WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Desember 12, 2016

Siaran Pers : Penegakan Hukum, Bukti Keseriusan Negara Memutus Rantai Kejahatan Korporasi

Konferensi Pers terkait Penegakan hukum Karhutlah di Sumsel 
Jakarta, 12 Desember 2016. Tepat di akhir tahun 2015 lalu, rakyat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Selatan dihadiahi “kado” tahun baru yang sangat menyakitkan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Masih dalam ingatan kita seluruh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Parlas Nababan, menolak seluruhnya gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2014. Tidak terima dengan putusan tersebut, KLHK melakukan banding melalui Pengadilan Tinggi (PT) Palembang pada pertengahan 2016. Pengadilan Tinggi memenangkan pengajuan banding KLHK dengan membatalkan putusan PN, dan menyatakan bahwa PT. BMH terbukti bersalah dan didenda sebanyak 78 miliar.
WALHI Sumsel menyambut baik putusan tersebut karena PT. BMH dinyatakan bersalah. Namun juga kecewa, karena putusan denda jauh dari tuntutan atau gugatan KLHK. Mengingat Sumatera Selatan sendiri merupakan provinsi “penyumbang” asap terbesar di Indonesia yakni seluas 641.514 hektar dari 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar di Indonesia. (BNPB/MoEF, 2015).
Direktur WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko menyatakan bahwa “putusan dengan denda yang ringan tersebut masih belum memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat korban asap maupun bagi lingkungan hidup. Terlebih PT. BMH mengulang kejahatan bisnisnya pada tahun 2015”. Saat ini kasus tersebut masuk dalam tahap kasasi. Hadi menambahkan, “KLHK harus sangat-sangat serius dalam proses kasasi ini, jika tidak, sama halnya mengabaikan Perintah Presiden Jokowi (Agustus, 2016) yang menginginkan penegakan hukum yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan, agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.”
Dalam pandangan WALHI, setidaknya penegakan hukum ini akan berdampak pada beberapa hal: pertama yakni reformasi paradigma lembaga peradilan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan progresif, kedua bahwa koporasi tidak kebal hukum, dan ketiga langkah awal Indonesia untuk keluar dari darurat kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup. KLHK juga sesungguhnya dapat menggunakan instrumen hukum lainnya, dengan melakukan review izin, dan mengevaluasi seluruhnya kinerja PT. BMH dan perusahaan lainnya di Sumatera Selatan yang terbukti tidak mampu menjaga lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam secara baik, adil, dan berkelanjutan. Jika ditemukan perusahaan tersbut tidak patuh dengan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam izin yang diberikan, maka izin tersebut sudah sepatutnya segera dicabut.
Dalam penutup siaran pers ini, Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa putusan yang berat dari pengadilan menjadi penting, karena kami berharap putusan pengadilan atas kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan dapat memutus rantai impunitas bagi kejahatan korporasi selama ini. (selesai)


Selengkapnya...

Selasa, November 22, 2016

Largest NGO says APP peat fires deliberately set for replanting purposes

Indonesia’s largest environmental NGO, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), has emphatically stated that last year's widespread peat fires in Asia Pulp and Paper (APP)'s pulpwood concessions were intentional. Proof of this, WALHI asserts, lies in the fact that these burned peatlands have now been replanted with acacia by the giant pulp company.
According to the leading NGO, the use of burned peatlands for the replanting of acacia is a move aimed at pursuing targets, given that the acacia yielded from this replanting will later become a source of fiber supply for the new APP company, PT OKI Pulp and Paper Mills. This new mill, which has begun operations, is located in the vicinity of the burned peatlands in the APP concessions, major parts of which were burned last year.
This damning opinion was delivered by the Executive Director of WALHI South Sumatra, Hadi Jatmiko, to foresthints.news on Friday (Nov 18) when asked for his reaction to the results of monitoring performed recently by Indonesia's Environment and Forestry Ministry.
The monitoring clearly shows that the APP concessions operating in Ogan Komering Ilir (OKI) regency, in South Sumatra province, have replanted burned peatlands in direct contravention to a ministerial regulation issued in mid-December last year.
Hadi expressed his gratitude for the ministry’s actions in the form of on-the-ground monitoring, which demonstrated the extent of incompliance on the part of the APP companies, to the point where they have brazenly replanted acacia in burned peatlands in clear violation of existing regulations.
“We appreciate the monitoring conducted by the ministry. However, we also urge the ministry to apply maximum law enforcement efforts so that these types of practices are never repeated. This is even more important considering that the burned peatlands in the APP concessions are dominated by peat domes.”
The following photos, which were taken from video footage which formed part of the ministry’s monitoring of the APP concession PT BMH, illustrate ongoing business-as-usual practices in the burned peatlands. In August this year, the High Court of Palembang declared that this company had committed an unlawful act with respect to peat fires in 2014.
Peat agency criticized
Hadi argued that the blatant replanting of acacia in burned peatlands located in APP concessions exemplified the fact that the monitoring function of the Peat Restoration Agency (BRG) was not operating.
“The case of these APP companies replanting burned peatlands reveals that the BRG is not performing proper monitoring, and therefore not fulfilling its function.”
According to WALHI data, 400 thousand hectares of peatlands were burned in 2015 in South Sumatra province, the vast majority of which were in concession areas. APP pulpwood concessions made up a significant proportion of these.
“The BRG’s monitoring is not clear. Its peat restoration focus is also unclear. The agency doesn’t appear to be focusing its peat restoration efforts in concession areas. This has actually emboldened APP and other companies to carry out replanting of burned peatlands and drained peat domes,” Hadi lamented.
Considering that the majority of APP concessions situated in peatlands in South Sumatra are found in peat domes, and that these have already been mapped as peat restoration target areas, Hadi made a vociferous appeal for the ministry and BRG to provide full protection to the peat domes concerned, using legal means which involve communities in their management.
He also asked the ministry to review the permits of the APP companies in question, bearing in mind that most of the APP concessions in these peatlands are located in peat domes and deep peat.
“This request of ours is consistent with both existing regulations as well as the government’s current commitment to protecting peat domes, including deep peat,” Hadi explained.
As previously reported by foresthints.news, President Joko Widodo has consistently reasserted his position that the government will not back down in carrying out law enforcement against any party which commits peatland-related violations.

Sumber : http://foresthints.news/largest-ngo-says-app-peat-fires-deliberately-set-for-replanting-purposes
Selengkapnya...

Jumat, November 18, 2016

Walhi Sumsel : Penurunan Emisi Tanpa Penegakan Hukum = Bohong!

Menyikapi Lemahnya penegakan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan Hidup dan COP 22 di Maroko

Aksi Aktifis Lingkungan Walhi dan Sahabat Walhi Sumsel : PT. BMH Penjahat Iklim !
Palembang, 18 November 2016. Meningkatnya krisis lingkungan hidup yang berdampak pada maraknya bencana ekologis dan menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen yang serius dari seluruh pihak untuk menghentikannya. WALHI Sumsel melihat komitmen tersebut belum serius dan lamban. Sebagaimana kita ketahui, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan telah menjadi “musim” langganan selain musim penghujan dan kemarau. Karhutla juga merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang berasal dari industri berbasiskan lahan(land base industry), selain industry-indutri yang menggunakan energi fosil (batubara).

Pada pertemuan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim ke 21 di Paris tahun 2015 lalu, kasus Karhutla di Indonesia cukup menjadi perhatian. Namun korporasi (pelaku kejahatan pembakaran) mampu mengintervensi pertemuan tersebut, sehingga tidak ada langkah signifikan dan nyata untuk menyelesaikan persoalan. Hingga pada hari ini, dimana sedang berlangsungya COP 22 di Maroko, penegakan hukum juga tidak menjadi agenda utama oleh pemerintah Indonesia. 

Belum lepas dalam ingatan masyarakat, Pengadilan Tinggi Palembang pada 12 Agustus 2016 memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau di tingkat banding . Meskipun memenangkan KLHK, namun putusan tersebut jauh dari tuntutan kementerian (Negara) terkait jumlah ganti rugi untuk pemulihan lingkungan dan rasa keadilan untuk masyarakat. Paska putusan tersebut, KLHK mengatakan akan mengajukan kasasi di sejumlah pemberitaan media massa. Namun, hingga kini,rencana dan upaya tersebut belum juga dilakukan. Tentunya sikap ini menjadi pertanyaan besar bagijutaan masyarakat korban baik di sumsel maupun di Indonesia pada umumnya. Apakah ini sebuah kelambanan atau menerima begitu saja dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palembang.

Hadi Jatmiko, Direktur Eskekutif WALHI Sumatera Selatan mendesak KLHK untuk segera melakukan kasasi, untuk membuktikan bahwa komitmen Indonesia sungguh-sungguh dalam melawan kejahatan lingkungan hidup. Sebagaimana kita tahu, di Indonesia kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Dimana pelakunya adalah Industri Kehutanan (HTI) dan Perkebunan kelapa sawit.

Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper (HTI) tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak berdiri sendiri. Melainkan didukung oleh banyak hal, seperti paket kebijakan yang tidak berpihak pada masa depan lingkungan hidup dan manusia didalamnya, lembaga-lembaga keuangan, dan politik internasional yang tidak adil dalam melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam.

Di sektor energi, komitmen Inondesia juga sangat lemah. Kebijakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Sumatera Selatan misalnya, proses pembangunan PLTU mulut tambang terus dalam proses pembangunan.  Dengan demikian, pola pembangunan industry ekstraktif melalui batubara masih menjadi pilihan politik kebijakan rezim saat ini. Dapat dipastikan Nawacita Jokowi-JK dalam kedaulatan energi akan mengalami kegagalan, karena masih ketergantungan dengan penggunaan energy fosil kotor (batubara) yang merusak Lingkungan hidup dan mengancam keselamatan Rakyat .

Selain menjadi korban, rakyat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki kewenangan apapun. Tentunya ini disebabkan oleh system politik nasional dan daerah yang juga melanggengkan penindasan secara turun menurun. Padahal, banyak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki praktik yang arif dalam pengelolaan ligkungan hidup. Meskpiun sama sekali tidak tersentuh oleh kehadiran Negara (mandiri) dan terus mengalami keterancaman terhadap ruang hidup, pangan, sosial dan budaya.  

Penurunan emisi adalah salah satu bentuk penyelamatan lingkungan hidup, namun tidak akan berhasil jika penegakan hukum tidak dilakukan dan didahulukan kepada industry perkebunan dan kehutanan serta Industri ekstratif pertambangan. Karena itu merupakan hal yang mendasar dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan lingkungan hidup, juga dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Pemerintah juga harus segara berhenti melakukan pembangunan energy kotor dan beralih ke energy bersih.
Selengkapnya...

Kamis, Oktober 27, 2016

Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa

Penghancuran Hutan rawa Gambut di Sumsel oleh Asia Pulp and Papers (APP)

Dalam The 2nd Session of The Open-ended Intergovernmental Working Group on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights
Jenewa-Sidang ke-2 IGWG on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights telah berlangsung dengan agenda mendapatkan pandangan dan input dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, para pakar dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam kesempatan ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan oral statement pada tanggal 26 Oktober 2016, dalam sidang UN terkait dengan kejahatan Trans National Corporation/TNCs dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang telah berdampak setidaknya terhadap 40 juta masyarakat.  Dalam temuan WALHI yang sudah disampaikan pada tahun 2015, bahwa sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi group-group besar perusahaan Trans Nasional. Namun sampai saat ini, tidak ada instrumen hukum internasional yang mampu menjangkau private sector baik perusahaan, lembaga keuangan internasional, termasuk Bank-Bank  yang membiayai perusahaan yang telah membakar hutan dan gambut di Indonesia, membunuh masyarakat, mempercepat dampak perubahan iklim, hingga menimbulkan kerugian yang begitu besar baik kerugian ekonomi, sosial, kesehatan dan kerusakan lingkungan hidup.
Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan yang menyampaikan pernyataan dalam sidang ke-2 IGWG di Jenewa menyatakan bahwa “instrument internasional menjadi penting untuk mengikat kewajiban korporasi dan seluruh rantai pasoknya antara lain pendanaan yang selama ini mensupport dan melanggengkan kejahatan korporasi terus terjadi. Kami juga mendesak agar ke depan, ada pengadilan internasional dan mekanisme kontrol internasional, penegakan hukum dan aturan yang mengikat, mengakui tanggung jawab perdata dan pidana sebagai badan hukum”.
WALHI juga menyambut baik International Court Crimes (ICC) yang dapat  mengadili kejahatan lingkungan hidup dan kejahatan perampasan tanah yang selama ini aktornya adalah korporasi. (selesai)
Jenewa, 26 Oktober 2016.
CP:
Khalisah Khalid, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di 081311187498 via WA
Selengkapnya...

Selasa, Oktober 25, 2016

Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit

“Tanamten ladang saget paring pengupojiwo tapi sawit mboten tentu hasile,”kata Imam Suwirno, seorang petani di Desa Nusantara, jalur 27 Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan logat bahasa Jawanya, barubaru ini. Kurang lebih jika diartikan, menanam beraslebih baik ketimbang sawit. Tanaman padi lebih memberi kehidupan ketimbang berkebun sawit. 
Kenyakinan ini menjadi semangat dirinya bersama lebih dari 600 petani lainnya mempertahankan garapan sawah mereka dari kepungan sawit. Menurut ia, bertanam padi merupakan semangat mempertahankan hidup bagi generas selanjutnya. Sayangnya, konflik lahan seluas 1.200 hektare (ha) selama lebih 20 tahun di desa tersebut tak kunjung diselesaikan pemerintah. 
Ketidakpastian inipun juga yang membuat para petani akhirnya solid membangun desa. Wujud nyatanya pembangunan jalan desa yang dibangun dari rembuk dan dana masyarakat desa. Diceritakan Imam, konflik lahan garapan berawal dari tahun 2004. Saat kehadiran perusahaan perkebunan, PT Selatan Agri Makmur Lestari (PT SAML), memperoleh izin prinsip di lahan mereka. 
Dua tahun kemudian, perusahaan inipun memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), tepat di lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1991. “Sejak saat itu, kami berjuang, tetap menanam padi dan merebut kembali lahan kami,” ujar Imam yang telah dinobatkan menjadi sesepuh desa. 
Diceritakannya, warga Desa Nusantara terbentuk dari masyarakat transmigrasi sejak tahun 1991. Saat itu, masyarakat mengikuti transmigrasi dari Provinsi Jawa Timur mendapatkan lahan masing-masing seluas dua ha. Dahulunya, lahan transmigrasi itu merupakan hutan tidak produktif, atau berstatus hutan bagi peruntukkan lain. Kondisi hutan sudah terambah dan sulit untuk dikelola. “Lebih dari tiga tahun, akibat lahan belum bisa menghasilkan, kami sempat makan ubi sepanjang hari,” ujar Imam. Lambat laun dengan semangat kolektif, lahan itu makin bisa ditanam. Namun, kata Imam, permasalahan lahannya belum usai. Setelah 15 tahun bersawah, tiba-tiba lahan tersebut dinyatakan berada milik HGU perusahaan. 
Kekelutan makin terasa setelah lebih dari 15 proses mediasi sengketa tidak memberikan kepastian sampai sekarang. Kepungan sawit makin meluas saat desadesa tetangga, seperti desa di jalur 26, jalur 29, jalur 30 dan 32, sekarang berubah menjadi perkebunan. “Lahan ini, sudah 13 kali dibahas di kabupaten dan Gubernur, serta dua kali di BPN di Jakarta. sampai sekarang masyarakat tidak juga tahu bagaimana HGU ada di lahan mereka. Malah, luasan HGU perusahaan ternyata lebih dari luasan lahan desa,”ujar Imam. 
Kesulitan bertanam makin terasa saat masyarakat desa Nusantara tidak bisa memperoleh bantuan pertanian dari pemerintah, akibat lahan bersengketa. Paling terasa, saat musim tanam lalu ketika panen gagal akibat hampir 80% padi mereka tidak membentuk bulir karena diserang penyakit blast. Cerita warga eks transmigrasi ini juga menjadi pembuka dari peresmian desa Nusantara menjadi desa ekologis di Sumsel. 
Pada Peresmian desa Ekologis Walhi ini, puluhan warga Desa Nusantara menginginkan kepastian akses lahan sawah mereka. Ketua Tim Reforma Agraria Kantor Staf Kepresidenan RI Abet Nego Tarigan mengungkapkan, permasalahan (sengketa) yang dialami oleh masyarakat Desa Nusantara menjadi ironis, saat pemerintah memiliki kebijakan reforma agraria. Dikatakan ia, petani Indonesia memiliki luasan tanam yang makin tergerus. Secara rata-rata, petani saat ini hanya memiliki luasan lahan 0,72 ha/keluarga. Kondisi itu, menjadi gambaran akses masyarakat tani yang sangat rendah akan lahan garapan. Salah satu penyebabnya, lahan berkonflik di Indonesia masih tinggi, terutama konflik masyarakat dengan perusahaan. 
“Dengan kebijakan reforma agraria, pemerintah daerah harus mendorong penyelesaian melalui redistribusi lahan. Redistribusi lahan memberikan kepastian bagi petani mengelola lahan mereka secara berkelompok (koperasi) dan penyelesaian konflik melalui kekerasan dan intimidasi tidak boleh lagi,”katanya. 
Dia juga mengatakan, tingginya konflik agraria, mendorong pemerintah menyelesaikannya melalui perhutanan sosial. Sehari sebelumnya, di kabupaten Muba juga sudah membentuk tim percepatan penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah daerahnya. Sebaiknya, pemerintah kabupaten lain, juga mendorong tim serupa. “Konflik berkepanjangan, menyulitkan petani, padahal redistribusi tanah juga didukung oleh program sertifikasi gratis dari pemerintah melalui kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,”ungkapnya. 
Sementara Staf Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rusnandi Pajung menawarkan solusi inclavebersama perusahaan. Pemerintah daerah bisa mendorong bagaimana perusahaan dan masyarakat dapat duduk bersama guna menyamakan peta dan mencarikan solusinya. “Sengketa serupa banyak di Indonesia, pemerintah kabupaten bisa mengusulkan penyelesaian tukar lahan, mengingat desa Nusantara termasuk desa lumbung pangan,”katanya. 
Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko menambahkan, sengketa lahan di Sumsel makin tinggi, terutama luasan. Penetapan desa ekologis, mendorong bagaimana desa Nusantara memiliki ketahanan pangan, serta kedaulatan pertanian, energi dan air. Walhi sudah mencontohkan pertanian organik di desa yang bersengketa panjang dengan perusahaan sawit tersebut. “Desa Nusantara yang juga merupakan kawasan gambut, hendaknya dijaga, bukan malah menjadi pertanian gambut,”ujarnya. 

Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=136&date=2016-10-25
Selengkapnya...

Minggu, Oktober 23, 2016

Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.


Foto bersama Perwakilan Kantor Staf Presiden,KEMENDES,EKNAS WALHI,
Walhi Sumsel dan Perwakilan Petani Nusantara  di
Wilayah Kelola Rakyat Desa Nusantara (Walhi Sumsel)
Nusantara(22/10). WALHI Sumsel, bersama Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa dan Gambut (KOMPAG), dan beberapa Lembaga Masyarakat Sipil lainnya lakukan peringatan hari Pangan Se-Dunia dan sekaligus Mendeklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis. Kegiatan ini dilaksanakan pada sabtu,22 Oktober 2016 bertempat di desa Nusantara, Air Sugihan, Ogan Komering Ilir (OKI). Hadir dalam kegiatan ini Abetnego Tarigan Ketua Tim Reforma Agraria (Kantor Staf Presiden), Rusnadi Padjung, Ph.d merupakan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan (Kementrian Desa, PDT dan Transmigrasi), Nur hidayati Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dan beberapa perwakilan oragnisasi masyarakat sipil serta petani dari beberapa Kabupaten di Sumatera selatan.
Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini, agar para pengambil kebijakan paham akan persoalan yang dialami oleh para petani sebagai pahlawan pangan di Sumatera selatan, yang hidupnya jauh dari keramain kota namun selalu di usik oleh orang orang Kota dan para pengambil kebijakan yang tinggal di Kota .
Hadi Jatmiko Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan menyatakan, dipilihnya Desa Nusantara menjadi tempat peringatan Hari Pangan Se-Dunia yang setiap tahunnya di peringati pada 16 oktober, karena Desa Nusantara merupakan salah satu contoh desa yang sukses dalam mengelola lahan gambut seluas 1.200 Ha menjadi lahan petanian pangan,di saat pemerintah baru sibuk berbicara bagaimana cara menjaga lahan gambut agar tidak mengalami kerusakan, Petani Nusantara tampil terdepan menunjukan cara agar manusia dan alam hidup berdampingan.
Namun usaha Petani ini tidak di apresiasi oleh pemerintah daerah misalnya dengan memberikan bantuan baik infrastruktur maupun bantuan teknis peralatan pertanian, Nusantara yang merupakan desa  transmigrasi yang dibuka pada 1980 tersebut,malah di hadiahi dengan anacaman. sejak tahun 2009 lalu dan sampai dengan saat ini lahan pertanian seluas 1.200 Ha terancam oleh perkebunan Sawit milik PT. Selatan Agro Makmur Lestari (SAML/sebelumnya PT. SAM) yang HGU nya di keluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ogan Komering Ilir, padahal sejak awal izin lokasi diberikan telah di protes keras oleh masyarakat dan tidak pernah di didengar serta di tindak lanjuti. Malah sejak Penolakan yang dilakukan oleh petani terhadap keberadaan Perkebunan Sawit, pemerintah setempat seolah menutup ‘keran’ terkait pembangunan, Jikalaupun ada, tanpa proses partisipasi dan koordinasi dengan masyarakat.
Tabur benih Padi di Wilayah Kelolah Rakyat (WKR)
Pertanian Padi di Gambut Desa Nusantara.
Desa Ekologis menjadi penting untuk di kembangkan dan di wujudkan karena sejak dibukanya rezim penguasaan hutan dan lahan oleh korporasi melalui pertambangan, Hutan Tanaman Industry (HTI), dan perkebunan kelapa sawit, membuat laju krisis lingkungan hidup di Sumsel terus meningkat menyebabkan Kebakaran hutan, degradasi ekosistem rawa dan gambut hingga hilangnya akses masyarakat (desa) atas sumber daya alam.
Desa Ekologis merupakan model pembangunan desa yang minim eksploitatif dan merupakan kritik dari model pembangunan industrialisasi yang top down serta miskin nilai dan kearifan lokal. Namun kritik pembangunan tersebut haruslah aplikatif dan mampu menyelesaiakan berbagai latar persoalan yang ada. Terutama dalam hal hak akses dan kontrol masyarakat atas sumber daya alam. Peta jalan ini sesunggunya sudah dimiliki dan hidup ditengah masyarakat secara turun menurun, pemerintah dan actor-aktor lainnya tinggal mendukung dan memberikan pengakuan.
Ruang kebijakan untuk menuju Desa Ekologis bisa dilakukan dengan adanya Undang-Undang Desa, yang berperan penting dalam membuka ruang masyarakat di tingkat tapak (pembangunan) untuk mengatur ruang kelolanya secara arif, berkelanjutan, dan berdaulat. UU tersebut juga mengakui bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Foto bersama setelah Penanda Tanganan Deklarasi Nusantara
Menuju desa Ekologis.
Peringatan hari pangan di Nusantara merupakan gambaran potret krisis dari bentuk keterancaman lahan pangan masyarakat dan desa, yang diakibatkan oleh proses pembangunan yang miskin visi dan keberlanjutan. Pangan ada karena ketersediaan lahan, kedaulatan lahan ada karena adanya akses masyarakat. Akses masyarakat bukan hanya dapatnya masyarakat mengelola lahan, melainkan juga terpenuhnya seluruh syarat akan makna kedaulatan, yakni (1) tata kuasa (kebijakan penguasaan wilayah), (2) tata kelola (sistem untuk menjalankan dan mengendalikan pemanfaatan atas ruang/wilayah perdesaan, (3) tata produksi (kaidah atau aturan dalam proses mengeluarkan atau menghasilkan suatu produk (sandang, pangan, papan, energi dll.) yang berbasis pada potensi  yang ada di wilayah desa untuk meningkatkan taraf kesejahteraan warganya), dan (4) tata konsumsi (pengaturan pola konsumsi masyarakat desa yang harus dapat memperkuat relasi dengan potensi komoditinya; serta pengaturan distribusi produk masyarakat desa keluar yang harus memberikan nilai tambah bagi masyarakat desa sebagai produsen).
Hadi Jatmiko menambahkan, dihadirkannya Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, dan Direktur Eksekutif Nasional WALHI  adalah bentuk dukungan yang nyata untuk masyarakat Nusantara  baik secara kebijakan maupun dukungan politik terhadap masyarakat dan ruang kelolanya. 
Selengkapnya...

Sabtu, Oktober 22, 2016

Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis

Salam Adil dan Lestari !! 
Hidup Petani !! 
Assalamualaikum Wr.wb 

Pertama tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah Swt, karena atas berkah dan karunianya lah kita hari dapat berkumpul disini dalam kegiatan Peringatan hari pangan Sedunia, Nusantara Menuju Desa ekologi Sholawat dan salam marilah kita sampaikan tak henti hentinya kepada Nabi Junjungan kita Muhammad,SAWW beserta Keluarga dan sahabatnya, berkat bimbingannya lah kita dapat berada dijalan yang terang. 

Bapak,ibu,saudara yang kami Hormati 
Peringatan Hari pangan seduni yang ditetapkan oleh PBB setiap tanggal 16 oktober mempunyai untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian penduduk dunia akan pentingnya penanganan masalah pangan baik di tingkat nasional, regional maupun global. Persoalan pangan bukan hal yang bisa di sepelekan, persoalan pangan hal yang penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah karena jika terjadi krisis pangan di suatu daerah akan menyebabkan terjadinya kegaduhan sosial yang sangat sulit untuk diatasi. Persoalan pangan dapat memicu terjadinya perang antar negara , konflik sosial dan bahkan bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya perang dunia. atas hal tersebut maka sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada para petani di negeri ini, yang tinggal di desa desa dan pelosok nusantara karena berkat merekalah kehidupan di negeri ini tetap terjaga dan damai. 

Namun Ironis, petani yang merupakan pahlawan pangan,ternyata hidupnya berada jauh dibawah garis kemiskinan, kemiskinan struktural, kemiskinan yang di ciptakan oleh Negara melalui pemerintah yang mengeluarkan kebijakan kebijaknnya yang tidak berpihak kepada mereka. jangankan memberikan mereka bantuan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, negara terkadang malah semakin menyengsarakan mereka, salah satunya kebijakan pengeluaran izin bagi perkebunan perkebunan besar, pertambangan dan sektor Industri kehutanan (hutan tanaman Industri), kebijakan ini menyebabkan hilangnya alat produksi petani berupa Tanah. 
Untuk itu Walhi menuntut pemerintah abik pusat maupun daerah untuk menghentikan Kebijakan ini.

Fakta tak terbantahkan yang dikutip dari hasil susenas tahun 2012, angka kemiskinan di Sumatera selatan telah mencapai 1 juta jiwa lebih, rata rata penduduk miskin tersebut berada di desa desa yang di sekitarnya terdapat investasi. 

 Desa Nusantara merupakan salah satu contoh desa yang berjuang mempertahankan lahan Pertanian dari ekspansi rakusnya perkebunan kelapa sawit di kabupaten OKI. Pertanian pangan (padi) di lahan gambut yang dikelolah oleh masyarakat desa Nusantara secara arif dan berkelanjutan telah mampu menjaga gambut dari kerusakan. seperti kita ketahui kabupaten OKI pada 2 tahun terakhir terkenal dengan kebakaran hutan dan lahan gambut terluas,catatan Walhi setidaknya kebakaran terjadi seluas 437 ribu hektar atau sekitar 50 persen dari 800 ribu hektar hutan dan lahan terbakar selama 2015,dan kebakaran tersebut terbanyak berada di lahan konsesi Perusahaan. 

Namun selama ini penegakan hukum oleh aparat penegaka hukum malah kepada petani dan masyarakat yang padahal petani dan masyarakat adat dilindungi oleh UU No 32 tahun 2009 pasal 69 

Pertanian dilahan gambut yang dilakukan petani desa Nusantara, selama ini pertahunnya mampu menghasilkan 4.400 Ton beras dari luas lahan 1200/tahun 1 kali panen. Hasil panen ini jika di kalkulasikan dengan uang setidaknya setiap panen terjadi perputaran uang mencapai 30.8 milyar. Nilai ini jauh lebih besar ketimbang pendapatan dari perkebunan sawit dengan luas lahan yang sama. Selain dari keuntungan secara ekonomi, pengelolaan gambut yang dilakukan oleh petani ini setidaknya mampu mencegah lepasnya karbon/emisi gas rumah kaca penyebab dari perubahan iklim sebesar 202.500 Ton. Karbon sebesar ini akan terlepas jika perkebunan kelapa sawit milik PT. SAML menjadikan lahan pertanian gambut ini menjadi perkebunan. Dan dalam pantauan kami perlahan skenario penghancuran lahan pertanian pangan di lahan gambut desa nusantara ini perlahan dilakukan, dengan dibukanya kanal kanal yang mengelilingi lahan pertanian produktif ini menyebabkan kekeringan dan kebanjiran sehingga selalu mengancam panen padi. Untuk itu kami berharap pemerintah daerah dan pusat dapat menghentikan pembangunan kanal dan menutup kanal kanal yang terbuka saat ini, agar masyarakat atau petani tidak lagi mengalami ancaman gagal panen. 

Bapak, Ibu dan saudara beserta tamu undangan yang kami hormati. 
2 tahun lalu pemerintah mengeluarkan salah satu undang Undang tentang desa No 6 tahun 2014, UU ini merupakan harapan baru bagi rakyat di pedesaan, karena melalui UU ini, desa tidak lagi hanya menjadi objek eksploitasi orang orang kota. Dengan UU ini menjadikan desa memiliki hak atas apa yang ada di desa. Desa bisa mengatur tata kuasa, usaha, guna dari sumber daya dan aset yang dimiliki desa. Melalui Kesempatan yang diatur oleh UU ini dan momentum peringatan Hari Pangan Sedunia serta adanya komitmen yang kuat dari masyarakat Desa Nusanatara untuk melakukan agenda pembangunan yang berkelanjutan, yang saat ini secara perlahan telah melakukan pertanian dan desa berkelanjutan. 

Maka kami bersama masyarakat/ petani Desa Nusantara bersepakat untuk menjadikan Desa Nusantara sebagai Desa EKOLOGI yang kedepan secara perlahan akan mencipatakan ke mandirian secara energi, Infrastruktur hijau, Pertanian dan Pangan berkelanjutan. 

Bapak ibu, saudara yang berbahagia 
Kami menyadari tentunya menjadikan Nusantara sebagai Desa Ekologi banyak menghadapi tantangan dan halangan serta pastinya kebutuhan akan sumber daya yang besar yang tidak mungkin dapat kami dan masayarakat penuhi sendiri,untuk itu bantuan dan kerjasama dari semua pihak baik Pemerintah daerah, pemerintah Nasional (Kementerian Desa dan Kantor staf kepresidenan serta tim Reforma Agraria ) dan teman teman NGO nasional maupun lokal serta teman teman media sangat kami harapkan. 

Bapak, ibu, saudara dan teman teman petani pahlawan pangan kami. 
Demikianlah kata sambutan ini kami sampaikan, secara pribadi dan organisasi saya memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaian ini dan kepada Allah.Swt saya mohon ampun. 

Hidup Petani !!! 
Wassalammualaikum Wr.wb
Selengkapnya...

Rabu, Oktober 19, 2016

Walhi Sumsel Apresiasi Pembentukan Satgas Percepatan penyelesaian Konflik Agraria dan SDA di Muba.

Ketimpangan penguasaan lahan dan hutan beserta Sumber daya alamnya dari masa orde baru sampai dengan saat ini telah melahirkan konflik agraria dan SDA berkepanjangan. Dan terus naik seiring dengan banjirnya investasi yang rakus ruang dan lahan. 
Sumatera selatan menjadi salah satu contoh atas kerakusan investasi tersebut, Dari 8.7 juta hektar luas sumatera selatan setidaknya hanya 2.9 juta hektarnya saja yang bisa dimanfaatkan oleh 8 juta jiwa penduduknya. Sisanya seluas 5 juta hektar telah dibagi kepada segelintir orang yang memiliki usaha di sektor perkebunan seluas 1.5 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (Perkebunan Kayu),RE dan HPH 1.5 Juta hektar dan pertambangan mencapai 2.7 juta Hektar.  
Selain 3 sektor tersebut proyek proyek Infrastruktur di perkotaan pun berkontribusi atas ketimpangan struktur agraria dan perusakan lingkungan hidup. Akibat dari ketimpangan struktur agraria khususnya hutan dan lahan tersebut terjadi Konflik Agraria dan Sumber Daya alam yang tidak berkesudahan, tidak jarang menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak dan kriminalisasi terhadap rakyat. Catatan Walhi Sumsel tahun 2009 – 2014 setidaknya terdapat 60 Konflik Agriaria di Sumatera selatan yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan. 
Kabupaten Musi banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang memiliki ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria terbanyak. Diantaranya Konflik antara masyarakat dengan PT. Pakerin di kecamatan Bayung Lincir, konflik masyarakat dengan PT. Guthrie petonina (SimeDarby Group) di kecamatan Lawang wetan, Konflik masyarakat dengan PT. Bumi Persada permai dan konflik masyarakat dengan PT. BSS di kecamatan bayung lincir. Merespon hal tersebut pada senin,17 oktober 2016 di sekayu pada rapat yang di pimpin langsung oleh PLT. Bupati Muba Beni Hernedi, disampaikan bahwa melalui Peraturan Bupati, Pemkab Muba berencana membentuk lembaga Penyelesaian Konflik Agraria yang dinamai dengan Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA). 
Pembentukan Satgas ini patut di apresiasi, karena merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Pemkab Musi Banyuasin. Disaat Pembentukan lembaga ini secara nasional mengalami kebuntuan, padahal merupakan komitmen (Nawacita) Presiden Jokowi yang ingin menyelesaikan Konflik agraria dan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia, Kabupaten Muba menjadi pionir atas komitmen ini. Kata Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel. 
Walhi berharap insiatif Pemkab Musi Banyuasin dapat diikuti oleh daerah lainnya baik tingkat kabupaten, Propinsi di sumsel maupun di luar Sumsel . Namun untuk mengefektifkan kerja SATGAS ini menurut Hadi Jatmiko, ada beberapa hal kebijakan yang harus di keluarkan oleh pemkab MUBA yaitu, melakukan Moratorium Perizinan Baru, Mereview izin lama dan juga melakukan Audit Lingkungan Hidup. Hal ini menjadi penting agar upaya penyelesaian konflik yang di prioritaskan oleh Satgas dapat dilakukan dengan cepat dan tepat waktu namun bukan berarti dengan waktu singkat 2 atau 3 bulan dapat diselesaikan. Penyelesaian konflik tetap membutuhkan waktu yang panjang tetapi mempunyai batasan waktu sesuai dengan jumlah konflik yang menjadi target dan harus di selesaiakan, sehingga keberhasilan dapat terukur secara kualitas dan kuantitas. 
Ditambahkan oleh Hadi jatmiko, selain kebijakan tersebut diatas dibutuhkan pula komitmen dari berbagai Instansi yang selama ini menjadi penyebab konflik, salah satunya dukungan dari Aparat Penegak hukum Kepolisian untuk menghentikan keterlibatan nya dalam Konflik agraria (Kriminalisasi, penggunaan senjata dan kekerasan). Jika beberapa hal tersebut tidak dilakukan maka Kebijakan yang baik ini hanya akan menjadi isapan jempol belaka.tutupnya.

Kontak person : Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel : 0812 731 2042
Selengkapnya...

Jumat, Oktober 14, 2016

Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU

Rumah adat palembang di Kelurahan 5 Ulu 

(Jakarta, 14/10/2016) Pada 3-9 Oktober 2016, telah berlangsung pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, yang juga dihadiri oleh LSM dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pertemuan ini menjadi penting, selain karena maraknya dampak buruk dari pembangunan yang dibiayai Bank Dunia, juga karena telah disahkannya perlindungan lingkungan dan sosial yang disebut ESF (Enviromental and Social Framework) menggantikan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial sebelumnya.
Pembangunan infrastruktur adalah penting bagi setiap negara. Namun, di sisi lain pembangunan infrastuktur juga terbukti bisa merugikan dan menimbulkan pemiskinan, kerusakan ekologis termasuk pengrusakan hutan dan ekosistem sungai, dan menyebabkan penderitaan bagi kelompok-kelompok rentan yang pada akhirnya tujuan awal pembangunan infrastruktur tidak tercapai, atau justru menimbulkan masalah baru seperti kemiskinan, ketidakadilan jender dan perusakan lingkungan. Karena itu menjadi penting setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek pembangunan itu mengedepankan perlindungan pada lingkungan dan masyarakat, bukan sekedar mendirikan bangunan fisik semata, yang akan merusak .
Pemerintah Indonesia saat ini ingin memperbaiki kesenjangan infrastruktur di Indonesia melalui Program Percepatan Pembangunan “Fast Track Program” (FTP). Pembangunan infrastruktur diantaranya, akan membangun lebih dari 40 PLT Batubara, 40 PLT Panas Bumi, proyek waduk raksasa, PLT Nuklir, ribuan kilometer jalan, dan jalan kereta api batubara yang akan melalui hutan lindung maupun hutan adat. Untuk membiayai mega-proyek tersebut, Pemerintahan Joko Widodo mencari pembiayaan melalui Bank Pembangunan Multilateral, seperti kelompok Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berpusat di Beijing.
Pembangunan mega infrastruktur sudah barang tentu berdampak terhadap lingkungan, dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Namun, sayangnya di Indonesia proyek pembangunan bisa dilakukan walaupun belum memiliki izin lingkungan bahkan kalaupun ada, hal tersebut justru hanya menjadi syarat formil dalam proses perizinan pelaksanaan proyek. Sehingga, kualitas AMDAL dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah tersebut berdampak pada rusaknya mata pencaharian masyarakat serta ruang hidup mereka.
National Slum Upgrading Project, Proyek Resiko Tinggi Yang Kemungkinan Akan Memiskinkan Masyarakat
Hutang negara Indonesia sampai dengan bulan Agustus 2016 berjumlah 3.438,29 triliun rupiah. Dan pada 12 Juli 2016, Badan Direksi Bank Dunia telah menyetujui hutang pemerintah Indonesia sebesar $ 216.5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiah untuk proyek “National Slum Upgrading.” Selain itu, juga diputuskan bahwa pemerintah indonesia akan mendapat pinjaman perdana dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan jumlah yang sama yaitu $ 216,5 juta atau setara dengan Rp 2,814 triliun untuk proyek itu.
Pemberian utang tersebut untuk mendukung program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), atau dalam istilah Bank Dunia dan AIIB disebut National Slum Upgrading Project/NSUP. Dengan demikian pemerintah Indonesia menambah utang dari Bank Dunia dan AIIB untuk melaksanakan proyek KOTAKU ini dengan total pinjaman sebesar $ 433 juta atau setara 5,629 trilyun rupiah. Skema pembiayaan bersama ini merupakan kerjasama pertama antara AIIB dan Bank Dunia untuk lima tahun ke depan, dan menjadi projek pertama AIIB sejak pendirian AIIB pada tahun 2016.
AIIB merupakan Bank baru yang belum memiliki sistem perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat dengan staff yang sangat terbatas, sehingga dalam proyek ini AIIB mengikuti safeguard Bank Dunia. Awalnya, proyek ini dikategorikan beresiko tingkat A (berisiko tinggi) namun belakangan diubah menjadi resiko dengan tingkat B (lebih rendah). Padahal, NSUP ini bagian dari Program KOTAKU, dan Bank Dunia beserta AIIB akan membiayai di 153 kota dan 1 propinsi DKI Jakarta. Untuk tahun 2016-2017 kedua bank multilateral ini akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu. Dari analisa terhadap dokumen pinjaman dan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial, kami menemukan banyak masalah dalam proyek ini, seperti tidak adanya konsultasi dengan warga terdampak, diturunkannya status resiko dari A menjadi B, dan potensi kuat akan terjadi pemindahan atau penggusuran paksa walaupun istilah “pemindahan secara sukarela” dipakai oleh sponsor proyek.
Selain itu, dari 153 kota yang akan dibiayai oleh utang Bank Dunia/AIIB melalui proyek National Slum Upgrading, kami memprediksi 9,7 juta jiwa penghuni pemukiman kumuh di seluruh indonesia akan mengalami dampak sosial, dan 4,85 juta jiwa diantaranya merupakan perempuan.
Salah satu kota yang akan diintervensi oleh proyek utang Bank Dunia/AIIB terkait NSUP adalah Kota Makassar. Selama ini Pemerintah Kota Makassar tidak pernah terbuka soal proyek KOTAKU ini kepada publik.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan WALHI Sulsel, ditemukan bahwa proyek ini beresiko tinggi memiskinkan masyarakat miskin di Kota Makassar, yang menurutnya juga beresiko memiskinkan masyarakat miskin di 20 Kota lainnya. NSUP ini sangat beresiko menghilangkan tanah, tempat tinggal serta penghidupan masyarakat miskin. Menurut masyarakat yang diwawancarai, rumor-rumor beredar di daerah proyek bahwa proyek ini akan menghilangkan pemukiman orang-orang miskin yang diidentikkan sebagai pemukiman kumuh. Resiko yang lain adalah kerusuhan sosial yang kemungkinan akan muncul kalau masyarakat yang sangat menentang dipindakan dan tanahnya diambil paksa, termasuk oleh pihak bersenjata, terutama terkait dengan penggusuran yang akan mereka alami.
Data yang dihimpun oleh WALHI Sulsel, proyek NSUP di Kota Makassar akan berpotensi menghilangkan tempat tinggal dan tanah 17.114 kepala keluarga miskin, yang bila 1 KK memiliki anggota keluarga sebanyak 4 orang, maka terdapat 68.456 orang miskin di Kota Makassar yang akan kehilangan rumah dan tanah. Hal ini tentu sangat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Selain itu, proyek ini pun sangat tidak partisipatif dan cenderung tidak diawali dengan konsultasi publik yang berarti. Hal yang justru bertentangan dengan safeguard Bank Dunia tentang perlindungan sosial dan lingkungan hidup.
Kelurahan Tallo di Makassar adalah lokasi awal proyek ini dijalankan. Tidak diketahui bagaimana pemerintah menetapkan lokasi tersebut sebagai pemukiman kumuh yang mesti ditingkatkan (upgrade). Pemerintah tidak pernah menggelar konsultasi publik dengan masyarakat atau perwakilan masyarakat. Hal ini telah memicu gejolak di tengah masyarakat.
Warga terdampak proyek ini mengakui tidak mengetahui bahwa pemukiman mereka masuk dalam kategori kumuh, dan akan diubah melalui proyek utang Bank Dunia/AIIB. Masyarakat yang akan terdampak proyek tidak akan mau dipindahkan ke tempat lain, karena mereka telah bermukim di tempat tersebut selama 30 tahun lebih, dan pemukiman mereka juga terintegrasi dengan sumber penghidupan mereka di muara Sungai Tallo. Artinya proyek ini sangat beresiko menghilangkan sumber penghidupan masyarakat juga. Dan ini tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah dengan masyarakat.
Pola penggusuran di Indonesia yang represif juga menambah kekhawatiran akan pelaksanaan proyek ini. Beberapa model penggusuran di kota-kota Indonesia selalu memakai cara kekerasan. Contoh yang paling nyata adalah saat penggusuran di Bukit Duri, Kampung Pulo dan tempat-tempat lain di Jakarta. Terlihat bagaimana aparat kepolisian dikerahkan untuk turut menggusur masyarakat dari pemukiman mereka. Berdasarkan data Bank Dunia, penggusuran Bukit Duri merupakan tahapan untuk konstruksi dan peningkatan kapasitas kanal untuk mencegah masalah genangan air, salah satu titik dari proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project/Jakarta Emergency Dredging Initiative Project – JUFMP/JEDIP (lihat Dredging of Rivers and Waduks Phase 1 (JUFMP/JEDI), March 2010). Dengan kata lain, Bank Dunia telah terlibat dalam penggusuran paksa di Bukit Duri.
Jika benar proyek utang NSUP ini ingin menghilangkan pemukiman kumuh di Indonesia, maka bisa diprediksi akan ada bentuk kekerasan yang terjadi di 20 kota di Indonesia dalam tahun pertama, termasuk di Kota Makassar.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantau Infrastruktur melalui perwakilannya telah menyampaikan bahaya-bahaya akan NSUP dalam Annual Meeting Bank Dunia 2016 di Washington kepada para Executive Director Bank Dunia, dan di berbagai forum saat berlangsungnya acara tersebut.
Koalisi Pemantau Infrastruktur menyampaikan:

  1. Bank Dunia harus meninjau ulang pemberian utang untuk National Slum Upgrading Project ini. Karena kami tidak menginginkan dana utang digunakan untuk menghilangkan hak sosial ekonomi masyarakat;
  2. Bank Dunia harus kembali meningkatkan status resiko tingkat B menjadi tingkat A, menggunakan sistem pengamanan bank dunia dan dilakukan konsultasi publik yang bermakna dengan warga terdampak proyek di kota-kota yang sudah ditargetkan untuk digusur;
  3. Kerangka perlindungan berbasis Negara yang dimiliki Indonesia kian hari diperlemah untuk memudahkan investasi. Sehingga demi memberikan perlindungan maksimal terhadap masyarakat, maka Bank Dunia pun harus konsisten akan standar safeguard yang dimilikinya ketika menilai resiko akan sosial dan lingkungan terhadap proyek-proyek di Indonesia, termasuk NSUP;
  4. Harus dilakukan due diligence secara substantif atas proyek ini, termasuk dampak yang akan dialami perempuan;
  5. Harus dilakukan penilaian risiko akan potensi kekerasan yang terjadi, khususnya dari pihak bersenjata termasuk militer (TNI), Polisi, Satpol dan preman-preman, terkait dengan proyek;
  6. Harus ada larangan secara hukum yang secara eksplisit mengikat tentang penggunaan pasukan keamanan bersenjata dan kekerasan terhadap masyarakat, dengan klausul yang mengikat secara hukum bahwa setiap penggunaan seperti kekerasan terhadap masyarakat akan mengakibatkan pembatalan proyek;
  7. Penilaian dampak lingkungan dan sosial (termasuk ESMF) perlu ditulis ulang dan tunduk konsultasi publik yang kuat. Hal ini untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial, termasuk dampak pada masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan;
  8. Mengingat bahwa daftar kota-kota yang diusulkan untuk proyek, termasuk untuk tahap pertama proyek sudah diketahui, maka harus ada konsultasi publik yang bermakna di setiap daerah direncanakan akan berdampak sebelum keputusan untuk melaksanakan proyek ini. Jika implementasi berjalan di depan, harus dipastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak dapat berpartisipasi dan menentukan proses “perbaikan” dari daerah mereka;
  9. Pemerintah Indonesia harus memberikan informasi lengkap tentang asal usul dana (WB/AIIB) serta informasi mengenai hak untuk menolak menyerahkan tanah harus dicantumkan dalam dokumen proyek;

Koalisi Pemantau Infrastruktur
Ecological Justice – WALHI – ILRC – Tuk Indonesia – ELSAM – WALHI Sulawesi Selatan – PUSAKA – WALHI Jawa Barat – DebtWatch – INFID – INDIES

Selengkapnya...

Jumat, September 09, 2016

160 Hari Pemiskinan Warga Cawang Gumilir oleh PT. Musi Hutan Persada Negara Dimana?

Aksi Walhi dan Masyarakat Cawang Gumilir di Depan Gedung KLHK (Foto : Walhi Sumsel) 

Siaran Pers Walhi dalam Aksi Diam di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta. 

Jakarta-Hari ini, Jum’at 09 September 2016. Tepat 160 hari warga Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan hidup dalam ketidakpastian. Paska penggusuran yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada (MHP) pada bulan Maret lalu. Pasalnya setelah tergusurnya ladang perkebunan dan pemukiman warga, mereka sama sekali tidak memiliki apapun. Untuk tinggal,warga Cawang Gumilir mengungsi di tenda pengungsian, rumah-rumah penduduk di dusun lainnya dan desa induk yang jaraknya + 13 kilometer dari tempat sebelumnya (tergusur). Sementara untuk pekerjaan, mereka terpaksa menjadi buruh tani yang pendapatanya tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anak-anak juga tidak bisa bersekolah, karena sekolah mereka juga digusur. 

Apa yang dilakukan oleh PT. MHP kepada masyarakat merupakan bentuk kejahatan yang sistematis. Selain menggunakan TNI, Kepolisian, dan Dinas Kehutanan sebagai alat, kini bentuk penindasan dilakukan dengan cara pemiskinan. Lebih parah lagi, tidak ada satu pun lembaga-lembaga negara yang hadir ditengah apa yang dialami warga Cawang Gumilir saat ini. 

Sampai saat ini berbagai upaya warga untuk mencari keadilan telah ditempuh, namun tidak ada perkembangan apapun. Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengungkapkan bahwa “baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah tidak serius menyelesaikan konflik yang terjadi. Pemerintah begitu mudahnya mengeluarkan izin kepada perusahaan, namun jika urusan yang berkaitan dengan hak-hak rakyat pemerintah malah memperlambat dan terkesan bukan menjadi agenda utama. Rakyat dibiarkan “berdarah-darah” dan “lelah” dengan sendiri”. 

Pasalnya beberapa bulan lalu sudah ada pertemuan antara warga Cawang Gumilir, WALHI Sumsel, Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian LHK, dan beberapa instansi Pemerintah Daerah. Namun hingga hari ini tidak ada perkembangan yang berarti. Ini menandakan bahwa Perhutanan Sosial memang tidak dimaksudkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik. 

Edo Rakhman, Manager Pembelaan dan Respon Cepat WALHI Nasional menambahkan, “Kejahatan Korporasi saat ini sudah masuk dalam taraf membahayakan kedaulatan negara dan hak-hak rakyat atas sumber daya alam. Negara menjadi alat PT. MHP untuk menggusur ruang hidup masyarakat”.  

Konflik warga dengan PT. MHP sudah terjadi bertahun-tahun lalu, dan tidak pernah ada titik temu yang mengakomodir kepentingan warga Cawang Gumilir secara adil dan partisipatif. Sebelumnya pada tahun 14 Juli tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan surat untuk meminta kepada Gubernur dan Bupati untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Surat yang ditandatangani oleh Ibu Menteri tersebut, juga mengatakan tengah melakukan proses penyelesaian konflik melalui skema perhutanan sosial. Namun, hal tersebut tidak pernah ditanggapi sedikitpun, baik oleh Pemerintah Daerah, dan bahkan di tingkatan struktur Kementerian LHK sendiri. 

Atas dasar itulah, melalui aksi diam yang jatuh bertepatan dengan hari ke-160 warga mengungsi ini, kami mendesak agar negara mencabut izin PT. MHP dan memberikan hak atas tanah dan sumber-sumber kehidupan kepada warga Cawang Gumilir. Terlebih, 80.000 hektar lahan PT. MHP terbakar, artinya perusahaan tidak mampu mengelola kawasan mereka. 

Kami juga mendesak agar Pemerintah Pusat dan Daerah juga segera melakukan penanganan cepat, terutama pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. 


Jakarta, 9 September 2016.



Contact Person:

1.     Bagus Ahmad, WALHI Sumatera Selatan di 085693277933

2.     Edo Rahman, Eksekutif Nasional WALHI di  081356208763
Selengkapnya...

Kamis, September 08, 2016

Walhi : Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi, Presiden Segeralah Bertindak!

Jakarta-Beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Jokowi untuk penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah dengan berbagai alasan, antara lain tidak cukup bukti. Namun di ruang yang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak ada kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga ditunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas KLHK dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh WALHI, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin. Dalam analisa yang WALHI lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya. PT. Musi Hutan Persada misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektar, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian.

Menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka. Penggunaan kekerasan, premanisme dan pendekatan keamanan, termasuk pengerahan aparat keamanan (Polisi/TNI) dan juga kelompok pamswakarsa selalu menjadi pola yang sistematis dan pada akhirnya terus melanggengkan konflik struktural agraria.

WALHI mempertanyakan peran penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dalam kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Ada apa dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia? Polisi tidak hanya gagal menegakkan hukum, terutama hukum lingkungan, akan tetapi juga gagal menterjemahkan Undang-Undang, bahkan terkesan memelintir isi Undang-Undang, sehingga gagal melihat  penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan gagal menetapkan tersangka pelaku pembakar hutan. Dalam beberapa kejadian ini polisi memposisikan diri mewakili kepentingan korporasi, bahkan terlihat mulai berani berhadapan dengan negara, sementara korporasi mulai terang-terangan menunjukkan kedudukannya melampui negara.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan “berbagai peristiwa hukum yang terjadi dalam beberapa hari ini, harusnya dapat menjadi momentum bagi Presiden untuk menyatakan bahwa Indonesia berada dalam Darurat Kejahatan Korporasi”. Untuk itu, WALHI merekomendasikan agar:

1.     Presiden Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh POLRI juga TNI, dimana selama ini terindikasi menjadi backing korporasi terutama korporasi perusak lingkungan dan melakukan pelanggaran HAM. Memastikan reformasi di sektor keamanan dapat berjalan di tubuh institusi Kepolisian/TNI
2.     Mereview upaya penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan dan kejahatan lingkungan hidup lainnya yang saat ini sedang berjalan, khususnya Kementerian/Lembaga Negara yang diberi kewenangan dan tugas menegakkan hukum. Mengingat proses penegakan hukum lingkungan yang berjalan saat ini, belum mampu menjangkau kejahatan korporasi

Mengingat situasi darurat kejahatan korporasi ini, kami juga mendorong adanya pengadilan lingkungan hidup. Pengadilan lingkungan hidup dibutuhkan karena kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi sudah pada tahap kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).

Jakarta, 08 September 2016


Contact Person:

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional WALHI di 081289850005
Selengkapnya...

Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM

Walhi Sumsel : Usir Marubeni, Cabut Izin PT.MHP, Rakyat Berhak Atas Tanah

Jakarta- 7 september 2016, warga masyarakat Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur Kabupaten Musi Rawas  bersama keluarganya, didampingi WALHI dan TuK Indonesia, mengadukan PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP) yang sahamnya 100% dimiliki oleh Marubeni Group, investasi Jepang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kedatangan WALHI bersama dengan masyarakat ke Komnas HAM ini untuk mengadukan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat. Penggusuran paksa yang dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan aparat keamanan baik polisi telah membuat masyarakat terpaksa harus tinggal di pengungsian yang tidak layak, tidak dapat lagi bertani karena ladang pertanian mereka juga digusur paksa, dan anak-anak yang tidak bisa lagi bersekolah.

 “Hingga saat ini masyarakat masih belum bisa kembali ke rumahnya, dan untuk sementara kami masih tinggal di pengungsian dan sebagian lainnya tinggal menumpang di rumah tetangga desa dan untuk makan sehari-hari terpaksa menjadi buruh tani. Kami ingin segera bisa kembali ke dusun kami dan berladang, agar kehidupan kami kembali dan tenang dan anak-anak bisa bersekolah dan memiliki masa depan yang baik’, demikian disampaikan oleh Ibu Suharmi kepada Komisioner Komnas HAM.

WALHI mendesak agar Komnas HAM sebagai lembaga HAM negara mengambil tindakan cepat untuk bisa memastikan hak-hak dasar rakyat dipenuhi oleh negara. “Dalam pengaduan ini mendesak agar Komnas HAM mengambil tindakan segera untuk memastikan hak-hak dasar masyarakat dipenuhi oleh negara, khususnya agar masyarakat bisa kembali ke dusunnya dan bertani di sana”, ujar Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, “selain terkait dengan tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Komnas HAM, Kami juga mendesak agar Komnas HAM turun ke lapangan untuk melihat pelanggaran HAM sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi”. Kami mendesak ini karena kami tahu bahwa Komnas HAM memiliki komitmen untuk mendorong agar korporasi dapat memenuhi dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam panduan United Nation Human Rights tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Terlebih PT. Musi Hutan Persada merupakan perusahaan yang dimiliki oleh TNCs”.

Selain menggusur tanah rakyat, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group ini juga melakukan tindak kejahatan lingkungan lainnya. 80.000 hektar kawasan konsesi mereka terbakar, yang telah menyebabkan kerugian lingkungan dan kerugian non materi lainnya. Konflik antara masyarakat dengan perusahaan juga sudah lama terjadi, setidaknya sejak tahun 2006 dan puncaknya terjadi penggusuran pada bulan April 2016 lalu.

Pengaduan dari perwakilan masyarakat dan WALHI diterima oleh Komisioner Komnas HAM Sub Komisi Pemantauan dan Penyidikan, Ibu Siti Noor Laila dan Komisioner Sub Komisi Mediasi, Ibu Roichatul Aswidah. Komnas HAM berjanji akan segera melakukan upaya agar rakyat bisa kembali mendapatkan kembali hak-haknya, terutama bisa kembali melangsungkan kehidupannya. (selesai)

Jakarta, 7 September 2016.

Contact Person:

1.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan di 08127312042

2.     Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
Selengkapnya...

Selasa, September 06, 2016

Walhi Sumsel : Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mills, Pemaksaan dan Penekanan terhadap sumber daya alam

Bekas Gambut terbakar di dalam Konsesi Perusahaan yang akan memasok PT. OKI Pulp and papers di Kabupaten OKI (Foto : Dokumen Walhi Sumsel ) 


Upaya Addendum Amdal  PT. OKI Pulp and Paper Mils berupa penambahan kapasitas produksi merupakan pemaksaan dan penekanan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan catatan WALHI Sumsel, perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) penyuplai PT. OKI Pulp and Papers Mills merupakan perusahaan yang memiliki catatan buruk sejak keberadaannya di Provinsi Sumatera Selatan. Perusahaan tersebut antara lain PT. Bumi Andalas Permai, PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Permai, dan PT. Tripupa Jaya. Perusahaan penyuplai tersebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, salah satunya adalah adanya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesinya.
Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di atas juga merupakan bukti ketidakmampuannya mengelola sumber daya alam secara keberlanjutan. Diawal rencana pembangunannya, WALHI Sumatera Selatan sudah menolak dengan tegas keberadaan industri bubur kertas tersebut. Izin Lingkungan yang sebelumnya diberikan (tahun 2015) merupakan pemaksaan kebijakan yang sesungguhnya tidak patut diberikan. Seharusnya pemerintah melihat kondisi yang ada secara menyeluruh, tidak hanya mengenai keberadaan pabrik tersebut. Bagaimana mungkin Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memberikan izin lingkungan kepada suatu perusahaan (pabrik) pembuatan bubur kertas yang di pasok oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Antara lain Undang-Undang No 41 tahun 2009 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perusahaan
Hotspot
2015
2014
PT. Bumi Andalas Permai
5367
592
PT. Bumi Mekar Hijau
2953
2844
PT. Bumi Persada Permai
99
15
PT. Rimba Hutani Mas
1889
71
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
2489
167
PT. Sumber Hijau Permai
9
0
PT. Tri Pupajaya
320
16
Grand Total
13126
3705

Pada kejadian Karhutla di Sumatera Selatan tahun 2015, sebagian besar terjadi wilayah yang terbebani izin. Seperti HTI dan Perkebunan sawit. Sementara mayoritasnya berada di perusahaan-perusahaan pemasok kayu PT. OKI Pulp and Paper Mils.
Nama Perusahaan
Luas kebakaran/ha tahun 2015
PT. Bumi Mekar Hijau
108.028
PT. Bumi Andalas Permai
91.569
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
52.647
PT. Rimba Hutani Mas
28.755
 Luas kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi pemasok PT. OKI Pulp and Paper Mils (2015/berdasarkan peta indikatif kebakaran)

WALHI Sumsel menilai, bahwa Addendum Andal pembangunan industri dari kapasitas dua juta ton//tahun ke dua juta delapan ratus ribu ton merupakan pemaksaan penghisapan sumber daya alam. Tahun 2015 merupakan bukti nyata, dimana jutaan rakyat Sumatera Selatan terpapar asap. Selain itu, di seluruh wilayah konsesi perusahaan pemasok PT. OKI Pulp and Paper di dadalamnya terdapat wilayah ekologi penting, yakni kawasan ekosistem gambut. Pada kebakaran lahan 2015, terdapat hotspot di gambut pada area konsesi pemasok tersebut.
Tekanan-tekanan lainnya yang dihadapi adalah dipastikan akan terjadinya ekspansi izin-izin hutan tanaman industri (HTI) secara besar-besaran. Karena berdasarkan analisa WALHI Sumsel, luasan konsesi yang dimiliki pemasok tidak akan mencukupi kebutuhan produksi. Jika ekspansi tersebut terjadi, maka akan menimbulkan konflik-konflik baru di masyarakat, karena ruang kelola masyarakat semakin sempit. Bukan tidak mungkin, untuk memenuhi pasokannya (kekuranganya) akan dilakukan cara-cara illegal.
Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah melihat kondisi, fakta-fakta, dan ancaman-ancaman dengan berdirinya maupun rencana penambahan kapasitas produksi PT. OKI Pulp and Paper Mills secara menyeluruh.  
Atas dasar-dasar kondisi di atas, bersama ini WALHI Sumsel menuntut:
  1.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera    Selatan menolak Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mils.
  2.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus cermat dalam memahami kondisi pengrusakan lingkungan, dan dampak-dampak lainnya akibat ketidakmampuan perusahaan-perusahaan HTI dalam mengelola sumber daya alam. 
   Kontak Person : 
   Hadi Jatmiko Walhi Sumsel Jalan Beliton No 50 B kelurahan 26 Ilir Palembang
   Telp/Fax : 0711361010





Selengkapnya...