepala Angga ketika aparat keamanan menyerbu desa Limbang Jaya, kecamatan Tanjung Batu, kabupaten Ogan ilir, Sumsel pada 27 Juli 2012.
Puluhan warga mengalami luka-luka, beberapa di antaranya tertembus peluru tajam. Menurut salah satu warga yang ada di lokasi kejadian, Farida, warga sangat panik ketika diberondong aparat keamanan.
Beberapa warga yang menolong Angga menurut Farida berteriak minta tolong untuk mendapatkan bantuan warga lainnya. Farida pun mengaku tak mampu berbuat banyak, pasalnya bahu kanannya  tertembus timah panas. Dengan dibantu warga, Farida dilarikan ke rumah sakit untuk dioperasi. Sampai saat ini Farida mengaku tangan kanannya tidak dapat digunakan secara normal. Akibatnya, Farida tidak dapat menjalankan aktifitas rutinnya setiap hari, yaitu berkebun.
“Tangan kanan saya masih sakit, belum bisa kembali bekerja,” keluh Farida saat jumpa pers di kantor Walhi Jakarta, Rabu (1/8).
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) wilayah Sumsel, Anwar Sadat, konflik agraria antara warga dengan PTPN VII Cinta Manis berlangsung sejak tahun 1982. Kala itu tanah warga diambil alih untuk dijadikan perkebunan dengan ganti rugi yang tidak layak, disertai tindak pemaksaan dan manipulasi.
Sebagai salah satu aktivis yang mendampingi warga, Sadat menyebut warga di 22 desa yang berkonflik dengan PTPN VII membentuk Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB). Untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, warga menyambangi berbagai instansi pemerintahan di daerah dan pusat. Hasilnya, Kementerian BUMN membentuk suatu pertemuan dengan warga, namun pihak PTPN VII Cinta Manis menurut Sadat bersikukuh untuk menuntaskan masalah ini hanya lewat jalur hukum. Akhirnya pertemuan itu berakhir dengan deadlock.
Alih-alih pasca pertemuan itu diharapkan para pihak menahan diri, namun sehari setelah pertemuan itu aparat keamanan dari kesatuan Brimob diterjunkan ke lokasi konflik. Dari pantauannya, Sadat menyebut sejak itu tindak kekerasan aparat keamanan dimulai. Pada 19 Juli 2012, aparat menyerang pondokan warga yang lokasinya dekat desa Sri Bandung. Dari serbuan itu 12 warga ditangkap dan diproses dengan tuduhan memiliki senjata tajam.
Menurut Sadat, warga menyebut tuduhan yang dialamatkan kepolisian kepada warga yang ditahan sangat mengada-ada. Pasalnya, senjata tajam seperti arit, sabit, pacul dan lainnya adalah peralatan yang digunakan warga setiap hari untuk bertani dan berkebun. Menyikapi penahanan itu warga menggelar demonstrasi dan menuntut Polda Sumsel membebaskan 12 warga yang ditahan.
Setelah berunding, Sadat mengatakan pejabat kepolisian di Polda Sumsel berjanji akan membebaskan warga lewat proses penangguhan. Sayangnya, sampai saat ini janji itu belum dipenuhi.
Dari pantauan Sadat di lokasi konflik, setelah aksi demonstrasi itu, serangan aparat keamanan kepada warga masih terus terjadi. Ada yang hendak ditangkap saat memandikan jenazah, ada yang ditangkap saat menggendong bayinya dan ada juga yang dikriminalisasi karena dituduh mencuri pupuk milik PTPN VII.
Dari berbagai pengakuan para warga dan korban, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Idham Arsyad, mengatakan pengakuan itu membantah pernyataan pejabat Polri yang menyebut polisi tidak terlibat dalam sengketa agraria.
Idham mengingatkan ketika Polri terlibat dalam konflik agraria, maka banyak korban berjatuhan. Melihat banyaknya aparat yang dikerahkan, Idham mensinyalir ada persekongkolan antara PTPN VII dan aparat keamanan. “Mengerahkan aparat dalam jumlah banyak membutuhkan biaya besar, dari mana biaya itu?” tuturnya.
Idham berpendapat bahwa penyerangan yang dilakukan aparat keamanan merupakan dampak dari meningkatnya tuntutan masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanah. Semakin kuat tuntutan itu disuarakan, biasanya aparat keamanan akan melakukan sejumlah tindakan kepada warga. Mulai dari intimidasi, teror, penangkapan, penembakan dan lainnya.
“Ini adalah bentuk kekerasan, penyalahgunaan kewenangan di dalam menyelesaikan konflik agraria. Ini adalah bentuk pembantaian aparat Kepolisian terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah. Itu adalah cara-cara Orde Baru yang tidak pernah ditinggalkan rezim sampai hari ini,” tegas Idham.
Bagi Idham, Polri secara institusi harus bertanggungjawab atas berbagai tindakan aparatnya di kabupaten Ogan Ilir. Dari temuan di lapangan, Idham mengatakan periode Januari – Juli 2012 terdapat 115 kasus terkait konflik agraria yang mengakibatkan tiga orang tewas. Sementara luas tanah yang disengketakan menurut idham mencapai 377 Ribu Hektar.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Agus Riyanto menuturkan bahwa pengerahan anggota Brimob kala itu telah dikoordinasikan dengan satuan wilayah. Pengerahan Brimob juga telah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk bentrokan.
Kala itu, lanjut Agus, aparat terpaksa bertindak tegas lantaran masyarakat menghadang mobil aparat. Makanya, Kepala Detasemen selaku pimpinan saat kejadian sempat meminta agar masyarakat tidak menghadang aparat kemanan. Tetapi, permintaan itu tidak digubris. Masyarakat bahkan melakukan tindakan yang mengancam keselamatan anggota polisi.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50193f5090f26/polri-dinilai-hanya-memperkeruh-konflik-agraria
Selengkapnya...

Nita dan potret sengketa agraria


Gelisah dan cemas mencengkeram benak Nita, ketika sang suami, Maulana, tidak menjawab panggilan teleponnya. Kecemasan semakin menjadi ketika ibu lima anak itu mendapatkan kabar Maulana ditangkap polisi karena membawa senjata tajam. Di waktu yang sama, kasus sengketa tanah itu sedang memanas.

Kisah itu berawal dari kabar yang diterima perempuan 40 tahun ini melalui telepon pada 19 Juli lalu. Nita yang sedang berada di rumah bersama anak-anaknya tersentak mendapat kabar  Brimob baru saja menangkap tiga warga Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nita pun menghubungi Maulana melalui telepon dan memintanya segera meninggalkan warung kopi, tempat Maulana biasa mangkal setiap sore.

Apalagi, lokasi penangkapan ketiga warga oleh Brimob, di sebuah tempat tak jauh dari warung kopi itu. “Aman kok di sini (warung kopi),” jawab Maulana seperti ditirukan Nita. Entah mengapa, jawaban itu tidak menghapus gelisahnya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menghubungi suaminya, telepon tidak terjawab.

Tanpa pikir panjang, Nita bergegas menuju warung kopi. Di tempat itu Ia mendapati puluhan pasukan brimob bersenjata lengkap sedang berjaga-jaga. Agus, anak pemilik warung kopi mengabarkan Maulana telah ditangkap. “Waktu itu, ada 9 orang yang ditangkap dengan tuduhan membawa senjata tajam,” kata Nita.

Penangkapan itu menciptakan protes dari Nita dan keluarga korban lain yang juga ikut ditangkap. Bersama warga Desa Seri Bandung, Nita mendatangi Markas Polda Sumatera Selatan keesokan harinya, untuk menuntut warga yang ditangkap segera dibebaskan.

Ketika diberi kesempatan bertemu dengan Maulana, Nita mendapati suaminya disiksa. Tangan Maulana memar, dengan jahitan di bagian kepalanya. “Suami saya mengaku dipukuli Brimob dengan senjata. Bahkan, dadanya dihantam dengan gagang senjata. Suami saya diperlakukan seperti binatang,” kata Nita.

Ratusan kasus

Sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah satu dari ratusan kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Hingga Juli 2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 115 kasus konflik agraria, dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 377 ribu hektar lebih, meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.

Dari konflik tersebut, setidaknya ada 25.000 petani di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku dan Papua kehilangan tanahnya.  Mereka diusir dari tempat tinggalnya.

Ironisnya, konflik agraria itu tidak lepas dari aksi kekerasan. Dalam kasus di Sumatera Barat saja, korban penembakan 15 petani ditembak,  35 orang ditahan, dan 25 orang yang dianiaya. Sedangkan korban yang tewas sebanyak 3 orang, diantaranya Kabupaten Ogan Ilir 1 orang, Jambi (1), dan Sulawesi Tengah (1).

Semua tragedi itu bertabrakan dengan program Hutan Tanaman Industri (HTI) Indonesia yang mencapai 9,39 juta hektar, dengan pengelolaan 262 unit perusahaan. Izin terlama yang dikantongi pengusaha hingga 100 tahun. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan  izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631,5 ribu hektar lebih. Sementara, luas Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Indonesia sekitar 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan.

Sengketa pertanahan akan terus menjadi persoalan di tingkat nasional, mengingat adanya lima undang-undang yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah atas sumber-sumber agrarian. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU  Mineral dan Batubara. Kewenangan tersebut tidak mengikuti semangat UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), karena cenderung memposisikan masyakat dalam pihak yang ‘lemah’..

“Banyaknya regulasi-regulasi yang berpotensi menyingkirkan rakyat dari tanah-tanah mereka, maka diproyeksikan bahwa perampasan tanah dan kekerasan akibat konflik agraria di masa depan akan semakin meluas,” kata Sekretaris Jenderal  KPA, Idham Arsyad.

Tak heran bila Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat menilai kasus Ogan Ilir bermasalah sejak awal PTPN VII beroperasi di wilayah itu. Pengukuran tanah oleh PTPN VII dilakukan sepihak. Warga sama sekali tidak dilibatkan ketika BUMN itu menjalankan program penanaman tebu pada 1982. Akibatnya, tanah warga pun terampas dan menciptakan perlawanan. “Banyak protes dilakukan, banyak juga yang ditangkap dan dipenjara,” kata Anwar.

Dan pada akhirnya, warga masyarakat seperti Nita dan keluarganya yang menjadi korban.


Sumber : http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/nita-dan-potret-sengketa-agraria.html?spref=fb
Selengkapnya...

KPA Pertanyakan Terobosan Hendarman Supandji

BATAM, KOMPAS.com — Konsorsium Pembaruan Agraria mempertanyakan inisiatif Badan Pertanahan Nasional menyelesaikan konflik agraria. Badan itu seharusnya proaktif.

Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, keseriusan BPN menyelesaikan konflik agraria patut dipertanyakan. Salah satu tolok ukurnya adalah pejabat BPN yang mengurusi soal konflik masih kosong.

"Posisi Deputi IV yang mengurus pengkajian, penanganan, dan penyelesaian konflik agraria dipegang pelaksana tugas sejak Februari lalu," ujarnya, Kamis (2/8/2012).

KPA juga tidak melihat terobosan yang dibuat Kepala BPN Hendarman Supandji sejak dilantik Juni 2012. Padahal, konflik agraria terus merebak di berbagai daerah.

"BPN seharusnya proaktif menyelesaikan konflik-konflik agraria. Namun, sampai sekarang, kami belum melihat inisiatif itu," ujarnya.

BPN, lanjut Iwan, dapat memulainya dengan segera merangkul semua pemangku kepentingan terkait konflik agraria. Hal itu perlu dilakukan setidaknya karena dua alasan.

Pertama, Presiden memerintahkan penyelesaian konflik agraria ditangani tim terpadu. Kedua, penyelesaian konflik agraria tidak bisa mengandalkan mekanisme hukum formal saja.

"Sulit menyelesaikan jika menghadapkan warga korban konflik dengan pihak yang diduga merampas tanah warga. Apalagi, peraturan pertanahan masih cenderung menyingkirkan warga," ujar Iwan. Selengkapnya...

TENTU

Tentu, kembali airmata ini harus menetes, menyaksi bocah 12 tahun itu terkapar, kepala sang bocah ditembus timah panas aparat kepolisian, dua jam menjelang buka puasa, ketika adzan Asyar hendak dikumandangkan. Tak jauh dari rumah allah, didekat mesjid Darussalam, dipertengahan bulan suci ramhadan, pada  hari jumat yang sakral, Angga berpulang  ke rahamtullah.

Aku  hanya tertegun mendengar itu,  nafas terasa sesak, kopi yang dibuat untuk sejumlah tamu hampir jatuh kelantai. Sembari menahan cangkir dinampan, berusaha berjalan menuju meja diruang depan kuucap inalilahiwainailahi rojiun .

“ Brimob memang telah mengepung tempat itu, Desa Limbang Jaya”.


Begitu cerita teman sesaat setelah mendapat kabar penembakan. Limbang Jaya, salah satu desa dari 20 desa yang sedang berkonflik dengan PTPN VII Cinta Manis, jaraknya sekitar 15 Km dari kota Indralaya-Ogan Ilir.

Masyarakat setempat sudah tigapuluh tahun mendamba lahan untuk bercocok tanam. Pasalnya, ketika tanah nenek moyang mereka dirampas ditahun 1982 oleh PTPN VII Cinta Manis. Sebagian besar generasi ini hampir tak lagi mengenal sistem pertanian, mereka yang kehilangan tanah, hampir menjadi buruh tani jika saja seorang pandai besi asal Banten tidak mengajarkan masyarakat setempat cara memgolah besi.

Akhirnya, setelah mendapat mata pencaharian alternatif sebagai pandai besi, 70 persen warga Desa Limbang Jaya beralih menjadi pandai besi. Rupanya, Desa ini pun merupakan salah satu pemasok utama produksi alat pertanian seperti cangkul, parang, pisau di Provinsi Sumatera Selatan. Selain Limbang Jaya, Desa Tanjung laut dan Tanjung Pinang pun mayoritas warga bekerja sebagai Pandai Besi.

“ Kami ingin bertani ! sangat berat bekerja sebagai pandai besi, selain harus mengeluarkan banyak tenaga, bahan baku dan pemasaran masih sulit kami jangkau”.


Kata seorang Pandai Besi, yang sudah duapuluh tahun malang melintang jalani profesi ini. Karena tak ada lahan untuk bercocok tanam, kaum laki-laki seolah wajib menjadi pandai besi dan kaum perempuan wajib sebagai penenun.

2.500 ha lahan pertanian Limbang Jaya telah dirampas oleh PTPN VII, masyarakat praktis hanya mengelola lahan lebak (lahan sungai yang mengalami pendangkalan) untuk tanaman padi kurang lebih 120 ha, dan kebun karet luasnya mencapai 520 ha atau hanya 25 % dari total luas wilayah Desa yakni 31.912.849 Meter Persegi. Lahan yang tersisa harus dibagi dengan junlah penduduk mencapai kurang lebih 800 KK.

Lebih menyakitkan, Penduduk Desa ini dua kali dalam setahun hanya menerima asap pembakaran tebu PTPN VII Cinta Manis. Selain itu, lebak / sungai yang 30 tahun lalu airnya deras mengaliri areal pertanian warga, pasca ditanami tebu, sungai itu kering dimusim kemarau dan menimbulkan banjir ketika hujan. Karena, lahan tebu PTPN VII Cinta Manis tidak menyisakan sedikitpun pohon disekitar sungai/ lebak yang berfungi menjadi resapan air.

“ Kami rindu seperti dulu, menanam padi, nanas, galam, dan jenis palawija lainnya dikebun. Bukan tidak bersyukur, kalau sudah menjelang usia 50 tahun, kami tak sanggup lagi menjadi pandai besi, tenaga kami sudah berkurang”.


Tentu, sejak 30 tahun silam cita-cita sebagai petani mereka simpan dalam khayalan. Bayangan pohon karet, buah nanas, besarnya ubi dan menguningnya padi melekat dalam ingatan. Kemudian, dengan tekad bulat, disertai keinginan kuat, penduduk desa ini bergabung dengan kaum tani di desa lain bahu-membahu memperjuangkan lahan.

Pasti, mereka bersedih karena Angga telah berpulang, rekan mereka 9 orang masih mendekam dalam tahanan, saudara mereka masih terbaring luka akibat peluru tajam. Tapi mereka adalah petani yang terpaksa menjadi pandai besi. Besi pun mereka tempa...apalagi cuma daging yang  hanya dilapisi seragam coklat. Tentu.......! (walhi sumsel) Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 04, 2012

Limbang Jaya tidak seperti dulu lagi.


Pasukan Brimob dan Polisi saat penyerbuan di limbang jaya

Tiga hari pasca penyerbuan satuan Brimob Polda Sumsel (27/7), di desa Limbang Jaya Ogan Ilir Banyuasin, situasi desa sangat berubah. Aksi penembakan yang dilakukan satuan khusus kepolisian telah menciptakan trauma yang tersistematis (traumatis) bagi warga desa, terutama perempuan dan anak-anak. Saat ini, warga desa menjadi lebih tertutup.

Traumatis ini tidak hanya dialami oleh warga desa di mana aksi penembakan yang menelan korban. Ratusan warga di beberapa desa sekitar lokasipun mengalami tekanan spikologis yang sama.Takut dan tertutup.

Traumatik yang dialami warga desa Limbang Jaya dan sekitarnya masih sangat terasa, apalagi mengingat aksi penembakan terkordinir (sweeping) anggota Brimob Polda telah mengakibatkan seorang anak warga desa, Angga bin Dewmawan, 12, tewas dan empat warga lainya mengalami luka tembak.

Perubahan spikologis ini, tentu mempengaruhi budaya dan perilaku warga desa setempat. Budaya yang terbangun atas kebiasaan hidup nyaman, berdampingan dengan keramahtamahan antar warga berubah drastis di desa Limbang Jaya sekitarnya. Warga desa cendrung sangat tertutup dan terkesan “waspada” dengan cenderung mencurigai setiap kunjungan orang asing yang masuk ke desa mereka.

Mungkin hal ini wajar, mengingat pasca aksi penyerbuan, lokasi desa memang menjadi pusat perhatian semua pihak, mulai dari awak media, tim penyidik kepolisian sampai pada kunjungan-kunjungan orang yang memiliki kepentingan lainnya.

Perubahan mendasar terjadi pada budaya masyarakat desa. Sebelum aksi sweeping Brimob, warga desa terutama laki-laki sangat terbiasa berada di luar rumah hingga tengah malam. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan memang saat malam hari, mereka hanya berkumpul di balai-balai depan rumah dan berjaga-jaga untuk keamanan desa. Budaya berkumpul ini pun menciptakan rasa aman bagi warga desa.

Tapi kini, kebiasan yang membudaya itu sudah tidak ada. Warga desa, lebih memilih berada di dalam rumah. Sejak habis ibadah sholat isya’, jalan-jalan di desa sudah sepi. Tak lagi ada, warga yang berkumpul di luar rumah, tak ada lagi ada warga yang berani keluar rumah. Perubahan harmonisasi budaya ini cendrung menciptakan kondisi mengcekam di desa.

Perubahan nilai budaya lainya, terasa pada ibu-ibu yang sebelumnya berprofesi sebagai pengerajin, penenun kain. Mereka cendrung tidak lagi aktif berproduksi kerja di rumah. Mereka lebih memilih mengurung diri, tertutup di rumah atau malah merasa aman jika berkumpul dengan para tetangga untuk saling menjaga antar satu warga dengan warga lain.

Rusman korban luka tembak oleh Brimob dan polisi saat terjadi penyerbuan desa Limbang jaya, tangan kirinya harus diamputasi karena tembakan Brimob telah meremukan tulang tangannya.
Traumatik ini pun mengakibatkan ibu-ibu yang seharusnya memiliki kegiatan rumah tangga, seperti memasak dan mengurusin anak dan suami cendrung lebih pasif.

Sebelumnya aksi penembakan terjadi, budaya masyarakat Limbang Jaya dengan menabuh baduk di Masjid menjadi tradisi masyarakat yang mengikat. Tabuhan beduk menjadi tanda dengan tiga makna, yakni tabuhan karena telah terjadi kebakaran, pencurian atau kedatangan polisi memasuki desa.

Saat kejadian, tepatnya saat belasan mobil anggota Brimob yang mengangkut ratusan anggota memasuki desa, tabuhan beduk bertalu-talu menjadi panggilan tak langsung warga untuk berkumpul. Saat itu, warga terutama ibu-ibu pun menjadi sanksi kehadiran ratusan anggota polisi dan tindakan brutal mereka.

Nurlaila, perempuan setengah baya ini mengaku sempat mengetahui aksi penembakan dan penyerbuan polisi Brimob ke desa Limbang Jaya. Saat kejadian berlangsung dirinya berada di dalam rumah. Namun, karena kondisi yang tidak nyaman, dia memilih mengungsi bersama dengan ibu-ibu dan anak-anak lainnya ke rumah tetangga. Saat itu, isak tangis dan teriakan histeris saling bertautan terdengar. Saat polisi dengan leluasa masuk ke dalam rumah melakukan swepping dan suara tembakan yang mengenai jeruji pagar masjid, mereka mengaku sangat takut dan hanya bisa berkumpul di lokasi keluarga terdekat. Traumatis akan kenangan itupun, membuat warga terutama ibu-ibu akhirnya selalu tidak tenang dengan tabuhan beduk di masjid.

“Desai kami ini aman-aman saja, beduk hanya berbunyi jika ada bahaya besar. Kemarin (saat kejadian), beduk ditabuh berkali-kali. Sampai sekarang, saya takut mendengar bunyi beduk,”ungkap Nurlaila.

Hal yang sama diceritakan Saipah, perempuan dengan lokasi rumah bersebelahan dengan masjid Darusallam, radius lokasi terdekat dimana korban Angga tewas. Saipah menceritakan saat kejadian, awalnya sedang santai di dalam rumah. Lalu beberapa menit setelah beduk sholat Ashar dibunyikan, tiba-tiba beduk kembali dibunyikan dengan nada tanda bahaya.

Sontak, dia langsung keluar untuk mengetahui kejadian apa terjadi sehingga beduk dibunyikan berkali-kali. Beberapa menit kemudian, dia melihat belasan anggota polisi telah datang dari seluruh jalan masuk desa.

Saat sang suami tidak ada di rumah karena masih bekerja sebagai pandai besi di rumah tetangga, Saipah yang sedang mengandung anak pertamanya itu langsung ketakutan dan memilih mendekam bersama dengan tiga ibu-ibu lainnya di rumah tetangganya. Beduk kembali berbunyi bertaluh-taluh, mereka pun semakin takut.

Saat itu, meski polisi tak mengeluarkan suara sedikitpun, tapi suara hentakan kaki dan bunyi peluru yang ditembakkan terorganisir sangat mudah terdengar. Meraka merasakan sangat ketakutan.

Ingatan atas kejadian inipun tidak mudah dilupakan, kata Saipah.

Saat Saipah menceritakan kejadian yang dialaminya itu, muka Saipah langsung memucat, berkeringat, jemarinya gemetar dan obrolannya pun terpotong-potong. Dia terkesan tak ingin lagi bercerita, karena takut mengenang peristiwa tersebut. Saipah merasa sangat takut hingga malah dia sering khawatir dan curiga terhadap lawan bicaranya.

Traumatik serupa juga terjadi apa anak-anak di desa Limbang Jaya dan sekitarnya. Izza, misalnya, teman sepermainan korban penembakan, Angga cendrung sangat takut saat ditanya kejadian peristiwa Jum’at sore itu. Izza mengatakan, dia terpisah dari Angga saat hendak melihat iringan mobil Brimob yang masuk dalam desa mereka. Angga yang tertinggal di belakang, saat itu berjalan sendirian. Sementara Izza dan yang lainnya sudah bersembunyi di rumah tetangga. Izza saat ditanya sangat gugup. Tangannya bergerak tanpa harmonisasi yang jelas. Mimik mukanya masih takut untuk menceritakan kejadian tersebut. Malah, Izza yang menjadi korban penembakan pada awalnya lebih memilih tidak menceritakan kejadian tersebut pada ibunya. Izza mengalami tiga luka bekas peluru, diantaranya dua di punggung dan satu di ketiak kanan. Setelah mengalami luka, Izza cendrung mengurung diri dalam kamar, meski tidak sedang menjalan puasa, Izza malah tidak mau makan dan minum. Bahkan, saat masih dalam kondisi luka tertembak, Izza langsung mandi dan mencuci sendiri baju yang dipakainya yang masih dipenuhi dengan bercak darah.

Aku tau itu, pas liat baju Izza robek di bagian belakang. Tapi sebelumya dia tanya aku, katanya kalo ditembak polisi, pasti mati apo idak bu. Aku keno tembak jugo bu’”ujar Nur, ibu Izza yang menceritakan bagaimana pertama kali dia mengetahui, jika Izza juga termasuk salah satu korban terluka akibat aksi penyerbuan polisi Jum’at (27/7).

Izza yang berusia satu tahun lebih tua dibandingkan Angga mengatakan jika saat kejadian, aparat polisi sangat banyak masuk desa. Karena ingin tahu, Izza bersama yang lainnya membuntuti iringan mobil polisi tersebut dari belakang. Lalu ketika polisi langsung mengarahkan tembakan ke rumah-rumah warga melakukan sweeping. Izza bersama dengan teman lainnya langsung bersembunyi karena takut. “Agga ketinggalan di belakang. Jadi tak sempat kami liat, taunya dia sudah luka,”kata Izza.

Saat ini, Izza mengaku, masih teringat jelas peristiwa tersebut. Dikatakan dia, jumlah polisi yang berada di desa saat itu sangat banyak. Polisi bersenjata lengkap, dapat masuk dalam rumah-rumah warga dengan arogan. Banyak warga desa berlarian dan akhirnya kondisi desa menjadi mencekam hingga malam harinya.(ditulis admin Walhi Sumsel)
Selengkapnya...

Kasus Ogan ilir : Komnas HAM Harus Berani Lakukan Penyelidikan Pro Justisia

Kami dari berbagai organisasi masyarakat sipil meminta Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan pro Justisia atas penembakan di Ogan Ilir, pada 27 Juli 2012. Terkait dengan penembakan oleh Polisi di Ogan Ilir yang mengakibatkan kematian Angga bocah, 12 tahun.
Menurut UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelidikan pro justisia bisa dilakukan terhadap sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ciri utama dari kejahatan ini adalah serangan yang ditujukan ke populasi sipil secara sistematis atau meluas. Berdasarkan hasil pemantauan kami, terdapat sejumlah hal yang patut dipertimbangkan oleh Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan pro justisia.
Penembakan terhadap Angga patut diduga dilakukan dari jarak dekat. Hal ini tercirikan dari model luka akibat tembakan yaitu menembus kepala. Diperkirakan tembakan dilakukan dari jarak dekat. Dalam banyak pengalaman forensik, penembakan terhadap Angga layak diduga dilakukan dari 30-60 meter dengan menggunakan peluru tajam. Hal ini sesuai dengan temuan masyarakat dan Komnas HAM yang sudah melakukan pemeriksaan lapangan, dimana terdapat slongsong peluru tajam.
Temuan dan fakta-fakta sebagaimana digambarkan diatas sekaligus membantah pernyataan pihak Polri melalui Kepala Biro Penerangan Umum, Boy Amar Rafli, yang mengatakan bahwa "Jarak Angga dan lokasi itu sejauh 200 meter. Setelah diperiksa, luka di kepala yang membuat Angga meninggal bukan seperti terkena peluru. Luka bocah 12 tahun itu seperti terkena senjata tajam" (Tempo, Ahad, 29 Juli 2012)
Upaya yang dilakukan pihak Polri dengan memeriksa secara internal anggota-anggota yang terlibat tidaklah tepat. Pertama, pihak kepolisian tidak akan menerapkan delik "kejahatan terhadap Kemanusiaan" sebagaimana yang diatur dalam UU 26 Nomor 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua, dalam banyak kasus serupa, penghukuman yang paling tinggi hanya berupa pengurungan selama 21 hari.
Oleh karenanya kami meminta Komnas HAM harus berani meningkatkan temuannya hasil kunjungan 5 hari di Ogan Ilir menjadi upaya pro justisia sehingga bisa ditingkatkan ke proses hukum (pengadilan HAM) kelak. Tujuannya agar bisa memberikan efek jera yang jujur, bukan sekedar 21 hari atas tindakan pembunuhan terhadap warga. Efek jera juga penting untuk memastikan bahwa Polisi tidak gegabah memberikan perlindungan kepada kelompok usaha terlebih dengan menerjunkan Brigade Mobil yang terkenal kerap melakukan kekerasan.
Jakarta, 4 Agustus 2012
Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia
Contact Person: Haris Azhar (KontraS) 081513302343, Deddy Ratih (Walhi) 081250807757
Selengkapnya...

Tim Investigasi: Polisi Melanggar HAM di Ogan Ilir

TEMPO.CO, Palembang-- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melaporkan temuan sementara kasus penembakan warga di Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Disebutkan, temuan itu mengarah pada adanya pelanggaran HAM. Apakah ini masuk pelanggaran HAM berat atau tidak, Komisi masih akan mendiskusikannya dengan sejumlah ahli.

"Telah terjadi pelanggaran HAM (dalam kasus itu)," kata Wakil Ketua Komnas HAM yang juga Ketua Tim Investigasi Kasus tersebut di Palembang, Jumat 3 Agustus 2012. Akibat penembakan tersebut, bocah berumur 12 tahun bernama Angga Prima tewas, dan empat warga lainnya mengalami luka-luka.

Tragedi ini merupakan rentetan perselisihan antara warga dan PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis. Perusahaan perkebunan tebu ini mengklaim kehilangan 127 ton pupuk. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Komisi, penembakan terjadi pada 27 Juli lalu.

Kejadiannya bermula ketika sebanyak 300 aparat mengepung Desa Limbang Jaya dengan 16 kendaraan. Menurut Nurcholis, pengerahan petugas, yang di antaranya pasukan Brigadir Mobil, itu berlebihan jika tujuannya sekadar patroli di daerah tersebut.

Nurcholis mengungkapkan, saat iringan-iringan aparat tiba di Desa Limbang Jaya, ada warga yang menyambutnya dengan ejekan dan teriakan, "Huu…." Sejurus kemudian, empat pertugas yang berada di kendaraan nomor enam turun dan melepaskan tembakan ke udara. "Kami belum menemukan alasan yang mendasar polisi tiba-tiba mengeluarkan tembakan ke udara," ucapnya.

Letusan senjata dibalas oleh warga dengan lemparan batu ke arah polisi. Setelah itulah, kata Nurcholis, polisi membabi buta melepaskan tembakan ke arah warga. Tembakan itulah yang melukai empat warga dan menewaskan Angga.

Kepolisian Daerah Sumatera Selatan mengaku tak melanggar prosedur saat operasi di Desa Limbang Jaya. "Semuanya masih dalam penyidikan dan penyelidikan tim investigasi dari Polda dan tim asistensi dari Mabes Polri," kata Kepala Biro Operasional Polda Sumatera Selatan Komisaris Besaar Fiandar.

Juru bicara Polda Sumatera Selatan, Ajun Komisaris Besar R. Djarod Padakova, menambahkan, insitusinya sedang memeriksa enam perwira dan 120 personel. Selain Brimob, juga diperiksa kesatuan lain. "Kami akan pastikan sejauh mana keterlibatan mereka," kata Djarod. Selengkapnya...

Komnas HAM: Apa Alasan Brimob Diterjunkan di Ogan Ilir


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) HAM mempertanyakan alasan polisi menurunkan Brimob di Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada Jumat (27/7). Mereka menanyakan hal itu dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi di sana hingga menyebabkan polisi mengerahkan pasukan Brimob.

Wakil Ketua I Komnas HAM, Yosep Adi Prasetyo, menjelaskan, seharusnya, pengerahan pasukan Brimob itu tidak serta merta dilakukan.

Penurunan pasukan di tingkat Polisi Daerah (Polda) tersebut, ujar dia, harus diselenggarakan secara bertahap. "Biasanya kalau situasi di lokasi sudah mencekam, Brimob baru turun ke sana," ungkap Yosep kepada Republika.

Namun begitu, Yosep meragukan situasi dan kondisi di Ogan Ilir yang mencekam sehingga polisi harus menurunkan pasukan Brimob. Untuk itu, tutur dia, tim pencari fakta Komnas HAM di lapangan tengah berupaya mengungkap sistem rentang komando itu.

"Prosedur yang seharusnya dijalani adalah Kapolres mengajukan penurunan Brimob kepada Kapolda, kemudian Kapolda memutuskan, apakah akan dikerahkan atau tidak," papar Yosep melalui sambungan telepon.

Artinya, ungkap Yosep, Kapolres dan Kapolda harus juga bertanggung jawab dalam pengerahan pasukan Brimob di Ogan Ilir.

Pertanggungjawaban mereka, ujar dia, dalam hal pertimbangan pengajuan pasukan (Kapolres) dan penilaian atas pertimbangan tersebut (Kapolda).

"Yang kita khawatirkan adalah adanya order dari pihak tertentu untuk meminta pengerahan Brimob di sana (Desa Limbang Jaya)," ucap Yosep.

Seperti diketahui, seorang anak usia sekolah tingkat dasar, Angga bin Dharmawan (12 tahun) ditemukan tewas dalam bentrokan yang melibatkan warga dengan pasukan Brimob di Desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (27/7) pukul 15.00 WIB. Benturan fisik itu terjadi dengan latar belakang sengketa lahan PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis. Selengkapnya...

Komnas HAM Temukan Proyektil Peluru Tajam Di Limbang Jaya

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurkholis mengatakan, dia bersama timnya menemukan beberapa proyektil peluru tajam di Tempat Kejadian Perkara (TKP) meninggalnya anak petani Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

"Saya bersama tim ketika melakukan peninjauan ke lokasi bentrokan antara petani dengan polisi di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Senin (30/7) menemukan beberapa proyektil peluru tajam di TKP," kata Nurkholis dalam keterangannya di kantor Walhi Palembang, Selasa dini hari.

Dia mengatakan, peninjauan ke lokasi kejadian tersebut selain untuk menghimpun data dan fakta lapangan juga berupaya membuktikan ada tidaknya penggunaan peluru tajam oleh polisi ketika bentrokan yang terjadi pada 27 Juli 2012.

Namun bukti proyektil peluru tajam yang ditemukan di TKP belum bisa dipastikan apakah peluru tersebut yang menyebabkan meninggalnya Angga Bin Darmawan (12) seorang anak petani setempat ketika bentrokan tersebut terjadi.

"Soal kematian itu akan dipelajari lebih dalam sehingga bisa diperoleh suatu kesimpulan penyebab pastinya dan tindakan aparat kepolisian yang melakukan pengamanan lokasi konflik antara petani dengan pihak PT Perkebunan Nusantara VII sudah sesuai prosedur tetap (protap) atau tidak," kata dia.

Dia menjelaskan, pada saat peristiwa bentrokan terjadi diperoleh informasi ada 13 unit kendaraan polisi konvoi melakukan patroli ke Desa Limbang Jaya.

Anggota polisi yang berada di kendaraan yang ketujuh diduga melakukan penembakan yang mengakibatkan bocah berusia 12 tahun itu meninggal dunia dan lima warga lainnya mengalami luka tembak.

Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan secara keseluruhan korban penembakan polisi hanya satu korban meninggal dunia atas nama Angga Bin Darmawan (12) dan lima warga yang mengalami luka tembak yakni Jesika (16), Dut Binti Juni (30), Rusman Bin Alimin, Yarman, dan Iza Mahendra (13).

Temuan yang diperoleh tim Komnas HAM di TKP tersebut akan terus dilengkapi hingga Kamis (2/8) dan akan dibahas lebih lanjut untuk dijadikan suatu kesimpulan sebagai bahan rekomendasi kepada pihak Polri dan PTPN VII.

"Sehingga kasus penembakan dan sengketa lahan tidak berlarut-larut," kata Nurkholis menambahkan. Selengkapnya...

Lima Pelanggaran HAM di Limbang Jaya

PALEMBANG, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat lima pelanggaran hak asasi manusia dalam bentrokan warga dengan polisi di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, 27 Juli lalu.
Kesimpulan diambil setelah Tim Komnas HAM melakukan investigasi selama empat hari. Hasilnya dipaparkan Wakil Ketua Komnas HAM Nurcholis yang juga mengetuai tim tersebut di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (3/8/2012).
Pelanggaran pertama adalah pelanggaran hak hidup. Hal ini karena peristiwa yang disertai penembakan oleh aparat Brigade Mobil (Brimob) tersebut menewaskan Angga bin Darmawan (12), yang diduga karena terkena peluru. Kedua adalah pelanggaran hak anak-anak untuk tak dilibatkan dalam kekerasan maupun konflik sosial.
"Karena yang tewas anak-anak, maka hak anak juga telah dilanggar," ucap Nurcholis. Ketiga adalah pelanggaran hak untuk tak diperlakukan kejam atau merendahkan martabat. Hal ini terkait kekerasan yang diterima beberapa warga oleh aparat.
Beberapa warga Desa Limbang Jaya melaporkan sempat dipukul, dicengkeram, dan ditendang oleh anggota kepolisian dalam peristiwa yang juga melukai setidaknya empat warga itu. Pelanggaran keempat adalah pelanggaran terhadap hak atas rasa aman.
Hal ini terkait meningkatnya eskalasi kekerasan pada periode 17-27 Juli di desa-desa sekitar PTPN VII Cinta Manis tersebut. Kekerasan ini berpangkal dari sengketa lahan antara warga dari 21 desa dengan PTPN VII Cinta Manis yang pecah menjadi bentrokan di Desa Limbang Jaya.
Dalam periode itu warga juga mengaku merasa terintimidasi oleh patroli maupun penggeledahan oleh pihak kepolisian. Pelanggaran kelima adalah pelanggaran hak kesehatan dan menerima pertolongan. Hal ini karena pada bentrokan di Limbang Jaya, sejumlah anggota polisi melarang warga menolong korban yang terluka. Salah satu korban dalam peristiwa itu, Rusman bin Alimin (45), juga mengalami cacat seumur hidup karena harus diamputasi lengan kirinya. Menurut Nurcholis, pelanggaran HAM yang terjadi belum termasuk pelanggaran HAM berat.
Selengkapnya...

6 Perwira Polri Tanggung Jawab atas Penembakan

Jakarta, KOMPAS - Enam perwira kepolisian bertanggung jawab atas penembakan terhadap warga Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Jumat pekan lalu. Namun, belum ditentukan ada pelanggaran hukum dalam kasus yang merupakan buntut konflik lahan PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis itu.
Hal itu dikatakan Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana Arief Mansur pada jumpa pers di Palembang, Kamis (2/8). ”Dari pemeriksaan, kami menemukan enam perwira yang harus bertanggung jawab secara manajemen dalam peristiwa itu. Tanggung jawab itu dalam artian sebagai polisi terikat kode etik dan disiplin,” katanya.
Dikdik menolak menyebutkan nama keenam perwira itu. Ia juga tak bisa memastikan sanksi yang akan diberikan kepada mereka. Dalam kejadian di Limbang Jaya, Angga bin Darmawan (12) tewas terkena tembakan.
Menurut Dikdik, pemeriksaan tim dari Polda Sumsel dan Polri masih berlangsung. Setiap hari, tim selalu mendapatkan temuan baru. Secara institusi, Polri bertanggung jawab terhadap korban tewas dan terluka.
Selain menewaskan Angga, peristiwa di Limbang Jaya itu juga mengakibatkan empat warga terluka. Bahkan, lengan kiri seorang korban, Rusman bin Alimin (45), diamputasi akibat luka parah terkena tembakan.
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurkholis menyatakan, pihaknya sudah memiliki temuan terkait kasus di PTPN VII Cinta Manis itu. Temuan tersebut berbeda dengan temuan polisi.
Duduki landasan pacu
Terkait sengketa lahan, puluhan warga yang mengaku pemilik hak tanah ulayat, Kamis, menduduki landasan pacu Bandara Mopah di Merauke, Papua. Mereka meminta pembayaran ganti rugi atas tanah yang dipakai sebagai bandara seluas 12,5 hektar.
Warga berkumpul di ujung timur landasan pacu. Puluhan anggota Polri dan TNI mengamankan aksi itu. Warga pun memasang sasi di bandara, yaitu tanda adat untuk menandai kepemilikan ulayat. Aksi ini tak mengganggu penerbangan karena dimulai siang. Penerbangan di bandara itu hanya berlangsung pagi hari.
Menurut Kepala Polres Merauke Ajun Komisaris Besar Djoko Prihadi, pembayaran ganti rugi tanah itu bermasalah. Bahkan, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka.
Selengkapnya...