WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL(OPINI). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL(OPINI). Tampilkan semua postingan

Minggu, Oktober 21, 2012

REFLEKSI 32 TAHUN WALHI

Genap sudah 32 Tahun usia Walhi. Sebuah usia yang “cukup” matang untuk “memilih”, “memilah”, “menentukan”, mengambil sikap dari sebuah organisasi. Hampir praktis, sepanjang usia yang sudah ditempuh organisasi Walhi, usia 32 sudah menggambarkan bagaimana pandangan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya yang harus menjadi panutan dari Walhi.

Menghitung usia 32 diibaratkan perjalanan hidup manusia, sudah menunjukkan “kematangan”, “tenang mengambil keputusan”, “tidak grusa-grusu”, “sabar”, berfikir jernih”, menghitung resikodan berbagai sikap kematangan proses berfikir. Sikap yang diambil juga mencerminakan “kematangan” dan “kedewasaan” untuk melihat peluang dan tantangan dan dapat memberikan “sesuatu” yang diharapkan orang banyak.

Secara pribadi, “keterlibatan” penulis dan bergabung di Walhi dimulai sejak tahun 1998. Penulis bersentuhan dengan Emmy Hafid, Imam Masfardi, Arimbi Heroeputri. Mereka dikenal sebagai kuartet yang tangguh “melewati” fase genting pasca lengsernya Soeharto. Sebagai kuartet pucuk pimpinan Walhi, mereka didukung oleh Dewan Nasional yang “cukup kuat”. Kalo tidak salah ada Nursyahbani, Deddy Mawardi, Chairilsyah, Ahmadi (maaf, tidak mesti semuanya disebutkan). Sementara Longgena Ginting (yang kemudian menjadi Direktur Eksekutif), Chalid Muhammad (yang juga kemudian menjadi Direktur Eksekutif), Joko Waluyo merupakan Manager hutan, manager Tambang dan Manager Sawit merupakan “jagoan” teknis didalam merumuskan berbagai sikap politik yang harus diambil.

Seingat penulis “fase” genting itu dilalui cukup baik. Selain Walhi menjadi sorotan dan mendapatkan kesempatan menjadi “anggota utusan golongan” (namun kemudian ditolak dalam PNLH, Banjarmasin 1999), posisi WALHI cukup strategis dalam kancah politik. Bahkan salah satu “tokoh” penting di lapisan elite Gusdur (Presiden setelah Habibie), Erna Witoelar merupakan tokoh pendiri Walhi.

Dalam suasana “heroik”, penulis mendapatkan kesempatan langsung merumuskan berbgai agenda penting dan menjadi pegangan dan bekal penulis didalam melihat berbagai rumusan walhi.

Pondasi penting yang membedakan Walhi dengan berbagai organisasi lingkungan hidup lain adalah rumusan “gerakan advokasi lingkungan hidup”. Sebagai sebuah nilai dan identitas yang khas, rumusan “gerakan”, kemudian diikuti kata “advokasi lingkungan hidup” merupakan roh, jiwa dan nilai yang mampu menggetarkan untuk melakukan perubahan. Dari ranah ini kemudian, roh, jiwa dan nilai yang selalu menginspirasi, menggerakkan, menggetarkan berbagai persoalan yang langsung berdampak kepada lingkungan.

Tentu saja berbagai prestasi yang diraih oleh Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup tidak perlu diuraikan. Selain prestasi yang diraih merupakan bentuk sikap konsistensi perlawanan “negara” yang ternyata menjadi pelaku penting “kerusakan lingkungan hidup”, sikap politik menjadi inspirasi dari berbagai gerakan lingkungan hidup.

Secara subyektif harus diakui sikap politik Walhi merupakan “manifesto” sikap oposisi dan bentuk perlawanan dari Walhi. Dalam catatan penulis (tanpa mengenyampingkan berbagai persoalan politik lainnya), sikap Politik Walhi merupakan wujud nyata dari “keberpihakan” Walhi yang bersentuhan dengan lingkungan.
Dana Haram

Secara organisasi, sikap Politik Walhi “tegas” terhadap berbagai lembaga internasional yang “terbukti” memberikan dukungan pendanaan internasional. Dalam Resolusi KLNH kemudian sudah ditegaskan, Walhi selalu “kritis” dan tidak bersedia bekerja sama dengan World Bank, IMF, dan sebagainya. Tentu saja rumusan ini sudah menjadi diskusi organisasi yang cukup panjang.

Melawan Invasi Irak

Terlepas dari proses demokratisasi di Irak yang “tidak” berjalan sesuai dengan “pikiran” barat, “penyerbuan” Amerika walaupun tanpa mandat PBB namun dididukung oleh Inggeris dan dan Australia merupakan pelanggaran “kedaulatan” terhadap negara. Dalam diskusi dan sikap politik Walhi, sikap “angkuh” Amerika haruslah dilawan. Sikap ini harus tegas dan sekaligus membuktikan “sebagai negara berdaulat” yang tidak boleh tunduk dengan siapapun. Walhi kemudian “memutuskan” kerjasama dengan negara-negara yang “terbukti” menginvasi Irak seperti Amerika, Inggeris dan Australia (baca USAID, DFID dan Ausaid). Sikap politik Walhi inilah kemudian menjadi “magnet” tersendiri dan mampu memberikan “resonansi” yang kuat yang kemudian menjadi inspirasi persoalan “invasi” Irak merupakan pelanggaran kedaulatan negara. Sikap tegas Politik Walhi inilah kemudian “memberikan” dukungan sekaligus memberikan jaminan kepada walhi sebagai sikap politik yang “bermartabat.

Dalam perkembangannya kemudian, sikap Politik Walhi menjadi “ukuran” setiap nilai yang selalu ditawarkan oleh Walhi dalam berinteraksi dengan siapapun.

Simbol menjadi nilai

Apabila sebelum reformasi, berbagai kebijakan yang selalu diteriakkan Walhi, maka perjuangan menempatkan dan menjadikan Walhi sebagai “simbol” perlawanan organisasi lingkungan hidup. Simbol itu “seakan-akan” menggetarkan. Berbagai perjuangan walhi kemudian membuat simbol itu terus selalu ditancapkan dalam berbagai aksi-aksi dan sikap politik Walhi. Walhi kemudian menjadi “simbol” berdiri di garda terdepan yang selalu kritis terhadap kebijakan negara. Istilah yang sering digunakan “salah urus” mengelola sumber daya alam.

Sudah 32 tahun usia Walhi. Usia yang “cukup” matang. Terlepas dari berbagai aksi-aksi yang terus dilakukan oleh Walhi, berbagai “pintu” pengambil kebijakan telah dibuka. Lembaga-lembaga negara yang selama ini selalu “harus” selalu digedor”, telah dibuka. Rumusan kebijakan sudah menjadi bagian dari berbagai kebijakan negara. Kepentingan lembaga organisasi untuk menjadi para pihak dalam perkara di Pengadilan (sebelumnya dikenal dalam sistem Anglo Saxon. mekanisme ini kemudian disebut Legal standing) sudah menjadi praktek yang jamak. Pengakuan itu sudah tercermin didalam UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No 32 tahun 2009. Mekanisme “legal standing” sudah menjadi bahan bacaan dan diskusi berbagai forum ilmiah. Bahkan sudah menjadi “insipasi” dan berhasil mengenyampingkan sistem hukum Eropa kontinental (Didalam sistem Eropa kontinental dikenal prinsip “orang yang dirugikan yang berhak mengajukan gugatan/zonder belang geen rechsingan)

Namun perjuangan belum selesai. Sistem Ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat, sistem politik yang menguntungkan segelintir Oligarkhi politik, sistem hukum yang masih mengagungkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid atau keadilan prosedural/procedural justice) daripada mencapai keadilan hukum (gerectigheit atau keadilan substantif/substansif justice) masih menempatkan masyarakat “harus terus berjuang” mendapatkan ruang kelola dan kepastian “keberlanjutan” pengelolaan sumber daya alam.

Dengan berbagai rumusan yang menjadi “perjuangan” Walhi kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan, membuat perjuangan Walhi sebelumnya sebagai simbol menjadi perjuangan “nilai”. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi pegangan Walhi dan menjadi “pemikiran”, gagasan yang menjadi “alat kontrol” kekuasaan terhadap negara yang terbukti “salah urus” didalam mengelola sumber daya alam.

Penulis : Musri Nauli adalah Direktur Walhi Jambi 2012-2016
Selengkapnya...

Senin, Agustus 13, 2012

Limbang Jaya tragedy and the shortcut approach

Donny Syofyan, Padang
The writer is a lecturer at the School of Cultural Sciences at Andalas University

During a land dispute between residents and state-owned plantation company PTPN VII Cinta Manis in Limbang Jaya, South Sumatra, the police’s Mobile Brigade (Brimob) fired into the crowd, resulting in the death of a 12-year-old boy, Angga bin Darmawan, and several injuries.

Yarman bin Karuman, 47, a blacksmith, was injured in the arm and back. The third victim was Farida binti Juni, 48, a housewife, who was injured in the left arm.

The deadly shooting is one among several in land-related conflicts between local residents and companies across the archipelago. It is not the first time that a land dispute involving police officers or soldiers have turned deadly.

The death of the boy in Limbang Jaya demonstrates that the police’s attitude in handling land disputes is deteriorating, suggesting a failed shortcut approach. Such an approach is unsurprising, since the police are easily controlled by the companies that exercise control over land.

The police’s commitment to the public is nonexistent when dealing with a company’s interests. The police repeatedly place themselves in an inferior position to both state and private capitalists, making them the protectors of companies instead of people. The latest shooting was just one example of violence by police officers and military personnel, who frequently moonlight as security guards.

Frankly speaking, the police’s bargaining power against the state-owned plantation company will remain low as long as the security institution accepts unilateral reports issued by the company over people’s real complaints.

As a consequence, the police are subject to exploitation and control. No less alarming is that the police unknowingly place and treat PTPN VII Cinta Manis as an untouchable party vis-à-vis the marginalized residents.

In addition, the police’s shortcut approach indicates that they have ignored all previous criticism regarding their brutal attacks against residents, as widely seen in cases such as a protest against gold prospecting in West Nusa Tenggara’s Bima district, and security forces killing residents of Mesuji district in Lampung while attempting to evict them.

Previous massacres, on the one side, should have been a wake-up call to the police and prevented them from walking the same path or from falling into the same hole over and over again.

Moreover, the preceding tragedies should have been a lesson for the police that their pro-capitalist attitude would simply perpetuate public opposition and resistance to them as an institution.

Going a bit deeper, repeated land disputes between residents and plantation companies cannot be separated from the loss of the cultural approach involving parties entangled in land disputes.

It is saddening that both the police and the plantation company have ignored the necessary cultural approach in settling land disputes: While the police force is prone to the security approach owing to its quick and clear-cut procedure, the plantation company no doubt rests on cost-benefit considerations for its own sake.

A proper cultural approach would never prevail in the absence of a win-win and equal dialogical mechanism, putting the interests of the people in a corner. It is very poor form that the existing dialogue is more of a superficial courtesy and negotiating arena for the company’s benefit. Under such circumstances, local residents have become victimized beings, while the plantation company stands as the decision-maker.

What is urgently needed is a whole-hearted cultural approach that respects local residents as working and dialogue partners. Paradoxically speaking, there is a deep-rooted misinterpretation among large corporations — state and private — that respecting local residents is limited to corporate social responsibility (CSR), whereas in fact CSR should be based on and bolstered by continued partnership between local residents and the company.

The local community no longer has a sense of belonging to the plantation land, since the company makes an effort to get close to them at specific times only.

The cultural approach should also take local wisdom into account, such as respect for traditional property, figures and land in an attempt to settle land disputes.

It is too bad that many companies put too much emphasis on modern management of local residents which, in turn, creates a yawning gap between the two groups.

It is often the case that local wisdom plays a better role in shaping shared understanding and mutual benefit for local people and plantation companies.

Meanwhile, it is clear that the government has failed to realize that all the disputes are a reaction by local residents to the policies of former president Soeharto, who forcefully took their land without compensation in the name of economic development. That is why they feel that the land still belongs to them.

Hence, any efforts to solve the cases fairly necessitate the government considering people’s right to the land, not just blaming them for claiming the right. Such disputes would not occur if the government allowed villagers to continue using land that was under dispute while the companies would still maintain ownership rights.

Sumber : Jakarta Post Selengkapnya...

Minggu, Agustus 05, 2012

Nita dan potret sengketa agraria


Gelisah dan cemas mencengkeram benak Nita, ketika sang suami, Maulana, tidak menjawab panggilan teleponnya. Kecemasan semakin menjadi ketika ibu lima anak itu mendapatkan kabar Maulana ditangkap polisi karena membawa senjata tajam. Di waktu yang sama, kasus sengketa tanah itu sedang memanas.

Kisah itu berawal dari kabar yang diterima perempuan 40 tahun ini melalui telepon pada 19 Juli lalu. Nita yang sedang berada di rumah bersama anak-anaknya tersentak mendapat kabar  Brimob baru saja menangkap tiga warga Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nita pun menghubungi Maulana melalui telepon dan memintanya segera meninggalkan warung kopi, tempat Maulana biasa mangkal setiap sore.

Apalagi, lokasi penangkapan ketiga warga oleh Brimob, di sebuah tempat tak jauh dari warung kopi itu. “Aman kok di sini (warung kopi),” jawab Maulana seperti ditirukan Nita. Entah mengapa, jawaban itu tidak menghapus gelisahnya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menghubungi suaminya, telepon tidak terjawab.

Tanpa pikir panjang, Nita bergegas menuju warung kopi. Di tempat itu Ia mendapati puluhan pasukan brimob bersenjata lengkap sedang berjaga-jaga. Agus, anak pemilik warung kopi mengabarkan Maulana telah ditangkap. “Waktu itu, ada 9 orang yang ditangkap dengan tuduhan membawa senjata tajam,” kata Nita.

Penangkapan itu menciptakan protes dari Nita dan keluarga korban lain yang juga ikut ditangkap. Bersama warga Desa Seri Bandung, Nita mendatangi Markas Polda Sumatera Selatan keesokan harinya, untuk menuntut warga yang ditangkap segera dibebaskan.

Ketika diberi kesempatan bertemu dengan Maulana, Nita mendapati suaminya disiksa. Tangan Maulana memar, dengan jahitan di bagian kepalanya. “Suami saya mengaku dipukuli Brimob dengan senjata. Bahkan, dadanya dihantam dengan gagang senjata. Suami saya diperlakukan seperti binatang,” kata Nita.

Ratusan kasus

Sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah satu dari ratusan kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Hingga Juli 2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 115 kasus konflik agraria, dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 377 ribu hektar lebih, meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.

Dari konflik tersebut, setidaknya ada 25.000 petani di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku dan Papua kehilangan tanahnya.  Mereka diusir dari tempat tinggalnya.

Ironisnya, konflik agraria itu tidak lepas dari aksi kekerasan. Dalam kasus di Sumatera Barat saja, korban penembakan 15 petani ditembak,  35 orang ditahan, dan 25 orang yang dianiaya. Sedangkan korban yang tewas sebanyak 3 orang, diantaranya Kabupaten Ogan Ilir 1 orang, Jambi (1), dan Sulawesi Tengah (1).

Semua tragedi itu bertabrakan dengan program Hutan Tanaman Industri (HTI) Indonesia yang mencapai 9,39 juta hektar, dengan pengelolaan 262 unit perusahaan. Izin terlama yang dikantongi pengusaha hingga 100 tahun. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan  izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631,5 ribu hektar lebih. Sementara, luas Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Indonesia sekitar 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan.

Sengketa pertanahan akan terus menjadi persoalan di tingkat nasional, mengingat adanya lima undang-undang yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah atas sumber-sumber agrarian. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU  Mineral dan Batubara. Kewenangan tersebut tidak mengikuti semangat UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), karena cenderung memposisikan masyakat dalam pihak yang ‘lemah’..

“Banyaknya regulasi-regulasi yang berpotensi menyingkirkan rakyat dari tanah-tanah mereka, maka diproyeksikan bahwa perampasan tanah dan kekerasan akibat konflik agraria di masa depan akan semakin meluas,” kata Sekretaris Jenderal  KPA, Idham Arsyad.

Tak heran bila Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat menilai kasus Ogan Ilir bermasalah sejak awal PTPN VII beroperasi di wilayah itu. Pengukuran tanah oleh PTPN VII dilakukan sepihak. Warga sama sekali tidak dilibatkan ketika BUMN itu menjalankan program penanaman tebu pada 1982. Akibatnya, tanah warga pun terampas dan menciptakan perlawanan. “Banyak protes dilakukan, banyak juga yang ditangkap dan dipenjara,” kata Anwar.

Dan pada akhirnya, warga masyarakat seperti Nita dan keluarganya yang menjadi korban.


Sumber : http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/nita-dan-potret-sengketa-agraria.html?spref=fb
Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 04, 2012

Limbang Jaya tidak seperti dulu lagi.


Pasukan Brimob dan Polisi saat penyerbuan di limbang jaya

Tiga hari pasca penyerbuan satuan Brimob Polda Sumsel (27/7), di desa Limbang Jaya Ogan Ilir Banyuasin, situasi desa sangat berubah. Aksi penembakan yang dilakukan satuan khusus kepolisian telah menciptakan trauma yang tersistematis (traumatis) bagi warga desa, terutama perempuan dan anak-anak. Saat ini, warga desa menjadi lebih tertutup.

Traumatis ini tidak hanya dialami oleh warga desa di mana aksi penembakan yang menelan korban. Ratusan warga di beberapa desa sekitar lokasipun mengalami tekanan spikologis yang sama.Takut dan tertutup.

Traumatik yang dialami warga desa Limbang Jaya dan sekitarnya masih sangat terasa, apalagi mengingat aksi penembakan terkordinir (sweeping) anggota Brimob Polda telah mengakibatkan seorang anak warga desa, Angga bin Dewmawan, 12, tewas dan empat warga lainya mengalami luka tembak.

Perubahan spikologis ini, tentu mempengaruhi budaya dan perilaku warga desa setempat. Budaya yang terbangun atas kebiasaan hidup nyaman, berdampingan dengan keramahtamahan antar warga berubah drastis di desa Limbang Jaya sekitarnya. Warga desa cendrung sangat tertutup dan terkesan “waspada” dengan cenderung mencurigai setiap kunjungan orang asing yang masuk ke desa mereka.

Mungkin hal ini wajar, mengingat pasca aksi penyerbuan, lokasi desa memang menjadi pusat perhatian semua pihak, mulai dari awak media, tim penyidik kepolisian sampai pada kunjungan-kunjungan orang yang memiliki kepentingan lainnya.

Perubahan mendasar terjadi pada budaya masyarakat desa. Sebelum aksi sweeping Brimob, warga desa terutama laki-laki sangat terbiasa berada di luar rumah hingga tengah malam. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan memang saat malam hari, mereka hanya berkumpul di balai-balai depan rumah dan berjaga-jaga untuk keamanan desa. Budaya berkumpul ini pun menciptakan rasa aman bagi warga desa.

Tapi kini, kebiasan yang membudaya itu sudah tidak ada. Warga desa, lebih memilih berada di dalam rumah. Sejak habis ibadah sholat isya’, jalan-jalan di desa sudah sepi. Tak lagi ada, warga yang berkumpul di luar rumah, tak ada lagi ada warga yang berani keluar rumah. Perubahan harmonisasi budaya ini cendrung menciptakan kondisi mengcekam di desa.

Perubahan nilai budaya lainya, terasa pada ibu-ibu yang sebelumnya berprofesi sebagai pengerajin, penenun kain. Mereka cendrung tidak lagi aktif berproduksi kerja di rumah. Mereka lebih memilih mengurung diri, tertutup di rumah atau malah merasa aman jika berkumpul dengan para tetangga untuk saling menjaga antar satu warga dengan warga lain.

Rusman korban luka tembak oleh Brimob dan polisi saat terjadi penyerbuan desa Limbang jaya, tangan kirinya harus diamputasi karena tembakan Brimob telah meremukan tulang tangannya.
Traumatik ini pun mengakibatkan ibu-ibu yang seharusnya memiliki kegiatan rumah tangga, seperti memasak dan mengurusin anak dan suami cendrung lebih pasif.

Sebelumnya aksi penembakan terjadi, budaya masyarakat Limbang Jaya dengan menabuh baduk di Masjid menjadi tradisi masyarakat yang mengikat. Tabuhan beduk menjadi tanda dengan tiga makna, yakni tabuhan karena telah terjadi kebakaran, pencurian atau kedatangan polisi memasuki desa.

Saat kejadian, tepatnya saat belasan mobil anggota Brimob yang mengangkut ratusan anggota memasuki desa, tabuhan beduk bertalu-talu menjadi panggilan tak langsung warga untuk berkumpul. Saat itu, warga terutama ibu-ibu pun menjadi sanksi kehadiran ratusan anggota polisi dan tindakan brutal mereka.

Nurlaila, perempuan setengah baya ini mengaku sempat mengetahui aksi penembakan dan penyerbuan polisi Brimob ke desa Limbang Jaya. Saat kejadian berlangsung dirinya berada di dalam rumah. Namun, karena kondisi yang tidak nyaman, dia memilih mengungsi bersama dengan ibu-ibu dan anak-anak lainnya ke rumah tetangga. Saat itu, isak tangis dan teriakan histeris saling bertautan terdengar. Saat polisi dengan leluasa masuk ke dalam rumah melakukan swepping dan suara tembakan yang mengenai jeruji pagar masjid, mereka mengaku sangat takut dan hanya bisa berkumpul di lokasi keluarga terdekat. Traumatis akan kenangan itupun, membuat warga terutama ibu-ibu akhirnya selalu tidak tenang dengan tabuhan beduk di masjid.

“Desai kami ini aman-aman saja, beduk hanya berbunyi jika ada bahaya besar. Kemarin (saat kejadian), beduk ditabuh berkali-kali. Sampai sekarang, saya takut mendengar bunyi beduk,”ungkap Nurlaila.

Hal yang sama diceritakan Saipah, perempuan dengan lokasi rumah bersebelahan dengan masjid Darusallam, radius lokasi terdekat dimana korban Angga tewas. Saipah menceritakan saat kejadian, awalnya sedang santai di dalam rumah. Lalu beberapa menit setelah beduk sholat Ashar dibunyikan, tiba-tiba beduk kembali dibunyikan dengan nada tanda bahaya.

Sontak, dia langsung keluar untuk mengetahui kejadian apa terjadi sehingga beduk dibunyikan berkali-kali. Beberapa menit kemudian, dia melihat belasan anggota polisi telah datang dari seluruh jalan masuk desa.

Saat sang suami tidak ada di rumah karena masih bekerja sebagai pandai besi di rumah tetangga, Saipah yang sedang mengandung anak pertamanya itu langsung ketakutan dan memilih mendekam bersama dengan tiga ibu-ibu lainnya di rumah tetangganya. Beduk kembali berbunyi bertaluh-taluh, mereka pun semakin takut.

Saat itu, meski polisi tak mengeluarkan suara sedikitpun, tapi suara hentakan kaki dan bunyi peluru yang ditembakkan terorganisir sangat mudah terdengar. Meraka merasakan sangat ketakutan.

Ingatan atas kejadian inipun tidak mudah dilupakan, kata Saipah.

Saat Saipah menceritakan kejadian yang dialaminya itu, muka Saipah langsung memucat, berkeringat, jemarinya gemetar dan obrolannya pun terpotong-potong. Dia terkesan tak ingin lagi bercerita, karena takut mengenang peristiwa tersebut. Saipah merasa sangat takut hingga malah dia sering khawatir dan curiga terhadap lawan bicaranya.

Traumatik serupa juga terjadi apa anak-anak di desa Limbang Jaya dan sekitarnya. Izza, misalnya, teman sepermainan korban penembakan, Angga cendrung sangat takut saat ditanya kejadian peristiwa Jum’at sore itu. Izza mengatakan, dia terpisah dari Angga saat hendak melihat iringan mobil Brimob yang masuk dalam desa mereka. Angga yang tertinggal di belakang, saat itu berjalan sendirian. Sementara Izza dan yang lainnya sudah bersembunyi di rumah tetangga. Izza saat ditanya sangat gugup. Tangannya bergerak tanpa harmonisasi yang jelas. Mimik mukanya masih takut untuk menceritakan kejadian tersebut. Malah, Izza yang menjadi korban penembakan pada awalnya lebih memilih tidak menceritakan kejadian tersebut pada ibunya. Izza mengalami tiga luka bekas peluru, diantaranya dua di punggung dan satu di ketiak kanan. Setelah mengalami luka, Izza cendrung mengurung diri dalam kamar, meski tidak sedang menjalan puasa, Izza malah tidak mau makan dan minum. Bahkan, saat masih dalam kondisi luka tertembak, Izza langsung mandi dan mencuci sendiri baju yang dipakainya yang masih dipenuhi dengan bercak darah.

Aku tau itu, pas liat baju Izza robek di bagian belakang. Tapi sebelumya dia tanya aku, katanya kalo ditembak polisi, pasti mati apo idak bu. Aku keno tembak jugo bu’”ujar Nur, ibu Izza yang menceritakan bagaimana pertama kali dia mengetahui, jika Izza juga termasuk salah satu korban terluka akibat aksi penyerbuan polisi Jum’at (27/7).

Izza yang berusia satu tahun lebih tua dibandingkan Angga mengatakan jika saat kejadian, aparat polisi sangat banyak masuk desa. Karena ingin tahu, Izza bersama yang lainnya membuntuti iringan mobil polisi tersebut dari belakang. Lalu ketika polisi langsung mengarahkan tembakan ke rumah-rumah warga melakukan sweeping. Izza bersama dengan teman lainnya langsung bersembunyi karena takut. “Agga ketinggalan di belakang. Jadi tak sempat kami liat, taunya dia sudah luka,”kata Izza.

Saat ini, Izza mengaku, masih teringat jelas peristiwa tersebut. Dikatakan dia, jumlah polisi yang berada di desa saat itu sangat banyak. Polisi bersenjata lengkap, dapat masuk dalam rumah-rumah warga dengan arogan. Banyak warga desa berlarian dan akhirnya kondisi desa menjadi mencekam hingga malam harinya.(ditulis admin Walhi Sumsel)
Selengkapnya...

Senin, Juni 18, 2012

Partai Hijau, Partai LSM

Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif IDe;
Penerima Beasiswa dari Heinrich Boell Stiftung, Lembaga Politik Partai Hijau Jerman
Sumber : KOMPAS, 18 Juni 2012

Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendirikan Partai Hijau. Agenda utamanya adalah advokasi lingkungan dan keadilan ekologi. Meski dipastikan belum bisa mengikuti Pemilu 2014, meningkatnya laju kerusakan lingkungan di Indonesia akibat buruknya kebijakan mendorong para aktivis lingkungan ini untuk ”masuk dan mengubah sistem politik dari dalam” dengan berjuang dalam politik praktis.

Selama ini banyak aktivis LSM cenderung alergi terhadap politik praktis. Boleh jadi akibat trauma depolitisasi 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa lembaga penelitian menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar demokrasi lebih bermakna. Caranya, masuk ke partai atau membuat partai baru (Demos, 2005). Setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan Walhi, yang berencana dan kemudian mendirikan partai politik.

Salah satunya adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang meski dibantah berasal dari Bina Desa, beberapa pendirinya pernah berkiprah di LSM besar ini. Sayang, PPR tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk mengikuti Pemilu 2009.

Baik PPR maupun Partai Hijau memiliki asas yang cukup jelas, yaitu sosial-demokrasi, keadilan (ekologi), dan kerakyatan. Tentu saja harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi kerakyatan yang juga dianut hampir semua partai politik di Indonesia, termasuk di antaranya Golkar. Pilar utama perekonomian yang menjadi program partai ini adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, Golkar seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai pendukung pemerintahan SBY-Boediono yang saat ini mengambil kebijakan kanan, Golkar kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya sendiri.

Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur awal 1990-an ketika dua teori utama pembangunan, yaitu modernisasi dan dependensia seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Khawatir teori ini mengandung bahaya, semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar kita tidak punya pegangan.

Pelobi LSM

Di Indonesia, jumlah LSM 4.000 hingga 7.000-an, belum termasuk yang dadakan karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum LSM yang bergiat dalam penghapusan utang Indonesia tadi, telah memperoleh akreditasi PBB. Mereka berhak ikut sidang umum, juga memberikan statement singkat dan tuntutan kepada anggota.

Apa pun yang dilakukan penguasa dipantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang konon sudah ada sejak abad ke-12: ”Kami adalah raksasa sehingga bisa melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri”.

Kelahiran LSM terbesar terjadi seusai KTT Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya. Berbagai pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan kelanggengan hidup bumi manusia.

Namun, LSM tidak bisa berharap banyak mengikuti walau mengikuti berbagai KTT dan forum internasional. ”Kebijakan yang sebenarnya bukan diputuskan di sana,” ungkap Paul Hohnen, mantan diplomat Australia, yang mengoordinasi 12 pelobi top dari Greenpeace International. Perubahan kebijakan dilakukan berbagai subdivisi PBB dan ”Prep-Coms”, komite persiapan.

Pengetahuan inilah yang diketahui dan kini justru dimanfaatkan berbagai LSM internasional, seperti Greenpeace, Amnesty International, Oxfam, Prison Watch, juga organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, serta LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan substansial dalam kebijakan lingkungan, jender, dan sosial memang berhasil dicapai para pelobi dari LSM.

Para bekas diplomat, seperti Paul Hohnen, bukan lagi barang langka dalam jalinan PBB-LSM. Ada aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB.

Pemihakan

Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di Bank Dunia. Setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi puluhan miliar dollar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup, proyek besar yang merusak lingkungan, dan memperlebar kesenjangan sosial. Itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satu. Sebaliknya, banyak LSM Selatan menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan mitra pembangunan.

LSM yang moderat coba melakukan perubahan dari dalam lembaga Bretton Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang disepakati mayoritas LSM di mana pun adalah strategi people centered development yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat adil, bebas penindasan, hak asasinya dihargai, dan dapat menjalani kehidupan secara layak.

Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Pertama, penguatan di tingkat akar rumput agar rakyat mampu mempertahankan hak-haknya atas sumber daya yang dimiliki. Kedua, bagaimana mengajar lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran informasi, pembentukan aliansi, agar para birokrat dan anggota legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.

Peran LSM sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan lemah pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional diharapkan bisa memengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut mengusahakan perlindungan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.

Sikap ini harus menjadi landasan ideologi LSM dalam mendirikan parpol demi menjadikan demokrasi lebih bermakna.
Selengkapnya...

Selasa, April 10, 2012

Bukan Sekedar Turun !

Hanya menunda kenaikan ! itulah hasil akhir pertandingan terbuka antara kubu oposisi dan koalisi di senayan 30 maret lalu. Partai koalisi menang dengan skor telak ! setelah Partai Banteng dan Partai Jendral Purnawirawan  keluar ruangan. Perang itu bak sebuah isyarat, satu jenderal aktif, lebih sakti dibanding seribu jenderal veteran.

Ketidakpastian harga BBM adalah cermin negara yang tidak berdaulat atas Sumber Daya Alam khususnya sektor energi.  Dan kali ini, tuntutan semestinya selangkah lebih maju, agar rakyat tetap mempunyai alasan untuk terus bergerak.

Persoalan turun- naik, energi terbarukan adalah salah satu cara untuk atasi persoalan energi. Namun, hal tersebut hanyalah pucuk yang belum menyentuh “akar” persoalan. Karena akar masalah itu segalanya bermuara kepada negara yang masih dijajah.

Hari ini, bisa saja BBM naik tapi lusa kembali turun. Kemudian timbul pertanyaan, jika BBM turun apakah perosalan energi selesai ? saya berani menjawab “belum selesai”. Karena bukan persoalan mahal atau tidaknya, namun mengenai  siapa pihak yang paling diuntungkan atas SDA Indonesia.  Tentu, hal itu diukur bukan dari mahal atau murah harga sumber daya. Namun siapa sesungguhnya yang berkuasa atas segala kekayaan  Nusantara.

Kedaulatan ! itulah yang menjadi akar. Dan siapa sesungguhnya yang berdaulat di negeri ini, itu yang mesti diperbincangkan. Karena, jika kita hanya mempersoalkan mahal atau murahnya harga, soal gas dan fosil yang dipakai, soal beberapa kasus dan Undang-Undang yang perlu di advokasi, soal presiden yang harus diganti. Tetap saja, akan menjadi kegiatan rutin menyulam kain lapuk, hari ini bolong besok tambal lagi. Begitulah seterusnya, sibuk menambal kain lapuk, padahal yang perlu dilakukan adalah mengganti kain lama dengan yang  baru.

Kain lapuk itu adalah sistem negara kita yang tidak berdaulat, sistem yang diljalankan sejak tiga abad silam, dimana kapitalisme dan feodalisme mengalami masa kejayaannya. Hingga hari hari ini, sistem jajahan dan feodal itu tetap mengakar di negeri agraris yang tidak pernah berpihak kepada pelaku agraris.

Padahal sebagai negara agraris, bahkan  tidak agraris sekalipun,  menuju  Indonesia yang berdaulat,  harus diawali dengan perombakan struktur agraria. Pengertian agraria disini bukan sebatas lahan pertanian ( kulit Bumi ) dan petani, namun persoalan agraria adalah persoalan laut, udara, gunung, sungai danau dan berbagai kekayaan alam yang terkandung didalam dan luar perut bumi.

Sungguh sesat pikir dan disayangkan sebagian besar orang beranggapan, bahwa perjuangan agraria adalah perjuangan milik petani semata, perjuangan  demi mendapat  sertifikat tanah . Karena  agraria menurut Gunawan Wiradi, berasal dari bahasa latin  “ager”, sama artinya dengan “pedusunan/ wilayah”. Didalam wilayah dusun, tidak hanya terdapat lahan pertanian dan petani, pedusunan itu meliputi gunung, laut, tambang, sungai dan bahan mineral lain yang dikelola oleh masing-masing pelaku.

Selain itu ,dalam konstitusi negara kita, ayat 1-5 pasal satu UUPA 1960, bahwa agraria meliputi permukaan bumi, dibawah tubuh bumi, air dan yang berada dibawah air, serta ruang angkasa.

Artinya, istilah sumber daya alam, lingkungan hidup, tata ruang, energi, hutan, tambang, BBM dll, adalah istilah baru untuk unsur-unsur lama yang tercantum dalam UUPA 1960. Untuk itu, Undang-Undang sektoral harus tunduk terhadap Undang-Undang Pokok, yakni Undang-Undang Pokok Agararia( Noer Fauzi ).

 Jadi sekali lagi, persoalan agraria bukan hanya persoalan petani dan pertanian, melainkan persoalan semua pihak yang berkepentingan terhadap bumi, air dan segenap kekayaan yang terkandung didalamnya. Dan pihak yang berkepentingan tersebut wajib bekerja, berfikir, bertindak untuk melakukan perombakan struktur agraria atau dikenal dengan istilah gerakan reforma agraria.

Langkah melakukan  perombakan struktur, pekerjaan utamanya  bukanlah menambal sulam kebijakan Undang-Undang sektoral melalui advokasi kasus. Tapi  bagaimana cara mencari jalan terang untuk memperkuat dan mengembalikan fungsi Undang-Undang Pokok yang menaungi UU sektoral tadi. Hal itu  merupakan agenda khsusus yang harus dilakukan dengan khusuk dalam langkah advokasi.

Bahkan, strategi itu tak perlu lagi dibuat kotak, bahwa saya ahli disektor Tambang, si B ahli disektor Lingkungan Hidup, si C ahli pertanian. Kotak itu akan menjadi bulat, jika semua aktor memahami kondisi agraria secara utuh.

Kemudian dalam kondisi sekarang ini, kita tidak bisa menunggu penguasa bermurah hati melakukan perombakan struktur agraria dalam bentuk seperangkat peraturan apalagi MoU melaui advokasi kasus sektoral. Gerakan masyarakat sipil yang luas dan masif tetap menjadi  cara paling efektif   memaksa penguasa agar  berpihak, bila perlu merebut kuasa mengganti sistem.

Yang dimaksud gerakan sipil masif itu  gerakan mendongkrak. Yakni  merubah sistem dari level terendah. Memajukan, membantu, mengapresiasi kerja-kerja akar rumput dengan cara menurunkan gagasan langit itu agar dimengerti bumi.  

Cara menurunkan gagasan dari langit ke bumi itu bukan mencetak seribu poster, menggalang seminar, atau memperbanyak jaringan milis. Namun gagasan itu akan dicerna dengan upaya melakukan pendidikan dikampung-kampung, membantu rakyat  terlibat dalam demokratisasi desa, memperkuat organisasi rakyat juga  membantu  merebut kepemimpinan.

Karenanya, perjuangan sejati tidak sebatas BBM naik SBY turun. Namun berbagai pihak pun harus turun kebumi, mempraktekan gagasan langit mereka ke desa-desa, kabupaten-kabupaten dan wilayah. Karena akar rumput masih berjuang sendiri, akibat tangan mereka tak pernah mencapai langit dan keengganan kita menyentuh bumi.Jjika kita mau dan mampu, tak perlu lagi memikirkan berapa skor hasil pertandingan di senayan. Kita tetap bergerak tanpa menunggu pertandingan para politisi dan kaum veteran.

Oleh : April Perlindungan (sarekat Hijau indonesia)

Selengkapnya...

Senin, Desember 26, 2011

Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis

oleh :
S. Rahma Mary H
Noer Fauzi Rachman
 
Awal Desember 2011, publik Indonesia disentakkan dengan pengaduan perwakilan masyarakat beberapa desa di Mesuji Lampung kepada wakil rakyat di DPR RI. Mereka mengadukan peristiwa pembunuhan sekitar 30 orang masyarakat desa di sekitar perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.  Peristiwa itu terjadi antara 2009-2011.
Wakil masyarakat menyingkap tabir kejahatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada masyarakat disekitar perkebunan kelapa sawit. Pertama, kasus pembunuhan warga Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Sumber Wangi Alam,  kedua, kasus penembakan warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo, dan ketiga, terbunuhnya seorang warga dalam konflik tanah di Register 45 Sungai Buaya Lampung antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji Lampung dengan PT. Silva Inhutani.
Ketiga kasus diatas tergolong pelanggaran HAM yang dilandasi perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi disekitar tahun 1990-an. Pemerintah menyetujui permohonan-permohonan ijin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri yang diajukan perusahaan-perusahaan itu. Kemudahan memperoleh ijin lokasi bagi kedua perkebunan sawit dan ijin pengusahaan hutan tanaman industri untuk PT. Silva Inhutani menjadi permulaan konflik agraria ini.
Konflik agraria di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan tersebut, memecah kebekuan atas penanganan ribuan konflik agraria. Pemerintah lebih banyak mendiamkan konflik-konflik tersebut. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). BPN bahkan mencatat 8000 konflik agraria di Indonesia. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani. HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai dengan fungsinya dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut tanah, juga menjadi sasaran yang dikriminalkan aparat kepolisian.

Akar Konflik: Penggunaan dan Penyalahgunaan Kewenangan
Di masa Orde Baru, terutama disekitar tahun 1980-1997, pemerintah banyak memberikan ijin-ijin lokasi dan pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan dan pengusahaan hutan. Dari hasil investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui bahwa PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) mendapatkan ijin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI pada 1994 untuk tanah seluas 10.000 hektar untuk kebun inti dan 5000 hektar untuk kebun plasma. PT. BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya 2.455 hektar diluar ijin yang dikeluarkan BPN. Ijin pengusahaan hutan juga dikeluarkan Menteri Kehutanan untuk PT. Silva Inhutani pada 1991 diatas tanah seluas 32.600 hektar. Sementara PT. Sumber Wangi Alam, diduga mengambil alih tanah masyarakat Desa Sungai Sodong seluas 1533 hektar untuk perkebunan sawit.
Pemberian ijin-ijin untuk perusahaan-perusahaan tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan penduduk desa yang terlebih dahulu ada diatas tanah-tanah tersebut. Masyarakat tak dimintai persetujuan atas keluarnya perijinan tersebut. Pemicu konflik agraria di areal HTI Register 45 Sungai Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian tanah itu merupakan tanah adat. Tuntutan penduduk Desa Gunung Batu untuk pengembalian tanah yang diambil alih perusahaan seluas 7.000 hektar, hanya dikabulkan pemerintah seluas 2.300 hektar untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Ironisnya, pihak perusahaan dan aparat menuduh penduduk desa itu di tuduh sebagai perambah hutan (Siaran Pers YLBHI, WALHI, Sawit Watch, KPSHK, HuMa, SPI, 16 Desember 2011).
Perampasan tanah oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan, membuat penduduk yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat keberlanjutan kehidupannya. Karena itu, mereka kembali menuntut pengembalian tanah-tanah adat khususnya setelah masa reformasi 1998. Sayangnya, penuntutan kembali hak-hak atas tanah oleh masyarakat adat ini direspon secara represif oleh aparat Negara dan perusahaan.
Kasus Mesuji membukakan mata mengenai betapa mudahnya tanah-tanah masyarakat beralih menjadi penguasaan perkebunan besar. Masa lalu, sekarang, dan masa depan, penduduk desa pedalaman, mengalami penyingkiran melalui penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan dalam memberikan konsesi dan mengunakan aparatus represifnya. Penyingkiran rakyat dari tanah model Mesuji ini adalah salah satu bentuk saja dari bentuk-bentuk penyingkiran lainnya. Hall, Hirsch, dan Li (2011), dalam bukunya Powers of Exclusion mengidentifikasi beberapa bentuk eksklusi (penyingkiran) masyarakat dari akses terhadap tanah atas tindakan para aktor yang berkuasa. Keenam bentuk eksklusi itu adalah: (1) regularisasi akses terhadap tanah melalui program sertifikasi tanah, formalisasi, dan pemindahan masyarakat, (2) ekspansi ruang dan upaya intensifikasi untuk mengkonservasi hutan melalui pembatasan pertanian, (3) datangnya tanaman-tanaman baru secara massif, cepat, dan terjadinya konversi tanah-tanah untuk produksi tanaman sejenis (monocropped), (4) konversi lahan untuk penggunaan diluar sektor agraris, (5) proses perubahan kelas agraria pada skala desa tertentu, dan (6) mobilisasi kolektif untuk mempertahankan atau menuntut akses tanah dengan mengorbankan pengguna tanah lain atau penggunaan tanah lainnya.
Kelapa sawit, menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia selama duapuluh tahun terakhir. Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas ini membuat pemerintah mendorong investasi besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Terjadilah pembukaan tanah dan hutan besar-besaran khususnya di wilayah Sumatera. Kebijakan pemerintah yang pro investasi, mengakibatkan tercerabutnya hak-hak rakyat atas tanah. Rakyat tersingkir dari ruang hidupnya. Pemerintah menggunakan hukum negara secara membabi buta sebagai alat pelegitimasi perampasan tanah, dan menegasikan hukum lokal yang telah ada. Perusahaan, memanfaatkan perijinan tersebut untuk memperluas areal pengusahaan kelapa sawit.
Dalam kasus Mesuji, pemerintah sebenarnya telah mengetahui bahwa ada hak-hak penduduk di atas tanah yang disengketakan itu. Ini terlihat, misalnya dari kewajiban yang harus dilakukan perusahaan kepada mereka yang tinggal disekitar perkebunan. Dalam SK yang dikeluarkan, Menteri Kehutanan mewajibkan PT. Silva Inhutani memberikan ijin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional dan anggota-anggotanya yang berada dalam wilayah kerjanya untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan mengangkut hasil hutan ikutan seperti rotan, madu, sagu, damar, buah-buahan, getah-getahan, rumput-rumputan,  bambu, kulit kayu, untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Tetapi ‘niat baik’ ini sudah didahului dengan penyalahgunaan kewenangan berupa penyerahan tanah-tanah rakyat kepada perusahaan dengan Surat Keputusan pemberian ijin HTI.
Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Secara umum kita menyaksikan tak henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan melalui proses yang saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah rakyat dimasukkan dalam kategori sebagai “tanah negara”, lalu atas dasar definisi “tanah negara” itu, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan, memberi konsesi untuk badan-badan usaha produksi raksasa. Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional. Setelah mencuatnya kasus Mesuji, berturut-turut konflik agraria bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan, dan yang terbaru adalah kasus penembakan masyarakat di Sape, Bima karena memprotes tambang emas. Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik agraria ini.
Mesuji secara spektakuler memberi pelajaran sangat penting, apalagi pemerintahan SBY tengah memfinalisasi Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria yang berjiwakan fungsi sosial atas tanah. Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan lainnya  dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai pelayan perusahaan kapitalis dengan menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Ketidakadilan agraria ini bersifat kronis, dan tampil “meledak” seperti dalam kasus Mesuji ini,  tidak bisa diatasi dengan cara business as usual. Kita memerlukan langkah dari pimpinan tertinggi pemerintahan, Presiden Republik Indonesia, untuk menangani konflik-konflik agraria yang kronis. Kewenangan birokrasi sektoral tidak memadai mengatasi konflik-konflik agraria yang kronis ini. Masih dapatkah dalam proses finalisasi PP tentang Reforma Agraria itu dimasukkan pembentukan suatu lembaga khusus yang mengelola pelaksanaan reforma agraria, termasuk konflik-konflik agraria yang kronis? Quo vadis?
 
_______
*) S. Rahma Mary H, SH, MSi adalah Manager Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Noer Fauzi Rachman PhD adalah Anggota Perkumpulan HuMa, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen studi agraria dan kebijakan pertanahan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selengkapnya...

Bima, Sudut Kecil Ruang Hidup Rakyat

Oleh : Pius Ginting Juru Kampanye Tambang dan Energi WALHI Nasional

Sekali masa, Marx menulis surat  bahwa era  kapital pada masa pertengahan abad 19 belum mendekati usai. Ruang luas untuk berkembang masih tersedia. Kapital baru berkembang di sudut kecil dunia (a little corner of the world), benua Eropa Barat. Banyak ruang benua belum dieksploitasi, jadi sumber bahan mentah dan lalu pasar tambahan. Tambang di Papua belum lagi dipetakan, bahkan riwayat panjang tambang timah di pulau Bangka oleh kapital Belanda baru dimulai tahun 1850.

Kini, awal abad 21. Kapital benar-benar menguasai semua ruang hidup. Sebaliknya, ruang hidup rakyat lah yang tersisa tinggal sudut-sudut kecil. Perusahaan perkebunan, pertambangan, industri kayu menempati sebagian besar ruang hidup di Indonesia dan negeri terbelakang lainnya. Tak hanya di darat, di laut pun ruang hidup rakyat terdesak ekspansi kapital. Sengketa rakyat dan kapital terjadi di lepas pantai Teluk Tolo, pulau  Tiaka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Agustus 2011 adalah salah satu contoh.

Kapital telah mengeksploitasi hampir sempurna semua benua, ruang hidup rakyat. Kapital  telah hisap minyak Indonesia lewat beragam bendera korporasi, seperti Caltex (kini Chevron), Shell dan lainnya hingga Indonesia telah lewati puncak produksi minyaknya tahun 1977.

Di negeri terbelakang, salah satu prioritas kapital adalah memakan sumber daya alam, sektor yang perlu lahan luas. Ekspansi kapital terhadap sisa-sisa terakhir ruang hidup rakyat tak terelakkan menimbulkan konflik intens. Kapital yang menghidupri diri di sektor sumber daya alam membutuhkan ruang luas, dan bagaimanapun rakyat perlu ruang hidup. Penghujung tahun 2011 kembali terjadi konflik rakyat dengan kapital, yakni di Bima, pulau Sumbawa, NTB.

Luas pulau Sumbawa adalah 14.386 km persegi. Di sebelah barat, telah terdapat tambang Newmont Nusa Tenggara. Kini menguasai ruang seluas 13,2 kilometer persegi untuk tambang Batu Hijau.[1] Newmont mengklaim memiliki tiga blok tambang lain ke arah timur, yakni Lunyuk Utara, Elang, Rinti, dan Teluk Panas. Keseluruhan blok baru ini akan membutuhkan lahan lebih luas dibanding tambang Batu Hijau. Belum lagi penggunaan ruang lautan yang terdampak limbah tambang, kini besarnya 140.000 ton per hari (21 kali harian sampah kota Jakarta) dibuang ke Teluk Senunu, sebelah barat daya P.Sumbawa. Sebelah timur pulau Sumbawa adalah Kabupaten Bima.

Pilkada dan Izin Pertambangan
Tanggal 28 April 2010 adalah tanggal disahkannya paket 15 buah  izin usaha pertambangan oleh Bupati Bima. Adalah janggal izin pertambangan dikeluarkan sebanyak itu sekaligus di tingkat Kabupaten, mengingat pertambangan membutuhkan ruang yang luas.  PT. SMN dapatkan IUP bernomor
188/45/357/004/2010, seluas 24.980 Ha; dan  PT. Indo Mineral Cipta Persada mendapatkan 3 Izin Usaha Pertambangan. Luas Izin Usaha Produksi mineral logam minimal 5.000 (lima ribu) hektare dan maksimal 100.000 (seratus ribu) hektar, menurut Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Luas ke 15 izin perusahaan tersebut jauh diatas luas minimum, seperti tambang SMN.  Kelimabelas izin ini dikeluarkan dua bulan jelang Pilkada Bima, 7 Juni 2010. Sudah sering dilaporkan aktivis dan media bahwa para kepala daerah yang ikut lagi dalam ajang pilkada obral izin untuk dapatkan dana pemenangan. Ridha Saleh, dari Komnas HAM menyatakan dana izin pertambangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumben untuk menghimpun dana kampanye pilkada. Indikasinya, pemerintah daerah royal mengeluarkan izin pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah.[2]

Pilkada Bima 2010 tergolong sengit, bahkan kantor partai kandidat yang menang pilkada dibakar warga yang kecewa calonnya kalah. Kesengitan tentu berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan. Sengketa pilkada ini pun berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, namun pengadilan tetap memenangkan kandidat incumbent yang keluarkan izin tambang tersebut.


Kian tumbuh,  kian mendominasi ruang hidup rakyat
PT. SMN beroperasi di kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Dalam mengerjakan proyek tambang di Bima, perusahaan ini mengajak Arch Exploration, perusahaan tambang terdaftar di Australia. PT.SMN tampaknya dipasang untuk mendapatkan izin-izin dari bupati. Disamping Bima, PT. SMN juga koalisi dengan Arch Exploration untuk proyek tambang emas di Trenggalek, Jawa Timur.

Managing Director Arch Exploration Limited, John Carlile seorang geologis lebih dari 30 tahun bekerja di eksplorasi emas di perusahaan BHP dan Newcrest (perusahaan induk Nusa Halmahera Mineral, NHM) di Asia, Indonesia. Sebelumnya, sebagai manajer ekplorasi bagi tambang  Newcrest Mining, John bertanggung-jawab bagi pembangungan dan pengelolaan eksplorasi, akusisi dan  sejumlah aktivitas korporasi yang berujung kepada penemuan jutaan ons emas di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara.

John Carlile bisa saja melihat dengan mata sendiri Rusdi Tungapi mati ditembak polisi pada tahun 2006 setelah aksi rakyat sekitar tambang menolak hutan dan tanah pertanian mereka dirusak operasi pertambangan di sekitar Teluk Kao, Halmahera. Berdasarkan penuturan, warga yang protes dikumpulkan, di suruh jongkok. Oleh komandan kepolisian, Rusdi Tungkapi disuruh berdiri dan maju ke depan. Ditembak di depan manajer dan staf perusahaan. Sayang, rekaman media tidak ada seperti kejadian di Pelabuhan Sape, di Bima. Tapi melihat kejadian penembakan di Bima terhadap rakyat dalam posisi yang tak menyerang  sama sekali, tampaknya kekejaman kepolisian tersebut masuk akal terjadi.

John ditunjuk menjadi Managing Director Arc Exploration pada tahun 2008[3]. Sebagai eksekutif di perusahaan, dia memastikan budaya kerja perusahaan dan perwakilan ideologi perusahaannya dalam pelaksanaan misi perusahaan. Dia menerapkan perubahan di perusahaan untuk “meningkatkan efesiensi dan meningkatkan keuntungan bagi perusahaan”.

Arc Exploration mengeluhkan penolakan masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang di Bima pada bulan Febuari 2010. Rakyat yang akrab dengan tanah dan laut hidup sebagai petani dan nelawan tentu peka akan daya dukung lingkungan bagi kehidupan mereka. Bima sebelah timur berbatasan laut dengan Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten ini penolakan masyarakat terhadap tambang membuat Bupati yang baru saja menang Pilkada tahun 2010 mengeluarkan surat menghentikan semua kegiatan izin pertambangan.

Untuk tetap menjalankan operasi tambangnya, Arch Exploration nyatakan dalam Quarter Activities Report Juni 2011 akan melakukan diskusi dan pertemuan intens dengan pejabat pemerintah. Lalu, 29 November 2011, perusahaan nyatakan memulai kembali operasinya.[4] Rakyat agraris yang sangat tergantung kepada alam dalam setiap hari kehidupannya tentu merasa terancam dengan kegiatan tambang yang membongkar lapisan tanah yang bisa dicocok-tanami. Lanjutnya kembali kegiatan tambang inilah yang mendorong warga melakukan aksi protes hingga melakukan aksi pendudukan di Pelabunan Sape, Kabupaten Bima.

Di jajaran direktur Arc Exploration, terdapat George Tahija. Sebagai direktur non eksekutif, dia terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan perusahaan, mengawasi mendorong kinerja direktur eksekutif dan manajemen. Pada saat yang sama dia juga sebagai seorang Komisaris Freeport Indonesia. George adalah anak Julius Tahija.

 Julius pernah jadi  sersan tentara KNIL, lalu menjadi Ketua Dewan Direksi PT Caltex Pacific Indonesia  (kini Chevron) pada tahun 1966, saat Orde Baru membukakan pintu lebar bagi investasi asing di Indonesia. Julius bisa meraih jabatan tertinggi di Caltex tentunya tak terlepas dari jasanya menyelamatkan perusahaan tersebut dinasionalisasi pada tahun 1950-1965 karena kedekatan eratnya dengan Sukarno. Julius dan petinggi Caltex lainnya mendorong agar Freeport melakukan investasi di Indonesia pada tahun 1965[5]. Atas  jasanya, Julius diberikan saham oleh Freeport. Padahal, pemerintah sendiri sebagai representasi kepentingan publik Indonesia tidak mendapatkan saham dari Freeport pada masa tersebut.   

George adalah salah seorang personifikasi kapital yang terus berkembang, dari generasi bapaknya awal masa Orde Baru hingga awal abad 21, berusaha dapatkan ruang baru untuk berkembang. Kendati itu bertabrakan dengan ruang hidup rakyat.

William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Universitas Ohio, tanggal 8 Desember 2011 dalam orasinya pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, didukung perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara menyebutkan “”ekonomi kapitalis pasar sebagai sistem ekonomi yang paling baik.” [6] Ajuran dia, “kita perlu meninggalkan tradisi teoretisi sosial Karl Marx dan menggantikannya dengan pendekatan filsuf politik Niccolo Machiavelli. Pendekatan Marx terjerumus dalam perang antarkelas dan kurang peka pada cara-cara lain untuk menambah dan meratakan sumber daya politik. Sebaliknya, pendekatan Machiavelli terfokus
pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik demi pencapaian tujuannya. Sang individu ciptaan Machiavelli merupakan basis yang menjanjikan buat sebuah theory of action, teori tindakan.”

Sungguh, tindakan Brimob Polda NTB adalah sebuah tindakan Machiavellis. Moralitas pribadi dan publik harus dilepaskan dalam mengatur. Penguasa harus bisa bertindak tak sesuai moral, secara metodik lakukan kekerasan, penipuan dan sejenisnya.

Pilihan waktu penyerangan saat akhir pekan, jelang liburan Natal dan Tahun Baru, diharapkan kurangi  perhatian publik. Mengulang kembali kesuksesan penembakan Yurifin dan rakyat Kolo Bawah diatas perahu kecil lepas Pantai Tolo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, usai protes atas ingkar janji kesejahteraan oleh Medco-Pertamina, di Pulau Tiaka.  Serangan sukses,. Komandan, Anggota Kepolisian, personel Perusahaan tidak ada yang diadili atas pelanggaran HAM atau pidana, atas hilangnya nyawa rakyat bersenjatakan semangat penyelamatan ruang hidup!

Tapi rakyat Bima, Kolo Bawah, Mesuji, sekitar Teluk Kao dll tidak akan bisa diam lama. Karena mereka sungguh terdesak di sudut kecil ruang hidup yang tersisa.  Kemana mereka lagi mereka pergi? Atau bakar diri bersama, bapak, ibu, anak, depan kantor Bupati?

----------------------------------
 


[1] http://www.infomine.com/minesite/minesite.asp?site=batuhijau

[2] http://www.vhrmedia.com/Obral-Izin-Tambang-Menjelang-Pilkada--berita4489.html

[3]http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1131-51684774/WiseOwlIndonesianGold


[4] http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1497-50502448/ExplorationRecommencesatBima


[5] Denise Leith, The Politics of Power, Freeport in Soeharto’s Indonesia, University Hawai’i Press 2003

[6] http://www.paramadina.or.id/2011/12/09/publikasi/artikel/marx-atau-machiavelli.html
Selengkapnya...

Jumat, Oktober 28, 2011

Hujan Di Sumsel ; Datang di Jemput, Sudah Datang di Tendang



Masih ingat kejadian musim asap yang menyelimuti Sumsel pada saat kemarau beberapa minggu kemarin, dampak dari Pembakaran Hutan dan lahan oleh perusahaan HTI dan Sawit? Untuk menginggatnya kalian dapat baca disini.

Musim Asap telah membuat pemerintah Sumatera selatan bagai cacing kepanasan karena jika ini terus berlangsung,SEA GAMES yang Cuma berlangsung 10 hari itu, akan terganggu. Untuk itu diputuskan agar di buatlah hujan buatan yang dananya menggunakan uang Rakyat sebesar 10 Milyar. Sedangkan perusahaan pembakar tidak sedikitpun tersentuh oleh Hukum. *hanyaadadiindonesia

Kini Asap tak lagi menyelimuti Sumsel, hujan yang terjadi secara alami (not Buatan) di Bumi Sriwijaya telah membawanya pergi ke ujung sumatera. Yang tersisa hanya tinggal Penyakit ISPA yang diderita oleh 17.000 orang, di dominasi oleh masyarakat kelas menengah kebawa, tanpa sedikitpun tanggung jawab pemerintah dan perusahaan pencipta musim asap tersebut untuk memulihkan kesehatan mereka.

Datangnya hujan yang pada beberapa Minggu lalu sangat diharapkan sampai dengan harus di “jemput” secara paksa. Sekarang telah dianggap petaka bagi Propinsi Sumsel Khususnya Kota Palembang yang pada tanggal 11 Nopember nanti akan menjadi tuan rumah Sea Games.

Wajar jika Pemerintah menganggap kedatangan musim hujan merupakan sebuah petaka, apalagi dengan kondisi menjelang SEA GAMES, karena menurut Data yang di rilis oleh WALHI Sumsel, Propinsi sumatera selatan  merupakan daerah yang selalu mencatatkan dirinya sebagai salah satu Propinsi di Indonesia yang menjadi langganan Banjir.

Selama dua tahun terakhir 2009 – 2010 bencana ekologi banjir di sumsel mengalami peningkatan, di tahun 2009 bencana banjir hanya terjadi 48 kali sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 102 kali.

Banjir yang terjadi disebabkan oleh kerusakan Lingkungan di wilayah ULU (DAS MUSI) dari total luas 6,7 juta Hektar yang kini kondisinya masih baik, hanya sekitar 800.000 Ha. Sisanya, telah berubah menjadi wilayah Industri Pertambangan, Perkebunan Kelapa sawit, Hutan tanaman Industri dan Ilegal Logging.

Bencana banjir inipun diperparah oleh kerusakan lingkungan di wilayah Ilir khususnya di Palembang. Menjelang Sea Games banyak terjadi peralihan fungsi kawasan seperti RTH dan rawa rawa yang selama ini berfungsi sebagai daerah tangkapan Air, telah berubah (dirusak) fungsi Menjadi gedung gedung tinggi Seperti Hotel, Café, Mall dan venues Olah raga. Khusus dalam hal perusakan rawa, hal yang paling besar terjadi saat ini adalah di timbunnya Puluhan Hektar rawa di jakabaring menjadi Venues Venues Sea Games artinya ketika hujan menguyur Palembang khususnya di jakabaring (komplek SEA GAMES)air yang turun akan merebut wilayahnya kembali ( banjir) .

Ketakutan Pemerintah akan datangnya Hujan dan banjir saat SEA GAMES, membuat Pemerintah Sumatera Selatan gelap mata dan tidak mensyukuri berkah yang di berikan tuhan didalam setiap hujan yang turun, seperti yang Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9).

Sehingga Pada dua hari yang lalu (26/10) Gubernur sumsel, Alex Noerdin menginstruksikan kepada pihak Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPPD) Sumsel untuk meminta Pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang kemarin bertugas mendatangkan Hujan di Sumsel. sekarang diminta untuk mengusir HUJAN, harapannya agar  penyelenggaraan SEA GAMES nanti dapat berjalan dengan sukses tanpa halangan dan permasalahan.

Tindakan mengusir hujan karena takut Banjir menyerang saat SEA GAMES berlangsung, adalah tindakan yang tidak akan menyelesaikan akar dari persoalan karena sesungguhnya Hujan adalah berkah sedangkan banjir adalah sebuah dampak dari rusaknya Lingkungan Hidup yang sebenarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah sumsel sendiri yang tidak pernah pro terhadap Lingkungan Hidup. Hal ini dapat disamakan dengan pepatah “ Buruk Rupa Cermin di Belah”. 

Penulis : Hadi Jatmiko
Selengkapnya...

Senin, Januari 10, 2011

2011 yang menghilangkan Ruang Hidup Kami


Oleh: Hadi Jatmiko,ST

Tak terasa besok kita sudah memasuki Tahun yang baru, tahun dimana setiap orang mempunyai harapan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dari tahun sebelumnya,begitupun dengan aku semoga harapan ku selama ini muncul menjadi nyata di tahun 2011.

Evaluasi dan refleksi atas harapan harapan sebelumnya pun ku lakukan, dimana dari banyaknya mimpi atau harapan yang ada di tahun belakang ternyata ada Dua Harapan yang tidak terwujud dan malah di 2011 ini harus ku benam sedalam dalam nya, kedalam “dangkal” nya Sungai Musi, sungai yang membelah kota kami menjadi dua,Kota seberang Ilir dan seberang Hulu.

Sea games, siapa yang tidak tahu dengan sea games. Tukang sapu dijalanan, pengemis, dan tukang becak ketika ditanya apa itu sea games pasti mereka akan tahu. Sea games merupakan ajang pertandingan olahraga paling bergengsi di Asia Tenggara, sedikitnya ada 10 Negara yang akan ikut bertanding memperebutkan piala dari 40 cabang olahraga.

Namun bagaimana jika kegiatan yang sebesar itu dilakukan di sebuah kota yang belum memiliki kelengkapan Infrastruktur sarana dan prasarana olahraga yang memadai?. Itulah yang terjadi di Kota kami, (Palembang) dengan modal pernah menjadi tuan rumah dari Pekan Olahraga Nasional ke 16 (PON) tahun 2004 yang lalu, gubernur secara berani meminta agar Pemerintah di Jakarta menjadikan Propinsi kami sebagai tuan rumah dari pelaksanaan Sea Games XXVI tahun 2011, tepatnya di Bulan Nopember. Dan tak ayal gayung pun bersambut presiden dalam rapat terbatasnya di Penghujung tahun 2010 menetapkan Sumsel sebagai Tuan Rumah Pembukaan dan penutupan Sea Games XXVI dengan 22 Cabang Olahraga (seagamessumsel.com)

Setelah resmi menjadi tuan rumah Sea Games, pembangunan untuk Venues venues tempat ke 22 Cabang olehraga tersebut dipertandingkan pun mulai digalakan. Jakabaring salah satu keluarahan yang ada di Kota Palembang menjadi wilayah yang ditunjuk untuk menjadi lokasi pembangunan Venues Venues tersebut. Namun sebelum jauh para pembaca dan masyarakat Indonesia dan Internasional membanggakan dan mendukung kesuksesan pelaksanaan event ini di Sumsel tepatnya di Kota Palembang ini, Ada baiknya semua orang (Masyarakat Indonesia, dan Internasional) mengetahui bagaimana pemerintah kami, membangun fasilitas venues venues cabang olahraga untuk Sea Games yang hanya berlangsung tidak lebih dari satu Bulan tersebut, tetapi menghancurkan semua ruang Hidup kami dan generasi kami puluhan bahkan sampai ratusan tahun mendatang.

Awal petaka kehancuran

Kota kami Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri,kota ini dibelah oleh satu sungai dengan sebutan sungai musi dengan panjang mencapai 720 Km, dua wilayah yang terpisah ini seberang ilir dan seberang ulu dihubungkan oleh satu buah jembatan tua yang diberi nama AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) di buat pada tahun 60 –an masa pemerintahan presiden soekarno.

Luas Kota kami adalah 40.006 Ha, merupakan dataran rendah berawa yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan range 2 – 3 Meter, dibagian utara kota (Seberang Ilir) tanah kota ini relatif landai 5 – 9 Persen, sedangkan bagian selatan (Seberang ulu)adalah Tanah datar 0 – 4 Persen.

50 Persen dari luas kota kami yaitu 20.000 Ha adalah rawa. Namun karena Pesatnya perkembangan pembangunan Kota, rawa rawa pun ditimbun disulap menjadi bangunan bangunan perkantoran,Perumahan dan lain nya, sehingga pada tahun 2006 yang lalu menurut walikota pada acara Seminar Nasional Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional , sisa rawa yang ada hanya tinggal 30 Persen saja. Dampaknya tak dapat dipungkiri lagi setiap hujan turun, air pun tak dapat diserap dan ditampung lagi oleh rawa, akhirnya Banjirpun datang menyerang rumah rumah Penduduk, perkantoran dan pusat pusat kota kami.

Kini dari sedikitnya rawa yang tersisa tersebut harapan kami cuma tinggal kawasan rawa jakabaring, akan tetapi keberlanjutan lahan rawa dikawasan inipun tidak berlangsung lama karena seperti yang aku sebutkan diatas, wilayah ini telah di tetapkan oleh pemerintah Sumsel untuk menjadi pusat pembangunan Venues venues untuk pertandingan 22 Cabang Olahraga Sea Games XXVI nanti, dengan luas lahan rawa yang di timbun mencapai 300 Ha,dan ini belum termasuk lahan untuk pendukung pembangunan infrastruktur lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa akan ada lebih dari 1 Juta Kubik air yang akan kehilangan “Tempat Tinggalnya” dan artinya air air ini akan mencari rumah rumah baru. (baca;Banjir).

Harapan terakhir pun musnah

Seiring dengan hancurnya lahan lahan Rawa yang tersisa yang selama ini berfungsi sebagai kawasan resapan air. maka agar kota kami tidak mengalami banjir besar seperti yang dialami oleh Kotanya “Para Ahli”(Jakarta), Kamipun mulai melirik mencoba mengantungkan harapan kami kepada pemerintahan, agar dapat melestarikan dan menjaga ruang hijau yang mulai tergerus oleh rakusnya pembangunan. Meminjam data Walhi sumsel ruang Terbuka hijau yang ada di Kota Kami hanya tinggal 3 Persen dari luas Kota yaitu 1.200 Ha. Dan menurut Walhi Ruang Hijau mempunyai fungsi yang hampir sama dengan rawa, tapi punya nilai plus lainnya yaitu penetral kualitas Udara.

Namun apa dikata harapan ku tentang sebuah Ruang Hijau dimana kami bisa bermain dan berdiskusi didalamnya, ruang dimana aku dapat melihat Firman firman utina kecil yang sedang tertawa riang sambil menendang bulatnya bola, ditengah nyaringnya suara klakson kendaraan. Dan ruang dimana udara bersih masih dapat di nikmati ditengah Hitam pekatnya asap asap kendaraan bermotor, dan asap asap dari “lintingan rokok” Raksasa Pabrik pabrik yang beterbangan, dan sedang mewarnai langit kota ini. Harus pupus bersamaan dengan semakin besarnya keinginan pemerintah daerah kami untuk menyukseskan penyelenggaran Sea games di Propinsi ini,sehingga jangankan menambah ruang ruang hijau yang luasnya belum memenuhi Kuota 20 Persen dari luas kota (UU No 26/2007), tapi malah menghancurkan ruang hijau yang telah ada.

Adalah Ruang Hijau GOR merupakan salah satu korbannya, Ruang Hiaju yang berdasarkan RTRW 2014 di tempatkan sebagai Ruang Publik untuk Pendidikan dan Olahraga, kini telah dihancurkan. Pohon Pohon rimbun yang telah umurnya sebanding dengan Umur orang tua kami, harus roboh seiring dengan berdirinya tiang tiang pancang untuk pembangunan Hotel dan cafe, yang katanya merupakan infrastruktur untuk menyukseskan penyelenggaraan Sea Games di kota kami. Tak ketinggalan pinggiran dari Kolam Kolam Retensi yang dahulunya berambalkan rerumputan hijau dan berfungsi sebagai penampung air yang ada di dalam kawasan ini pun ditimbun (diurug) dengan tanah tanah yang mereka ambil dari lokasi lokasi galian galian C yang diduga diambil secara ilegal di Kabupaten Banyuasin dan sekitarnya.

Sebenarnya telah banyak elemen organisasi rakyat seperti Walhi yang melakukan protes secara besar besaran terhadap rencana pemerintah menghancurkan kawasan ini, dan tak tanggung tanggung merekapun melakukan aksi protes ini setiap satu minggu sekali, dan atas murninya perjuangan mereka ini, akupun tertarik untuk bergabung dengan mereka guna melakukan protes. Namun apa dikata semua protes tersebut tidak pernah di dengarkan oleh pemerintah dan pengambil kebijakan (legislatif). dan perjuangan kamipun harus dikalahkan dengan besar dan banyaknya uang yang berterbangan di depan mata para pejabat dan anggota anggota legislatif atau bahkan mungkin Industri Media massa yang hanya diam tidak memberitakan apapun tentang protes protes kami ini.

Kini di menit menit akhir pergantian tahun 2010 – 2011, Untuk yang terakhir kalinya ditahun ini, dengan menggunakan sepeda motor butut ku. Aku mencoba untuk mendatangi dan melewati lagi semua kawasan Rawa dan Kawasan hijau Publik yang telah hancur lebur tersebut, guna merekam semua pemandangan dan kejadian ini sebagai sebuah sejarah kota ini. Sambil merenung dan bertanya kepada semua orang yang masih mempunyai Logika dan Nurani , "Wajarkah apa yang dilakukan pemerintah ini, yang hanya demi sebuah event yang berlangsung hanya sekejap mata dan menghabiskan uang rakyat milyaran bahkan triliunan Rupiah tersebut, harus menghancurkan penopang hidup dan keselamatan dari Puluhan Ribu Rakyat? ", serta tak luput sebuah pertanyaan ku kepada rezim bedebah ini "Ruang hidup kami yang mana lagikah di tahun depan, yang akan kau Hancurkan, Wahai bedebah.?".


Selengkapnya...