Jakarta KOMPAS.com (19/1),
Pemerintah didesak untuk segera membentuk Badan Penyelesaian Konflik
Agraria. Hal ini mendesak dilakukan lantaran jumlah konflik sengketa
lahan di terus meningkat tanpa ada penyelesaian konflik.
Pada 2012, jumlah konflik agraria 198 kasus, lalu meningkat menjadi 369 kasus pada 2013. Jumlah itu bertambah lagi pada 2014 dengan jumlah 472 kasus. Pada 2004-2010 terdapat 1.520 konflik agraria dengan luas areal konflik 6,5 juta hektar.
"Kami mendorong pembentukan sebuah badan yang konsentrasi menyelesaikan konflik agraria," kata Direktur Walhi Bengkulu Beny Ardiansyah di Bengkulu, Jumat (16/1/2015) silam.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin.
”Jumlah konflik dalam satu dekade terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak ada satu pun unit dari pemerintah yang bisa menyelesaikan konflik itu,” kata Iwan kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Badan itu nantinya memiliki fungsi memeriksa ulang izin hak guna usaha (HGU) perusahaan, kemudian memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengembalikan hak masyarakat atas tanahnya. Badan ini dinilai sebaiknya di luar BPN dan kementerian, tetapi langsung di bawah pimpinan Presiden.
Iwan berpendapat, sejumlah lembaga yang berwewenang menuntaskan sengketa agraria tidak memadai. Lembaga tersebut, misalnya, Deputi Penyelesaian Konflik Agraria di Badan Pertahanan Nasional (BPN) ataupun Dewan Kehutanan Nasional di bawah Kementerian Kehutanan.
Administrasi Buruk
Administrasi pertanahan yang buruk juga memicu konflik karena banyak kasus sertifikat ganda. Maka itu, pembenahan administrasi harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mencontohkan penerbitan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di lahan warga Desa Nusantara di Kabupaten Oki, Sumatera Selatan. Sementara, aktivis Kontras Fathkul Khoir mencontohkan penerbitan hak guna bangunan (HGB) setelah masa berlaku HGU berakhir untuk perusahaan perkebunan randu di atas tanah milik warga Desa Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Hadi dan Fathkul menuturkan, perusahaan sering mengintimidasi dan bahkan melaporkan warga ke kepolisian saat mereka menuntut hak tanahnya. Pemerintah yang diandalkan untuk menyelesaikan sengketa itu justru mengabaikan rakyat dan sering memihak perusahaan.
Secara terpisah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan mengatakan, pemerintah ingin selalu mengedepankan mediasi dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan yang melibatkan warga dengan pihak tertentu. Warga hampir bisa dipastikan kalah apabila menyelesaikan konflik pertanahan di pengadilan.
Ferry mengatakan, mediasi bertujuan mencegah adanya pihak yang tidak puas atau sengsara akibat konflik pertanahan. Ia tidak mengharapkan ketidakpuasan itu justru memicu konflik pertanahan yang berpotensi merugikan semua pihak.
”Kami ingin menjamin kehidupan masyarakat yang tenang dan aman. Kalau ada masalah, bukan masyarakat yang disalahkan, melainkan pemerintah yang harus berbenah,” kata Ferry.
Pada 2012, jumlah konflik agraria 198 kasus, lalu meningkat menjadi 369 kasus pada 2013. Jumlah itu bertambah lagi pada 2014 dengan jumlah 472 kasus. Pada 2004-2010 terdapat 1.520 konflik agraria dengan luas areal konflik 6,5 juta hektar.
"Kami mendorong pembentukan sebuah badan yang konsentrasi menyelesaikan konflik agraria," kata Direktur Walhi Bengkulu Beny Ardiansyah di Bengkulu, Jumat (16/1/2015) silam.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin.
”Jumlah konflik dalam satu dekade terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak ada satu pun unit dari pemerintah yang bisa menyelesaikan konflik itu,” kata Iwan kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Badan itu nantinya memiliki fungsi memeriksa ulang izin hak guna usaha (HGU) perusahaan, kemudian memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengembalikan hak masyarakat atas tanahnya. Badan ini dinilai sebaiknya di luar BPN dan kementerian, tetapi langsung di bawah pimpinan Presiden.
Iwan berpendapat, sejumlah lembaga yang berwewenang menuntaskan sengketa agraria tidak memadai. Lembaga tersebut, misalnya, Deputi Penyelesaian Konflik Agraria di Badan Pertahanan Nasional (BPN) ataupun Dewan Kehutanan Nasional di bawah Kementerian Kehutanan.
Administrasi Buruk
Administrasi pertanahan yang buruk juga memicu konflik karena banyak kasus sertifikat ganda. Maka itu, pembenahan administrasi harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, mencontohkan penerbitan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di lahan warga Desa Nusantara di Kabupaten Oki, Sumatera Selatan. Sementara, aktivis Kontras Fathkul Khoir mencontohkan penerbitan hak guna bangunan (HGB) setelah masa berlaku HGU berakhir untuk perusahaan perkebunan randu di atas tanah milik warga Desa Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Hadi dan Fathkul menuturkan, perusahaan sering mengintimidasi dan bahkan melaporkan warga ke kepolisian saat mereka menuntut hak tanahnya. Pemerintah yang diandalkan untuk menyelesaikan sengketa itu justru mengabaikan rakyat dan sering memihak perusahaan.
Secara terpisah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan mengatakan, pemerintah ingin selalu mengedepankan mediasi dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan yang melibatkan warga dengan pihak tertentu. Warga hampir bisa dipastikan kalah apabila menyelesaikan konflik pertanahan di pengadilan.
Ferry mengatakan, mediasi bertujuan mencegah adanya pihak yang tidak puas atau sengsara akibat konflik pertanahan. Ia tidak mengharapkan ketidakpuasan itu justru memicu konflik pertanahan yang berpotensi merugikan semua pihak.
”Kami ingin menjamin kehidupan masyarakat yang tenang dan aman. Kalau ada masalah, bukan masyarakat yang disalahkan, melainkan pemerintah yang harus berbenah,” kata Ferry.