WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Januari 13, 2014

Hulu Sungai Kini Mengalami Gangguan

PALEMBANG - Usaha pemerintah menyelamatkan hutan di wilayah barat Sumsel dengan penetapan fungsi hutan lindung dan lainnya, dinilai oleh aktivis lingkungan stempel semata. Karena yang terjadi di lapangan sesungguhnya, izin perkebunan atau pertambangan di kawasan hutan terus dikeluarkan.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (Walhi Sumsel), Hadi Jatmiko, banyak sumber air yang berada di hulu sungai mulai rusak. Sementara bagian hilir sungai yang menjadi daerah resapan terganggu. 2,7 juta Ha dari sekitar 3,7 Ha hutan yang menjadi daerah resapan air terganggu.
"Makanya muncul banyak bencana. Hutan wilayah barat Sumsel yang berada di Bukit Barisan menjadi sumber mata air. Kalau Bukit Barisan sudah rusak, sumber airnya juga terancam. Tersisa hanya sekitar 800 ribu Ha Daerah Aliran Sungai yang masih baik, sisanya
kritis," kata Hadi, Kamis (9/1).
Sebagai tulang punggung Sumatera, Bukit Barisan berperan penting menjadi sumber air dari semua sungai besar di pulau ini. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat (Samudra Hindia), seperti Alas dan Batangtoru, ataupun yang bermuara di pantai timur (Selat Malaka), seperti Indragiri, Batanghari dan Musi, berhulu di Bukit Barisan.
Di Sumsel sendiri banyak mengalir beberapa sungai besar lintas kabupaten dan bermuara di Sungai Musi. Beberapa sungai tersebut adalah Sungai Komering, Sungai Lematang dan Sungai Ogan. Peningkatan fungsi hutan menjadi taman nasional menurut Hadi, dapat saja dilakukan untuk penyelamatan sumber mata air. Hanya saja, itu tidak dapat terjadi dengan serta merta. Hadi menilai tidak hanya sumber mata air saja yang terancam, melainkan fauna yang hidup di sepanjang Bukit Barisan turut terancam populasinya. Ketika fauna mencari tempat baru karena habitat aslinya "diserobot" manusia, ketika itu pula mereka diburu.
"Rumah mereka dirusak. Saat mereka mencoba bertahan hidup, berkeliling mencari tempat dan sumber makanan baru, tapi mereka diancam lagi dengan perburuan. Pemerintah tidak melaukan perlindungan apa-apa. Yang terakhir terjadi penembakkan Harimau Sumatera di Lahat, entah sekarang bagaimana perkembangannya tidak jelas," kata Hadi.
Yang paling penting menurut Hadi adalah penyadaran masyarakat yang tinggal di sekiar lokasi hutan. Mereka harus disosialisasikan tentang pentingnya hutan terhadap kehidupan. Minimnya anggaran pemerintah terhadap pengawasan akan teratasi dengan keterlibatan masyarakat.
"Pendekatan awal ini secara humanis. Pemerintah selama ini mengatakan bahwa mereka tidak ada anggaran untuk pengawasan hutan. Nah dengan peran aktif masyarakat nantinya bisa teratasi. Tapi sebelum peningkatan fungsi, harus diselesaikan dulu hak masyarakat," terangnya.
Hadi mengatakan, hak pengelolaan hutan oleh masyarakat ditentukan secara sepihak oleh masyarakat. Batas-batas hutan diinvetaris tanpa melibatkan masyarakat yang lebih dulu menggarap lahan di sebuah kawasan. Ketika pemerintah mendorong kawasan hutan wilayah barat Sumsel menjadi taman nasional, Hadi berharap tak ada masyarakat yang diusir.
"Ada masyarakat yang lebih dulu menggarap lahan tersebut. Bisa jadikan enclave oleh pemerintah," ujarnya.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor 822/Menhut-RI-II/2013, terjadi perubahan peruntukkan kawasan hutan di Sumsel. Secara umum, seluas 210.559 Ha hutan telah menjadi kawasan non hutan dan 44,299 Ha hutan berubah fungsinya. Sementara kawasan yang menjadi hutan hanya mencapai luas 41.191 Ha. Lebih jauh dia mengatakan, perubahan tersebut terjadi karena beberapa hal seperti program transmigrasi yang mengharuskan pemerintah membuka lahan garapan baru. Selain itu, beberapa daerah mengusulkan perubahan fungsi menjadi pinjam pakai untuk pertambangan.
"Sepanjang tahun 2012 saja, sekitar 10 ribu Ha lahan dikeluarkan dari kawasan hutan. Kementerian Kehutanan tidak konsisten. Selama ini mengatakan hutan harus dilindungi, tapi di sisi lain hutan dibuka untuk tambang atau perkebun," tegasnya.

Sumber : http://palembang.tribunnews.com/2014/01/12/hulu-sungai-kini-mengalami-gangguan 



Artikel Terkait:

0 komentar: