WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, November 25, 2014

Izin Tambang Dicabut. Apakah Jerat Hukum Tetap Dilakukan?

Empat provinsi di Sumatera, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, dan Riau diminta KPK mencabut sejumlah izin pertambangan yang dinilai bermasalah. Meskipun sejumlah izin dicabut, namun Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel menilai pemerintah daerah lamban merespon rekomendasi KPK tersebut. Mereka menegaskan, pencabutan izin bukan berarti melepaskan perusahaan dari jerat hukum.
Berdasarkan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK tiga bulan lalu, KPK mengeluarkan rekomendasi. Yakni mencabut 121 izin yang tumpang tindih di kawasan hutan yang berada di Bangka Belitung, 191 izin di Sumsel, serta 198 izin di Jambi. “Namun dalam perkembangannya hingga kini, berdasarkan data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, 11 November 2014, di Babel hanya 8 izin yang dicabut, Sumsel 17 izin, sedangkan Jambi  184 Izin,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel, Kamis (20/11/ 2014) lalu.
“Ini menunjukkan kepala-kepala daerah di tiga Propinsi Korsup Minerba KPK, tidak serius dan lamban dalam melakukan penataan izin sektor pertambangan. Namun, sangat cepat dalam mengeluarkan izin pertambangan yang merampas ruang hidup rakyat dan merusak lingkungan hidup,” kata Hadi.
Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan, “Hal penting lain yang perlu digarisbawahi oleh pemerintah adalah adanya kepastian izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan dan perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksakan kewajibannya.”
“Kami pesimistis perusahaan yang izinnya dicabut akan menjalankan kewajibanya untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang. Apalagi, jika tidak ada pengawalan dan sikap tegas dari pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan, sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum menyetorkan dana reklamasi dan pasca-tambang kepada pemerintah.
Contohnya di Sumsel, menurut Data Dirjen Pajak 2014, yang dipresentasikan pada Korsup Minerba KPK di Palembang. Dari 359 izin pertambangan yang ada di Sumsel baru 31 perusahaan yang menyetorkan dana reklamasi, dan sekitar 13 perusahaan yang menyetorkan dana pasca-tambang,” jelas Nauli.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel yang terdiri Walhi Sumsel, Walhi Jambi, Walhi Babel, WBH, PINUS, Serikat Petani Sriwijaya, Serikta Nelayan Bangka, dan Persatuan Nelayan Belitong, dari 2010-2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp248,693 miliar lebih di Sumsel, Rp50,467 miliar lebih di Jambi, dan Rp6,596 miliar lebih di Bangka Belitung. Total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut sebesar Rp305,756 miliar lebih.
Direktur Walhi Babel, Ratno Budi, mengemukakan dampak ekologis dan kemanusiaan dari ekspansi industri tambang yang sangat serius. Bencana ekologis seperti banjir sebagai akibat dari perubahan bentang alam dan menurunnya daya dukung lingkungan yang diakibatkan industri pertambangan.
“Di Babel bukan saja merusak pemukiman dan pertanian masyarakat, juga telah memakan korban jiwa. Pada 2013 misalnya, tercatat 4 orang tewas tenggelam akibat bencana banjir di sekitar kawasan tambang. Selain itu, Industri pertambangan juga telah memicu konflik di banyak tempat. Dari 2011-2013 terjadi 23 konflik di tujuh kabupaten dan kota yang terkena dampak dari ekspansi pertambangan timah,” kata Budi.
Terkait kesejahteraan, banyaknya izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya di Kabupaten Musi Banyuasin, salah satu kabupaten yang banyak menerbitkan izin tambang, yakni sebanyak 69 izin hingga 2013. Ternyata, tingkat kemiskinan tahun 2013 sangat tinggi, yakni mencapai 18,02 persen atau 34.277 jiwa dari total penduduk 617.000 jiwa.
Terhadap kondisi tersebut, koalisi mendesak aparat penegak hukum untuk memperkuat penegakan hukum dan kepada pemerintah untuk menindak tegas perusahaan tambang yang  tidak patuh pada peraturan perundang-undangan, serta mencabut izinnya.
‘Pencabutan izin tambang yang bermasalah tidak serta merta membebaskan pelaku kejahatan pertambangan dari tuntutan pidana. Ini harus didorong KPK dan pemerintah,” kata Anwar Sadat, Sekjen Serikat Petani Sriwijaya (SPS).

Kabupaten Empat Lawang
Kamis (20/11/2014) pagi di Palembang, KPK melakukan monitoring dan evaluasi terhadap Korsup Minerba di empat propinsi: Sumsel, Jambi, Babel dan Kepulauan Riau. Namun, gubernur dari empat provinsi yang hadir hanya Alex Noerdin. Propinsi lainnya mewakilkan pejabat di bawahnya.
Terkait pencabutan izin hingga November 2014, Sumsel menyatakan telah mencabut 47 izin pertambangan, Jambi dengan 111 izin, Bangka Belitung  mencabut 13 izin, sedangkan Kepulauan Riau telah mencabut 66 izin.
Semua izin yang dicabut yang bermasalah. Baik berada di dalam kawasan hutan maupun bermasalah secara administrasi.
Alex Noerdin dalam presentasinya, menyatakan telah mencabut izin pertambangan di atas hutan konservasi seluas 932,64 hektar dan hutan lindung seluas 1.200 hektar. Namun hingga saat ini menurutnya masih terdapat sekitar 8.116 hektar izin usaha pertambangan (IUP) yang berada di kawasan hutan lindung yang berada di Kabupaten Empat Lawang.
“Saya berharap Pemerintah Kabupaten Empat Lawang segera mencabut izin pertambangan yang berada di kawasan hutan lindung, maksimal sampai akhir Desember 2014,” kata Alex Noerdin.

sumber : www.mongabay.co.id 

Selengkapnya...

Tambang Banyak Merugikan

Penambangan Timah Rusak Lingkungan Pesisir

Aktifitas pertambangan batubara di kaki Bukit Jempol Kecamatan Merapi Selatan Kabupaten Lahat. Foto : Walhi Sumsel

PALEMBANG, KOMPAS — Kegiatan tambang dinilai masih lebih banyak merugikan masyarakat di sekitarnya daripada meningkatkan kesejahteraan. Kerugian ini baik dari kerusakan lingkungan yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian masyarakat maupun banyaknya tunggakan penerimaan negara.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung Ratno Budi mengatakan, masifnya kapal isap untuk menambang timah di kawasan pesisir Pulau Bangka mengakibatkan kerugian pada sekitar 45.000 nelayan. ”Pendapatan mereka dari nelayan turun drastis karena lingkungan pesisir rusak,” katanya seusai monitoring dan evaluasi pertambangan mineral di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (21/11).
Karena tak mempunyai pilihan lain, saat ini ribuan nelayan beralih profesi sebagai pekerja ataupun pengelola tambang timah. Hal ini justru memicu kerusakan lingkungan Bangka kian parah sehingga pemulihan lingkungan diperkirakan memakan waktu hingga ratusan tahun. Dikhawatirkan, saat timah sudah habis, warga Bangka Belitung akan kehilangan mata pencaharian sementara sumber daya alam sudah rusak.
Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain mengatakan, menurut kajian Kementerian Lingkungan Hidup terhadap kegiatan tambang di sembilan kabupaten dan kota, baru satu daerah yang bernilai positif. Artinya, sebagian besar pertambangan baru menguntungkan pengusaha dan pekerjanya, tetapi justru merugikan masyarakat.
Kajian ini dilakukan di Bangka Barat, Bangka Timur, Bogor, Kanowe Utara, Morowali, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur. Hanya kegiatan tambang di Bogor yang memberi nilai tambah atau menguntungkan bagi masyarakat. Reklamasi pun, kata Zulkarnain, masih sangat minim dilakukan pada bekas tambang.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan, nilai kerugian akibat tambang di Sumsel pada 2010-2013 diperkirakan lebih dari Rp 248 miliar, di Jambi Rp 50,5 miliar, dan di Bangka Belitung Rp 6,6 miliar. ”Ini baru dihitung dari tunggakan pemasukan negara dari nilai lahan yang belum masuk. Belum dihitung dari sisi kerusakan lingkungan,” katanya.
Aktivis Wahana Bumi Hijau, Adios Syafri, mengatakan, dari sisi kesejahteraan pun, kegiatan tambang di Kabupaten Musi Banyuasin tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Musi Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) yang pada 2013 mencapai 69 IUP. Namun, tingkat kemiskinan di kabupaten ini masih sangat tinggi, mencapai 18,02 persen dari total jumlah penduduk atau sekitar 34.277 jiwa.
Ditutup
Di Maluku, Pemerintah Kabupaten Buru akhirnya menutup penambangan liar di Gunung Botak. Aktivitas tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan. Semua pihak, termasuk TNI dan Polri, berkomitmen mendukung penutupan tersebut.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Kabupaten Buru Istanto ketika dihubungi Kompas dari Ambon, Jumat, mengatakan, penutupan tersebut resmi dilakukan oleh Gubernur Maluku Said Assagaff. Assagaff bersama rombongan tiba di lokasi tambang pada Kamis lalu.
Penambangan mineral emas di Gunung Botak merupakan penambangan rakyat yang mulai masif pada 2011. Areal yang ditambang seluas lebih kurang 250 hektar. Jumlah petambang tidak terdata, tetapi diperkirakan pernah mencapai lebih kurang 10.000 orang. Hampir 90 persen petambang dari luar daerah itu.
Istanto mengatakan, areal tambang kini sudah mulai dikosongkan setelah ratusan aparat gabungan TNI dan Polri melakukan penyisiran. Tenda petambang, lubang galian, dan tempat pengolahan emas setengah jadi sudah dipasangi garis polisi. Semua peralatan tambang tradisional itu akan disita.
Berdasarkan catatan Kompas, pada awal bulan ini, empat petambang di Gunung Botak tewas. Kuat dugaan, mereka tewas akibat perebutan areal tambang.
Selain menimbulkan korban jiwa, aktivitas itu juga berdampak pada pencemaran lingkungan. Sungai Wai Apu yang berada di sekitar lokasi serta Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai tersebut tercemar merkuri. Merkuri digunakan petambang untuk memisahkan emas dengan batuan mineral lainnya.
Sementara itu, di Kalimantan Barat, warga Dusun Belatung, Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, yang semula menambang emas secara liar, terancam krisis pangan karena nyaris tak berpenghasilan. Warga bahkan meminta Dinas Pendidikan Kapuas Hulu mengizinkan anak mereka tidak sekolah selama dua bulan untuk ikut berladang guna memenuhi kebutuhan pangan.
Camat Kecamatan Putussibau Selatan Serli, Jumat, mengatakan, di Dusun Belatung ada 23 keluarga atau 95 jiwa. Dalam rapat yang dipimpin Bupati M Nasir, kemarin, pemkab memutuskan memberikan bantuan bahan pangan kepada warga Dusun Belatung. Pemkab segera menyalurkan bantuan tersebut kepada masyarakat.
Selengkapnya...

Minggu, November 23, 2014

Terkait Rekomendasi Korsuv Minerba KPK, Pemerintah Daerah lamban mencabut, tapi obral dalam memberi izin Tambang

Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola Minerba, melalui momentum Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK menyoroti tumpang tindih izin pertambangan di kawasan hutan, pencabutan izin dan tindak lanjutnya, potensi kerugian penerimaan, bencana ekologis dan kemanusiaan. Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan terdapat tumpang tindih izin di kawasan hutan di Sumsel, Jambi, dan Babel. Di Sumsel misalnya, sebanyak 12 izin pertambangan tumpang tindih di dalam kawasan hutan konservasi, 21 izin di kawasan hutan lindung, dan 158 di kawasan hutan produksi.

KPK merekomendasikan mencabut izin yang tumpang tindih di kawasan hutan. Namun dalam perkembangannya hingga hari ini misalnya di Propinsi Bangka Belitung dari 121 izin yang direkomendasikan untuk dicabut ternyata sampai dengan November baru sebanyak 8 izin yang telah dicabut,sedangkan untuk disumsel baru 17 izin yang di cabut oleh gubernur sumsel (Presentasi Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada Semiloka NKB, 11 November 2014, Jakarta). Data ini menunjukkan bahwa kepala-kepala daerah tidak serius dalam melakukan penataan izin sektor pertambangan dan terlihat sangat lamban.

Selain pencabutan hal penting yang juga perlu digarisbawahi menurut Musri Nauli, Direktur Eksekutif Walhi Jambi “adanya kepastian izin yang sudah dicabut tidak beroperasi lagi di lapangan dan perusahaan yang telah dicabut izinnya tetap melaksakan kewajibannya”

Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel menyatakan bahwa sejak tahun 2010 hingga 2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp. 248,693 Miliar lebih di Sumsel; Rp 50,467 Miliar lebih di Jambi; dan Rp.6,596 Miliar lebih di Bangka Belitung. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut adalah sebesar Rp. 305,757 Miliar lebih.

Sementara itu, Direktur Walhi Babel, Ratno Budi, mengemukakan dampak ekologis dan kemanusiaan dari ekspansi industri tambang yang sangat serius. Bencana ekologis seperti banjir sebagai akibat dari perubahan bentang alam dan menurunnya daya dukung lingkungan yang diakibatkan oleh industri pertambangan di Babel misalnya bukan saja merusaka pemukiman dan pertanian masyarakat, tapi juga telah memakan korban jiwa. ‘Pada tahun 2013 misalnya tercatat 4 orang tewas tenggelam akibat bencana banjir di sekitar kawasan tambang’, ujar Ratno. Industri pertambangan juga telah memicu konflik di banyak tempat. Ratno menambahkan  di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak tahun 2011-2013 saja  telah terjadi 23 konflik di 6 kabupaten dan 1 kota yang terkena dampak dari ekspansi pertambangan timah.


Terkait kesejahteraan, banyaknya izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kab. Musi Banyuasin sebagai salah satu kabupaten yang banyak menerbitkan izin tambang, yakni sebanyak 69 izin hingga 2013, ternyata tingkat kemiskinan pada tahun 2013 sangat tinggi, yakni mencapai 18,02% atau 34.277 jiwa dari total penduduk 617.000 jiwa, seperti dijelaskan oleh Adios Syafri, aktivis WBH yang bekerja di Musi Banyuasin.


Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola Minerba kemudian mendesak aparat penegak hukum untuk memperkuat penegakan hukum dan kepada pemerintah untuk menindak tegas perusahaan tambang yang  tidak patuh pada peraturan perundang-undangan serta mencabut izin. ‘Pencabutan izin kemudian tidak serta merta membebaskan pelaku kejahatan pertambangan dari tuntutan pidana, tegas Anwar Sadat, Sekjen Serikat Petani Sriwijaya (SPS).

Contact  person :
Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko - HP : 0812 7312 042, Sekjend SPS Anwar Sadat – HP: 08127855725
Jalan  Sumatera 1 No 771 Kelurahan 26 Ilir Kecamtan Ilir Barat 1 Palembang
Selengkapnya...

Minggu, November 16, 2014

Walhi Curigai Anggaran Penanggulangan Kabut Asap di Sumsel

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperhatikan secara ketat atau memelototi anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menanggulangi kabut asap di Sumatera Selatan. 
"Terindikasi ada kesengajaan agar dana pemerintah puluhan miliar rupiah dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabut asap. Padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan yang diduga membakar," kata Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko dalam siaran persnya, Kamis 13 November 2014.
Jatmiko menduga, mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang membakar lahan menguatkan indikasi dugaan praktek mafia perizinan, dan korupsi di sektor sumber daya alam pemerintah daerah Sumatera Selatan yang bersifat massif dan terstruktur.
Dari kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor sumber daya alam seperti hutan tanaman industri (HTI) sebagai penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah.
"Artinya jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini," katanya.
Walhi Sumatera Selatan juga mendesak Presiden Jokowi blusukan ke Sumatera Selatan, dan segera mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga menjadi penyebab kebakaran hutan.
"Pemprov Sumatera Selatan membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, serta penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial," harapnya.

Sumber : Antarasumbar.com
Selengkapnya...

Walhi Minta Presiden Jokowi “Blusukan” Ke Palembang

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan meminta Presiden Joko Widodo melakukan blusukan ke provinsi setempat dan mengambil alih penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan penyebab masalah kabut asap beberapa bulan terakhir.
“Pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di wilayah Sumatera Selatan sudah di luar batas sehingga perlu mendapat perhatian presiden agar masalah kabut asap yang dapat mengganggu berbagai aktivitas dan kesehatan masyarakat tidak selalu terjadi pada setiap musim kemarau,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, di Palembang, Senin.
Dia menjelaskan, perusahaan perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi di sejumlah daerah provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota ini diduga telah melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan secara sengaja namun hingga kini belum ada yang diproses secara hukum atau mendapat peringatan keras dari pemerintah daerah setempat.
Bahkan pemerintah daerah terkesan melindungi perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran hukum karena secara sengaja melakukan pembakaran di lahan konsesinya.
Sebagai gambaran pada rapat kordinasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kantor Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada Rabu (5/11), digelar secara tertutup dengan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan perkebunan yang di lahan konsesinya terdapat kebakaran yang menjadi salah satu sumber masalah kabut asap.
Berdasarkan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 10 No 14 Tahun 2008, semua informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak atau publik apalagi kasus bencana, harus dibuka seluas luasnya dengan tujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan perusahaan pembakar hutan dan lahan.
Untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, sesuai bunyi pembukaan UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa hak atas Lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.
Hasil rapat koordinasi tersebut berdasarkan berita beberapa koran terbitan Palembang, pemerintah daerah hanya meminta perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka serta mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah.
Sikap pemerintah yang lemah di depan pihak perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologi kabut asap.
“Sikap tersebut juga menurut kami para aktivis lingkungan hidup tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di Sumatera Selatan yang telah berlangsung selama 17 tahun terakhir.
Pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan penjahat lingkungan hidup sesuai Undang Undang Lingkungan Hidup (UU No32/2009) dan Undang Undang sektoral lainnya, baik UU No.18/2004 tentang perkebunan dan UU No.41/1999 tentang kehutanan.
Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 atau sangat berbahaya.
Pemerintah seharusnya melakukan tindakan hukum dengan mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan untuk mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat, dan lingkungan hidup, baikkerugian langsung maupun tidak langsung.
Mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar lahan tersebut merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dan menguatkan indikasi praktik mafia perizinan dan korupsi di sektor perizinan Sumber Daya Alam di wilayah Sumsel yang sangat massif dan terstruktur.
Oleh karen itu, Walhi Sumsel meminta Presiden Joko Widodo untuk blusukan dan melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan yang menyebabkan bencana ekologi kabut asap di provinsi berpenduduk sekitar 8,6 juta jiwa ini.
Selain itu, meminta pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan monitoring atas kasus kebakaran hutan dan lahan yang diduga dilakukan oleh perusahaan serta proyek-proyek pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumsel, kata Hadi.
Selengkapnya...

KEBAKARAN HUTAN: Pemerintah Diminta Ambil Alih Penegakan Hukum

PALEMBANG – Pemerintah pusat diminta mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan di Sumatra Selatan.
 
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan selama ini penanganan kasus pembakaran lahan dan hutan di provinsi itu masih kurang tegas.

“Perlu ada upaya cepat dan tegas dari pemerintah pusat karena sikap pemerintah daerah terhadap perusahaan pembakar hutan di sini terkesan negosiasi bisnis,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Bisnis, Senin (10/11).

Menurutnya, mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar lahan itu juga merupakan bentuk perbuatan melawan hukum  yang dilakukan oleh Pemprov Sumsel.

Dia menambahkan lemahnya penegakan hukum juga menguatkan indikasi praktik mafia perizinan dan korupsi di sektor sumber daya alam yang terstruktur dan massif.

“Sikap pemerintah sekarang belum memberikan efek jera dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan seperti yang dialami selama  17 Tahun terakhir,” katanya.

Hadi memaparkan pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya.

Adapun proses hukum yang diharapkan oleh Walhi untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan.

Kemudian, mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung.

“Kami juga minta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap,” katanya.

Hadi memaparkan terdapat indikasi kesengajaan agar dana pemerintah puluhan miliar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan.

“Kami juga mengimbau Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap,” ujarnya.

Sumber : http://news.bisnis.com/read/20141110/78/271819/kebakaran-hutan-pemerintah-diminta-ambil-alih-penegakan-hukum 
Selengkapnya...

Minggu, November 09, 2014

JOKOWI - KPK Harus Segera Blusukan dan Ambil Alih Penegakan Hukum atas Perusahaan Pembakar Hutan dan Lahan di Sumsel

Setiap hari selama agustus - oktober 2014 jutaan anak anak menghirup udara tercemar oleh asapp dari kebakaran Hutan dan lahan di Sumsel (foto : Mlx Walhi sumsel )

Rapat Kordinasi Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan pada Rabu, 5 November 2014 kemarin, di gelar secara tertutup dan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan Perkebunan yang dilahan konsesinya terdapat kebakaran, perlu dipertanyakan.

Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 10 menyatakan bahwa, semua Informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak/publik apalagi kasus bencana, harus di buka seluas luasnya. Dengan tujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tersebut. Juga untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai bunyi pembukaan UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa Hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia dan juga diturunkan dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 65.
Apalagi hasil dari rapat tersebut berdasarkan berita beberapa media cetak (6/11), pemerintah hanya meminta perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka dan mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah.

Sikap pemerintah yang lemah di depan perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan juga terhadap jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologis kabut asap. Sikap tersebut  juga menurut kami tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan akan terjadi kembali di Sumatera Selatan seperti yang dialami selama  17 Tahun terakhir.

Anak anak berlari menuju ruang kelas yang diselimuti asapp kebakaran Hutan dan lahan (Foto : Mlx Walhi sumsel)
Pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan Penjahat Lingkungan Hidup sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya, seperti UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dalam Pasal 108 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 (sangat berbahaya). Adapun proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh asset yang dimiliki perusahaan, untuk mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung.

Mandulnya penegakan Hukum terhadap perusahaan pembakar lahan ini juga merupakan bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan menguatkan indikasi praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam di dalam tubuh pemerintahan daerah di Sumatera Selatan sangatlah massif dan terstruktur.

Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor Sumber Daya Alam seperti HTI (penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan) semuanya dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah, yang artinya jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini, layaknya istilah “Jeruk tidak akan makan Jeruk”

Untuk itu menurut Walhi Sumsel, dibutuhkan upaya cepat dan tegas dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih upaya penegakan hukum, karena yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dan daerah saat berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tak lebih dari sekedar “negosiasi bisnis”.

Walhi Sumatera Selatan mendesak Presiden Jokowi untuk segera blusukan ke Sumatera Selatan dan segera mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Kami tidak lagi mempercayai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumater Selatan yang terus melindungi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Kami juga meminta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap. Terindikasi ada kesengajaan agar dana pemerintah puluhan milyar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan, bukan dengan menghabiskan uang rakyat untuk menanggulangi bencana kabut asap (bukan bencana alam). Terakhir, kami memperingatkan Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, termasuk penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial.

Palembang, 9 November 2014
Hadi Jatmiko

Direktur Walhi Sumatera Selatan

CP : 0812 731 2042
Selengkapnya...