WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Agustus 29, 2014

Pers Rilis : Penguasaan Lahan dan Potensi Korupsi PSDA di Sumatera Selatan



Grafik Penguasaan Hutan Sumsel
Lahan disebut hutan jika  berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan. Berdasarkan undang-undang kehutanan, lahan bisa juga disebut hutan jika  wilayahnya ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Namun pada prinsip dasarnya, kawasan hutan diperlukan karena wilayah tersebut diharapkan memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,  memelihara kesuburan tanah, perlindungan tumbuhan dan satwa atau untuk menghasilkan kayu.

Dalam perkembangan, banyak kawasan hutan  dibuka dan digunakan untuk dieksploitasi baik lahan maupun kandungan mineral di dalamnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan terjadi  penurunan kualitas dan kuantitas hutan terutama di Propinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 76 tahun 2001, Propinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan hutan seluas 4.416.837 hektar (termasuk kawasan hutan Bangka Belitung 65.7510 hektar), yang memiliki fungsi untuk penyangga kehidupan, habitat dan sebagai hutan produksi. Luasan kawasan ini kemudian mengalami perubahan karena usulan rencana tata ruang wilayah propinsi (RTRWP). Antara lain  perubahan dari kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 210.559 hektar dan perubahan fungsi 44.299 hektar. 

Total luas hutan produksi di Sumatera Selatan adalah 2.490.275 ha. dari luasan tersebut areal yang memiliki fungsi Hutan Produksi Tetap (HP) sehingga dapat diberikan izin HTI seluas 1.669.370 Hektar, dimana 1.336.802 ha (80%) telah dibebani izin sebanyak  19 IUPHHK-HTI. Dari 19 Izin tersebut, 10 diantaranya dikuasai hanya oleh 1 (satu) grup yang sebagian besar diantaranya memiliki riwayat konflik dengan masyarakat lokal.

Berdasarkan dokumen perizinan yang ada, Gubernur Ir. Syahrial Oesman, MM selama periode kepemimpinannya (2003-2008) mengeluarkan 8 izin dengan total luasan 877.330 hektar. Ini merupakan luasan terbesar yang dikeluarkan pada satu periode kepemimpinan Gubernur dalam  25 tahun terakhir. Sedangkan jumlah izin terbanyak dikeluarkan oleh Alex Noerdin selama periode 2008-2013, sejumlah 11 Izin dengan total luasan 326.084. Namun tidak menutup kemungkinan jumlah ini masih masih akan bertambah   pada periode kedua kepemimpinan Alex Noerdin ( 2013-2018), mengingat rekam jejak kepemimpinannya selama menjadi Bupati Musi Banyuasin,  Alex Noerdin sangat berperan terhadap   keluarnya izin-izin IUPHH-TI.

Selain dari sektor kehutanan, penguasaan dan eksploitasi kawasan hutan juga dilakukan oleh  perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan tambang, banyak kawasan hutan yang di kuasai melalui mekanisme pinjam pakai, penurunan fungsi atau pelepasan kawasan hutan.

Kawasan hutan produksi dapat di konversi (HPK) di Sumatera Selatan seluas  431.445 hektar (kawan hutan yang dapat digunakan untuk perkebunan dengan sekema pelepasan kawasan),  namun berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013 kawasan hutan di Sumatera Selatan  yang telah dilepaskan menjadi  areal perkebuan mencapai 847.143 hektar. Kejanggalan lain terdapat disektor pertambangan, dimana 801.160 hektar IUP tumpang tindih dengan kawasan hutan, baik hutan konservasi maupun hutan produksi (Planologi kehutanan, 2014)

Berdasarkan studi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Provinsi Sumatera Selatan, hingga tahun 2014 terdapat 359 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, terdapat 31 pelaku usaha yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sedangkan data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) meyebutkan, dari 241 wajib pajak , hanya 18 diantaranya yang melakukan pelaporan penghitungan pajak (pelaporan SPT).

Jumlah dan luasan izin IUP yang meningkat signifikan pada tahun 2009 dan 2010 memperlihatkan kuatnya pengaruh politik terhadap keluarnya izin –izin usaha pertambangan di Sumatera Selatan, dimana masa tersebut menjadi tahun politik karena berbarengan dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. tercatat total 290  IUP (81 % dari total IUP yang ada) dikeluarkan dalam 2 tahun tersebut. 140 IUP dikeluarkan pada tahun 2009 dan 150  IUP dikeluarkan pada tahun 2010. Hal ini menguatkan indikasi bahwa izin-izin tersebut menjadi alat transaksi politik dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Dengan kondisi ini kami berharap organisasi masyarakat sipil yang ada di Sumatera Selatan dan media dapat melakukan kontrol dan pengawasan,  agar eksploitasi dan penguasaan lahan tidak merajalela,   dan masyarakat tidak semakin tersingkir dari  akses pada  sumberdaya alam.  

Untuk itu kami   menuntut :
1.    Dan pemerintah harus membuka informasi kehutanan terkait luasan, pengelolaan dan pemanfatan  kawasan hutan.
2. Hentikan pemberian izin dan penggunaan sumberdaya alam  sebagai  alat  transaksi politik  kekuasaan
3.    Penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku  kejahatan kehutanan  dan lingkungan hidup


Sumber Referensi :
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 1. Huruf (h)Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Pasal 38.Ayat (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Ayat (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Undang-

Undang Nomor 18  tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Pasal 17  Ayat (1)Setiap orang dilarang: (b). melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
.    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76 /Kpts-II/2001. Tanggal 05 Maret 2001 tentang kawasan hutan dan perairan di Sumatera Selatan seluas 4.416.837 hektar.
     Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 357 /Kpts-II/2004   tentang kawasan hutan dan perairan di Propinsi Bangka Belitung  seluas  657.510 hektar. 
      Surat keputusan menteri kehutanan SK.822/Menhut-II/2013 tentang perubahan peruntukan hutan menjadi bukan hutan seluas 210.559 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 44.299 hektar dan perubahan bukan  kawasan hutan menjadi kawasan hutan 41.191 hektar di Propinsi Sumatera Selatan.
F.   Buku Penetapan kawasan hutan menuju kawasan hutan indonesia yang mantap. Direktorat jendral planologi kehutanan. Agustus 2014.  “luas kawasan hutan di sumatera selatan seluas 3.422.937,17 hektar dan kawasan hutan yang telah di tetapkan di sumatera selatan seluas 2.314.165,72 hektar (67,61%) yang terdiri dari 32 keputusan menteri dan 180 lembar peta.” 



A.      Kontak konfirmasi:
-          Auriga Nusantara                       :  Timer Manurung  (0811125006)
-          Walhi Sumatera Selatan             :  Hadi jatmiko   (081273-12042)
-          Auriga Nusantara/Silvagama     :             Supintri yohar  (0813734-99788)





Artikel Terkait:

0 komentar: