WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, November 25, 2014

Izin Tambang Dicabut. Apakah Jerat Hukum Tetap Dilakukan?

Empat provinsi di Sumatera, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, dan Riau diminta KPK mencabut sejumlah izin pertambangan yang dinilai bermasalah. Meskipun sejumlah izin dicabut, namun Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel menilai pemerintah daerah lamban merespon rekomendasi KPK tersebut. Mereka menegaskan, pencabutan izin bukan berarti melepaskan perusahaan dari jerat hukum.
Berdasarkan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK tiga bulan lalu, KPK mengeluarkan rekomendasi. Yakni mencabut 121 izin yang tumpang tindih di kawasan hutan yang berada di Bangka Belitung, 191 izin di Sumsel, serta 198 izin di Jambi. “Namun dalam perkembangannya hingga kini, berdasarkan data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, 11 November 2014, di Babel hanya 8 izin yang dicabut, Sumsel 17 izin, sedangkan Jambi  184 Izin,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel, Kamis (20/11/ 2014) lalu.
“Ini menunjukkan kepala-kepala daerah di tiga Propinsi Korsup Minerba KPK, tidak serius dan lamban dalam melakukan penataan izin sektor pertambangan. Namun, sangat cepat dalam mengeluarkan izin pertambangan yang merampas ruang hidup rakyat dan merusak lingkungan hidup,” kata Hadi.
Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan, “Hal penting lain yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah adalah adanya kepastian izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan dan perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksakan kewajibannya.”
“Kami pesimistis perusahaan yang izinnya dicabut akan menjalankan kewajibanya untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang. Apalagi, jika tidak ada pengawalan dan sikap tegas dari pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan, sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum menyetorkan dana reklamasi dan pasca-tambang kepada pemerintah.
Contohnya di Sumsel, menurut Data Dirjen Pajak 2014, yang dipresentasikan pada Korsup Minerba KPK di Palembang. Dari 359 izin pertambangan yang ada di Sumsel baru 31 perusahaan yang menyetorkan dana reklamasi, dan sekitar 13 perusahaan yang menyetorkan dana pasca-tambang,” jelas Nauli.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel yang terdiri Walhi Sumsel, Walhi Jambi, Walhi Babel, WBH, PINUS, Serikat Petani Sriwijaya, Serikta Nelayan Bangka, dan Persatuan Nelayan Belitong, dari 2010-2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp248,693 miliar lebih di Sumsel, Rp50,467 miliar lebih di Jambi, dan Rp6,596 miliar lebih di Bangka Belitung. Total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut sebesar Rp305,756 miliar lebih.
Direktur Walhi Babel, Ratno Budi, mengemukakan dampak ekologis dan kemanusiaan dari ekspansi industri tambang yang sangat serius. Bencana ekologis seperti banjir sebagai akibat dari perubahan bentang alam dan menurunnya daya dukung lingkungan yang diakibatkan industri pertambangan.
“Di Babel bukan saja merusak pemukiman dan pertanian masyarakat, juga telah memakan korban jiwa. Pada 2013 misalnya, tercatat 4 orang tewas tenggelam akibat bencana banjir di sekitar kawasan tambang. Selain itu, Industri pertambangan juga telah memicu konflik di banyak tempat. Dari 2011-2013 terjadi 23 konflik di tujuh kabupaten dan kota yang terkena dampak dari ekspansi pertambangan timah,” kata Budi.
Terkait kesejahteraan, banyaknya izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya di Kabupaten Musi Banyuasin, salah satu kabupaten yang banyak menerbitkan izin tambang, yakni sebanyak 69 izin hingga 2013. Ternyata, tingkat kemiskinan tahun 2013 sangat tinggi, yakni mencapai 18,02 persen atau 34.277 jiwa dari total penduduk 617.000 jiwa.
Terhadap kondisi tersebut, koalisi mendesak aparat penegak hukum untuk memperkuat penegakan hukum dan kepada pemerintah untuk menindak tegas perusahaan tambang yang  tidak patuh pada peraturan perundang-undangan, serta mencabut izinnya.
‘Pencabutan izin tambang yang bermasalah tidak serta merta membebaskan pelaku kejahatan pertambangan dari tuntutan pidana. Ini harus didorong KPK dan pemerintah,” kata Anwar Sadat, Sekjen Serikat Petani Sriwijaya (SPS).

Kabupaten Empat Lawang
Kamis (20/11/2014) pagi di Palembang, KPK melakukan monitoring dan evaluasi terhadap Korsup Minerba di empat propinsi: Sumsel, Jambi, Babel dan Kepulauan Riau. Namun, gubernur dari empat provinsi yang hadir hanya Alex Noerdin. Propinsi lainnya mewakilkan pejabat di bawahnya.
Terkait pencabutan izin hingga November 2014, Sumsel menyatakan telah mencabut 47 izin pertambangan, Jambi dengan 111 izin, Bangka Belitung  mencabut 13 izin, sedangkan Kepulauan Riau telah mencabut 66 izin.
Semua izin yang dicabut yang bermasalah. Baik berada di dalam kawasan hutan maupun bermasalah secara administrasi.
Alex Noerdin dalam presentasinya, menyatakan telah mencabut izin pertambangan di atas hutan konservasi seluas 932,64 hektar dan hutan lindung seluas 1.200 hektar. Namun hingga saat ini menurutnya masih terdapat sekitar 8.116 hektar izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di kawasan hutan lindung yang berada di Kabupaten Empat Lawang.
“Saya berharap Pemerintah Kabupaten Empat Lawang segera mencabut izin pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung, maksimal sampai akhir Desember 2014,” kata Alex Noerdin.

sumber : www.mongabay.co.id 



Artikel Terkait:

0 komentar: