WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Agustus 04, 2012

Jalan Kekerasan di Limbang Jaya

Saya keberatan pada kekerasan karena meskipun hasilnya tampak baik, itu hanya sementara. Kehancuran yang disebabkannyalah yang akan abadi.
– Mahatma Gandhi, pejuang anti-kekerasan dari India
Ucapan Gandhi itu terjadi di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Lingkaran konflik dan kekerasan terkait konflik lahan PTPN VII Cinta Manis telah merenggut nyawa Angga bin Darmawan (12) untuk selamanya.
Angga yang baru saja lulus sekolah dasar itu tewas, diduga tertembak di kepala oleh aparat kepolisian di Desa Limbang Jaya I dan II, Jumat (27/7) sore lalu. Setidaknya empat warga lain terluka, yaitu Rusman bin Alimin (46), Farida (30), Yarman (47), dan Jesica (16).
Padahal, Angga tak pernah punya kepentingan dalam konflik lahan yang menjadi pangkal penembakan oleh aparat kepolisian di Desa Limbang Jaya I dan II itu. Begitu pula keluarganya. Mereka mengaku tak ikut dalam konflik lahan yang tengah bergejolak di desa mereka itu.
Sengketa lahan itu terjadi antara warga dari 22 desa yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) dan PTPN VII Cinta Manis. Pihak GPPB mengklaim PTPN VII Cinta Manis telah mengambil alih lahan warga tanpa ganti rugi yang sesuai pada masa Orde Baru dulu. Kini mereka menuntut agar lahan itu dikembalikan.
Angga merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Ayahnya, Darmawan (45), seorang pandai besi yang tengah merantau ke Jambi saat menerima kabar yang mematahkan hatinya itu. Ibunya, Yuhana (42), seorang penenun songket yang bekerja di rumah sambil mengurusi anak-anak.
Para tetangga menuturkan, sebelum peristiwa, Angga tengah membantu ibu dan kakak lelakinya membersihkan ikan yang ditangkap kakaknya di sungai dekat rumah mereka di Desa Tanjung Pinang II. Ikan itu akan dibikin pempek dan kemplang untuk buka puasa.
Di tengah kesibukan, iringan belasan kendaraan polisi masuk jalan desa mereka. Terpancing keingintahuan, Angga berlari sembari pamit kepada sang ibu akan melihat mobil-mobil polisi itu, dan kemudian main PS (Playstation). Tak sampai satu jam kemudian, kabar duka itu diterima keluarga.
Selama pemakaman, Sabtu (28/7) siang, Darmawan dan Yuhana tak mampu banyak berkata. Mata mereka sembab oleh air mata. Jenazah Angga terbaring dingin diselimuti kain batik di lantai dua di rumah panggung mereka, dikelilingi kerabat yang berduka. ”Kami berharap pelaku penembakan dihukum setimpal dengan perbuatannya,” kata paman Angga, Abdul Hamid (56).
Teror di Limbang Jaya
Kejadian itu ibarat teror bagi warga Desa Limbang Jaya I dan II. Ibu-ibu bersembunyi di dalam rumah, sebagian menangis karena kehilangan anak mereka. Kaum pria umumnya berada di luar rumah, sebagian berlindung, sebagian berjongkok menghindari tembakan.
Tetua Desa Limbang Jaya I, Sobri (59), yang juga terluka dalam peristiwa penembakan itu, mengisahkan betapa mengerikannya peristiwa itu. Selama sekitar 30 menit, di Desa Limbang Jaya I dan II seperti ada perang. ”Tak terhitung lagi berapa kali saya dengar tembakan. Polisi pakai hitam-hitam keliling desa sambil mengacungkan senapan panjang dan membentak semua orang,” katanya dengan tangan gemetar mengenang teror itu.
Kepala Desa Limbang Jaya I Mat Amin menuturkan, saat iring-iringan belasan kendaraan polisi dari Kabupaten Ogan Ilir memasuki desa, warga menghadang. Awalnya, warga hanya berniat bertanya maksud kedatangan polisi bersenjata lengkap yang belakangan diketahui berjumlah 120 personel itu. ”Polisi masuk tanpa ada informasi ke perangkat desa dulu. Jadi, warga kaget, kenapa seperti ada penyerbuan,” ucapnya.
Entah bagaimana awalnya, ada lemparan batu dari warga. Satuan Brimob Polres Ogan Ilir membalasnya dengan tembakan. ”Sungguh tak adil, lemparan batu dibalas peluru,” kata warga Limbang Jaya II, Baihaqi (35).
Kepala Desa Tanjung Pinang I Habibi mengatakan, pascabentrok polisi dan massa di lahan Rayon III PTPN VII Cinta Manis, situasi desa yang berjarak sekitar lima kilometer dari PTPN VII Cinta Manis itu memanas. Warga terintimidasi oleh kehadiran aparat bersenjata lengkap di desa-desa. Apalagi, polisi melakukan penangkapan, razia, ataupun penggeledahan rumah warga. ”Rasa terintimidasi warga jadi rasa jengkel dan akhirnya timbul peristiwa ini,” ucap Habibi yang sempat menarik polisi keluar desa untuk meredam situasi.
Penjabat Sementara Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Ajun Komisaris Besar Djarod Padakova mengatakan, penembakan oleh kepolisian merupakan bentuk bela diri dari serangan warga. ”Waktu itu serangan warga cukup beringas, baik dengan batu maupun senjata tajam,” katanya.
Sebanyak 120 personel Polres Ogan Ilir dikirim ke Limbang Jaya untuk olah tempat kejadian perkara terkait laporan hilangnya 127 ton pupuk milik PTPN VII Cinta Manis. Mereka juga bermaksud melakukan patroli dialogis dengan warga.
Menurut Djarod, belum ada tanda adanya peluru tajam sebab anggota kepolisian hanya dibekali peluru karet. Selanjutnya, anggota yang melepaskan tembakan akan diperiksa. Jika ditemukan kesalahan prosedur, anggota itu dipastikan akan dikenai sanksi.
Saat ini, polisi dan tentara masih menjaga PTPN VII Cinta Manis. Kehadiran aparat ini seiring meningkatknya konflik di lahan tersebut. Pihak PTPN VII Cinta Manis juga meminta polisi untuk mengamankan lahan yang merupakan aset negara tersebut.
Luka lama Orba
Aksi menuntut lahan oleh GPPB yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel berawal dari dendam warga pada zaman Orde Baru. Menurut warga, sekitar tahun 1982, lahan warga di 22 desa diambil alih oleh PTPN VII Cinta Manis. Pengambilalihan disertai paksaan, ancaman, dan tanpa ganti rugi yang sesuai. ”Pengambilan lahan itu memang semena-mena. Warga yang mau panen pun tak diberi waktu, tanaman langsung dibuldoser,” kata warga Desa Ketiau, Mulholdi (63).
Selama tiga bulan berlangsung, aksi menuntut lahan terus memanas. Warga berunjuk rasa, mematok lahan, dan mendirikan gubuk-gubuk di lahan tebu PTPN VII Cinta Manis. Puncaknya, terjadi pembakaran dan penjarahan aset PTPN VII Cinta Manis serta bentrokan antara massa dan polisi yang melukai tiga anggota polisi. Beberapa warga juga terluka dalam rangkaian konflik tersebut. Sejauh ini, pihak GPPB menyangkal pembakaran, penjarahan, ataupun bentrok yang melibatkan warga.
Menanggapi aksi warga yang dinilai melanggar hukum, polisi bertindak represif dengan melakukan penangkapan, razia, dan penggeledahan di rumah warga. Sebanyak 30 warga ditetapkan sebagai tersangka. Gesekan dan isu provokatif turut memanaskan gesekan antara warga dan aparat.
Sengketa lahan ini pun menjadi lingkaran kekerasan. Tindakan warga yang tergabung dalam GPPB yang dinilai melanggar hukum dibalas dengan tindakan represif yang kaku dari kepolisian.
Bagaimanapun, keluarga Darmawan tak paham mengapa tragedi ini harus menimpa keluarga mereka yang tak ada kepentingan dengan konflik yang tengah berlangsung itu. Begitu pula dengan Sobri yang juga menjadi korban meski tak lagi menuntut lahan keluarga yang juga diambil paksa pada zaman Orba.
Entah siapa yang benar. Baik warga dalam GPPB, PTPN VII Cinta Manis, maupun pihak kepolisian mempunyai klaim kebenaran mereka masing-masing. Namun, jelas jalan kekerasan telah merenggut satu nyawa yang tak bersalah. Masihkah akan ditempuh?



Artikel Terkait:

0 komentar: