WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Agustus 05, 2012

Polri Dinilai Hanya Memperkeruh Konflik Agraria


 Banyak korban berjatuhan ketika Polri terlibat dalam penyelesaian konflik agraria.



Konflik agraria antara warga kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan PTPN VII berujung pada tewasnya Angga bin Darmawan, anak berumur 13 tahun asal desa Tanjung Pinang. Timah panas menembus kepala Angga ketika aparat keamanan menyerbu desa Limbang Jaya, kecamatan Tanjung Batu, kabupaten Ogan ilir, Sumsel pada 27 Juli 2012.
Puluhan warga mengalami luka-luka, beberapa di antaranya tertembus peluru tajam. Menurut salah satu warga yang ada di lokasi kejadian, Farida, warga sangat panik ketika diberondong aparat keamanan.
Beberapa warga yang menolong Angga menurut Farida berteriak minta tolong untuk mendapatkan bantuan warga lainnya. Farida pun mengaku tak mampu berbuat banyak, pasalnya bahu kanannya  tertembus timah panas. Dengan dibantu warga, Farida dilarikan ke rumah sakit untuk dioperasi. Sampai saat ini Farida mengaku tangan kanannya tidak dapat digunakan secara normal. Akibatnya, Farida tidak dapat menjalankan aktifitas rutinnya setiap hari, yaitu berkebun.
“Tangan kanan saya masih sakit, belum bisa kembali bekerja,” keluh Farida saat jumpa pers di kantor Walhi Jakarta, Rabu (1/8).
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) wilayah Sumsel, Anwar Sadat, konflik agraria antara warga dengan PTPN VII Cinta Manis berlangsung sejak tahun 1982. Kala itu tanah warga diambil alih untuk dijadikan perkebunan dengan ganti rugi yang tidak layak, disertai tindak pemaksaan dan manipulasi.
Sebagai salah satu aktivis yang mendampingi warga, Sadat menyebut warga di 22 desa yang berkonflik dengan PTPN VII membentuk Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB). Untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, warga menyambangi berbagai instansi pemerintahan di daerah dan pusat. Hasilnya, Kementerian BUMN membentuk suatu pertemuan dengan warga, namun pihak PTPN VII Cinta Manis menurut Sadat bersikukuh untuk menuntaskan masalah ini hanya lewat jalur hukum. Akhirnya pertemuan itu berakhir dengan deadlock.
Alih-alih pasca pertemuan itu diharapkan para pihak menahan diri, namun sehari setelah pertemuan itu aparat keamanan dari kesatuan Brimob diterjunkan ke lokasi konflik. Dari pantauannya, Sadat menyebut sejak itu tindak kekerasan aparat keamanan dimulai. Pada 19 Juli 2012, aparat menyerang pondokan warga yang lokasinya dekat desa Sri Bandung. Dari serbuan itu 12 warga ditangkap dan diproses dengan tuduhan memiliki senjata tajam.
Menurut Sadat, warga menyebut tuduhan yang dialamatkan kepolisian kepada warga yang ditahan sangat mengada-ada. Pasalnya, senjata tajam seperti arit, sabit, pacul dan lainnya adalah peralatan yang digunakan warga setiap hari untuk bertani dan berkebun. Menyikapi penahanan itu warga menggelar demonstrasi dan menuntut Polda Sumsel membebaskan 12 warga yang ditahan.
Setelah berunding, Sadat mengatakan pejabat kepolisian di Polda Sumsel berjanji akan membebaskan warga lewat proses penangguhan. Sayangnya, sampai saat ini janji itu belum dipenuhi.
Dari pantauan Sadat di lokasi konflik, setelah aksi demonstrasi itu, serangan aparat keamanan kepada warga masih terus terjadi. Ada yang hendak ditangkap saat memandikan jenazah, ada yang ditangkap saat menggendong bayinya dan ada juga yang dikriminalisasi karena dituduh mencuri pupuk milik PTPN VII.
Dari berbagai pengakuan para warga dan korban, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Idham Arsyad, mengatakan pengakuan itu membantah pernyataan pejabat Polri yang menyebut polisi tidak terlibat dalam sengketa agraria.
Idham mengingatkan ketika Polri terlibat dalam konflik agraria, maka banyak korban berjatuhan. Melihat banyaknya aparat yang dikerahkan, Idham mensinyalir ada persekongkolan antara PTPN VII dan aparat keamanan. “Mengerahkan aparat dalam jumlah banyak membutuhkan biaya besar, dari mana biaya itu?” tuturnya.
Idham berpendapat bahwa penyerangan yang dilakukan aparat keamanan merupakan dampak dari meningkatnya tuntutan masyarakat untuk memperjuangkan hak atas tanah. Semakin kuat tuntutan itu disuarakan, biasanya aparat keamanan akan melakukan sejumlah tindakan kepada warga. Mulai dari intimidasi, teror, penangkapan, penembakan dan lainnya.
“Ini adalah bentuk kekerasan, penyalahgunaan kewenangan di dalam menyelesaikan konflik agraria. Ini adalah bentuk pembantaian aparat Kepolisian terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah. Itu adalah cara-cara Orde Baru yang tidak pernah ditinggalkan rezim sampai hari ini,” tegas Idham.
Bagi Idham, Polri secara institusi harus bertanggungjawab atas berbagai tindakan aparatnya di kabupaten Ogan Ilir. Dari temuan di lapangan, Idham mengatakan periode Januari – Juli 2012 terdapat 115 kasus terkait konflik agraria yang mengakibatkan tiga orang tewas. Sementara luas tanah yang disengketakan menurut idham mencapai 377 Ribu Hektar.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Agus Riyanto menuturkan bahwa pengerahan anggota Brimob kala itu telah dikoordinasikan dengan satuan wilayah. Pengerahan Brimob juga telah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk bentrokan.
Kala itu, lanjut Agus, aparat terpaksa bertindak tegas lantaran masyarakat menghadang mobil aparat. Makanya, Kepala Detasemen selaku pimpinan saat kejadian sempat meminta agar masyarakat tidak menghadang aparat kemanan. Tetapi, permintaan itu tidak digubris. Masyarakat bahkan melakukan tindakan yang mengancam keselamatan anggota polisi.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50193f5090f26/polri-dinilai-hanya-memperkeruh-konflik-agraria



Artikel Terkait:

0 komentar: