WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Minggu, Oktober 21, 2012
REFLEKSI 32 TAHUN WALHI
Senin, Agustus 13, 2012
Limbang Jaya tragedy and the shortcut approach
Donny Syofyan, Padang
The writer is a lecturer at the School of Cultural Sciences at Andalas University
During a land dispute between residents and state-owned plantation
company PTPN VII Cinta Manis in Limbang Jaya, South Sumatra, the
police’s Mobile Brigade (Brimob) fired into the crowd, resulting in the
death of a 12-year-old boy, Angga bin Darmawan, and several injuries.
Yarman
bin Karuman, 47, a blacksmith, was injured in the arm and back. The
third victim was Farida binti Juni, 48, a housewife, who was injured in
the left arm.
The deadly shooting is one among several in
land-related conflicts between local residents and companies across the
archipelago. It is not the first time that a land dispute involving
police officers or soldiers have turned deadly.
The death of the
boy in Limbang Jaya demonstrates that the police’s attitude in handling
land disputes is deteriorating, suggesting a failed shortcut approach.
Such an approach is unsurprising, since the police are easily controlled
by the companies that exercise control over land.
The police’s
commitment to the public is nonexistent when dealing with a company’s
interests. The police repeatedly place themselves in an inferior
position to both state and private capitalists, making them the
protectors of companies instead of people. The latest shooting was just
one example of violence by police officers and military personnel, who
frequently moonlight as security guards.
Frankly speaking, the
police’s bargaining power against the state-owned plantation company
will remain low as long as the security institution accepts unilateral
reports issued by the company over people’s real complaints.
As a
consequence, the police are subject to exploitation and control. No
less alarming is that the police unknowingly place and treat PTPN VII
Cinta Manis as an untouchable party vis-à-vis the marginalized
residents.
In addition, the police’s shortcut approach indicates
that they have ignored all previous criticism regarding their brutal
attacks against residents, as widely seen in cases such as a protest
against gold prospecting in West Nusa Tenggara’s Bima district, and
security forces killing residents of Mesuji district in Lampung while
attempting to evict them.
Previous massacres, on the one side,
should have been a wake-up call to the police and prevented them from
walking the same path or from falling into the same hole over and over
again.
Moreover, the preceding tragedies should have been a
lesson for the police that their pro-capitalist attitude would simply
perpetuate public opposition and resistance to them as an institution.
Going
a bit deeper, repeated land disputes between residents and plantation
companies cannot be separated from the loss of the cultural approach
involving parties entangled in land disputes.
It is saddening
that both the police and the plantation company have ignored the
necessary cultural approach in settling land disputes: While the police
force is prone to the security approach owing to its quick and clear-cut
procedure, the plantation company no doubt rests on cost-benefit
considerations for its own sake.
A proper cultural approach would
never prevail in the absence of a win-win and equal dialogical
mechanism, putting the interests of the people in a corner. It is very
poor form that the existing dialogue is more of a superficial courtesy
and negotiating arena for the company’s benefit. Under such
circumstances, local residents have become victimized beings, while the
plantation company stands as the decision-maker.
What is urgently
needed is a whole-hearted cultural approach that respects local
residents as working and dialogue partners. Paradoxically speaking,
there is a deep-rooted misinterpretation among large corporations —
state and private — that respecting local residents is limited to
corporate social responsibility (CSR), whereas in fact CSR should be
based on and bolstered by continued partnership between local residents
and the company.
The local community no longer has a sense of
belonging to the plantation land, since the company makes an effort to
get close to them at specific times only.
The cultural approach
should also take local wisdom into account, such as respect for
traditional property, figures and land in an attempt to settle land
disputes.
It is too bad that many companies put too much
emphasis on modern management of local residents which, in turn, creates
a yawning gap between the two groups.
It is often the case that
local wisdom plays a better role in shaping shared understanding and
mutual benefit for local people and plantation companies.
Meanwhile,
it is clear that the government has failed to realize that all the
disputes are a reaction by local residents to the policies of former
president Soeharto, who forcefully took their land without compensation
in the name of economic development. That is why they feel that the land
still belongs to them.
Hence, any efforts to solve the cases
fairly necessitate the government considering people’s right to the
land, not just blaming them for claiming the right. Such disputes would
not occur if the government allowed villagers to continue using land
that was under dispute while the companies would still maintain
ownership rights.
Sumber : Jakarta Post
Selengkapnya...
Minggu, Agustus 05, 2012
Nita dan potret sengketa agraria
Gelisah dan cemas mencengkeram benak Nita, ketika sang suami, Maulana,
tidak menjawab panggilan teleponnya. Kecemasan semakin menjadi ketika
ibu lima anak itu mendapatkan kabar Maulana ditangkap polisi karena
membawa senjata tajam. Di waktu yang sama, kasus sengketa tanah itu
sedang memanas.
Kisah itu berawal dari kabar yang diterima perempuan 40 tahun ini
melalui telepon pada 19 Juli lalu. Nita yang sedang berada di rumah
bersama anak-anaknya tersentak mendapat kabar Brimob baru saja
menangkap tiga warga Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten
Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nita pun menghubungi Maulana melalui
telepon dan memintanya segera meninggalkan warung kopi, tempat Maulana
biasa mangkal setiap sore.
Apalagi, lokasi penangkapan ketiga warga oleh Brimob, di sebuah tempat
tak jauh dari warung kopi itu. “Aman kok di sini (warung kopi),” jawab
Maulana seperti ditirukan Nita. Entah mengapa, jawaban itu tidak
menghapus gelisahnya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menghubungi
suaminya, telepon tidak terjawab.
Tanpa pikir panjang, Nita bergegas menuju warung kopi. Di tempat itu Ia
mendapati puluhan pasukan brimob bersenjata lengkap sedang berjaga-jaga.
Agus, anak pemilik warung kopi mengabarkan Maulana telah ditangkap.
“Waktu itu, ada 9 orang yang ditangkap dengan tuduhan membawa senjata
tajam,” kata Nita.
Penangkapan itu menciptakan protes dari Nita dan keluarga korban lain
yang juga ikut ditangkap. Bersama warga Desa Seri Bandung, Nita
mendatangi Markas Polda Sumatera Selatan keesokan harinya, untuk
menuntut warga yang ditangkap segera dibebaskan.
Ketika diberi kesempatan bertemu dengan Maulana, Nita mendapati suaminya
disiksa. Tangan Maulana memar, dengan jahitan di bagian kepalanya.
“Suami saya mengaku dipukuli Brimob dengan senjata. Bahkan, dadanya
dihantam dengan gagang senjata. Suami saya diperlakukan seperti
binatang,” kata Nita.
Ratusan kasus
Sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah satu dari
ratusan kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Hingga Juli
2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 115 kasus
konflik agraria, dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 377 ribu
hektar lebih, meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.
Dari konflik tersebut, setidaknya ada 25.000 petani di Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB),
Maluku dan Papua kehilangan tanahnya. Mereka diusir dari tempat
tinggalnya.
Ironisnya, konflik agraria itu tidak lepas dari aksi kekerasan. Dalam
kasus di Sumatera Barat saja, korban penembakan 15 petani ditembak, 35
orang ditahan, dan 25 orang yang dianiaya. Sedangkan korban yang tewas
sebanyak 3 orang, diantaranya Kabupaten Ogan Ilir 1 orang, Jambi (1),
dan Sulawesi Tengah (1).
Semua tragedi itu bertabrakan dengan program Hutan Tanaman Industri
(HTI) Indonesia yang mencapai 9,39 juta hektar, dengan pengelolaan 262
unit perusahaan. Izin terlama yang dikantongi pengusaha hingga 100
tahun. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan izin Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631,5 ribu hektar lebih.
Sementara, luas Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Indonesia sekitar 214,9
juta hektar dari 303 perusahaan.
Sengketa pertanahan akan terus menjadi persoalan di tingkat nasional,
mengingat adanya lima undang-undang yang memberikan kewenangan luas
kepada pemerintah atas sumber-sumber agrarian. UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, dan UU Mineral dan Batubara. Kewenangan tersebut
tidak mengikuti semangat UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA), karena cenderung memposisikan masyakat dalam pihak yang
‘lemah’..
“Banyaknya regulasi-regulasi yang berpotensi menyingkirkan rakyat dari
tanah-tanah mereka, maka diproyeksikan bahwa perampasan tanah dan
kekerasan akibat konflik agraria di masa depan akan semakin meluas,”
kata Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad.
Tak heran bila Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat
menilai kasus Ogan Ilir bermasalah sejak awal PTPN VII beroperasi di
wilayah itu. Pengukuran tanah oleh PTPN VII dilakukan sepihak. Warga
sama sekali tidak dilibatkan ketika BUMN itu menjalankan program
penanaman tebu pada 1982. Akibatnya, tanah warga pun terampas dan
menciptakan perlawanan. “Banyak protes dilakukan, banyak juga yang
ditangkap dan dipenjara,” kata Anwar.
Dan pada akhirnya, warga masyarakat seperti Nita dan keluarganya yang menjadi korban.
Sumber : http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/nita-dan-potret-sengketa-agraria.html?spref=fb
Selengkapnya...
Sabtu, Agustus 04, 2012
Limbang Jaya tidak seperti dulu lagi.
![]() |
Pasukan Brimob dan Polisi saat penyerbuan di limbang jaya |
Rusman korban luka tembak oleh Brimob dan polisi saat terjadi penyerbuan desa Limbang jaya, tangan kirinya harus diamputasi karena tembakan Brimob telah meremukan tulang tangannya. |
Senin, Juni 18, 2012
Partai Hijau, Partai LSM
Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif IDe;
Penerima Beasiswa dari Heinrich Boell Stiftung, Lembaga Politik Partai Hijau Jerman
Sumber : KOMPAS, 18 Juni 2012
Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia mendirikan Partai Hijau. Agenda utamanya adalah advokasi
lingkungan dan keadilan ekologi. Meski dipastikan belum bisa mengikuti
Pemilu 2014, meningkatnya laju kerusakan lingkungan di Indonesia akibat
buruknya kebijakan mendorong para aktivis lingkungan ini untuk ”masuk
dan mengubah sistem politik dari dalam” dengan berjuang dalam politik
praktis.
Selama ini banyak aktivis LSM cenderung alergi
terhadap politik praktis. Boleh jadi akibat trauma depolitisasi 32 tahun
di bawah rezim Soeharto. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa
lembaga penelitian menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar
demokrasi lebih bermakna. Caranya, masuk ke partai atau membuat partai
baru (Demos, 2005). Setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan
Walhi, yang berencana dan kemudian mendirikan partai politik.
Salah satunya adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang meski
dibantah berasal dari Bina Desa, beberapa pendirinya pernah berkiprah di
LSM besar ini. Sayang, PPR tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk
mengikuti Pemilu 2009.
Baik PPR maupun Partai Hijau memiliki
asas yang cukup jelas, yaitu sosial-demokrasi, keadilan (ekologi), dan
kerakyatan. Tentu saja harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi
kerakyatan yang juga dianut hampir semua partai politik di Indonesia,
termasuk di antaranya Golkar. Pilar utama perekonomian yang menjadi
program partai ini adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, Golkar
seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai pendukung
pemerintahan SBY-Boediono yang saat ini mengambil kebijakan kanan,
Golkar kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya
sendiri.
Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde
Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur
awal 1990-an ketika dua teori utama pembangunan, yaitu modernisasi dan
dependensia seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Khawatir
teori ini mengandung bahaya, semua yang berbau ideologi ditinggalkan
sehingga tanpa sadar kita tidak punya pegangan.
Pelobi LSM
Di Indonesia, jumlah LSM 4.000 hingga 7.000-an, belum termasuk yang
dadakan karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum
LSM yang bergiat dalam penghapusan utang Indonesia tadi, telah
memperoleh akreditasi PBB. Mereka berhak ikut sidang umum, juga
memberikan statement singkat dan tuntutan kepada anggota.
Apa
pun yang dilakukan penguasa dipantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang
konon sudah ada sejak abad ke-12: ”Kami adalah raksasa sehingga bisa
melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri”.
Kelahiran LSM terbesar terjadi seusai KTT Lingkungan Hidup di Rio de
Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam
berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya. Berbagai
pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai
aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan
kelanggengan hidup bumi manusia.
Namun, LSM tidak bisa berharap
banyak mengikuti walau mengikuti berbagai KTT dan forum internasional.
”Kebijakan yang sebenarnya bukan diputuskan di sana,” ungkap Paul
Hohnen, mantan diplomat Australia, yang mengoordinasi 12 pelobi top dari
Greenpeace International. Perubahan kebijakan dilakukan berbagai
subdivisi PBB dan ”Prep-Coms”, komite persiapan.
Pengetahuan
inilah yang diketahui dan kini justru dimanfaatkan berbagai LSM
internasional, seperti Greenpeace, Amnesty International, Oxfam, Prison
Watch, juga organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, serta
LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan
substansial dalam kebijakan lingkungan, jender, dan sosial memang
berhasil dicapai para pelobi dari LSM.
Para bekas diplomat,
seperti Paul Hohnen, bukan lagi barang langka dalam jalinan PBB-LSM. Ada
aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB.
Pemihakan
Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di Bank Dunia. Setiap tahun,
Bank Dunia membagi-bagi puluhan miliar dollar AS bantuan pembangunan
kepada penguasa korup, proyek besar yang merusak lingkungan, dan
memperlebar kesenjangan sosial. Itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang
menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satu. Sebaliknya, banyak LSM
Selatan menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan mitra pembangunan.
LSM yang moderat coba melakukan perubahan dari dalam lembaga Bretton
Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap
membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang
disepakati mayoritas LSM di mana pun adalah strategi people centered
development yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat adil, bebas
penindasan, hak asasinya dihargai, dan dapat menjalani kehidupan secara
layak.
Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Pertama,
penguatan di tingkat akar rumput agar rakyat mampu mempertahankan
hak-haknya atas sumber daya yang dimiliki. Kedua, bagaimana mengajar
lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran
informasi, pembentukan aliansi, agar para birokrat dan anggota
legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.
Peran LSM sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan
lemah pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi
kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional diharapkan bisa
memengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut
mengusahakan perlindungan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.
Sikap ini harus menjadi landasan ideologi LSM dalam mendirikan parpol demi menjadikan demokrasi lebih bermakna.
Selengkapnya...
Selasa, April 10, 2012
Bukan Sekedar Turun !
Senin, Desember 26, 2011
Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis
Bima, Sudut Kecil Ruang Hidup Rakyat
Jumat, Oktober 28, 2011
Hujan Di Sumsel ; Datang di Jemput, Sudah Datang di Tendang
Senin, Januari 10, 2011
2011 yang menghilangkan Ruang Hidup Kami
Tak terasa besok kita sudah memasuki Tahun yang baru, tahun dimana setiap orang mempunyai harapan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dari tahun sebelumnya,begitupun dengan aku semoga harapan ku selama ini muncul menjadi nyata di tahun 2011.
Evaluasi dan refleksi atas harapan harapan sebelumnya pun ku lakukan, dimana dari banyaknya mimpi atau harapan yang ada di tahun belakang ternyata ada Dua Harapan yang tidak terwujud dan malah di 2011 ini harus ku benam sedalam dalam nya, kedalam “dangkal” nya Sungai Musi, sungai yang membelah kota kami menjadi dua,Kota seberang Ilir dan seberang Hulu.
Sea games, siapa yang tidak tahu dengan sea games. Tukang sapu dijalanan, pengemis, dan tukang becak ketika ditanya apa itu sea games pasti mereka akan tahu. Sea games merupakan ajang pertandingan olahraga paling bergengsi di Asia Tenggara, sedikitnya ada 10 Negara yang akan ikut bertanding memperebutkan piala dari 40 cabang olahraga.
Namun bagaimana jika kegiatan yang sebesar itu dilakukan di sebuah kota yang belum memiliki kelengkapan Infrastruktur sarana dan prasarana olahraga yang memadai?. Itulah yang terjadi di Kota kami, (Palembang) dengan modal pernah menjadi tuan rumah dari Pekan Olahraga Nasional ke 16 (PON) tahun 2004 yang lalu, gubernur secara berani meminta agar Pemerintah di Jakarta menjadikan Propinsi kami sebagai tuan rumah dari pelaksanaan Sea Games XXVI tahun 2011, tepatnya di Bulan Nopember. Dan tak ayal gayung pun bersambut presiden dalam rapat terbatasnya di Penghujung tahun 2010 menetapkan Sumsel sebagai Tuan Rumah Pembukaan dan penutupan Sea Games XXVI dengan 22 Cabang Olahraga (seagamessumsel.com)
Setelah resmi menjadi tuan rumah Sea Games, pembangunan untuk Venues venues tempat ke 22 Cabang olehraga tersebut dipertandingkan pun mulai digalakan. Jakabaring salah satu keluarahan yang ada di Kota Palembang menjadi wilayah yang ditunjuk untuk menjadi lokasi pembangunan Venues Venues tersebut. Namun sebelum jauh para pembaca dan masyarakat Indonesia dan Internasional membanggakan dan mendukung kesuksesan pelaksanaan event ini di Sumsel tepatnya di Kota Palembang ini, Ada baiknya semua orang (Masyarakat Indonesia, dan Internasional) mengetahui bagaimana pemerintah kami, membangun fasilitas venues venues cabang olahraga untuk Sea Games yang hanya berlangsung tidak lebih dari satu Bulan tersebut, tetapi menghancurkan semua ruang Hidup kami dan generasi kami puluhan bahkan sampai ratusan tahun mendatang.
Awal petaka kehancuran
Kota kami Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri,kota ini dibelah oleh satu sungai dengan sebutan sungai musi dengan panjang mencapai 720 Km, dua wilayah yang terpisah ini seberang ilir dan seberang ulu dihubungkan oleh satu buah jembatan tua yang diberi nama AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) di buat pada tahun 60 –an masa pemerintahan presiden soekarno.
Luas Kota kami adalah 40.006 Ha, merupakan dataran rendah berawa yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan range 2 – 3 Meter, dibagian utara kota (Seberang Ilir) tanah kota ini relatif landai 5 – 9 Persen, sedangkan bagian selatan (Seberang ulu)adalah Tanah datar 0 – 4 Persen.
50 Persen dari luas kota kami yaitu 20.000 Ha adalah rawa. Namun karena Pesatnya perkembangan pembangunan Kota, rawa rawa pun ditimbun disulap menjadi bangunan bangunan perkantoran,Perumahan dan lain nya, sehingga pada tahun 2006 yang lalu menurut walikota pada acara Seminar Nasional Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional , sisa rawa yang ada hanya tinggal 30 Persen saja. Dampaknya tak dapat dipungkiri lagi setiap hujan turun, air pun tak dapat diserap dan ditampung lagi oleh rawa, akhirnya Banjirpun datang menyerang rumah rumah Penduduk, perkantoran dan pusat pusat kota kami.
Kini dari sedikitnya rawa yang tersisa tersebut harapan kami cuma tinggal kawasan rawa jakabaring, akan tetapi keberlanjutan lahan rawa dikawasan inipun tidak berlangsung lama karena seperti yang aku sebutkan diatas, wilayah ini telah di tetapkan oleh pemerintah Sumsel untuk menjadi pusat pembangunan Venues venues untuk pertandingan 22 Cabang Olahraga Sea Games XXVI nanti, dengan luas lahan rawa yang di timbun mencapai 300 Ha,dan ini belum termasuk lahan untuk pendukung pembangunan infrastruktur lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa akan ada lebih dari 1 Juta Kubik air yang akan kehilangan “Tempat Tinggalnya” dan artinya air air ini akan mencari rumah rumah baru. (baca;Banjir).
Harapan terakhir pun musnah
Seiring dengan hancurnya lahan lahan Rawa yang tersisa yang selama ini berfungsi sebagai kawasan resapan air. maka agar kota kami tidak mengalami banjir besar seperti yang dialami oleh Kotanya “Para Ahli”(Jakarta), Kamipun mulai melirik mencoba mengantungkan harapan kami kepada pemerintahan, agar dapat melestarikan dan menjaga ruang hijau yang mulai tergerus oleh rakusnya pembangunan. Meminjam data Walhi sumsel ruang Terbuka hijau yang ada di Kota Kami hanya tinggal 3 Persen dari luas Kota yaitu 1.200 Ha. Dan menurut Walhi Ruang Hijau mempunyai fungsi yang hampir sama dengan rawa, tapi punya nilai plus lainnya yaitu penetral kualitas Udara.
Namun apa dikata harapan ku tentang sebuah Ruang Hijau dimana kami bisa bermain dan berdiskusi didalamnya, ruang dimana aku dapat melihat Firman firman utina kecil yang sedang tertawa riang sambil menendang bulatnya bola, ditengah nyaringnya suara klakson kendaraan. Dan ruang dimana udara bersih masih dapat di nikmati ditengah Hitam pekatnya asap asap kendaraan bermotor, dan asap asap dari “lintingan rokok” Raksasa Pabrik pabrik yang beterbangan, dan sedang mewarnai langit kota ini. Harus pupus bersamaan dengan semakin besarnya keinginan pemerintah daerah kami untuk menyukseskan penyelenggaran Sea games di Propinsi ini,sehingga jangankan menambah ruang ruang hijau yang luasnya belum memenuhi Kuota 20 Persen dari luas kota (UU No 26/2007), tapi malah menghancurkan ruang hijau yang telah ada.
Adalah Ruang Hijau GOR merupakan salah satu korbannya, Ruang Hiaju yang berdasarkan RTRW 2014 di tempatkan sebagai Ruang Publik untuk Pendidikan dan Olahraga, kini telah dihancurkan. Pohon Pohon rimbun yang telah umurnya sebanding dengan Umur orang tua kami, harus roboh seiring dengan berdirinya tiang tiang pancang untuk pembangunan Hotel dan cafe, yang katanya merupakan infrastruktur untuk menyukseskan penyelenggaraan Sea Games di kota kami. Tak ketinggalan pinggiran dari Kolam Kolam Retensi yang dahulunya berambalkan rerumputan hijau dan berfungsi sebagai penampung air yang ada di dalam kawasan ini pun ditimbun (diurug) dengan tanah tanah yang mereka ambil dari lokasi lokasi galian galian C yang diduga diambil secara ilegal di Kabupaten Banyuasin dan sekitarnya.
Sebenarnya telah banyak elemen organisasi rakyat seperti Walhi yang melakukan protes secara besar besaran terhadap rencana pemerintah menghancurkan kawasan ini, dan tak tanggung tanggung merekapun melakukan aksi protes ini setiap satu minggu sekali, dan atas murninya perjuangan mereka ini, akupun tertarik untuk bergabung dengan mereka guna melakukan protes. Namun apa dikata semua protes tersebut tidak pernah di dengarkan oleh pemerintah dan pengambil kebijakan (legislatif). dan perjuangan kamipun harus dikalahkan dengan besar dan banyaknya uang yang berterbangan di depan mata para pejabat dan anggota anggota legislatif atau bahkan mungkin Industri Media massa yang hanya diam tidak memberitakan apapun tentang protes protes kami ini.
Kini di menit menit akhir pergantian tahun 2010 – 2011, Untuk yang terakhir kalinya ditahun ini, dengan menggunakan sepeda motor butut ku. Aku mencoba untuk mendatangi dan melewati lagi semua kawasan Rawa dan Kawasan hijau Publik yang telah hancur lebur tersebut, guna merekam semua pemandangan dan kejadian ini sebagai sebuah sejarah kota ini. Sambil merenung dan bertanya kepada semua orang yang masih mempunyai Logika dan Nurani , "Wajarkah apa yang dilakukan pemerintah ini, yang hanya demi sebuah event yang berlangsung hanya sekejap mata dan menghabiskan uang rakyat milyaran bahkan triliunan Rupiah tersebut, harus menghancurkan penopang hidup dan keselamatan dari Puluhan Ribu Rakyat? ", serta tak luput sebuah pertanyaan ku kepada rezim bedebah ini "Ruang hidup kami yang mana lagikah di tahun depan, yang akan kau Hancurkan, Wahai bedebah.?".