WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, November 30, 2012

Walhi Sumsel: Hentikan Alih Fungsi Rawa

Alih fungsi rawa harus segera dihentikan agar masalah banjir tidak semakin parah dan menimbulkan kerugian besar atau masalah sosial bagi warga.
Jakarta, Aktual.co — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta Pemerintah Kota Palembang untuk menghentikan pemberian izin alih fungsi rawa, guna mencegah terjadinya banjir pada setiap musim hujan.

Berdasarkan data dan penelitian yang dilakukan aktivis lingkungan, banjir yang melanda sejumlah kawasan permukiman penduduk dan beberapa ruas jalan di kota ini pada setiap hujan lebat turun lebih dari satu jam disebabkan rawa yang biasa menjadi daerah resapan air ditimbun dan dibangun gedung pertokoan atau kantor, kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat di Palembang, Kamis (29/11).

Menurut dia, melihat kondisi tersebut, alih fungsi rawa harus segera dihentikan agar masalah banjir tidak semakin parah dan menimbulkan kerugian besar atau masalah sosial bagi warga kota ini.

Selain menghentikan alih fungsi rawa, Pemerintah Kota Palembang juga harus mencari solusi efektif untuk memecahkan masalah banjir yang selalu mengancam warga kota ini pada setiap turun hujan lebat, kata dia.

Dia menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir, yakni terus berkurangnya luasan rawa, tidak efektifnya drainase akibat pembangunan menutup atau mempersempit saluran air itu, berbagai kegiatan usaha tidak memiliki izin lingkungan hidup.

Selain itu kurangnya kesadaran warga kota membuang sampah pada tempatnya terbukti hingga kini masih banyak warga membuang sampah sembarangan ke sungai, selokan atau drainase, serta masih minimnya tempat pembuangan sampah yang memadai.

Jika pemerintah kota ini membuat solusi dengan memperhatikan faktor penyebab terjadinya banjir tersebut, permasalahan yang selalu dikhawatirkan warga terutama yang berada di daerah rawan banjir ke depan tidak akan terjadi lagi, kata Direktur Eksekutif Walhi itu menambahkan.

Sementara sebelumnya Sekda Kota Palembang Husni Thamrin mengatakan, permasalahan timbulnya genangan air pada setiap turun hujan lebat menjadi perhatian pihaknya dan telah banyak program pengendalian banjir dilakukan di kota ini, termasuk pengaturan pemanfaatan rawa secara selektif.

Beberapa program pengendalian banjir antara lain normalisasi sungai, membangunan kolam retensi, memasang pompa di kawasan rawan banjir serta program baru lainnya yang sekarang ini terus disiapkan dan dikembangkan.

Selain melalui program pengendalian banjir yang telah jalan dan dalam pengembangan, diharapkan pula partisipasi masyarakat menjaga kelancaran saluran air di sekitar lingkungan tempat tinggal dan aktivitasnya dari sampah atau benda lainnya yang dapat menyumbat aliran air itu, ujar Sekda.
(Ant)
Selengkapnya...

Anwar Saddat: Sampah Rumah Tangga Harus Diperhatikan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Anwar Saddat, mengatakan, kondisi lingkungan kota Palembang perlu perhatian khusus. Terutama banjir yang terjadi di beberapa titik.

"Kita harapkan Walhi Sumsel bisa memberikan masukan bagi pembuat kebijakan pembangunan kota. Politik ekologi perlu menjadi bagian dari cara berpikir pembuat kebijakan bagi walikota maupun gubernur," kata Anwar Saddat di sela-sela diskusi soal Bencana Banjir, Solusi Pemecahannya?

Menurut Anwar, arah pembangunan kota memerlukan sebuah acuan menghadapi perkembangan ke depan.

Ledakan penduduk harus menjadi bagian dari perhatian setiap rancangan kebijakan.

Terkait dengan bisnis dan ekonomi, juga harus memperhatikan kaedah lingkungan.

Jangan sampai seperti yang dialami Jakarta, sampai masalah banjir menjadi kompleks dan penanganan semakin rumit.

"Misalnya soal pengelolaan sampah rumah tangga, perlu penangan khusus. Jangan sampai ini menjadi persoalan ke depan. Perlu ada perangkat pengaturan agar sampah rumah tangga tidak menjadi persoalan," kata Anwar Saddat.

Sumber : Sripoku.com
Selengkapnya...

Rabu, November 28, 2012

Pabrik Pulp Mills Raksasa di Sumsel Bahayakan Hutan Alam Sekitar

SUMATERA Selatan (Sumsel) akan kehadiran dua pabrik raksasa pulp mills di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI). Pabrik di Desa Jadi Mulya, Kacamatan Air Sugihan, OKI, PT OKI Pulp and Paper, diklaim terbesar di dunia. Dengan luas 2.800 hektar, 200 hektar untuk dermaga. Pabrik dengan 100 persen saham dari investor Hong Kong ini, akan produksi cip, kertas, tisu, dan lain-lain.

Di benak pemerintah daerah tampaknya hanya keindahan investasi triliunan tanpa memikirkan dampak bagi alam dan lingkungan, termasuk darimana pasokan bahan baku bisa diperoleh. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan alam di daerah sekitar.  “Pemerintah OKI merencanakan membuka HTI 585 ribu hektar dengan target penanaman selesai 2015,” kata Alibudin, Kepala Dinas Kehutanan OKI,  seperti dikutip dari Sripoku.com, Kamis(2/8/2012).

Pabrik kertas ini, terbesar di dunia berkapasitas 2,6 juta ton per tahun dan akan launching 2013 dengan investasi sekitar Rp27 triliun. “Dengan pabrik ini saya yakin, masyarakat OKI tidak ada lagi yang tidak kerja.”

Rencana pembangunan pabril pulp ini pun mendapat kritikan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Rakyat. Dalam pernyataan sikap mereka Minggu (25/11/12) menuntut,  menghentikan rencana pembangunan pabrik PT. OKI Pulp dan Paper Mills di Kabupaten OKI dan pabrik di kabupaten lain di Sumatera Selatan (Sumsel).  “Karena hanya akan mengancam kelestarian hutan dan keselamatan rakyat khusus di Sumsel,” sebut pernyataan itu. Koalisi juga meminta, pemerintah menghentikan ekspansi perizinan hutan tanaman industri (HTI) di Sumsel karena telah  berkontribusi terhadap kerusakan hutan alam di sana.

Sumsel, memiliki hutan seluas 3,7 juta hektar. Saat ini  kawasan hutan berkondisi baik sekitar 800 ribu hektar. Hutan rusak salah satu oleh HTI. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, luas HTI di daerah itu 1,375,312 hektar dikuasai 19 perusahaan.  Dari luasan ini hanya 944,205 hektar efektif untuk tanaman pokok.

Pembangunan pabrik pulp ini, sesuai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) yang sedang dibahas, yang akan ditetapkan Komisi Amdal Sumsel menyebutkan, pabrik akan memproduksi pulp 2,6 juta ton per tahun. Kebutuhan bahan baku kayu sedikitnya 8,6 juta ton per tahun.

Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan,    kebutuhan kayu yang sangat besar ini berdasarkan analisis koalisi tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas di sekitar pabrik itu.  Termasuk tujuh perusahaan milik Sinar Mas Grup di Sumsel baik di Kabupaten Musi Banyuasin, OKI dan Banyuasin seluas 787.955 hektar, dengan asumsi 40 persen atau 472.773 hektar luas lahan produktif ditanami akasia.

“Menurut perhitungan yang kami lakukan, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu per tahun pabrik ini membutuhkan lahan seluas 2, 064 juta hektar,” ujar dia.


Dampaknya, akan terjadi ekspansi izin HTI besar besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel yang masih tersisa. Bahkan, tak menutup kemungkinan ekspansi ini merambah ke provinsi lain, yang sebenarnya mengalami kekurangan pasokan kayu untuk pabrik mereka. Contoh di Riau, dengan HTI lebih luas dari Sumsel saja, pabrik pulp and paper PT. IKPP (Sinar Mas Group) dan PT. RAPP (APRIL Group) dengan kapasitas masing masing 2 juta ton per tahun masih kekurangan pasokan kayu. “Hingga mengambil pasokan kayu dari hutan alam Riau.”


Tak hanya itu. Pembangunan pabrik ini diperkirakan makin meningkatkan konflik agraria di Sumsel yang setiap tahun mengalami peningkatan. Saat ini saja, pembangunan HTI anak usaha Sinar Mas Group tidak pernah lepas dari konflik antara masyarakat dengan perusahaan. “Seperti konflik lahan masyarakat Desa Riding versus PT. Bumi Mekar Hijau seluas 10.000 hektar, masyarakat Desa Gajah mati vs PT. Bumi Mekar Hijau dengan luas 4.000 hektar, konflik masyarakat Sinar Harapan Vs PT. Bumi Persada Permai seluas 500 hektar,” kata Deddy Permana  dari Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel. Belum lagi kasus perusakan hutan alam Merang Kepayang oleh PT. Rimba Hutani Mas (RHM) di Musi Banyuasin, sampai saat ini masih terus disuarakan Walhi Sumsel dan WBH Palembang.

Koalisi masyarakat ini terdiri dari Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, dan Mahasiswa Hijau Indonesia.
Selengkapnya...

The Building of PT. OKI Pulp and Paper Mills; Threat to the Indonesian Forest and the People’s Safety.


Logyark PT. Rimba Hutani Mas di Musi Banyuasin
South Sumatra has 3.7 million hectares of forest, and right now, the part in good condition is only approximately 800 thousand hectares. One of the Forest Damages is caused by the development of Industrial Plant Forest (HTI). Based on the data of South Sumatra Forestry Service in 2012, the width of HTI in South Sumatra is 1,375,312 hectares that is controlled by 19 Companies. From which, only 944,205 hectares are effective for the primary plant.

Apart from the previously mentioned issue, this year, the Government of South Sumatra is planning to build 2 Pulp and Paper Mills Factories in Musi Banyuasin Regency and Ogan Komering Ilir Regency.

One of the factories that will be built is PT. OKI PULP and PAPER MILLS, which is a company with 100 percent foreign capital (The letter of BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 concerning the license of Capital Investment Principle of PT.OKI Pulp and Paper Mills). According to the plan, it will be built in Jadi Mulya Village, Air Sugihan District, Ogan Komering Ilir Regency with the width reaching 2,800 hectares, 200 hectares of which is for the harbor.

In the document of Environmental Impact Analysis (AMDAL), which is being discussed and will be stipulated by Amdal Commission of South Sumatra Province, it is said that this Pulp Mills management factory will produce pulp as much as 2,000,000 ton/year, with the need of raw material reaching at least 8.6 million tons/year.

The huge need of timber supply based on our analysis will not be able to be met by HTI around the factory, owned by Sinar Mas, including by 7 companies owned by SINAR MAS Group in South Sumatra (MUBA, OKI, and Banyuasin) with the width reaching 787,955 hectares. The assumption is only 40 % or 472,773 hectares of the land is productive to be planted by acacia. According to the calculation that we did, for the need of 8.6 million of timber/year, this factory needs 2,064,000 ha of land.[1]

The impact will be license expansion of HTI massively and the damage of the remaining South Sumatra Natural Forest. There is a chance that this expansion will spread to another provinces, which actually also experienced lack of timber supply to meet their factory need, for example in Riau Province with the condition of HTI, which is wider from South Sumatra, the Pulp and Paper Factory of PT. IKPP (sinar Mas group) and PT. RAPP (APRIL Group) with the capacity of 2,000,000 tons/year still need timber supply that they obtain timber supply from Riau natural forest.

On the other hand, the building of this factory is also forecasted to increase agrarian conflict in South Sumatra, which continually experiences an increase each year. While in fact, until now, the building of HTI by the subsidiary of Sinar Mas Group is never free of conflict between the society and the company, similar to the land conflict between the society of Riding Village vs. PT. Bumi Mekar Hijau concerning 10,000 hectares of land, the society conflict of Gajah Mati Village vs. PT. Bumi Mekar Hijau concerning 4,000 hectares of land, the society conflict of Gajah Mati Village vs. PT. Bumi Persada Permai concerning 500 hectares of land. Apart from the agrarian conflict between the society and the company, there is also the case of the natural forest destruction of Merang Kepayang by PT. Rimba Hutani Mas (RHM), which is situated in Musi Banyuasin. Until now, it is still voiced by Walhi Sumsel and WBH Palembang.

Based on some things that we have elaborated previously, we, from the Coalition of Civil Society for Forest Rescue and People’s Safety stated to the government of South Sumatra and OKI Regency to:

  1. Stop the building of PT. OKI Pulp and Paper Mills in Ogan Komering Ilir Regency and the Pulp and Paper Mills in the other Regencies in South Sumatra Province. The reason is that it will threaten the preservation of the forest and the safety of the society, especially in South Sumatra.
  2. Stop the expansion of HTI license in South Sumatera, because it has contributed to the Damage of the Natural Forest in South Sumatra.


Palembang, November 2012
THE COALITION OF THE CIVIL SOCIETY FOR FOREST RESCUE AND PEOPLE’S SAFETY
Dto,

(Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia)




Contact Person:
Anwar Sadat Walhi Sumsel       : 0812 785 5725










[1] If 1 tons of pulp needs 4.5 m cubic of timber, to fulfill 2,000,000 tons of pulp each year, 9,000,000 cubic of timber is needed. The company calculated 8,600,000 meter cubic. If 1 hectare of land produces 25 cubic of timber, to obtain 8,600,000 cubic of raw material, 344,000 ha land/year is needed, which means it has to be cut down/harvested. With the cycle of acacia that reach 6 years, to guarantee that the company does not lack the raw material, a minimum of 344,000 ha x 6 years = 2,064,000 ha of land has to be available.

Selengkapnya...

Senin, November 26, 2012

WALHI Sumsel Desak Pangdam II Sriwijaya Tarik Pasukan dari Rengas

Terkait penggusuran lahan di Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir (OI) oleh anggotan TNI AD, Jumat (23/11/2012) lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel) meminta Pangdam II Sriwijaya untuk segera menarik pasukannya dari Rengas.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat menilai, keberadaan TNI disana (Rengas) sangatlah tidak relevan, karena seperti yang kita tahu, tugas TNI adalah pengamanan negara dan menjaga asset negara. Jadi keberadaan TNI AD di Desa Rengas tersebut masih menjadi pertanyaan.
“Memang saat ini masih ada konflik sengketa antara warga Rengas dan pihak PTPN VII, akan tetapi tidak terjadi bentrokan. Namun kenapa sampai hari ini masih ada anggota TNI yang melakukan penjagaan Rengas. Akibatnya warga menjadi khawatir, dan ini sudah jelas mengganggu aktifitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terang Sadat saat di wawancarai BeritAnda.com di kantornya, Senin (26/11/2012).
Lanjut Sadat, PTPN VII sampai dengan saat ini juga belum dapat di katakan sebagai aset negara, karena perusahaan tersebut masih banyak masalah, seperti dari penguasaan lahan yang melebihi ijin usaha.
“Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VII atas lahan hanyalah 6.500 hektar (ha), tetapi kenyataannya PTPN VII telah menguasai lahan seluas 20 ribu ha lebih. Nah jadi bila alasan TNI yang berjaga di lahan yang sedang bersengketa dengan warga tersebut untuk menjaga aset daerah, maka jelas bahwa alasan tersebut sama sekali tidak tepat,” tandasnya, seraya menambahkan, keberadaan TNI disana terkesan hanya menjadi ‘bisnis’ bagi militer saja. “Seperti menjadi keamanan atau melakukan penjagaan di lahan yang sedang bersengketa,” paparnya.
Sesuai dengan standard operating procedure (SOP) nya, tambah Sadat, seharusnya keberadaan anggota TNI dalam posisi diminta atau di Bawah Kendali Operasi (BKO) kan untuk mengamakan bila terjadi kerusuhan seperti kejadian di Lampung.
“Sedangkan di Desa Rengas sendiri tidak terjadi kerusahan antara warga dengan pihak perusahaan. hal inilah yang menimbulkan kesan pegamanan atau penjagaan di lahan yang sedang bersengketa seolah-olah menjadi ‘bisnis militer’,” ungkap Sadat.
Proses hukum PTPN VII dan warga baru sekali
Sementara itu, ditempat terpisah, Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Andri Meilansyah, SH saat di temui BeritAnda.com mengatakan sejauh ini konflik Desa Rengas dan PTPN VII, baru satu kali melalui proses hukum itupun terjadi pada tahun 1996, dimana dua warga Desa Rengas menuntut untuk mempertahankan lahannya karena mempunyai alasan hak yang kuat (sertifikat), dan proses hukum ini sampai ke Mahkamah Agung (Kasasi -red).
“Untuik proses hukumnya sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas dan PTPN VII hanya ada satu kali, dan itupun di menangkan oleh warga, karena terbukti lahan yang di klaim oleh PTPN VII bahwa lahan tersebut masuk dalam perijinannya terbantahkan karena dua warga tersebut dapat menunjukan alat bukti kepemilikian yang sah atas lahan tersebut,” jelas Andri.

Sumber : beritanda.com
Selengkapnya...

Petani Desak Cabut HGU Sawit

Sekitar 1200 hektare lahan pertanian Desa Nusantara terancam beralih fungsi.
 
Petani padi di Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, meminta agar Hak Guna Usaha (HGU) Kelapa Sawit dicabut. Mereka mengaku lahan pertanian yang selama ini ditanami padi terancam beralih menjadi kebun kelapa sawit.

Sukirman, salah seorang petani menuturkan, keresahan petani bermula pada tahun 2005 ketika Pemerintah Kabupaten OKI menerbitkan izin prinsip perkebunan kelapa sawit seluas 42 ribu hektare yang tersebar di 18 desa di Kecamatan Air Sugihan untuk PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML).

Keresahan itu kian menjadi begitu begitu diterbitkan HGU oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten OKI empat tahun kemudian. SAML pun berhasil menguasai sawah petani di 17 desa setelah pemilik sawah mau menjual sawahnya dengan uang "tali asih" per hektare sebesar Rp1 juta. Tapi petani yang ingin menanam padi di sawah yang telah dijualnya harus membayar Rp2 juta per hektare.

Pemberian izin lokasi untuk usaha perkebunan kelapa sawit itu mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat yang ikut menyarankan petani agar mau sawahnya diganti rugi. Petani Desa Nusantara yang menolak dikatakan melawan pemerintah. Intimidasi pun datang dari aparat yang kerap mendatangi warga dan menyuruh menjual sawahnya. Luas lahan milik petani Desa Nusantara sekitar 1200 hektar. Jumlah petani DesaNusantara ada sekitar 600 orang.

"Kami mendapat intimidasi dikatakan salah karena tidak mengikuti program pemerintah," kata Sukirman di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Jumat (23/11).

Dianggap berseberangan dengan pemerintah, Sukirman dan petani lainnya Ahmad Rusman diberhentikan dari Badan Pemusyawaratan Desa (BPD).

"Hanya desa kami yang menolak. Desa lain sudah ditanami," ujar Ahmad.
Staf pengembangan organisasi rakyat Walhi Dedek Chaniago menyebutkan pihaknya bersama Sukirman dan Ahmad telah mendatangi BPN Provinsi Sumatera Selatan pada 2011 lalu. Dikatakan kalau proses terbitnya HGU telah sesuai prosedur. "Namun BPN pusat menyatakan cacat hukum," ujar Dedek.

Pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, BPN diduga tidak melakukan kajian terhadap kelayakan pengeluaran HGU dan terjadi suap dalam proses penerbitan HGU tersebut.

"Pertanian padi menjadi pencaharian utama di Desa Nusantara dan 17 desa lainnya.Tiap panen, per hektar sawah di Desa Nusantara bisa menghasilkan beras 4 ton dan mampu menyuplai persediaan pangan bagi Kabupaten OKI dan sekitarnya sampai 4800 ton. Sukses ini ditandai dengan diresmikannya Desa Nusantara sebagai lumbung padi Kabupaten OKI," kata Zenzi.

M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Walhi menilai pemerintah kehilangan arah menetapkan program yang harus menjadi prioritas.

"Kami melihat saat ini pemerintah gamang, hilang orientasi mana program yang harus menjadi prioritas. Padahal baik Presiden maupun kementeriannya menyadari bahwa pangan paling penting saat ini," kata Islah.

Sumber : Jurnas.com 
Selengkapnya...

Khawatir Lingkungan Rusak, Walhi Sumsel Tolak Pabrik Kertas

PALEMBANG--MICOM: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Sumsel) bersama dengan Koalisi Masyarakat sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Keselamatan Rakyat menolak rencana pembangunan pabrik bubur kertas di wilayah tersebut.

Pabrik tersebut direncanakan dibangun di kawasan Desa Air Sugihan, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel.

Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat menilai pembangunan pabrik PT OKI Pulp and Paper Mills merupakan ancaman bagi hutan Indonesia dan keselamatan rakyat.

Sumsel memiliki hutan seluas 3,7 Juta hektare. Saat ini luasan hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 Ribu hektare.

"Kerusakan Hutan salah satunya disebabkan oleh pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)," jelas Sadat.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel 2012, luas HTI di Sumsel berjumlah 1.375.312 hektare yang dikuasai oleh 19 perusahaan. Dari luasan tersebut hanya 944,205 hektare yang efektif untuk tanaman pokok.

Rencana pemerintah untuk membangun pabrik yang digadang-gadang merupakan terbesar di dunia tersebut oleh perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing berdasarkan Surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang izin Prinsip Penanaman Modal PT OKI Pulp and Paper Mills.

"Rencana akan dibangun di Desa Jadi Mulya dengan luas mencapai 2.800 Hektare, 200 hektara di antaranya untuk Dermaga. Namun, kajian Amdalnya masih belum diputuskan instansi terkait," tambah Sadat.

Pabrik tersebut nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Selain itu, ujarnya pembangunan pabrik ini juga diperkirakan akan semakin meningkatkan konflik agraria di Sumsel yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan.

Bupati OKI Ishak Mekki, mengatakan pabrik yang akan dibangun di kawasan desa Air Sugihan Kecamatan Air Sugihan akan menampung banyak tenaga kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat terutama yang menanam pohon kertas.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumsel Yusrin Effendi mengaku belum mendapatkan kabar perihal pembangunan pabrik kertas tersebut. Pun dengan Dinas Penanaman Modal Asing Provinsi Sumsel Permana juga belum mendapatkan kabar pembangunan pabrik yang merupakan investasi modal asing.

sumber ; http://m.mediaindonesia.com
Selengkapnya...

Ribuan Hektar Sawah Desa Nusantara Terancam Sawit

“Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”
LAHAN sawah Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) seluas 1.200 hektar terancam keberadaan kebun sawit PT Selatan Agro Makmur (SAM). Perkebunan sawit ini mendapat izin prinsip dari Bupati OKI Nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, seluas 42.000 hektar terletak di 18 Desa di Kecamatan Air Sugihan.
Warga di desa lumbung padi di OKI ini dibujuk menyerahkan lahan mengikuti jejak 17 desa lain. Warga desa terus bertahan meskipun mendapatkan intimidasi berbagai pihak, dari aparat pemerintah daerah sampai aparat keamanan.  Bahkan, tanpa sepengetahuan mereka BPN Sumsel mengeluarkan hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan di atas lahan desa ini.
Mereka ke Jakarta ingin mengadu, tetapi sampai saat ini masih kesulitan bertemu pejabat Kementerian Pertanian.  Mereka juga ingin mengadu ke wakil rakyat di Senayan. Sukirman Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB),  mengatakan,  awalnya lahan pertanian di Kecamatan Sugihan ada di 18 desa. Kini, tinggal Desa Nusantara yang bertahan tak mau menyerahkan lahan kepada perusahaan untuk menjadi kebun sawit.
Sampai saat ini, warga Desa Nusantara terus didekati. Pemerintah daerah menilai mereka salah, karena tak bersedia menyerahkan lahan menjadi kebun sawit. “Kami dianggap tak mau mematuhi program pemerintah,” katanya di Jakarta, Jumat(23/11/12).  Bahkan, camat menakut-nakuti, jika warga tak menurut akan ditangkap.  “Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”
Kini, lahan sawah mereka berada di tengah-tengah kebun sawit yang sudah mulai ditanam. Tak hanya ancaman lahan dicaplok, wargapun menghadapi dampak buruk kehadiran kebun sawit itu. “Hutan yang sudah tidak ada, menyebabkan babi masuk kampung. Tak hanya merusak tanaman juga menyerang manusia,” katanya. Hama lain seperti belalang pun mulai datang. Belum lagi pasokan air berkurang karena perusahaan membangun kanal-kanal setiap 200 meter. Air pun tersedot kanal yang digunakan sawit, si tanaman rakus air ini.
Kondisi ini, kata Sukirman, berujung pada hasil panen mulai menurun. Dulu, sebelum sawit datang, petani bisa panen empat sampai tujuh ton per hektar.  “Saat ini berkisar tiga ton.”
Dia benar-benar tak habis pikir, pemerintah bisa bertindak seperti ini.  Satu sisi gerakan swasembada pangan digembar-gemborkan, tetapi warga yang berusaha memenuhi pasokan pangan, bahkan desa ini menjadi lumbung padi OKI,  memasok beras sekitar 4.800 ton, malah diumpankan ke perusahaan sawit.
Ahmad Rusman Sekretaris FPNB menambahkan.  Menurut dia,  kekhawatiran mereka saat ini tentang HGU perusahaan sudah keluar dengan memasukkan Desa Nusantara. “Padahal, warga desa tak pernah ada yang setuju.” Saat mengetahui HGU keluar 2009, mereka lalu mendatangi BPN provinsi. “BPN bilang kalau HGU keluar karena sudah  ada pernyataan Kades. Lalu, kami tanyakan ke Kades dan dia membantah. Tapi kami yakin Kades beri pernyataan itu, terbukti HGU keluar.”
Warga terus berjuang menolak kebun sawit.  Sejak 2007, alat berat perusahaan masuk desa untuk menggusur warga. Warga bertahan, alat beratpun ditahan. Bahkan, ada satu eksavator menjadi besi tua.
Warga bersama Walhi Sumsel, mendatangi BPN Pusat menanyakan proses HGU keluar tanpa persetujuan warga. “BPN Pusat menyatakan HGU cacat hukum, tetapi akan melakukan cross check ke daerah. Saat itu, mereka ditemui Direktur Konflik BPN,” kata Dede Chaniago, dari Walhi Sumsel.
Kondisi miris pun kini dialami warga desa yang bersedia menyerahkan lahan. Mereka mendapat  ganti rugi Rp1 juta. “Kini, warga yang mau bertani, bisa menyewa dengan perusahaan, dengan sewa Rp2 juta!” Bukan itu saja, produktivitas merekapun turun drastis. “Kalau dulu satu hektar bisa empat ton, sekarang mau lima kuintal saja susah,” ucap Sukirman.
Sukirman dulu Kepala Urusan Umum di kecamatan tetapi dipecat karena dianggap tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah. “Tahun 2005 diberhentikan. Tahun itu, kebun ini mulai dibahas di desa, saya sudah berseberangan. Lalu dipecat.”
Dia menceritakan, perjuangan warga menjadikan kawasan transmigrasi itu lumbung padi begitu berat. Upaya itu sejak 1981 kala pemerintah menempatkan mereka di daerah ini. “Kelompok kami ini sisa petani yang bertahan dari bencana kekeringan 1982 dan 1992. Saat itu, banyak mengalami kelaparan dan kematian. Banyak pula pulang kampung karena tidak kuat membuka lokasi transmigrasi.”
Menyikapi masalah ini, Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi, menilai pengeluaran HGU di atas tanah hak milik warga indikasi BPN tidak melalui proses benar. Ada dua kemungkinan. Pertama, BPN tidak mengkaji kelayakan pengeluaran HGU ini, kedua, praktik suap mewarnai proses pengeluaran keputusan HGU ini.
“BPN bertanggung jawab menghormati dan mematuhi UU dimana tanah garapan warga harus dilepaskan dari HGU pihak lain.”  Dalam surat izin lokasi Bupati OKI yang menjadi dasar pengeluaran HGU menyebutkan, bagi warga yang tanah, tanaman dan rumah yang tak bersedia dilepaskan, wajib dikeluarkan alias di-enclave dari  kawasan perkebunan.
Tak hanya itu, kata Zenzi, untuk membatasi wilayah perusahaan dan masyarakat harus ada buffer zone guna mencegah hama masuk. “Kalau sekarang produksi sudah menurun karena ada hama padi. Buffer zone harus dibuat.”
Menurut M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi, konversi lahan pertanian pangan sudah menjadi tragedi nasional. Paling tidak konversi lahan pertanian mencapai 100 ribu-150 ribu hektar per tahun.
Dia berharap,  pemerintah bisa membuka mata, jangan memberi ruang perusahaan besar masuk dengan menyingkirkan petani-petani kecil yang sudah mandiri. “Jadi lebih baik buka pertanian berbasis rakyat daripda perusahaan skala besar dengan dampak besar bagi lingkungan dan tak memberi kontribusi pada petani,” ujar Islah.
Namun hingga kini, belum ada  langkah nyata pemerintah melindungi lahan petani dari konversi bagi peruntukan selain pertanian, maupun perampasan lahan oleh perkebunan skala besar.
Dengan kondisi ini, kata Islah, kerja sama antara Kementrian Pertanian dengan Kementerian Transmigrasi,  dan Kementrian Kehutanan, menjadi tidak ada artinya jika lahan pertanian pangan transmigran tidak dilindungi.
Selengkapnya...

SENGKETA LAHAN: PETANI SAWIT MINTA HGU SELATAN AGRO MAKMUR LESTARI DICABUT

JAKARTA: Para petani Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan mendesak agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan kelapa sawit di wilayah tersebut karena mengancam sawah-sawah masyarakat yang dibuka sejak 1981 sebagai bagian dari program transmigrasi.
Sukirman, Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB), mengatakan tanah yang dimiliki warga desa tersebut sebelumnya dibuka dengan susah payah oleh para transmigran pada 1981, mengikuti program pemerintah tentang transmigrasi dahulu.

Walaupun lahan di desa tersebut memiliki keasaman tinggi, namun akhirnya para transmigran berhasil menjadikannya sebagai sentra tanaman pangan dan memproduksi padi tadah hujan. Para transmigran kebanyakan berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
"Sebelumnya terjadi kekeringan dan kelaparan pada 1992, sehingga ada yang menyerah, pulang kembali ke Jawa. Kekeringan dan kelaparan itu menimbulkan kematian sebagaian masyarakat," ujar Sukirman dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/11/2012).

"Kami harus bekerja keras lagi saat ini, karena perkebunan kelapa sawit mulai dibuka dan berpengaruh pada debit air tanah yang terus menurun."
Pada 2005, PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML) memperoleh izin prinsip pemerintah daerah dengan luas 42.000 hektar, yang terbentang pada 18 desa di Kecamatan Air Sugihan, termasuk Desa Nusantara.

Desa tersebut merupakan wilayah satu-satunya yang melakukan perlawanan hingga kini untuk menolak memberikan lahan mereka kepada perusahaan untuk diganti rugi. Sebanyak 17 desa lainnya secara perlahan menerima ganti rugi di bawah ancaman dan kebutuhan ekonomi.   Pada 2009, BPN Kabupaten OKI mengeluarkan HGU untuk perusahaan tersebut dengan luas yang sama.
Pada pekan ini, Sukirman bersama Sekretaris FPNB Ahmad Rusman didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan telah mendatangi BPN di Jakarta terkait desakan pencabutan HGU tersebut.

BPN berjanji untuk mengecek kembali penerbitan yang dikeluarkan BPN di daerah tersebut.   Pekan depan, mereka akan menemui Kementerian Pertanian dan Komisi II DPR RI terkait dengan persoalan yang mengancam kehidupan masyarakat Desa Nusantara hingga kini.

Sumber : www.bisnis.com
Selengkapnya...

Lahan padi transmigran direbut perusahaan sawit

Dua warga Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugian, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, mendatangi kantor LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Kedatangan dua warga yang bernama Sukirman dan Ahmad Rusman ingin mengadu soal alih fungsi lahan padi milik mereka oleh perusahaan sawit PT Selatan Agro Makmur Lestari (SMAL).

"Kami ingin mempertahankan lahan padi kami," ujar Sukirman di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta, Jumat (23/11/20012).

Sukirman yang mengaku sebagai anak dari keluarga transmigran yang datang ke Sumsel sejak tahun 1981 untuk membuka lahan padi. Saat itu lahan tersebut masih berupa hutan belantara, tak sedikit warga terpaksa kembali ke tanah Jawa karena tidak sanggup melanjutkan perjuangan membuka lahan.

"Kami telah berjuang untuk menjadikan hutan itu menjadi lahan subur bagi padi kami, tapi kenapa sekarang tanah kami mau diambil untuk kebun sawit," ujarnya dengan nada sedih.

Ahmad Rusman rekan Sukirman, mengaku tidak mengerti, PT SAML itu sudah mendapat izin prinsip dari Bupati OKI. Dibuktinya dengan surat izin nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, untuk menggarap lahan seluas 42 ribu ha, yang terletak di 18 desa di Kecamatan Air Sugihan.

Kata Rusman, Dinas Pertahanan Daerah Sumsel juga menyatakan izin itu sudah sesuai prosedur karena ditandatangani Kepala Desa Nusantara. Sementara Kades Nusantara menolak dan tidak mengaku memberikan persetujuan.

"Kita sudah berupaya dengan berbagai cara untuk mendekati Pemerintah Daerah tapi selalu gagal, kami juga akan menuntut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat Untuk kembali mengecek persoalan perizinan ini, dan dicabut," desaknya. 

Sumber : www.sindonews.com
Selengkapnya...

Sabtu, November 24, 2012

Sawit, Hama puncak lumbung Padi Desa Nusantara Sumsel

Pak Sukirman Mantan Kaur Desa Nusantara sekaligus Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu, menyatakan bahwa kelompok petani transmigrasi di desa nusantara kebupaten OKI provinsi Sumsel, sukses merubah kawasan hutan belantara menjadi kawasan sentra tanaman pangan sejak tahun 1981. Kelompok kamii adalah sisa petani yang bertahan dari bencana kekeringan 1982 dan 1992 yang mengakibatkan kelaparan dan kematian, tidak sedikit juga yang memutuskan pulang ke kampung halamannya di tanah jawah karena tidak kuat menghadapi kesulitan di lokasi transmigrasi yang baru dibuka. Kesuksesan dan kegigihan petani keluar dari krisis dengan mengola tanah tadah hujan dalam kepungan hama babi, gajah dan binatang buas lainnya. . Lahan tadah hujan dengan tingkat keasam tinggi seluas 1200 hektar di Desa Nusantara, oleh 600 kepala keluarga diolah hingga mampu memproduksi beras 4 ton per hektarnya dimana setiap musim tanam dari Desa ini mampu menyuplai persediaan pangan bagi kabupaten OKI dan sekitarnya hingga 4800 Ton. Sukses ini ditandai dengan diresmikannya desa Nusantara sebagai lumbung padi kabupaten OKI oleh Wakil Gubernur Sumsel.
Sejak tahun 2005, menurut Pak Ahmad Rusman selaku sekretaris Forum Petani Nusantara Bersatu, untuk mempertahankan daya produksi padi, petani harus kerja yang lebih keras karena debit air tanah yang jauh menurun akibat perkebunan kelapa sawit yang mencapai 41.000 hektar disekitar kawasan sawah petani. Perkebuan kelapa sawit milik PT. SAML ini mendapat izin prinsip dari Bupati OKI Nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, seluas ±42.000 Ha yang terletak di 18 Desa di Kec. Air Sugihan, bahkan selain harus menghalau hama babi dan tikus, petani juga harus selalu siaga menghalau eksavator eksavator perusahaan perkebunan yang sejak tahun 2007 terus berusaha menggusur kawasan persawaan warga. Ketakutan petani terhadap perubahan lingkungan dan penggusuran berubah menjadi kenyataan kehilangan hak sama sekali setelah BPN mengeluarkan HGU secara sepihak terhadap PT. SAML tahun 2009 seluas 42.000 hektar, sambungnya.
Sedangkan Zenzi Suhadi selaku pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar eksekutif nasional WALHI, menilai bahwa kejadian pengeluaran HGU diatas tanah hak milik warga merupakan indikator bahwa proses pengeluaran HGU oleh BPN tidak melalui proses yang benar, ada 2 kemungkinan, yang pertama BPN tidak melakukan kajian terhadap kelayakan pengeluaran HGU ini, atau kemungkinan lain praktek suap mewarnai proses pengeluaran keputusan hak guna usaha ini. Terlepas dari kedua kemungkinan tersebut, BPN bertanggung jawab untuk menghormati dan mematuhi undang undang dimana tanah garapan warga harus dilepaskan dari hak guna usaha pihak lain. Dalam surat izin lokasi Bupati OKI yang menjadi dasar pengeluaran HGU mewajibkan syarat bahwa tanah yang tidak diganti rugi harus enclave dari kawasan perkebunan. Bila terbukti ada tanah dengan status sertifikat hak milik masuk kedalam lokasi HGU yang dikeluarkan kemudian, kepolisian daerah sumsel harus menerapkan pidana terhadap pejabat yang terlibat dalam pengeluaran HGU PT. Selatan agro makmur.nomor : 07 dan 08 tahun 2009.
Menurut M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Eksekutif Nasional WALHI, tingginya konversi lahan pertanian pangan sudah menjadi tragedi nasional, paling tidak konversi lahan pertanian mencapai 100.000-150.000 Ha pertahun. Namun hingga kini, belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk melindungi lahan petani dari konversi bagi peruntukan selain pertanian, maupun dari perampasan lahan oleh perkebunan skala besar. Hal ini berdampak pada rawannya kedaulatan pangan bangsa. Karena selain menyebabkan turunnya angka produksi pangan nasional, juga berpindahnya penguasaan lahan pertanian, petani akan menjadi buruh diatas tanahnya sendiri.
Islah, menambahkan bahwa kerjasama antara Kementrian Pertanian dengan Kementerian Transmigrasi, juga dengan Kementrian Kehutanan, menjadi tidak ada artinya jika lahan pertanian pangan transmigran tidak dilindungi. ”adalah Ironi jika menteri pertanianbersusah payah untuk mendapatkan perluasan lahan pertanian baru, sementara lahan pertanian pangan yang sudah ada dibiarkan hilang”.(Walhi)
 Jakarta,23 November 2012
(Walhi, KPA, Forum Petani Nusantara Bersatu )
Selengkapnya...

Koalisi Rakyat Tolak Pembangunan Pabrik Kertas Oki Pulp and Paper

Jika pembangunan pabrik pulp di Kabupaten OKI dan beberapa daerah Sumsel lainnya diteruskan, dikhawatirkan terjadinya ekspansi ijin HTI secara besar-besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel akan semakin parah 

Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan dan keselamatan rakyat Sumatera Selatan menyatakan menolak pembangunan pabrik bubur kertas atau "pulp and paper mills" di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Wahana Bumi Hijau (WBH), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia Sumsel di Palembang, Jumat mengeluarkan pernyataan sikap bersama mendesak Pemerintah Kabupaten Ogan Komeing Ilir (OKI) menghentikan rencana pembangunan pabrik PT.OKI Pulp and Paper Mills.

PT.OKI Pulp and Paper Mills merupakan perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing (surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang ijin prinsip penanaman modal PT.OKI Pulp and Paper Mills), rencananya dibangun di Desa Jadi Mulya, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI dengan luas mencapai 2.800 ha, dan 200 ha di antaranya untuk dermaga.

Selain itu juga mendesak Pemerintah Provinsi Sumsel menghentikan rencana pembangunan pabrik "pulp and paper mills" di kabupaten lainnya, karena hanya akan mengancam kelestarian hutan serta keselamatan rakyat provinsi ini.

Kemudian juga meminta Pemprov Sumsel menghentikan ekspansi perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) di provinsi ini, karena telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan alam.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat menambahkan, provinsi ini memiliki hutan seluas 3,7 juta hektare, namun dari jumlah itu saat ini luasan hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 ribu ha.

Kerusakan hutan cukup luas tersebut salah satunya disebabkan oleh pembangunan HTI yang menjadi sumber bahan baku pabrik kertas itu.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel pada 2012 terdapat HTI seluas 1,375 juta ha yang dikuasai oleh 19 perusahaan, dari luasan tersebut hanya 944.205 ha yang efektif untuk tanaman pokok, katanya.

Sementara aktivis Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel Deddy Permana menjelaskan, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang saat ini sedang dibahas dan akan ditetapkan oleh Komisi Amdal Sumsel, menyebutkan bahwa pabrik tersebut nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Kebutuhan pasokan kayu yang sangat besar ini berdasarkan perhitungan teknis tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas ada di sekitar pabrik akan dibangun tersebut, termasuk oleh tujuh perusahaan milik Sinar Mas Grup di Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Banyuasin dengan luas mencapai 787.955 ha.

Berdasarkan perhitungan dengan asumsi hanya 40 persen atau 472.773 ha dari luas lahan dimiliki grup perusahaan HTI itu yang produktif untuk ditanami akasia, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu/tahun pabrik pulp membutuhkan lahan seluas 2.064.000 ha.

Jika pembangunan pabrik pulp di Kabupaten OKI dan beberapa daerah Sumsel lainnya diteruskan, dikhawatirkan terjadinya ekspansi ijin HTI secara besar-besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel akan semakin parah, katanya.
 
Sumber : Sumsel.antaranews.com
Selengkapnya...

Jumat, November 23, 2012

Sawah Tergusur Sawit, Petani Minta Cabut HGU

Masuknya invasi sawit terhadap pemukiman transmigran membuat dua warga Desa Nusantara Kecamatan Air Sugihan Sumatera Selatan menuntut agar HGU PT Selatan Agro Makmur Selatan (SAML) dicabut.

Hal itu disampaikan oleh Sukirman warga desa Nusantara di Jakarta, Jumat (23/11/2012). “Kami meminta agar tanah 42 ribu Hektar dikembalikan lagi kepada warga. Semenjak adanya sawit, warga terpecah karena kepentingan perusahaan,” ujar Sukirman.

Wilayah desa Nusantara merupakan zona transmigrasi sejak tahun 1981. Awalnya masing-masing desa memiliki 512 kepala keluarga. Namun, sejak tahun 2007 PT SAML menguasai 17 desa untuk dibayarkan 1 juta per hektar.

“Hanya desa Nusantara saja yang tidak mau dibayarkan. Tanah kami seluas 1200 hektar tetap dipertahankan oleh warga,” tegas Sukirman, yang juga ketua Forum Petani Nusantara Bersatu.

Sukirman juga menceritakan bagaimana awalnya pemerintah tidak menepati janji kepada transmigran. Pada tahun pertama. Banyak warga yang pulang dan meninggal karena sakit. Membangun jalan sendiri dan fasilitas secara mandiri.

“Setelah kami rapikan, baru PT SAML itu masuk. Ya kami tetap pertahankan walau tanah sudah mulai tidak produktif” jelasnya.

Desa Nusantara merupakan wilayah lumbung padi di Sumatera Selatan khususnya Kabupaten OKI. Jumlah panen yang dihasilkan hingga 4800 ton. Hasil panen berkurang setelah masuknya perkebunan sawit skala besar.

“Selain kami menghalau babi, kami juga harus siaga melawan eskavator perusahaan,” pungkas Sukirman.
 
Sumber : LensaIndonesia.com
Selengkapnya...

Kamis, November 22, 2012

Pembagunan Pabrik PT. OKI Pulp and Paper Mills ; Ancaman bagi Hutan Indonesia dan keselamatan Rakyat.


Sumatera selatan memiliki Hutan seluas 3,7 Juta hektar, dan saat ini luasan Hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 Ribu Hektar. Kerusakan Hutan salah satunya disebabkan oleh pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, luas HTI di sumatera selatan adalah 1,375,312 Hektar yang dikuasai oleh 19 Perusahaan, dari luasan tersebut hanya 944,205 Hektar yang efektif untuk tanaman pokok.

Tidak lepas dari persoalan diatas, tahun ini Pemerintah Sumatera selatan berencana akan membangun 2 Pabrik Pulp and Paper Mills yang berada di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Salah satu pabrik yang akan dibangun tersebut adalah PT. OKI PULP and PAPER MILLS, merupakan perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing (Surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang izin Prinsip Penanaman Modal PT.OKI Pulp and Paper Mills), yang rencananya akan dibangun di desa Jadi Mulya Kecamatan Air sugihan kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luas mencapai 2.800 Hektar, 200 hektar diantaranya untuk Dermaga.

Dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang saat ini sedang di bahas dan akan ditetapkan oleh Komisi Amdal Propinsi Sumsel menyebutkan bahwa, pabrik pengelolaan Pulp Mills ini nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Kebutuhan pasokan kayu yang sangat besar ini berdasarkan analisis yang kami lakukan tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas yang ada di sekitar pabrik tersebut, termasuk oleh 7 perusahaan milik SINAR MAS Grup yang ada di Sumsel (MUBA,OKI dan Banyuasin) dengan luas mencapai 787.955 hektar dengan asumsi hanya 40 % atau 472.773 Hektar dari luas lahan tersebut yg produktif untuk ditanami akasia. karena menurut perhitungan yang kami lakukan, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu/tahun pabrik ini membutuhkan lahan seluas 2.064.000 ha lahan.[1]

Dampaknya akan menyebabkan terjadinya ekspansi izin HTI besar besaran dan kerusakan Hutan alam Sumatera selatan tersisa, tidak menutup kemungkinan ekspansi ini akan merambah ke Propinsi lainnya, yang sebenarnya juga mengalami kekurangan pasokan kayunya untuk memenuhi kebutuhan Pabrik mereka, contoh di Propinsi Riau dengan kondisi luasan HTI yang lebih luas dari sumsel saja, Pabrik Pulp and paper PT. IKPP (sinar Mas group) dan PT. RAPP (APRIL Group) dengan kapasitas masing masing 2.000.000 Ton/tahun masih kekurangan pasokan kayunya sehingga mengambil pasokan kayu dari hutan alam Riau.

Disisi lainnya pembangunan pabrik ini juga diperkirankan akan semakin meningkatkan konflik konflik agraria di sumsel yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Padahal sampai dengan saat ini pembangunan HTI oleh anak perusahaan milik Sinar mas Group tidak pernah lepas dari konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Seperti Konflik lahan antara masyarakat Desa Riding vs PT. Bumi Mekar Hijau seluas 10.000 hektar, Konflik masyarakat Desa Gajah mati Vs PT. Bumi Mekar Hijau dengan luas mencapai 4.000 hektar, konflik masyarakat Sinar Harapan Vs PT. Bumi Persada Permai seluas 500 hektar. Selain konflik agraria antara masyarakat dengan Perusahaan, terdapat juga kasus Perusakan Hutan alam Merang Kepayang oleh PT. Rimba Hutani Mas (RHM) yang ada di Musi Banyuasin sampai saat ini masih terus disuarakan oleh Walhi Sumsel dan WBH Palembang.

Atas dasar beberapa hal yang telah kami uraikan diatas, kami dari Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan Hutan dan Keselamatan Rakyat menyatakan sikap kepada pemerintah Sumsel dan Kabupaten OKI untuk :

  1. Stop rencana pembangunan Pabrik PT. OKI Pulp dan Paper Mills di kabupaten Ogan Komering Ilir dan Pabrik pulp dan paper mills yang ada di Kabupaten lainnya di Propinsi Sumatera Selatan. Karena hanya akan mengancam Kelestarian hutan dan keselamatan Rakyat khususnya di Sumatera Selatan.
  2. Hentikan ekspansi perizinan Hutan Tanaman Industri di Sumatera Selatan karena telah  berkontribusi terhadap Kerusakan Hutan alam di Sumatera selatan.


Palembang,   November 2012
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENYELAMATAN HUTAN DAN KESELAMATAN RAKYAT
Dto,

(Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia)




Kontak Person :
Anwar Sadat Walhi Sumsel       : 0812 785 5725
Deddy Permana WBH Sumsel : 0812 783 5776  
Hadi Jatmiko Walhi sumsel : 0812 7312042


[1] Jika 1 ton pulp membutuhkan 4,5 m kubik kayu, maka untuk memenuhi 2.000.000 ton pulp setiap tahun di butuhkan 9.000.000 kubik kayu, kalau hitungan perusahaan adalah 8.600.000 meter kubik. Jika satu hektar lahan menghasilkan 25 kubik kayu, maka untuk mendapatkan 8.600.000 kubk bahan baku di butuhkan lahan seluas 344.000 ha/tahun yang harus di tebang/panen. Dengan daur tanaman akasia yang mencapai 6 tahun maka untu menjamin perusahaan tidak kekurangan bahan baku minimal harus tersedia lahan seluas 344.000 ha x 6 tahun = 2.064.000 ha lahan.

Selengkapnya...

Selasa, November 20, 2012

Banjir di Sumsel akibat Akumulasi Krisis Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatra Selatan (Walhi Sumsel) menilai banjir yang melanda Kota Palembang serta Sumsel lima tahun terahir merupakan akumulasi krisis lingkungan.

Krisis lingkungan tersebut, karena telah berkurangnya penyangga air yang berada di sembilan anak Sungai Musi. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan alih fungsi lahan serapan yang berada di hulu sungai.

Kepala Devisi Pengorganisasian Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, saat ini kiriman air dari seluruh anak sungai musi yang berada di Kota Palembang serta Sumsel belum masuk ke Sungai Musi.

"Jika air dari anak sungai sudah sampai ke Sungai Musi, tak terlekan lagi Palembang terancam karam ditambah lagi dengan musim pasang pada akhir tahun," jelasnya.

Ia menjelaskan, saat ini curah hujan di Sumsel masih dalam tahap hujan sedang. " Hujan sedang di perkirakan akan berlangsung hingga Maret 2013," imbuhnya.

Hadi mencontohkan, lebih dari seratus anak sungai musi berada di Palembang. Sementara drainase yang berada di kawasan barat Palembang akan bermuara ke kawasan Sungai Bendung yang berada di Sekip Raya.

" Mangkanya sangat penting pemerintah melakukan revitalisasi terhadap sungai Bendung mengingat anak sungai yang ada di Palembang sekarang telah berkurang menjadi 60 buah", tegasnya.

Sementara itu Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumsel Najib menjelaskan, banjir yang melanda Sumsel lebih dikarenakan letak geografis Sumsel yang sebagian besar merupakan dataran rendah dengan curah hujan lebih tinggi.

Sumber : Media Indonesia 
Selengkapnya...

Sabtu, November 17, 2012

Tuntut Kesetaraan Hukum

SEKAYU - Lebih dari 1000 masa dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, Dewan Petani Sumsel (DPSS) yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel berdemo di dua tempat, kemarin (13/11). 
 
Massa menyambangi Mapolres Muba dan Gedung DPRD Muba. Puluhan kendaraan truk maupun bus yang mengangkut masa dari empat kecamatan yakni  Keluang, Batang Hari Leko, Tungkal Jaya dan Bayung Lencir menuntut keadilan hukum terkait pelanggaran hukum di kawasan Hutan Suaka Margasatwa Dangku oleh Perusahaan Perkebunan dan Kegiatan Illegal Logging yang tetap marak.“Kami menduga adanya pelanggaran hukum dikawasan Hutan Suaka Margasatwa Dangku oleh Perusahaan Perkebunan dan kegiatan illegal Logging,”tegas Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat.

Masih kata dia, ratusan hektare lahan hutan suaka yang digarap oleh perusahaan perkebunan, sama sekali tidak mendapat  tindakan dari penegak hukum, baik oleh BKSDA maupun oleh Petugas Polres Muba. “Sebaliknya warga yang hanya menggarap lahan 2 hektare untuk kebutuhan hidup, langsung ditangkap aparat. Kalau memang kawasan hutan suaka margasatwa harus dilingdungi, semuanya harus dilibas, jangan pilih kasih,”katanya.

Demo berakhir dengan penyerahkan berkas pelanggaran hukum yang perlu ditindaklanjuti. Berkas diterima oleh Kapolres Muba AKBP Toto Wibowo melalui Kabag OPS Polres Muba AKP Rahmat Sihotang.
Selanjutnya masa bergerak menuju gedung DPRD Muba. Para perwakilan dari peserta demo  yakni  Zaki, M Nur Jakfar, Anwar Sadat diterima oleh Komisi III DPRD Muba Yakni Astawillah, Damsi Ucin, Robinson Malian dan Hery Kusmayadi.“Sebenarnya ranah persoalan warga ini adalah Komisi II bukan Komisi III. Namun karena tidak ada anggota dewan lainnya , dan rasa tanggungjawab, kita siap menampung aspirasi warga, yang nantinya akan kita teruskan ke komisi II dan Ketua DPRD Muba,”ujar Robinson.

Ketua AMAN, M Nur Jakfar dari Desa Dawas menuturkan kondisi petani di Muba kian terhimpit. Pasalnya, lahan sudah dikavling perusahaan perkebunan, pertambangan dan kehutanan terjadi tumpang tindih. “Tidak ada pemetaan yang akurat sehingga rakyat yang jadi korban. Belum lagi banyak izin perusahaan yang tidak sesuai,” beber M Nur Jakfar yang sudah melaporkan masalah tersebut sampai ke pemerintah pusat. Sementara janji pemerintah pusat dan daerah akan menurunkan tim terpadu hingga kini belum terealisasi.
Selengkapnya...

Stop Penangkapan Petani

SEKAYU– Ribuan petani dari empat kecamatan yang tergabung dalam Dewan Petani Sumatera Selatan (DPSS) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berunjuk rasa kemarin.

Massa yang didampingi Walhi Sumsel itu berasal dari Kecamatan Keluang,Batang Hari Leko, Tungkal Jaya, dan Bayung Lencir. Mereka mendatangi Polres dan DPRD Muba menggunakan belasan truk sambil membawa spanduk yang menyuarakan keadilan lahan yang berpihak kepada rakyat, bukan perusahaan. Aparat penegak hukum diminta tidak lagi menangkapi warga yang berkebun karena ingin menyambung hidup.

Di sisi lain, para cukong pembalakan liar justru dibiarkan, termasuk dugaan pelanggaran hukum pemanfaatan kawasan hutan oleh perusahaan perkebunan dan illegal logging. Aksi massa membuat Jalan Kol Wahid Udin ditutup dan diarahkan ke tempat lain. Massa meneriakkan “land reform”sebagai bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat di bidang pertanahan. Aksi berjalan tertib dan diterima Bag Ops Polres Muba AKP Rahmat Sihotang. Setelah itu, massa melakukan long march ke Gedung DPRD Muba.

Dalam pertemuan dengan anggota Dewan,Ketua AMAN M Nur Jakfar dari Desa Dawas menuturkan, kondisi petani kian terhimpit. Pasalnya, banyak lahan sudah dikaveling perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan, sehingga terjadi tumpang tindih, tidak ada lagi untuk masyarakat. Pada kesempatan itu, anggota DPRD Muba Robinson, selaku pimpinan rapat, siap menampung semua aspirasi warga untuk disampaikan kepada Komisi II yang membidangi masalah tersebut. 
 
sumber : http://www.seputar-indonesia.com/news/stop-penangkapan-petani
Selengkapnya...

Selasa, November 13, 2012

Banjir di Palembang Akibat Kebijakan yang Tidak Perhatikan LH

PALEMBANG, - Sejumlah orang yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI) dan Serikat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, Senin (12/11/2012) siang sekitar pukul 13.00 Wib, mendatangi kantor Pemerintahan Kota Palembang mempertanyakan seringnya terjadi banjir di kota Palembang sekarang.
Sebelumnya ke Pemkot Palembang, mereka menyempatkan diri untuk berorasi di depan Bundaran Air Mancur (BAM), dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan longmarch ke Pemkot Palembang.
Aksi yang dipandu koordinator aksinya, Gita Mension ini menyinggung Pemkot Palembang, bahwa hampir keseluruhan warga Kota Palembang saat ini sedang resah dengan bencana banjir yang tersebar hampir diseluruh wilayah kota Palembang. Tidak hanya mengganggu kenyamanan saja, banjir juga telah merugikan perekonomian warga Palembang. Karena sejumlah barang warga yang terkena banjir banyak yang rusak dan anak-anak pun tak luput  sekolahnya harus diliburkan.
“Penyebab sesungguhnya permasalahan ini, adalah kebijakan atau perizinan pemerintah yang merusak kelangsungan lingkungan hidup (LH). Selain itu, tidak efektifnya drainase yang ada di kota ini termasuk kolam retensi,” katanya dalam orasi.
Gita mengingatkan, sangat banyak sekali contoh yag dapat diuraikan dalam berbagai kegiatan atau usaha yang tidak memiliki izin, sehingga melanggar ketentuan peraturan lingkungan hidup.
“Di Kota Palembang, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), alih fungsi rawa secara masif dan tidak efektifnya keberadaan drainase  dan kolam retensi serta sampah-sampah sehingga banjir permanen selalu terjadi, maka dari itu kami mendesak kepada Pemkot Palembang segera tanggulangi dan atasi permasalahan banjir, dengan cara memperhatikan berbagai aspek lingkungan hidup diperkotaan, perluas ruang terbuka hijau, lakukan konservasi rawa yang tersisa dan benahi sistem drainase,” paparnya.
Sangat disayangkan, aksi yang dilakukan selama lebih kurang satu jam di halaman Pemkot Palembang, tak ada satupun perwakilan dari Pemkot Palembang yang keluar untuk menemui pengunjukrasa. 
Sumber : Beritanda.com
Selengkapnya...

Tuntaskan Masalah Banjir

PALEMBANG– Solusi mengatasi banjir yang kerap melanda Kota Palembang dirasa makin mendesak dan harus tuntas dilakukan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel yang menggelar aksi di depan Kantor Pemkot Palembang kemarin menyampaikan, Pemkot harus segera mengupayakan solusi konkret untuk mengatasi banjir di daerah ini.Menurut koordinator aksi Gita, banjir yang terjadi belakangan ini sudah sangat meresahkan warga.

Tidak hanya mengganggu kenyamanan, banjir juga telah merugikan banyak hal,baik ekonomi,pendidikan, maupun jalur transportasi. “Dalam berbagai bencana ekologi yang ada,termasuk banjir, sudah jelas masyarakat yang menanggung akibatnya. Sementara, penyebab sesungguhnya adalah kebijakan atau perizinan- perizinan yang merusak kelangsungan hidup tidaklah pernah disentuh,”cecarnya.

Menurut dia,penyebab banjir yang tidak tuntas diatasi pemerintah saat ini di antaranya minimnya ruang terbuka hijau (RTH), alih fungsi rawa secara masif dan tidak efektifnya keberadaan drainase. Belum lagi berbagai kegiatan usaha yang tidak pernah memerhatikan lingkungan hidup semakin memicu terjadinya banjir di Kota Palembang “Kami mendesak Pemkot Palembang agar segera mencari solusi untuk mengantisipasi banjir,dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan di perkotaan,”tukasnya.

Kepala Satker Nonvertikal Tertentu (SNVT) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Sumatera VIII Provinsi Sumsel Tagore Ramlan memastikan,segera dibangun kolam retensi di simpang Bandara SMB II, seluas 2 hektare untuk mengatasi banjir di daerah itu.“Pengerjaan pembangunan kolam retensi ini direncanakan dilakukan awal 2013.Kita harap ganti rugi lahannya dapat disegerakan,” kata dia kemarin.

Pembuatan kolam retensi di kawasan ini dinilai sangat mendesak, mengingat tikungan di kawasan tersebut kerap dilanda banjir. Dengan dibangunnya kolam retensi di kawasan itu, dipastikan banjir dapat dikurangi.“ Apalagi lokasi tersebut strategis sebagai akses menuju bandara,”ujarnya. Terpisah,Ketua Komisi III DPRD Kota Palembang M Hidayat menilai, banjir yang terjadi di Kota Palembang tidak sepenuhnya disebabkan aktivitas penimbunan rawa untuk pembangunan mal, ruko, dan perumahan.

“Itu disebabkan beberapa drainase yang ada tersumbat.Untuk itulah,peran aktif masyarakat dibutuhkan, terutama bergotong-royong membersihkan aliran drainase,” ungkapnya. Adapun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) No 5/2008 tentang Rawa, yang dicabut beberapa waktu lalu,kini sudah disahkan.

Pengesahan putusan dicetuskan Pansus XVI DPRD Kota Palembang. Alotnya putusan Perda Rawa ini lantaran harus dikaji dengan beberapa pertimbangan,salah satunya penimbunan rawa reklamasi harus ditimbun dengan pasir bukan tanah. “Kita perlu mempertimbangkan kepentingan rakyat. Kita tidak mau hal yang telah diputuskan akan berdampak buruk,”katanya.

Koica Kaji Penyebab Banjir

Terpisah,Kepala Dinas PU Cipta Karya (PUCK) Rizal Abdullah mengatakan, untuk mengatasi banjir yang terjadi di Kota Palembang,saat ini Korea Internasional Cooperation Agency (Koica) tengah melakukan kajian untuk membentuk master plan pencegah banjir. “Jika master plan-nya sudah selesai pada 2013, implementasi atau pengerjaan di lapangan akan kita laksanakan pada 2014.Kita harapkan,pada 2015 banjir yang terjadi di Kota Palembang dapat sepenuhnya teratasi,” ujar Rizal di ruang kerjanya kemarin.

Agar permasalahan banjir dapat teratasi dengan baik dan cepat, Rizal mengaku, pada 2013 pemerintah pusat telah menyiapkan anggaran melalui APBN sebesar Rp40 miliar, yang nantinya dibagikan ke 15 kabupaten/kota dalam wilayah Sumsel.“Selain anggaran dari pemerintah pusat,pemerintah provinsi maupun kabupaten/- kota juga menyiapkan dana pendamping. Untuk provinsi sekitar Rp1,2 miliar,”tutur dia.

Rizal menuturkan,banjir di Kota Palembang ini di antaranya disebabkan pembangunan yang tidak memedulikan drainase. Jadi, air yang sebelumnya tertampung dengan baik menjadi meluap dan menggenangi jalan maupun permukiman warga. “Kebanyakan saat ini pembangunan lebih didahulukan, baru drainase. Padahal, yang benar itu sebelum melakukan pembangunan, terlebih dahulu kajian dan pembuatan drainase dilakukan.

Dengan begitu, saat terjadi hujan,air dapat mengalir dengan baik menuju sungai,”kata dia. Berdasarkan data Dinas PUBM dan PSDA Kota Palembang, hingga saat ini terdapat 43 titik yang menjadi langganan banjir saat turun hujan. Kawasan yang menjadi langganan banjir tersebut yaitu 12 titik di Kecamatan Ilir Timur II,6 titik di Ilir Timur I, 3 titik di Kalidoni,1 titik di Sako,4 titik di Ilir Barat I, dan 2 titik di Seberang Ulu II.

Sementara, di jalan protokol yang menjadi langganan banjir yaitu Jalan Jenderal Sudirman depan Hotel Sintera, Jalan Basuki Rahmat simpang Polda, Jalan R Sukamto depan Rumah Makan Pindang Meranjat,serta beberapa akses menuju permukiman, seperti Jalan Mayor Salim Batubara, Jalan Pipa Reja, Jalan Seduduk Putih,dan Jalan Sukabangun II.

KBM SDN 156 Berangsur Normal

Setelah sempat diliburkan tiga hari lantaran ruang kelasnya terendam banjir, kemarin ribuan siswa SDN 156 Palembang sudah kembali melakukan kegiatan belajar-mengajar (KBM) secara normal.Meski begitu,di beberapa kelas siswa masih terlihat sibuk membersihkan sisa-sisa banjir. Ditemui di sekolahnya kemarin, Kepala SDN 156 Palembang Sumratul mengatakan, masalah banjir yang merendam puluhan sekolah ini sudah sering mereka adukan ke pemerintah kota hingga DPRD.

Namun, mereka harus kembali sabar karena perbaikan baru akan dianggarkan pada 2013. “Sudah tujuh kali kami melaporkan masalah ini.Terakhir ke DPRD langsung. Kami diminta sabar sampai 2013 karena perbaikan baru dapat dilakukan menggunakan dana tuntas,” tutur Sumratul. Karenatakpunya pilihanlain, pihaksekolahpunpasrahdengan kondisi yang ada, termasuk menjelang musim penghujan seperti ini.

Hanya, agar bukubuku pelajaran dan arsip tidak terendam seperti banjir empat hari lalu, mereka mulai mengamankanarsipdanbuku- buku ke tempat-tempat yang lebih tinggi agar terhindar dari banjir.
Selengkapnya...

Senin, November 12, 2012

Apa Artinya Penghargaan Adipura Jika Palembang Masih Banjir

PALEMBANG – Sejumlah anggota organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel berunjukrasa di depan Kantor Pemkot Palembang, Senin (12/11/2012). Mereka mendesak pemerintah Palembang agar segera mengupayakan solusi untuk mengatasi banjir yang semakin sering terjadi di daerah ini.

“Apa artinya penghargaan Adipura dan penghargaan-penghargaan yang diterima selama ini, jika masyarakat sengsara akibat dilanda banjir,” ujar Koordinator Unjukrasa, Gita yang datang bersama rombongan beberapa saat lalu.

Ia kemudian menjelaskan, saat ini hampir seluruh warga Kota Palembang resah dengan bencana ekologi berupa banjir yang tersebar hampir di seluruh wilayah kota. Tidak hanya mengganggu kenyamanan, banjir juga telah merugikan banyak hal di masyarakat. Kerugian secara ekonomi akibat perabotan rumah tangga yang rusak, anak sekolah harus diliburkan, terhambatnya arus lalu lintas di jalan, dan berbagai kerugian lainnya harus ditanggung masyarakat.

“Dalam berbagai bencana ekologi yang ada, termasuk banjir, sudah jelas masyarakat yang menanggung akibatnya. Sementara penyebab sesungguhnya adalah kebijakan atau perizinan-perizinan yang merusak kelangsungan hidup, tidaklah pernah disentuh,” jelasnya.

Di Kota Palembang sendiri, lanjutnya, minimnya ruang tata hijau (RTH), alih fungsi rawa secara massif, tidak efektifnya keberadaan drainase termasuk kolam retensi dan sampah menjadi pemicu banjir permanen, jika tidak segera diatasi. Belum lagi berbagai kegiatan usaha seperti hotel, mal, rumah sakit, perkantoran, perumahan dan lainnya dipastikan hampir seluruhnya tidak memperhatikan lingkungan hidup.

“Salah satu kasus alih fungsi rawa di Kota Palembang untuk pembangunan ruko adalah yang terjadi di lingkungan warga Lorong Pabrik Gelas, Kalidoni. Akibat yang ditimbulkan sudah jelas banjir yang selalu dialami masyarakat di sana,” sebut Gita.

Karena itu lanjutnya, melalui unjukrasa tersebut pihaknya mendesak Pemkot Palembang agar segera mencari solusi untuk mengantisipasi banjir di kota ini dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan di perkotaan. Seperti, perluasan RTH, konversi rawa yang tersisa, memperbaiki sistem drainase, membangun pengelolaan sampah berbasis komunitas, serta dengan tegas menindak atau mencabut izin usaha yang tidak memperhatikan lingkungan.

sumber : palembang.tribunnews.com
Selengkapnya...

Sabtu, November 10, 2012

Palembang ‘Dikepung’ Banjir

SUKARAMI - Hujan yang mengguyur Kota Palembang pada Kamis malam mengakibatkan ratusan rumah di Kecamatan Kelurahan Sukodadi Kecamatan Sukarami dan Kecamatan Alang-Alang Lebar terendam banjir. Bahkan ketinggian banjir mencapai 130 centimeter (cm). Tak hanya itu, banjir juga menyebabkan banyak kendaraan utamanya sepeda motor yang mogok. Selain sejumlah ruas jalan, gedung sekolahpun tak luput dari genangan air hingga terpaksa meliburkan siswanya sampai kondisi air surut.

Seperti terjadi di SD Negeri 156 Palembang. SDN yang beralamat di Jalan Lukman Idris, Kelurahan Sukodadi Kecamatan Sukarami, Palembang ini terpaksa meliburkan siswanya karena kedalaman air mencapai 1 meter. Akibat banjir ini, sebanyak 1.288 siswanya terpaksa diliburkan hingga kondisi air surut.
Pantauan wartawan koran ini, pagi kemarin Jumat (9/11) tidak ada aktivitas belajar mengajar disini. Sementara ruang kelas tertutup dan sejumlah berkas tampak sedang dijemur karena terndam banjir. Di halaman sekolah tampak anak-anak asyik berenang sambil mencari ikan.
“Sudah biaso banjir ini sejak 8 tahun lalu, tapi ini banjir yang paling besak, jadi tepakso siswa libur sampe air surut,” terang penjaga SDN 156, Harnawansyah, yang tengah sibuk membersihkan ruang kelas.
Sementara itu, Kepala SDN 156 Palembang, Sumratul Ani, melalui Staf Tata Usaha, Erlangga Saputra mengatakan, pihak sekolah sudah mengusulkan dengan Dinas Pendidikan baik itu Kota Palembang maupun Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel, untuk mencarikan solusi atas masalah banjir yang kerap terjadi.
Namun, kata dia, sampai saat ini usulannya belum ada tanggapan, hanya ada beberapa kali Dinas Pendidikan mengecek ke sekolah. “Kami ajukan proposal terus, tapi belum ada tanggapan,” kata Erlangga.
“Akibat banjir ini, sebanyak 36 rombongan belajar  dan 16 kelas dengan jumlah murid 1.288 orang terpaksa diliburkan hingga air surut. Otomatis siswa kami ketinggalan pelajar, nah untuk kelas 6, karena sebentar lagi akan ujian maka diberi les tambahan,” pungkasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Disdikpora Kota Palembang, Drs H Riza Fahlevi mengatakan, banjir yang melanda SD 156 ini memang banjir lokal yang sudah langganan karena kultur tanah.
Sebelumnya juga sudah sempat dilakukan perbaikan kondisi saluran air (gorong-gorong, red) yang mengarah pada sekolah tersebut, namun karena memang kondisi tanahnya yang berada di atas rawa selalu rawan banjir. Saat ini sejumlah sekolah inpres yang berdiri diatas tanah rawa atau sawah sudah dilakukan usulan untuk perbaikan.
“Sudah kita usulkan untuk ditimbun bagi sekolah inpers diatas sawah atau rawa menggunakan dana CSR agar sekolah terhindar dari banjir,” ujarnya.
Terkait kondisi sekolah yang terpaksa diliburkan, Riza menghimbau pada guru atau kepala sekolah untuk meliburkan siswa hingga kondisi sekolah memungkinkan untuk belajar kembali, tapi siswa juga harus tetap diberikan pelajaran dirumah atau dicarikan tempat lain untuk menampung siswa agar tetap bisa belajar. Jika tak memungkinkan sekolah pagi bisa diusahakan sekolah sore.
“Jangan sampai siswa dirugikan dengan alasan banjir, kondisi belajar mengajar harus tetap berlangsung,” imbuhnya.
Mengenai jumlah sekolah yang terendam banjir, bukan hanya SDN 156 saja yang diketahui banjir, melainkan ada juga di sekitaran Kertapati, Sukarami, Merah Mato, Sungai Lais. Pihaknya juga berharap agar sekolah yang kondisi dan letaknya berpotensi terkena banjir agar berkoordinasi dengan pihak kecamatan atau kelurahan setempat untuk membersihkan kondisi selokan atau aliran air lainnya. Agar tidak berpotensi menyebabkan banjir.

* Butuh Tiga Pompa
Memasuki musim penghujan sekarang, beberapa ruas Jalan Protokol di Palembang terkadang tergenang dengan air hujan. Hal itu sering memicu terjadinya kemacetan. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan Sumber Daya Air Kota Palembang tercatat ada sebanyak 43 lokasi genangan air yang menjadi langganan tergenang. Kawasan terbanyak berada di Kecamatan Ilir Timur II.
Rinciannya, Kecamatan Ilir Timur II 12 lokasi, Ilir Timur I terdapat 6 lokasi, Kalidoni sebanyak 3 lokasi, Sako ada 1 lokasi. Lalu, Kemuning terdapat 3 lokasi, Ilir Barat I ada 4 lokasi dan Seberang Ulu II 2 lokasi.
“Biasanya genangan air itu terjadi pada jalan-jalan protokol seperti Jl Jenderal Sudirman depan Hotel Sintera, Jalan Basuki Rahmat Simpang Polda, Jalan R Sukamto depan RM Pindang Meranjat dan lainnya,” ujar Kepala Dinas PU BM dan PSDA Kota Palembang, Dharma Budhy.
Di lokasi itu ketinggian air bisa mencapai 15-30 cm. Daerah tersebut memang menjadi langganan tergenang air, tetapi pihaknya telah berupaya mengantisipasinya dengan melakukan pembersihan drainase dan beberapa kolam retensi. Dalam mengatisipasi banjir, pihaknya telah menyiapkan tujuh pompa air.
Menurut Budhy, berdasarkan masterplan penanggulangan banjir yang dibuat Institut Teknologi Bandung, Kota Palembang membutuhkan satu pompa besar di Muara Sungai, tepatnya di pertemuan Sungai Bendung dan Sungai Musi. Tetapi biayanya sangat mahal sekitar Rp 60 miliar.
“Namun saat ini kita tengah mengajukan tiga pompa tambahan untuk tahun depan. Kondisi pompa yang kita miliki saat ini kondisinya baik. Pengoptimalan kerja pompa air bisa menjadi solusi untuk mengatasi genangan air,” jelasnya.
Selain itu, terang Budi, pihaknya telah menyiagakan petugas sebanyak 12 petugas yang langsung berada di lokasi mesin untuk menjaga apabila volume air hujan sangat tinggi. Berdasarkan pengalaman yang lalu, pihaknya sering melakukan dan  menggalakkan kembali program kali bersih (Prokasih) di setiap Kecamatan di Kota Palembang, yakni dengan membersihkan anak Sungai Musi yang merupakan salah satu faktor untuk mengalirkan air secara alami.
“Nah, tahun ini pun kita gencar melakukannya dibantu dengan TNI dan masyarakat,” pungkasnya.

* Puncak Curah Hujan Terjadi Desember-Januari
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kenten Palembang,  memprediksi musim hujan tahun ini berlangsung hingga awal Mei 2013 mendatang. Untuk puncak curah hujan bulanan bakal terjadi pada Desember-Januari mendatang. Sementara  terkait hujan yang mengguyur Kota Palembang dua hari terakhir tergolong hujan ekstrim khususnya yang terjadi pada Kamis malam, curah hujannya mencapai 214 Milimeter (MM) pada hujan normal curah hujan 20-50 MM perhari.
Kepala Stasiun BMKG, M Irdham, melalui Kasi Observasi dan Informasi BMKG Kenten Palembang, Indra Purna mengatakan, hujan yang terjadi pada Kamis malam sejak pukul 07.00 WIB-02.00 WIB dini hari kemarin merupakan kategori hujan sangat lebat alias ekstrim yang biasanya terjadi setahun dua kali.
“Curah hujan kemarin malam diatas 100 MM hingga 200 MM lebih. Yang terukur di Kenten 111 MM dan di Talang Betutu 214 MM, hujan sangat lebat ini terjadi karena ada perputaran angin (Eddy) di sebelah utara Kota Palembang yakni di Laut Cina Selatan,” jelas Indra, dibincangi diruang kerjanya, kemarin (9/11).
Dampak dari perputaran angin di sebelah utara Kota Palembang inilah yang berdampak terjadinya hujan lebat di Kota Palembang, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. “Tapi saat ini dampaknya hanya Palembang saja,” imbuhnya.
Kendati curah hujan sudah masuk kategori ekstrim, namun kecepatan angin masih dalam kondisi normal yakni 10 -15 knot atau setara 20-3- km/jam sementara suhu udara berada pada suhu minimum 24 derajat suhu maksimum 33,8 derajat celcius.
Musim hujan ini, pihaknya mengimbau kepada masyarakat Kota Palembang untuk waspada banjir. “Potensi banjir sangat besar, karena Palembang datarannya rendah dan drainasenya buruk,” imbaunya.

* Bakal Panggil PU BM
Hujan yang mengguyur Kota Palembang akhir-akhir ini telah membuat sejumlah jalan maupun pemukiman warga tergenang. Kondisi ini mendapat perhatian serius dari DPRD Kota Palembang. Bahkan, wakil rakyat tersebut bakal memanggil PU Bina Marga untuk mencarikan jalan terbaik dari permasalahan tersebut.
Demikian dikatakan Ketua Komisi III DPRD Kota Palembang M Hidayat, kemarin. Menurut politisi Partai Golkar ini, masalah bajir memang menjadi salah satu fokus perhatian dewan dalam pembahasan anggaran. Terlebih setelah meilihat langsung kondisi metropolis selama dua hari diguyur hujan, sudah membentuk banyak genangan.
“Agar kondisinya tidak bertambah parah, dalam waktu dekat Komisi III akan memanggil PU BM. kita ingin mempertanyakan masalah titik banjir yang  kian banyak. Serta upaya apa saja yang akan dilakukan PU BM untuk menanggulanginya,” ujar Dayat.
Selain itu, lanjut Dayat, dalam APBD Kota Palembang tahun 2013 yang akan dibahas, diharapkan ada anggaran untuk penanggulangan banjir. “Saat ini kita memang belum menerima draf anggaran tahun 2013 dari pemerintah Kota Palembang. Namun, dari informasi yang kita dapat, untuk tahun 2013 mendatang PU BM akan mendapatkan anggaran hingga Rp 120 miliar lebih. Tetapi kita belum tahu rincian dana tersebut, dan kita berharap ada anggaran untuk penanggulangan banjir di Palembang,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Dayat menghimbau kepada masyarakat untuk menghidupkan kembali kebiasaan gotong royong, dan membersihkan selokan dan lainnya. “Kalau perlu camat maupun lurah ikut mengontrol kegiatan sosial tersebut. Selain itu, pemerintah juga bisa mengintruksikan kepada pemilik ruko untuk tidak mengecor lahan parkirnya, tetapi cukup dengan memasang con blok. Karena dengan cara ini, ruko tersebut masih menyisahkan daerah serapan air,’ tambahnya.
Sementara itu, warga di  RW 03 Kecamatan Sukodadi, Marwan menuturkan, rumah yang terendam banjir di Kecamatan Sukodadi melanda 64 rumah. Selain itu, di Kecamatan AAL. Banjir juga merendam 46 rumah.
“Banjir yang merendam 64 rumah warga di Kelurahan Sukodadi meliputi 80 persen di RT 14 dan 20 persen di RT 3. Padahal hujan deras turun hanya beberapa jam yakni pada pukul 21.00-23.00 WIB ,” kata Ketua RT ini seraya menambahkan banjir tersebut bersifat sporadic, karena air berasal dari kiriman daerah Sukadamai karena pembangunan di kawasan tersebut banyak yang menimbun.
Selain itu, sambung dia, banjir terjadi karena parit yang ada juga sangat sedikit. Bahkan luasnya hanya 2 meter. “Solusi banjir ini adalah dengan pembanguna kolam retensi dan pembuatan parit diperlebar,” pungkasnya.
Sementara itu, berdasarkan pantauan di beberapa lokasi, banjir juga terjadi di kawasan Sekip Bendung. Banjir juga merendam puluhan rumah warga. Salah seorang warga, Siti Najemah mengatakan, dia sudah 5 tahun tinggal di Sekip Bendung. “Sudah setiap tahun disini mengalami banjir. Setiap kali hujan deras pasti langsung banjir. Ketika Kamis malam hujan, sekitar pukul 03.00 WIB air mulai masuk ke rumah warga bahkan sudah setinggi lutut,” ujarnya.
Menurutnya, banjir tersebut terjadi karena saluran air (got) yang ada sangat kecil. Sehingga air tidak dapat mengalir dengan lancar. “Banjir tersebut juga disebabkan oleh pembangunan rumah di daerah yang lebih tinggi dilakukan dengan menimbun. Sehingga daerah rendah terkena banjir,” paparnya.
Hal senada diungkapkan, Rohim. Dia menuturkan, banjir terjadi sejak subuh hingga saat ini (red, siang) belum surut. Oleh karena itu, untuk berangkat ke sekolah, dia terpaksa membuka sepatu serta mengangkat celana. “Banjir ini sangat mengganggu warga yang akan keluar rumah,” kata siswa kelas 9 SMP Nurul Iman ini. 

sumber : Palembang-pos.com
Selengkapnya...