WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Oktober 27, 2016

Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa

Penghancuran Hutan rawa Gambut di Sumsel oleh Asia Pulp and Papers (APP)

Dalam The 2nd Session of The Open-ended Intergovernmental Working Group on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights
Jenewa-Sidang ke-2 IGWG on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights telah berlangsung dengan agenda mendapatkan pandangan dan input dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, para pakar dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam kesempatan ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan oral statement pada tanggal 26 Oktober 2016, dalam sidang UN terkait dengan kejahatan Trans National Corporation/TNCs dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang telah berdampak setidaknya terhadap 40 juta masyarakat.  Dalam temuan WALHI yang sudah disampaikan pada tahun 2015, bahwa sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi group-group besar perusahaan Trans Nasional. Namun sampai saat ini, tidak ada instrumen hukum internasional yang mampu menjangkau private sector baik perusahaan, lembaga keuangan internasional, termasuk Bank-Bank  yang membiayai perusahaan yang telah membakar hutan dan gambut di Indonesia, membunuh masyarakat, mempercepat dampak perubahan iklim, hingga menimbulkan kerugian yang begitu besar baik kerugian ekonomi, sosial, kesehatan dan kerusakan lingkungan hidup.
Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan yang menyampaikan pernyataan dalam sidang ke-2 IGWG di Jenewa menyatakan bahwa “instrument internasional menjadi penting untuk mengikat kewajiban korporasi dan seluruh rantai pasoknya antara lain pendanaan yang selama ini mensupport dan melanggengkan kejahatan korporasi terus terjadi. Kami juga mendesak agar ke depan, ada pengadilan internasional dan mekanisme kontrol internasional, penegakan hukum dan aturan yang mengikat, mengakui tanggung jawab perdata dan pidana sebagai badan hukum”.
WALHI juga menyambut baik International Court Crimes (ICC) yang dapat  mengadili kejahatan lingkungan hidup dan kejahatan perampasan tanah yang selama ini aktornya adalah korporasi. (selesai)
Jenewa, 26 Oktober 2016.
CP:
Khalisah Khalid, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di 081311187498 via WA
Selengkapnya...

Selasa, Oktober 25, 2016

Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit

“Tanamten ladang saget paring pengupojiwo tapi sawit mboten tentu hasile,”kata Imam Suwirno, seorang petani di Desa Nusantara, jalur 27 Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan logat bahasa Jawanya, barubaru ini. Kurang lebih jika diartikan, menanam beraslebih baik ketimbang sawit. Tanaman padi lebih memberi kehidupan ketimbang berkebun sawit. 
Kenyakinan ini menjadi semangat dirinya bersama lebih dari 600 petani lainnya mempertahankan garapan sawah mereka dari kepungan sawit. Menurut ia, bertanam padi merupakan semangat mempertahankan hidup bagi generas selanjutnya. Sayangnya, konflik lahan seluas 1.200 hektare (ha) selama lebih 20 tahun di desa tersebut tak kunjung diselesaikan pemerintah. 
Ketidakpastian inipun juga yang membuat para petani akhirnya solid membangun desa. Wujud nyatanya pembangunan jalan desa yang dibangun dari rembuk dan dana masyarakat desa. Diceritakan Imam, konflik lahan garapan berawal dari tahun 2004. Saat kehadiran perusahaan perkebunan, PT Selatan Agri Makmur Lestari (PT SAML), memperoleh izin prinsip di lahan mereka. 
Dua tahun kemudian, perusahaan inipun memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), tepat di lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1991. “Sejak saat itu, kami berjuang, tetap menanam padi dan merebut kembali lahan kami,” ujar Imam yang telah dinobatkan menjadi sesepuh desa. 
Diceritakannya, warga Desa Nusantara terbentuk dari masyarakat transmigrasi sejak tahun 1991. Saat itu, masyarakat mengikuti transmigrasi dari Provinsi Jawa Timur mendapatkan lahan masing-masing seluas dua ha. Dahulunya, lahan transmigrasi itu merupakan hutan tidak produktif, atau berstatus hutan bagi peruntukkan lain. Kondisi hutan sudah terambah dan sulit untuk dikelola. “Lebih dari tiga tahun, akibat lahan belum bisa menghasilkan, kami sempat makan ubi sepanjang hari,” ujar Imam. Lambat laun dengan semangat kolektif, lahan itu makin bisa ditanam. Namun, kata Imam, permasalahan lahannya belum usai. Setelah 15 tahun bersawah, tiba-tiba lahan tersebut dinyatakan berada milik HGU perusahaan. 
Kekelutan makin terasa setelah lebih dari 15 proses mediasi sengketa tidak memberikan kepastian sampai sekarang. Kepungan sawit makin meluas saat desadesa tetangga, seperti desa di jalur 26, jalur 29, jalur 30 dan 32, sekarang berubah menjadi perkebunan. “Lahan ini, sudah 13 kali dibahas di kabupaten dan Gubernur, serta dua kali di BPN di Jakarta. sampai sekarang masyarakat tidak juga tahu bagaimana HGU ada di lahan mereka. Malah, luasan HGU perusahaan ternyata lebih dari luasan lahan desa,”ujar Imam. 
Kesulitan bertanam makin terasa saat masyarakat desa Nusantara tidak bisa memperoleh bantuan pertanian dari pemerintah, akibat lahan bersengketa. Paling terasa, saat musim tanam lalu ketika panen gagal akibat hampir 80% padi mereka tidak membentuk bulir karena diserang penyakit blast. Cerita warga eks transmigrasi ini juga menjadi pembuka dari peresmian desa Nusantara menjadi desa ekologis di Sumsel. 
Pada Peresmian desa Ekologis Walhi ini, puluhan warga Desa Nusantara menginginkan kepastian akses lahan sawah mereka. Ketua Tim Reforma Agraria Kantor Staf Kepresidenan RI Abet Nego Tarigan mengungkapkan, permasalahan (sengketa) yang dialami oleh masyarakat Desa Nusantara menjadi ironis, saat pemerintah memiliki kebijakan reforma agraria. Dikatakan ia, petani Indonesia memiliki luasan tanam yang makin tergerus. Secara rata-rata, petani saat ini hanya memiliki luasan lahan 0,72 ha/keluarga. Kondisi itu, menjadi gambaran akses masyarakat tani yang sangat rendah akan lahan garapan. Salah satu penyebabnya, lahan berkonflik di Indonesia masih tinggi, terutama konflik masyarakat dengan perusahaan. 
“Dengan kebijakan reforma agraria, pemerintah daerah harus mendorong penyelesaian melalui redistribusi lahan. Redistribusi lahan memberikan kepastian bagi petani mengelola lahan mereka secara berkelompok (koperasi) dan penyelesaian konflik melalui kekerasan dan intimidasi tidak boleh lagi,”katanya. 
Dia juga mengatakan, tingginya konflik agraria, mendorong pemerintah menyelesaikannya melalui perhutanan sosial. Sehari sebelumnya, di kabupaten Muba juga sudah membentuk tim percepatan penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah daerahnya. Sebaiknya, pemerintah kabupaten lain, juga mendorong tim serupa. “Konflik berkepanjangan, menyulitkan petani, padahal redistribusi tanah juga didukung oleh program sertifikasi gratis dari pemerintah melalui kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,”ungkapnya. 
Sementara Staf Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rusnandi Pajung menawarkan solusi inclavebersama perusahaan. Pemerintah daerah bisa mendorong bagaimana perusahaan dan masyarakat dapat duduk bersama guna menyamakan peta dan mencarikan solusinya. “Sengketa serupa banyak di Indonesia, pemerintah kabupaten bisa mengusulkan penyelesaian tukar lahan, mengingat desa Nusantara termasuk desa lumbung pangan,”katanya. 
Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko menambahkan, sengketa lahan di Sumsel makin tinggi, terutama luasan. Penetapan desa ekologis, mendorong bagaimana desa Nusantara memiliki ketahanan pangan, serta kedaulatan pertanian, energi dan air. Walhi sudah mencontohkan pertanian organik di desa yang bersengketa panjang dengan perusahaan sawit tersebut. “Desa Nusantara yang juga merupakan kawasan gambut, hendaknya dijaga, bukan malah menjadi pertanian gambut,”ujarnya. 

Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=136&date=2016-10-25
Selengkapnya...

Minggu, Oktober 23, 2016

Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.


Foto bersama Perwakilan Kantor Staf Presiden,KEMENDES,EKNAS WALHI,
Walhi Sumsel dan Perwakilan Petani Nusantara  di
Wilayah Kelola Rakyat Desa Nusantara (Walhi Sumsel)
Nusantara(22/10). WALHI Sumsel, bersama Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa dan Gambut (KOMPAG), dan beberapa Lembaga Masyarakat Sipil lainnya lakukan peringatan hari Pangan Se-Dunia dan sekaligus Mendeklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis. Kegiatan ini dilaksanakan pada sabtu,22 Oktober 2016 bertempat di desa Nusantara, Air Sugihan, Ogan Komering Ilir (OKI). Hadir dalam kegiatan ini Abetnego Tarigan Ketua Tim Reforma Agraria (Kantor Staf Presiden), Rusnadi Padjung, Ph.d merupakan Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan (Kementrian Desa, PDT dan Transmigrasi), Nur hidayati Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dan beberapa perwakilan oragnisasi masyarakat sipil serta petani dari beberapa Kabupaten di Sumatera selatan.
Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini, agar para pengambil kebijakan paham akan persoalan yang dialami oleh para petani sebagai pahlawan pangan di Sumatera selatan, yang hidupnya jauh dari keramain kota namun selalu di usik oleh orang orang Kota dan para pengambil kebijakan yang tinggal di Kota .
Hadi Jatmiko Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan menyatakan, dipilihnya Desa Nusantara menjadi tempat peringatan Hari Pangan Se-Dunia yang setiap tahunnya di peringati pada 16 oktober, karena Desa Nusantara merupakan salah satu contoh desa yang sukses dalam mengelola lahan gambut seluas 1.200 Ha menjadi lahan petanian pangan,di saat pemerintah baru sibuk berbicara bagaimana cara menjaga lahan gambut agar tidak mengalami kerusakan, Petani Nusantara tampil terdepan menunjukan cara agar manusia dan alam hidup berdampingan.
Namun usaha Petani ini tidak di apresiasi oleh pemerintah daerah misalnya dengan memberikan bantuan baik infrastruktur maupun bantuan teknis peralatan pertanian, Nusantara yang merupakan desa  transmigrasi yang dibuka pada 1980 tersebut,malah di hadiahi dengan anacaman. sejak tahun 2009 lalu dan sampai dengan saat ini lahan pertanian seluas 1.200 Ha terancam oleh perkebunan Sawit milik PT. Selatan Agro Makmur Lestari (SAML/sebelumnya PT. SAM) yang HGU nya di keluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ogan Komering Ilir, padahal sejak awal izin lokasi diberikan telah di protes keras oleh masyarakat dan tidak pernah di didengar serta di tindak lanjuti. Malah sejak Penolakan yang dilakukan oleh petani terhadap keberadaan Perkebunan Sawit, pemerintah setempat seolah menutup ‘keran’ terkait pembangunan, Jikalaupun ada, tanpa proses partisipasi dan koordinasi dengan masyarakat.
Tabur benih Padi di Wilayah Kelolah Rakyat (WKR)
Pertanian Padi di Gambut Desa Nusantara.
Desa Ekologis menjadi penting untuk di kembangkan dan di wujudkan karena sejak dibukanya rezim penguasaan hutan dan lahan oleh korporasi melalui pertambangan, Hutan Tanaman Industry (HTI), dan perkebunan kelapa sawit, membuat laju krisis lingkungan hidup di Sumsel terus meningkat menyebabkan Kebakaran hutan, degradasi ekosistem rawa dan gambut hingga hilangnya akses masyarakat (desa) atas sumber daya alam.
Desa Ekologis merupakan model pembangunan desa yang minim eksploitatif dan merupakan kritik dari model pembangunan industrialisasi yang top down serta miskin nilai dan kearifan lokal. Namun kritik pembangunan tersebut haruslah aplikatif dan mampu menyelesaiakan berbagai latar persoalan yang ada. Terutama dalam hal hak akses dan kontrol masyarakat atas sumber daya alam. Peta jalan ini sesunggunya sudah dimiliki dan hidup ditengah masyarakat secara turun menurun, pemerintah dan actor-aktor lainnya tinggal mendukung dan memberikan pengakuan.
Ruang kebijakan untuk menuju Desa Ekologis bisa dilakukan dengan adanya Undang-Undang Desa, yang berperan penting dalam membuka ruang masyarakat di tingkat tapak (pembangunan) untuk mengatur ruang kelolanya secara arif, berkelanjutan, dan berdaulat. UU tersebut juga mengakui bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Foto bersama setelah Penanda Tanganan Deklarasi Nusantara
Menuju desa Ekologis.
Peringatan hari pangan di Nusantara merupakan gambaran potret krisis dari bentuk keterancaman lahan pangan masyarakat dan desa, yang diakibatkan oleh proses pembangunan yang miskin visi dan keberlanjutan. Pangan ada karena ketersediaan lahan, kedaulatan lahan ada karena adanya akses masyarakat. Akses masyarakat bukan hanya dapatnya masyarakat mengelola lahan, melainkan juga terpenuhnya seluruh syarat akan makna kedaulatan, yakni (1) tata kuasa (kebijakan penguasaan wilayah), (2) tata kelola (sistem untuk menjalankan dan mengendalikan pemanfaatan atas ruang/wilayah perdesaan, (3) tata produksi (kaidah atau aturan dalam proses mengeluarkan atau menghasilkan suatu produk (sandang, pangan, papan, energi dll.) yang berbasis pada potensi  yang ada di wilayah desa untuk meningkatkan taraf kesejahteraan warganya), dan (4) tata konsumsi (pengaturan pola konsumsi masyarakat desa yang harus dapat memperkuat relasi dengan potensi komoditinya; serta pengaturan distribusi produk masyarakat desa keluar yang harus memberikan nilai tambah bagi masyarakat desa sebagai produsen).
Hadi Jatmiko menambahkan, dihadirkannya Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi, dan Direktur Eksekutif Nasional WALHI  adalah bentuk dukungan yang nyata untuk masyarakat Nusantara  baik secara kebijakan maupun dukungan politik terhadap masyarakat dan ruang kelolanya. 
Selengkapnya...

Sabtu, Oktober 22, 2016

Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis

Salam Adil dan Lestari !! 
Hidup Petani !! 
Assalamualaikum Wr.wb 

Pertama tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kita kepada Allah Swt, karena atas berkah dan karunianya lah kita hari dapat berkumpul disini dalam kegiatan Peringatan hari pangan Sedunia, Nusantara Menuju Desa ekologi Sholawat dan salam marilah kita sampaikan tak henti hentinya kepada Nabi Junjungan kita Muhammad,SAWW beserta Keluarga dan sahabatnya, berkat bimbingannya lah kita dapat berada dijalan yang terang. 

Bapak,ibu,saudara yang kami Hormati 
Peringatan Hari pangan seduni yang ditetapkan oleh PBB setiap tanggal 16 oktober mempunyai untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian penduduk dunia akan pentingnya penanganan masalah pangan baik di tingkat nasional, regional maupun global. Persoalan pangan bukan hal yang bisa di sepelekan, persoalan pangan hal yang penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah karena jika terjadi krisis pangan di suatu daerah akan menyebabkan terjadinya kegaduhan sosial yang sangat sulit untuk diatasi. Persoalan pangan dapat memicu terjadinya perang antar negara , konflik sosial dan bahkan bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya perang dunia. atas hal tersebut maka sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada para petani di negeri ini, yang tinggal di desa desa dan pelosok nusantara karena berkat merekalah kehidupan di negeri ini tetap terjaga dan damai. 

Namun Ironis, petani yang merupakan pahlawan pangan,ternyata hidupnya berada jauh dibawah garis kemiskinan, kemiskinan struktural, kemiskinan yang di ciptakan oleh Negara melalui pemerintah yang mengeluarkan kebijakan kebijaknnya yang tidak berpihak kepada mereka. jangankan memberikan mereka bantuan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, negara terkadang malah semakin menyengsarakan mereka, salah satunya kebijakan pengeluaran izin bagi perkebunan perkebunan besar, pertambangan dan sektor Industri kehutanan (hutan tanaman Industri), kebijakan ini menyebabkan hilangnya alat produksi petani berupa Tanah. 
Untuk itu Walhi menuntut pemerintah abik pusat maupun daerah untuk menghentikan Kebijakan ini.

Fakta tak terbantahkan yang dikutip dari hasil susenas tahun 2012, angka kemiskinan di Sumatera selatan telah mencapai 1 juta jiwa lebih, rata rata penduduk miskin tersebut berada di desa desa yang di sekitarnya terdapat investasi. 

 Desa Nusantara merupakan salah satu contoh desa yang berjuang mempertahankan lahan Pertanian dari ekspansi rakusnya perkebunan kelapa sawit di kabupaten OKI. Pertanian pangan (padi) di lahan gambut yang dikelolah oleh masyarakat desa Nusantara secara arif dan berkelanjutan telah mampu menjaga gambut dari kerusakan. seperti kita ketahui kabupaten OKI pada 2 tahun terakhir terkenal dengan kebakaran hutan dan lahan gambut terluas,catatan Walhi setidaknya kebakaran terjadi seluas 437 ribu hektar atau sekitar 50 persen dari 800 ribu hektar hutan dan lahan terbakar selama 2015,dan kebakaran tersebut terbanyak berada di lahan konsesi Perusahaan. 

Namun selama ini penegakan hukum oleh aparat penegaka hukum malah kepada petani dan masyarakat yang padahal petani dan masyarakat adat dilindungi oleh UU No 32 tahun 2009 pasal 69 

Pertanian dilahan gambut yang dilakukan petani desa Nusantara, selama ini pertahunnya mampu menghasilkan 4.400 Ton beras dari luas lahan 1200/tahun 1 kali panen. Hasil panen ini jika di kalkulasikan dengan uang setidaknya setiap panen terjadi perputaran uang mencapai 30.8 milyar. Nilai ini jauh lebih besar ketimbang pendapatan dari perkebunan sawit dengan luas lahan yang sama. Selain dari keuntungan secara ekonomi, pengelolaan gambut yang dilakukan oleh petani ini setidaknya mampu mencegah lepasnya karbon/emisi gas rumah kaca penyebab dari perubahan iklim sebesar 202.500 Ton. Karbon sebesar ini akan terlepas jika perkebunan kelapa sawit milik PT. SAML menjadikan lahan pertanian gambut ini menjadi perkebunan. Dan dalam pantauan kami perlahan skenario penghancuran lahan pertanian pangan di lahan gambut desa nusantara ini perlahan dilakukan, dengan dibukanya kanal kanal yang mengelilingi lahan pertanian produktif ini menyebabkan kekeringan dan kebanjiran sehingga selalu mengancam panen padi. Untuk itu kami berharap pemerintah daerah dan pusat dapat menghentikan pembangunan kanal dan menutup kanal kanal yang terbuka saat ini, agar masyarakat atau petani tidak lagi mengalami ancaman gagal panen. 

Bapak, Ibu dan saudara beserta tamu undangan yang kami hormati. 
2 tahun lalu pemerintah mengeluarkan salah satu undang Undang tentang desa No 6 tahun 2014, UU ini merupakan harapan baru bagi rakyat di pedesaan, karena melalui UU ini, desa tidak lagi hanya menjadi objek eksploitasi orang orang kota. Dengan UU ini menjadikan desa memiliki hak atas apa yang ada di desa. Desa bisa mengatur tata kuasa, usaha, guna dari sumber daya dan aset yang dimiliki desa. Melalui Kesempatan yang diatur oleh UU ini dan momentum peringatan Hari Pangan Sedunia serta adanya komitmen yang kuat dari masyarakat Desa Nusanatara untuk melakukan agenda pembangunan yang berkelanjutan, yang saat ini secara perlahan telah melakukan pertanian dan desa berkelanjutan. 

Maka kami bersama masyarakat/ petani Desa Nusantara bersepakat untuk menjadikan Desa Nusantara sebagai Desa EKOLOGI yang kedepan secara perlahan akan mencipatakan ke mandirian secara energi, Infrastruktur hijau, Pertanian dan Pangan berkelanjutan. 

Bapak ibu, saudara yang berbahagia 
Kami menyadari tentunya menjadikan Nusantara sebagai Desa Ekologi banyak menghadapi tantangan dan halangan serta pastinya kebutuhan akan sumber daya yang besar yang tidak mungkin dapat kami dan masayarakat penuhi sendiri,untuk itu bantuan dan kerjasama dari semua pihak baik Pemerintah daerah, pemerintah Nasional (Kementerian Desa dan Kantor staf kepresidenan serta tim Reforma Agraria ) dan teman teman NGO nasional maupun lokal serta teman teman media sangat kami harapkan. 

Bapak, ibu, saudara dan teman teman petani pahlawan pangan kami. 
Demikianlah kata sambutan ini kami sampaikan, secara pribadi dan organisasi saya memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyampaian ini dan kepada Allah.Swt saya mohon ampun. 

Hidup Petani !!! 
Wassalammualaikum Wr.wb
Selengkapnya...

Rabu, Oktober 19, 2016

Walhi Sumsel Apresiasi Pembentukan Satgas Percepatan penyelesaian Konflik Agraria dan SDA di Muba.

Ketimpangan penguasaan lahan dan hutan beserta Sumber daya alamnya dari masa orde baru sampai dengan saat ini telah melahirkan konflik agraria dan SDA berkepanjangan. Dan terus naik seiring dengan banjirnya investasi yang rakus ruang dan lahan. 
Sumatera selatan menjadi salah satu contoh atas kerakusan investasi tersebut, Dari 8.7 juta hektar luas sumatera selatan setidaknya hanya 2.9 juta hektarnya saja yang bisa dimanfaatkan oleh 8 juta jiwa penduduknya. Sisanya seluas 5 juta hektar telah dibagi kepada segelintir orang yang memiliki usaha di sektor perkebunan seluas 1.5 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (Perkebunan Kayu),RE dan HPH 1.5 Juta hektar dan pertambangan mencapai 2.7 juta Hektar.  
Selain 3 sektor tersebut proyek proyek Infrastruktur di perkotaan pun berkontribusi atas ketimpangan struktur agraria dan perusakan lingkungan hidup. Akibat dari ketimpangan struktur agraria khususnya hutan dan lahan tersebut terjadi Konflik Agraria dan Sumber Daya alam yang tidak berkesudahan, tidak jarang menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak dan kriminalisasi terhadap rakyat. Catatan Walhi Sumsel tahun 2009 – 2014 setidaknya terdapat 60 Konflik Agriaria di Sumatera selatan yang sampai dengan saat ini belum terselesaikan. 
Kabupaten Musi banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang memiliki ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria terbanyak. Diantaranya Konflik antara masyarakat dengan PT. Pakerin di kecamatan Bayung Lincir, konflik masyarakat dengan PT. Guthrie petonina (SimeDarby Group) di kecamatan Lawang wetan, Konflik masyarakat dengan PT. Bumi Persada permai dan konflik masyarakat dengan PT. BSS di kecamatan bayung lincir. Merespon hal tersebut pada senin,17 oktober 2016 di sekayu pada rapat yang di pimpin langsung oleh PLT. Bupati Muba Beni Hernedi, disampaikan bahwa melalui Peraturan Bupati, Pemkab Muba berencana membentuk lembaga Penyelesaian Konflik Agraria yang dinamai dengan Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA). 
Pembentukan Satgas ini patut di apresiasi, karena merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Pemkab Musi Banyuasin. Disaat Pembentukan lembaga ini secara nasional mengalami kebuntuan, padahal merupakan komitmen (Nawacita) Presiden Jokowi yang ingin menyelesaikan Konflik agraria dan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia, Kabupaten Muba menjadi pionir atas komitmen ini. Kata Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel. 
Walhi berharap insiatif Pemkab Musi Banyuasin dapat diikuti oleh daerah lainnya baik tingkat kabupaten, Propinsi di sumsel maupun di luar Sumsel . Namun untuk mengefektifkan kerja SATGAS ini menurut Hadi Jatmiko, ada beberapa hal kebijakan yang harus di keluarkan oleh pemkab MUBA yaitu, melakukan Moratorium Perizinan Baru, Mereview izin lama dan juga melakukan Audit Lingkungan Hidup. Hal ini menjadi penting agar upaya penyelesaian konflik yang di prioritaskan oleh Satgas dapat dilakukan dengan cepat dan tepat waktu namun bukan berarti dengan waktu singkat 2 atau 3 bulan dapat diselesaikan. Penyelesaian konflik tetap membutuhkan waktu yang panjang tetapi mempunyai batasan waktu sesuai dengan jumlah konflik yang menjadi target dan harus di selesaiakan, sehingga keberhasilan dapat terukur secara kualitas dan kuantitas. 
Ditambahkan oleh Hadi jatmiko, selain kebijakan tersebut diatas dibutuhkan pula komitmen dari berbagai Instansi yang selama ini menjadi penyebab konflik, salah satunya dukungan dari Aparat Penegak hukum Kepolisian untuk menghentikan keterlibatan nya dalam Konflik agraria (Kriminalisasi, penggunaan senjata dan kekerasan). Jika beberapa hal tersebut tidak dilakukan maka Kebijakan yang baik ini hanya akan menjadi isapan jempol belaka.tutupnya.

Kontak person : Hadi jatmiko Direktur Walhi Sumsel : 0812 731 2042
Selengkapnya...

Jumat, Oktober 14, 2016

Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU

Rumah adat palembang di Kelurahan 5 Ulu 

(Jakarta, 14/10/2016) Pada 3-9 Oktober 2016, telah berlangsung pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, yang juga dihadiri oleh LSM dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pertemuan ini menjadi penting, selain karena maraknya dampak buruk dari pembangunan yang dibiayai Bank Dunia, juga karena telah disahkannya perlindungan lingkungan dan sosial yang disebut ESF (Enviromental and Social Framework) menggantikan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial sebelumnya.
Pembangunan infrastruktur adalah penting bagi setiap negara. Namun, di sisi lain pembangunan infrastuktur juga terbukti bisa merugikan dan menimbulkan pemiskinan, kerusakan ekologis termasuk pengrusakan hutan dan ekosistem sungai, dan menyebabkan penderitaan bagi kelompok-kelompok rentan yang pada akhirnya tujuan awal pembangunan infrastruktur tidak tercapai, atau justru menimbulkan masalah baru seperti kemiskinan, ketidakadilan jender dan perusakan lingkungan. Karena itu menjadi penting setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek pembangunan itu mengedepankan perlindungan pada lingkungan dan masyarakat, bukan sekedar mendirikan bangunan fisik semata, yang akan merusak .
Pemerintah Indonesia saat ini ingin memperbaiki kesenjangan infrastruktur di Indonesia melalui Program Percepatan Pembangunan “Fast Track Program” (FTP). Pembangunan infrastruktur diantaranya, akan membangun lebih dari 40 PLT Batubara, 40 PLT Panas Bumi, proyek waduk raksasa, PLT Nuklir, ribuan kilometer jalan, dan jalan kereta api batubara yang akan melalui hutan lindung maupun hutan adat. Untuk membiayai mega-proyek tersebut, Pemerintahan Joko Widodo mencari pembiayaan melalui Bank Pembangunan Multilateral, seperti kelompok Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berpusat di Beijing.
Pembangunan mega infrastruktur sudah barang tentu berdampak terhadap lingkungan, dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Namun, sayangnya di Indonesia proyek pembangunan bisa dilakukan walaupun belum memiliki izin lingkungan bahkan kalaupun ada, hal tersebut justru hanya menjadi syarat formil dalam proses perizinan pelaksanaan proyek. Sehingga, kualitas AMDAL dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah tersebut berdampak pada rusaknya mata pencaharian masyarakat serta ruang hidup mereka.
National Slum Upgrading Project, Proyek Resiko Tinggi Yang Kemungkinan Akan Memiskinkan Masyarakat
Hutang negara Indonesia sampai dengan bulan Agustus 2016 berjumlah 3.438,29 triliun rupiah. Dan pada 12 Juli 2016, Badan Direksi Bank Dunia telah menyetujui hutang pemerintah Indonesia sebesar $ 216.5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiah untuk proyek “National Slum Upgrading.” Selain itu, juga diputuskan bahwa pemerintah indonesia akan mendapat pinjaman perdana dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan jumlah yang sama yaitu $ 216,5 juta atau setara dengan Rp 2,814 triliun untuk proyek itu.
Pemberian utang tersebut untuk mendukung program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), atau dalam istilah Bank Dunia dan AIIB disebut National Slum Upgrading Project/NSUP. Dengan demikian pemerintah Indonesia menambah utang dari Bank Dunia dan AIIB untuk melaksanakan proyek KOTAKU ini dengan total pinjaman sebesar $ 433 juta atau setara 5,629 trilyun rupiah. Skema pembiayaan bersama ini merupakan kerjasama pertama antara AIIB dan Bank Dunia untuk lima tahun ke depan, dan menjadi projek pertama AIIB sejak pendirian AIIB pada tahun 2016.
AIIB merupakan Bank baru yang belum memiliki sistem perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat dengan staff yang sangat terbatas, sehingga dalam proyek ini AIIB mengikuti safeguard Bank Dunia. Awalnya, proyek ini dikategorikan beresiko tingkat A (berisiko tinggi) namun belakangan diubah menjadi resiko dengan tingkat B (lebih rendah). Padahal, NSUP ini bagian dari Program KOTAKU, dan Bank Dunia beserta AIIB akan membiayai di 153 kota dan 1 propinsi DKI Jakarta. Untuk tahun 2016-2017 kedua bank multilateral ini akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu. Dari analisa terhadap dokumen pinjaman dan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial, kami menemukan banyak masalah dalam proyek ini, seperti tidak adanya konsultasi dengan warga terdampak, diturunkannya status resiko dari A menjadi B, dan potensi kuat akan terjadi pemindahan atau penggusuran paksa walaupun istilah “pemindahan secara sukarela” dipakai oleh sponsor proyek.
Selain itu, dari 153 kota yang akan dibiayai oleh utang Bank Dunia/AIIB melalui proyek National Slum Upgrading, kami memprediksi 9,7 juta jiwa penghuni pemukiman kumuh di seluruh indonesia akan mengalami dampak sosial, dan 4,85 juta jiwa diantaranya merupakan perempuan.
Salah satu kota yang akan diintervensi oleh proyek utang Bank Dunia/AIIB terkait NSUP adalah Kota Makassar. Selama ini Pemerintah Kota Makassar tidak pernah terbuka soal proyek KOTAKU ini kepada publik.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan WALHI Sulsel, ditemukan bahwa proyek ini beresiko tinggi memiskinkan masyarakat miskin di Kota Makassar, yang menurutnya juga beresiko memiskinkan masyarakat miskin di 20 Kota lainnya. NSUP ini sangat beresiko menghilangkan tanah, tempat tinggal serta penghidupan masyarakat miskin. Menurut masyarakat yang diwawancarai, rumor-rumor beredar di daerah proyek bahwa proyek ini akan menghilangkan pemukiman orang-orang miskin yang diidentikkan sebagai pemukiman kumuh. Resiko yang lain adalah kerusuhan sosial yang kemungkinan akan muncul kalau masyarakat yang sangat menentang dipindakan dan tanahnya diambil paksa, termasuk oleh pihak bersenjata, terutama terkait dengan penggusuran yang akan mereka alami.
Data yang dihimpun oleh WALHI Sulsel, proyek NSUP di Kota Makassar akan berpotensi menghilangkan tempat tinggal dan tanah 17.114 kepala keluarga miskin, yang bila 1 KK memiliki anggota keluarga sebanyak 4 orang, maka terdapat 68.456 orang miskin di Kota Makassar yang akan kehilangan rumah dan tanah. Hal ini tentu sangat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Selain itu, proyek ini pun sangat tidak partisipatif dan cenderung tidak diawali dengan konsultasi publik yang berarti. Hal yang justru bertentangan dengan safeguard Bank Dunia tentang perlindungan sosial dan lingkungan hidup.
Kelurahan Tallo di Makassar adalah lokasi awal proyek ini dijalankan. Tidak diketahui bagaimana pemerintah menetapkan lokasi tersebut sebagai pemukiman kumuh yang mesti ditingkatkan (upgrade). Pemerintah tidak pernah menggelar konsultasi publik dengan masyarakat atau perwakilan masyarakat. Hal ini telah memicu gejolak di tengah masyarakat.
Warga terdampak proyek ini mengakui tidak mengetahui bahwa pemukiman mereka masuk dalam kategori kumuh, dan akan diubah melalui proyek utang Bank Dunia/AIIB. Masyarakat yang akan terdampak proyek tidak akan mau dipindahkan ke tempat lain, karena mereka telah bermukim di tempat tersebut selama 30 tahun lebih, dan pemukiman mereka juga terintegrasi dengan sumber penghidupan mereka di muara Sungai Tallo. Artinya proyek ini sangat beresiko menghilangkan sumber penghidupan masyarakat juga. Dan ini tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah dengan masyarakat.
Pola penggusuran di Indonesia yang represif juga menambah kekhawatiran akan pelaksanaan proyek ini. Beberapa model penggusuran di kota-kota Indonesia selalu memakai cara kekerasan. Contoh yang paling nyata adalah saat penggusuran di Bukit Duri, Kampung Pulo dan tempat-tempat lain di Jakarta. Terlihat bagaimana aparat kepolisian dikerahkan untuk turut menggusur masyarakat dari pemukiman mereka. Berdasarkan data Bank Dunia, penggusuran Bukit Duri merupakan tahapan untuk konstruksi dan peningkatan kapasitas kanal untuk mencegah masalah genangan air, salah satu titik dari proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project/Jakarta Emergency Dredging Initiative Project – JUFMP/JEDIP (lihat Dredging of Rivers and Waduks Phase 1 (JUFMP/JEDI), March 2010). Dengan kata lain, Bank Dunia telah terlibat dalam penggusuran paksa di Bukit Duri.
Jika benar proyek utang NSUP ini ingin menghilangkan pemukiman kumuh di Indonesia, maka bisa diprediksi akan ada bentuk kekerasan yang terjadi di 20 kota di Indonesia dalam tahun pertama, termasuk di Kota Makassar.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantau Infrastruktur melalui perwakilannya telah menyampaikan bahaya-bahaya akan NSUP dalam Annual Meeting Bank Dunia 2016 di Washington kepada para Executive Director Bank Dunia, dan di berbagai forum saat berlangsungnya acara tersebut.
Koalisi Pemantau Infrastruktur menyampaikan:

  1. Bank Dunia harus meninjau ulang pemberian utang untuk National Slum Upgrading Project ini. Karena kami tidak menginginkan dana utang digunakan untuk menghilangkan hak sosial ekonomi masyarakat;
  2. Bank Dunia harus kembali meningkatkan status resiko tingkat B menjadi tingkat A, menggunakan sistem pengamanan bank dunia dan dilakukan konsultasi publik yang bermakna dengan warga terdampak proyek di kota-kota yang sudah ditargetkan untuk digusur;
  3. Kerangka perlindungan berbasis Negara yang dimiliki Indonesia kian hari diperlemah untuk memudahkan investasi. Sehingga demi memberikan perlindungan maksimal terhadap masyarakat, maka Bank Dunia pun harus konsisten akan standar safeguard yang dimilikinya ketika menilai resiko akan sosial dan lingkungan terhadap proyek-proyek di Indonesia, termasuk NSUP;
  4. Harus dilakukan due diligence secara substantif atas proyek ini, termasuk dampak yang akan dialami perempuan;
  5. Harus dilakukan penilaian risiko akan potensi kekerasan yang terjadi, khususnya dari pihak bersenjata termasuk militer (TNI), Polisi, Satpol dan preman-preman, terkait dengan proyek;
  6. Harus ada larangan secara hukum yang secara eksplisit mengikat tentang penggunaan pasukan keamanan bersenjata dan kekerasan terhadap masyarakat, dengan klausul yang mengikat secara hukum bahwa setiap penggunaan seperti kekerasan terhadap masyarakat akan mengakibatkan pembatalan proyek;
  7. Penilaian dampak lingkungan dan sosial (termasuk ESMF) perlu ditulis ulang dan tunduk konsultasi publik yang kuat. Hal ini untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial, termasuk dampak pada masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan;
  8. Mengingat bahwa daftar kota-kota yang diusulkan untuk proyek, termasuk untuk tahap pertama proyek sudah diketahui, maka harus ada konsultasi publik yang bermakna di setiap daerah direncanakan akan berdampak sebelum keputusan untuk melaksanakan proyek ini. Jika implementasi berjalan di depan, harus dipastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak dapat berpartisipasi dan menentukan proses “perbaikan” dari daerah mereka;
  9. Pemerintah Indonesia harus memberikan informasi lengkap tentang asal usul dana (WB/AIIB) serta informasi mengenai hak untuk menolak menyerahkan tanah harus dicantumkan dalam dokumen proyek;

Koalisi Pemantau Infrastruktur
Ecological Justice – WALHI – ILRC – Tuk Indonesia – ELSAM – WALHI Sulawesi Selatan – PUSAKA – WALHI Jawa Barat – DebtWatch – INFID – INDIES

Selengkapnya...