WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, September 30, 2013

Setelah Raja Hutan tak punya Istana dan wilayah kuasa

(Palembang,30/9/13) Harimau sumatera merupakan salah satu binatang langkah yang masuk sebagai binatang yang dilindungi, berdasarkan Data organisasi yang bergerak diperlindungan satwa, saat ini jumlah Harimau sumatera tak lebih dari 400 Ekor saja. Mereka punah akibat dari rusaknya hutan sebagai rumah mereka karena obral Izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan perusahaan baik itu Hutan Tanaman Industri, pertambangan dan Perkebunan khsusunya kelapa sawit. 

Berdasarkan catatan Walhi kerusakan Hutan di sumatera selatan saat ini sudah semakin memprihatinkan dari 3,7 juta hektar luas kawasan hutan yang merupakan rumah harimau di sumsel saat ini yang kondisinya masih baik adalah tidak lebih dari 1 juta hektar. 

Dan hari ini akibat kerusakan hutan tersebut masyarakat Sumsel kembali di kejutkan dengan beredarnya video Pembantaian Harimau Sumatera yang diduga terjadi di Hutan Suban Jeriji kecamatan Rambang Dangku Muara Enim. Dalam video ini terlihat seekor harimau sumatera yang mengalami luka akibat tembakan para pemburu yang juga mengikat keempat kaki harimau dengan sebuah balok kayu. Dalam video yang berdurasi kurang lebih 3 menit tersebut, terlihat harimau ini masih dalam keadaan hidup dan sempat mengerakan kepalanya. Namun hal ini tidak mengugah serta membuat para pemburu menghentikan tindakan kejinya, harimau tetap tidak dilepas dari ikatannya. 

Menurut Hadi Jatmiko Walhi Sumsel,berdasarkan Undang Undang no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam kegiatan perburuan ini melanggar pasal 21 ayat 2 dan dapat dijerat dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100.000.000. Namun sampai dengan  7 hari setelah video ini menyebar tidak ada tindakan pemerintah atau aparat berwenang untuk melakukan penegakan Hukum. 

Dan biasanya ditambahkan oleh Hadi, jikapun nanti ada tindakan dari pemerintah atau aparat, kita akan menemukan hal seperti biasa, hanya liv service dan terlihat tebang pilih. Apalagi infonya yang beredar perburuan ini melibatkan organisasi asosiasi penembak di sumatera selatan yang legal memiliki senjata api. 

Hal Berbeda jika berhadapan dengan masyarakat biasa, baru masuk kawasan hutan saja masyarakat ditangkap dan di tuduh sebagai perambah. contoh kasus illegal logging yang terjadi pada 2010 lalu di kawasan suban jeriji yang ditangkap hanya anak anak kapak sedangkan dalang atau cukongnya di biarkan bebas berkeliaran. ungkap hadi dengan nada kecewa

Mudah dan maraknya perburuan harimau sumatera ini harus dilihat secara utuh tidak bisa di lepaskan dari rusaknyanya kawasan hutan suban jeriji oleh salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri terbesar di sumatera selatan (PT. Musi Hutan Persada), dimana saat pertama kali masuk pada tahun 1996 perusahaan menyisakan cerita kepedihan bagi masyarakat local dan mastarakat yang mengantungkan kehidupannya pada Hutan dan pertanian akibat digusur oleh alat alat berat perusahaan yang dikawal oleh para aparat Negara baik TNI maupun kepolisian dengan senjata lengkap. Pembukaan tutupan hutan ini memudahkan para pemburu menemukan si raja Hutan untuk dibunuh dan dibantai, hasilnya diperjual belikan dengan harga pasaran rata rata diatas satu juta rupiah. 

Untuk itu Walhi sumsel mendesak Pemerintah dan aparat berwenang harus segera melakukan pengusutan dan menjerat para pelaku pembantaian dan perburuan harimau ini secara tuntas dengan aturan yang berlaku, dan menangkap dan membongkar aktor intelektual bisnis perdagangan satwa dilindungi ini yang diduga memiliki jaringan nasional dan internasional. 

Selain itu pemerintah dan kementerian harus segera melakukan review dan mencabut terhadap izin izin perusahaan yang berada di kawasan hutan yang kondisinya masih baik dan merupakan rumah dan istana bagi harimau sumatera.(Walhi sumsel)
Selengkapnya...

Beredar Video Harimau Sumatera Dibantai di Muara Enim


Prabumulih. - Auman harimau Sumatera yang dulu menggetarkan dan membuat merinding kini berganti menjadi rintih menahan sakit. Vidoe seekor harimau sedang sekarat itu direkam para pemburu di Desa Suban Jeriji Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muaraenim.
Perburuan harimau di daerah ini berlangsung bebas, bahkan ditenggarai melibatkan oknum asosiasi menembak. Seekor harimau diburu dan dijual seharga Rp 20 juta.
Perburuan melibatkan oknum warga desa setempat sebagai penunjuk jalan. Ironisnya, aktivitas perburuan itu direkam dalam bentuk video berjudul judul ‘Harimau Blk 66 Sbn’ dan telah menyebar luas. 
Dalam video berdurasi 3 menit tersebut tampak seekor harimau Sumatera sedang sekarat. Kakinya terikat di kayu, tubuh terluka dengan darah bercucuran di dada kanan atas dekat leher. dari percakapan di vidoe, luka itu akibat tembakan.
Harimau tersebut tampak sesekali menggelengkan kepala dengan lemah. Para pemburu merekam erangan kesakitan hewan langka tersebut dengan menggunakan penerangan senter.
Belum diketahui apa tujuan para pemburu mengedarkan video penganiayaan terhadap hewan yang dilindungi tersebut. Masyarakat Prabumulih yang menonton video itu menjadi marah dan menilai itu tindakan yang keji.
Informasi dihimpun Tribun Sumsel, sejumlah sumber terkait yang memiliki video menyatakan lokasi perburuan harimau Sumatera itu berada di Blok 66 Desa Suban Jeriji Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muaraenim.
Beberapa sumber di Desa tersebut, Sabtu (21/9) menyebutkan, perburuan harimau Sumatera di kawasan tersebut memang masih terus dilakukan.
Hewan ini menjadi target para pemburu karena harganya yang sangat menggiurkan, seekor harimau sumatera yang telah terbunuh dihargai Rp 20 juta lebih.
Hewan tersebut dibawa pemburu yang diduga berasal dari Palembang dan dijual di Palembang.
Berdasarkan keterangan penduduk Suban Jeriji yang meminta namanya tidak dipublikasikan, dia mengenali sejumlah orang yang terekam dalam vidoe itu, diduga berinisial YM(62), YR(37) dan SG.
“Ketiga orang itu jasanya sering dimanfaatkan para pemburu sebagai penunjuk jalan untuk menunjukkan lokasi persembunyian Harimau Sumatera di Desa Suban Jeriji,” ujarnya.
Perburuan harimau Sumatera di daerah Suban Jeriji tersebut sudah menjadi rahasia umum. Bahkan menurut sumber yang tidak mau namanya ditulis, dalam seminggu jasa YM Cs bisa mencapai tiga kali dimanfaatkan pemburu asal Palembang dan kota lain.
Tribun menelusuri kebenaran informasi penduduk itu dengan menemui orang-orang yang dia maksud. Ternyata benar.
YM tidak menampik jika suara yang berada dalam rekaman video perburuan harimau langka yang berjudul ‘Harimau Blk 66 Sbn’ tersebut adalah suaranya.
YM yang ditemui dan dibincangi di kediamannya membantah jika harimau yang berada dalam video tersebut terluka akibat ditembak, melainkan akibat dijerat warga dan kemudian diikat.
“Harimau ini dapat dijerat, bukan karena tertembak,” ujar YM, yang tampak ketakutan sembari terus mengatakan jika harimau mengalami luka akibat dijerat warga.
Ketika terus ditanya mengapa harimau Sumatera di desanya tersebut terus menjadi buruan, YM enggan berkomentar banyak dan memilih diam.
Penelusuran Tribun di desa itu mendapati informasi yang mengejutkan. Perburuan harimau Sumatera melibatkan oknum yang berasal dari asosiasi menembak di Sumsel.
Sayangnya, pria yang juga mengaku anggota Perbakin Kota Prabumulih tersebut enggan menyebutkan oknum yang melakukan perburuan itu.
Dia sangat menyayangkan perburuan terhadap habitat yang dilindungi negara tersebut  dan bahkan direkam dalam bentu video.
“Kami sangat menyayangkan hal itu terjadi,” ujarnya.

Sumber : http://sumsel.tribunnews.com/2013/09/30/beredar-video-harimau-sumatera-dibantai-di-muara-enim 
Selengkapnya...

Jumat, September 27, 2013

Mission Impossible: Green Banking

JAKARTA - Frase minyak sawit mentah tiba-tiba saja menembus kenangan masa lalu saya hingga ke kampung halaman, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mamak kala itu sering meminta saya untuk membeli minyak goreng Bimoli di warung Pipit, yang terletak dekat ujung gang rumah kami.
Kadang sambil bersungut, saya menerima uang dari tangannya dan tergopoh-gopoh menuju warung. Permintaan mamak terkadang menghentikan permainan sepak bola plastik—hobi yang dilakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama—pada suatu sore.
Biasanya sebagian kawan beristirahat dengan mengambil air minum, sedangkan saya bergegas kembali. Ini adalah lintasan kecil hampir 25 tahun silam.
Namun kini, cerita tentang minyak sawit tak sesederhana serpihan-serpihan masa lalu.


 -Perbankan domestik menggelontorkan US$2 miliar untuk sedikitnya 19 perusahaan besar kelapa sawit sepanjang 2002—2011.

-Bank Indonesia meminta perbankan memperhatikan aspek perlindungan lingkungan para debitur sebelum pemberian kredit.

-Pembukaan kebun kelapa sawit kerapkali tak ramah lingkungan dan menimbulkan konflik.
Perluasan bisnis perkebunan sawit kini menjadi narasi tersendiri. Sepanjang menyusuri hutan di Riau maupun Jambi dalam 2 tahun terakhir, saya mulai memahami kelapa sawit seringkali menimbulkan masalah. Ada perampasan lahan hingga meletusnya gas rumah kaca. Mulai dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Namun sebaliknya, industri sawit telah menjadi salah satu bisnis yang menggurita, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Produksi minyak sawit mentah hingga akhir tahun lalu mencapai 26 juta ton dan diperkirakan melonjak dua kali lipat pada 2020. Masalah lainnya, gurita bisnis itu juga didukung oleh sektor keuangan domestik hingga internasional. Memahami Bimoli—yang masih menghiasi rak-rak toko kelontong maupun swalayan besar—menjadi kian kompleks.
Laporan bersama Financing Oil Palm Expansion in Indonesia and Malaysia yang dirilis pada bulan lalu oleh Profundo, Rainforest Action Network (RAN) dan Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, paling tidak mengurai bagaimana bisnis tersebut tumbuh dalam 10 tahun terakhir. Profundo dan RAN masing-masing berbasis di Amsterdam, Belanda dan San Fransisco, Amerika Serikat,  sedangkan TuK Indonesia di Jakarta. Riset tersebut memaparkan sedikitnya 19 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Tanah Air—di antaranya adalah Indofood Agro Resources, si pencipta Bimoli—mendapatkan pendanaan besar dari kalangan perbankan.
Bank memang menjadi sumber pendanaan terbesar kedua setelah  kapital perusahaan sepanjang 2002—2011. Dalam kurun waktu tersebut, kucuran kredit bank domestik untuk 19 perusahaan itu sedikitnya mencapai US$2 miliar, sedangkan bank asing lebih rendah, yakni US$1,7 miliar. Namun di sisi lain, penambahan lahan maupun kapasitas produksi secara keseluruhan untuk perkebunan sawit, terjadi dalam skala raksasa. Lahan ekstra seluas 3,45 juta hektare telah dipakai dari semula hanya 3,03 juta hektare. Sedangkan kapasitas produksi,  bertambah sebesar 14,78 juta ton dari 10,37 juta ton. Jika dipersentasikan pertumbuhannya, penambahan lahan mencapai 114%, sedangkan  produksi minyak sawit mentah naik hingga 143%.
 “Bank, menyediakan pinjaman ke perusahaan dengan investasi terbesar, telah memainkan peranan penting pada perluasan sektor kelapa sawit,” demikian laporan itu. “Terutama pada perusahaan-perusahaan multinasional.”
130927_data sawit.jpgPerusahaan raksasa kelapa sawit yang dimaksud di antaranya adalah Astra Agro Lestari, Bakrie Sumatra Plantations, BW Plantations, First Resources, Golden Agri Resources, Indofood Agri Resources,  Kencana Agri, Sampoerna Agro, Tunas Baru Lampung, dan Wilmar International. Sebagian besar—kecuali Bakrie Sumatra Plantations—adalah anggota dari the roundtable on sustainable palm oil (RSPO), asosiasi multipihak yang mempromosikan produk sawit berkelanjutan.
Adapun  untuk pendanaan, sejumlah bank besar yang menyokong sektor tersebut adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, serta Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ini belum ditambah dengan pelbagai bank domestik maupun asing macam Bank Negara Indonesia (BNI), Credit Suisse, The Dutch Rabobank, Raiffeisen Zentralbank dan Standard Chartered.
Namun apakah perbankan turut mempertimbangkan upaya menjaga lingkungan debitur perusahaan sawit? Saya bisa jadi pesimistis. Ketidakyakinan ini membuncah usai menemui pelbagai kesaksian maupun mempelajari beberapa laporan tentang dampak lingkungan akibat ekspansi bisnis tersebut.
Narasi soal kelapa sawit, bagi saya,  adalah narasi yang dipenuhi konflik berkepanjangan. Pelbagai sumber yang saya temui—dari investigator lingkungan di Riau, warga lokal asal Merauke, petani di Jambi hingga pekerja pada perusahaan sawit di Kalimantan Selatan—memaparkan bagaimana bisnis tersebut mengakibatkan seteru dengan petani atau berdampak buruk pada lingkungan.
Laporan terbaru Greenpeace berjudul Certifying Destruction: Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction? juga memaparkan tentang pentingnya kritik terhadap standar asosiasi multipihak tersebut. Riset yang dirilis pada September itu menegaskan bagaimana RSPO pun tak sanggup menahan kerusakan lingkungan oleh perusahaan sawit. Salah satunya, pembakaran hutan—untuk membuka kebun—yang mengakibatkan kabut asap di Riau pada Juni. Pembakaran tersebut diduga dilakukan di dalam konsesi milik Asian Agri, Jatim Jaya Perkasa, Sime Darby, dan Wilmar International. Bahkan, organisasi itu menemukan area seluas 5,5 juta hektare berisikan konsesi yang tumpang-tindih antara sektor perkayuan, hutan tanaman industri, kelapa sawit hingga pertambangan.
“RSPO melarang penggunaan api untuk pembukaan lahan, tetapi gagal mengatasi sumber kebakaran dahsyat di Sumatra,” demikian riset tersebut. “Juga membolehkan anggotanya untuk mengeringkan lahan gambut. Padahal gambut, sekali kering,  mudah menyala dan menyebar cepat.”
Tentunya, ini tak sekadar analisis. Delapan organisasi sipil lainnya bahkan menyampaikan laporan dugaan pembakaran hutan oleh sedikitnya enam korporasi besar perkebunan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Koalisi itu terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Walhi Daerah Riau, Walhi Daerah Jambi, Walhi Daerah Sumatra Selatan, Indonesian Center for Environment Law, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Sawit Watch dan YLBHI. 
Beberapa korporasi yang dianggap bermasalah diantaranya adalah Asian Agri, Duta Palma, Indofood Agri Resources,  Jatim Jaya Perkasa, Sinar Mas hingga Surya Dumai.  Semua kelompok bisnis tersebut—yang sebagian memiliki sejumlah anak usaha—termasuk dalam keanggotaan RSPO. Data yang diserahkan koalisi itu pun beragam. Dari citra satelit, hasil penyelidikan di lapangan, foto hingga analisis penggabungan peta titik api dengan area konsesi.
“Pembakaran dilakukan sebagai penghematan biaya untuk pembukaan lahan dibandingkan dengan cara manual.” kata Muhnur Stayahaprabu, Manajer Advokasi Hukum dan Kebijakan Walhi, seusai menyampaikan laporan itu. “Penerima manfaatnya  adalah perusahaan perkebunan dan kertas.”
Namun, RSPO akhirnya hanya menyelidiki lima perusahaan perkebunan yang kerap diberitakan oleh pelbagai media. Mereka adalah Golden Agri Resources, Kuala Lumpur Kepong, Jatim Jaya Perkasa, Sime Darby dan Tabung Haji Plantations. Asosiasi itu juga menggandeng the World Resources Institute (WRI) untuk menganalisis titik api di Riau.
Khusus Tabung Haji Plantations, hasil analisis tersebut tak menemukan titik api, sedangkan Jatim Jaya Perkasa tak kunjung menyerahkan dokumen konsesinya. Lainnya adalah Golden Agri Resources (tiga titik), Kuala Lumpur Kepong (satu titik), dan Sime Darby (enam titik).
Namun, KLH tidak tinggal diam. Kementerian tersebut telah menetapkan sedikitnya tiga perusahaan perkebunan sebagai tersangka dalam dugaan pembakaran hutan sejak memulai penyelidikannya sepanjang Juli— Agustus. Semua tersangka adalah anggota RSPO dan satu adalah anak usaha perusahaan terbuka. Penyelidikan atas perusahaan lain pun terus dilakukan. Kritik muncul pula. Kali ini, tak hanya untuk perusahaan kelapa sawit.
“Untuk memastikan nol deforestasi, kami menyerukan pihak perbankan untuk memutuskan hubungan dengan para produsen dan penyuplai yang membuka hutan,” kata Norman Jiwan, Direktur TuK Indonesia. “Sektor keuangan agar memastikan untuk melarang konversi lahan atau pembakaran pada lahan gambut.”
 MEMORANDUM KESEPAHAMAN
Kalau ingin ditelusuri, KLH dan Bank Indonesia (BI) sebenarnya punya memorandum kesepahaman untuk mendorong sektor perbankan agar menjaga lingkungan sejak 2004. Istilah populernya kini, green banking.  Kegiatan hasil memorandum itu meliputi harmonisasi peraturan, sosialisasi, penelitian bersama hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Saya kira, belum ada perubahan besar hingga kesepakatan kedua kalinya ditandatangani pada 2010.
 Walaupun demikian, aturan BI mengenai masalah lingkungan sebenarnya sudah diterbitkan melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/2/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum. Bank diminta memperhatikan aspek perlindungan lingkungan saat menilai kualitas kredit.  Tak melulu soal kinerja debitur atau kemampuan membayar.
Aturan lainnya diterbitkan 7 tahun kemudian, melalui PBI No.14/15/2012, tentang persoalan serupa. Statistik BI mencatat, penyaluran kredit perbankan  untuk sektor agribisnis mencapai 5% dari total kredit nasional yang menyentuh Rp2.700 triliun. Sektor yang mendominasi pun dapat ditebak: kelapa sawit. Kredit untuk sektor perkebunan sawit skala besar, minimal bagi saya, seharusnya diawasi lebih ketat.
Saya pun mengirimkan sejumlah  pertanyaan melalui surat elektronik ke tiga bank  penyokong industri kelapa sawit, yang beraset ratusan triliun tersebut. Ini tentunya, tentang pertimbangan mereka mengenai aspek lingkungan.  Salah satunya, menyangkut  pembukaan lahan. Mulai dari BCA, Bank Mandiri hingga BRI. Khusus BNI, saya mempelajari pemaparan resminya dalam satu diskusi pada akhir Agustus. 
Peminjam dana mereka pun bermacam-macam a.l. dari Indofood Agri Resources, Musim Mas, Sampoerna Agro hingga Tunas Baru Lampung. Ada juga yang mendanai perusahaan asal Malaysia Gozco Plantations. Standar soal lingkungan pun bervariasi. Dari Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sertifikat hak, penilaian Proper, hingga aturan RSPO. Rata-rata kredit korporasi di sektor agribisnis empat bank tersebut berkisar 4%—10% lebih dari total pinjaman  yang masing-masing berkisar Rp200 triliun—Rp300 triliun pada tahun lalu.
“Kami memperhatikan ketaatan calon debitur dalam penerapan regulasi serta aspek lingkungan,” kata Wakil Presiden Eksekutif Corporate Banking Agro—Base Bank Mandiri, Rafjon Yahya. “Seperti peraturan tentang pembukaan lahan, konversi lahan gambut maupun hutan menjadi kebun sawit.”
 “BRI menitikberatkan adanya jaminan legalitas lahan, yakni sertifikat hak guna usaha [SHGU],”kata Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali. “Legalitas yang diperoleh relatif ketat, dengan syarat antara lain hutan produktif, bukan hutan lindung.”
“BCA memperhatikan calon debitur memenuhi peraturan terkait, mencakup pula masalah lingkungan. Misalnya Amdal,” kata Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati. “Itu sebagai salah satu upaya untuk memastikan calon debitur tak membawa dampak buruk bagi lingkungan.”
“Perbankan masih menunggu diberlakukannya PBI tentang Green Banking. Dengan absennya aturan itu, BNI menghadapi tarik ulur,” kata Vice CEO BNI Felia Salim, dalam satu diskusi. “[Antara] melayani jasa intermediasi atau pelayanan nyata untuk memimpin agenda lingkungan.”
Jawaban mereka memang cukup beragam. Namun, saya kira, pihak perbankan juga sebaiknya  tak melupakan soal Amdal  dan SHGU yang kerapkali bermasalah. Ini macam dugaan suap dan minimnya partisipasi publik di dalamnya. Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2010, misalnya, menemukan praktik dugaan suap dalam empat kategori pelayanan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ini terdiri dari layanan pengukuran dan pemetaan kadastral, layanan balik nama hak tanah, layanan hak tanggungan serta pembuatan sertifikat tanah. Masalah itu belum  ditambah dengan izin yang tumpang tindih dalam satu kawasan.  Namun KLH, paling tidak, meminta  secara tak  langsung agar perbankan menghentikan pinjamannya ketika perusahaan sawit bermasalah dengan lingkungan. Baik dari proses pembukaan lahan sampai operasi perkebunan.
“Perusahaan tak mungkin memakai duit sendiri. Jadi perbankan harus melihat proses [perkebunan sawit] dari hulu sampai hilir,” kata Imam Hendargo, Deputi Bidang Tata Lingkungan KLH. “Ketika perusahaan tidak [menjaga lingkungan], perbankan harus setop. Kalau tidak disetop, kurangi kreditnya.”
Gencarnya kritik atas RSPO—sebagai salah satu standar yang diperhatikan perbankan—juga tak dapat dikesampingkan. Laporan terbaru dari Rainforest Action Network (RAN) berjudul Conflict Palm Oil: How US Snack Food Brands Are Contributing to Orangutan Extinction, Climate Change and Human Rights Violation  mengkritik keras tentang produk bersertifikat RSPO. Konsumsi minyak sawit mentah oleh Amerika Serikat (AS), yang didominasi dari Indonesia dan Malaysia itu,  memang melonjak enam kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Pada akhir tahun lalu, penggunaannya sudah mencapai 1,25 juta ton.
Saya menyadari komposisi ekspor minyak sawit mentah asal Indonesia masih dominan hingga 70%, sedangkan sisanya dipakai di dalam negeri. Negara-negara tujuan ekspor komoditas itu adalah AS, China, India, dan Uni Eropa.  Ada yang digunakan untuk makanan dan minyak goreng, atau untuk komoditas yang turut melonjak permintaannya: biodiesel.
Perkebunan kelapa sawit, demikian RAN, dinilai terus menghancurkan hutan hujan—habitat orangutan—yang tinggal 60.600 ekor di Sumatra dan Kalimantan. Organisasi tersebut pun berkampanye agar 60.600 individu, di mana pun mereka berada, mendesak para produsen kudapan untuk memangkas pasokan minyak sawit penuh konflik—salah satunya dari RSPO—ke dalam produknya.
“Minyak sawit mentah berkelanjutan RSPO diencerkan oleh asosiasi dengan standar sertifikasi yang lemah,” tulis laporan yang dirilis pada September. “Konsumen disesatkan dengan label produk yang berkelanjutan, tapi justru berasal dari penghancuran hutan hujan dan lahan gambut.”

sumber : http://m.bisnis.com/mission-impossible-green-banking 
Selengkapnya...

Konflik Lahan Semakin Bermunculan

Jakarta - Konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan di Sumatera Selatan terus terjadi. Kasus baru muncul, sementara penyelesaian kasus yang sudah ada berlangsung lambat. Konflik lahan itu terjadi karena lahan garapan masyarakat terdesak perusahaan.

Salah satu konflik lahan yang baru muncul adalah terkait tuntutan warga Desa Bakung, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Mereka mengajukan klaim terhadap lahan seluas 2.080 hektar (ha) yang kini dikuasai empat perusahaan perkebunan kelapa sawit.

”Dari peta lama yang kami dapat, lahan tersebut lahan desa yang dijual ke perusahaan-perusahaan itu oleh oknum kepala desa dari Kabupaten Muara Enim. Statusnya lahan hutan produktif. Kami menuntutnya dikembalikan,” kata juru bicara warga, Faizal (41), Kamis (26/9/2013).

Meskipun sudah dikuasai perusahaan sejak 2008, Faizal mengatakan, warga baru mengetahui masalah itu 2012. Selama sebulan terakhir, sekitar 1.000 warga Bakung melakukan berbagai aksi terkait hal itu, antara lain menduduki lahan dan berunjuk rasa ke Markas Polda Sumsel.

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS) Anwar Sadat mengatakan, konflik lahan dipicu ketimpangan penguasaan lahan karena sebagian besar lahan dikuasai perusahaan. Petani semakin kehilangan lahan garapan karena terdesak perusahaan.

Dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, sekitar 4,9 juta ha atau sekitar 56,32 persen lahan dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan tanaman industri (HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta ha pertambangan batubara.

”Dari pemetaan kami, masih banyak masalah lahan di Sumsel yang masih laten,” katanya dalam deklarasi SPS yang beranggotakan sekitar 10.000 orang.

Asisten I Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel Mukti Sulaiman mengatakan, hingga tahun 2011 ada sekitar 30 konflik lahan. Kini, jumlahnya menjadi 43 konflik, tujuh di antaranya selesai lewat musyawarah, 19 diajukan ke pengadilan.

Belasan konflik berlangsung bertahun-tahun, seperti konflik di Desa Sei Sodong di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan warga belasan desa di Kabupaten Ogan Ilir dengan PTPN VII Cinta Manis.

Karena itu, pada 2011 Pemprov Sumsel membentuk tim khusus yang diketahui Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Guna mencegah munculnya konflik lahan baru, kata Mukti, pemberian izin lahan dilakukan dengan lebih hati-hati. Izin hanya diberikan untuk lahan-lahan hak guna usaha yang sudah tidak digunakan atau telantar. (kompas) Selengkapnya...

Anwar Sadat Deklarasikan SPS

Penjara tidak membuatnya jera. Apalagi dia dipenjara karena membela petani. Itulah prinsip Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) Anwar Sadat.
Buktinya, belum begitu lama keluar dari penjara, bertepatan Hari Tani Nasional, Sadat dan teman-temannya mengdeklarasikan Serikat Petani Sriwijaya (SPS). Di Organisasi itu Sadat menjabat Sekjen.
Acara sendiri dihadiri oleh pejabat Badan Pertanahan Negara (BPN) Sumsel Muktar hingga Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Nur Sastro Mahrup di gedung auditorium RRI Palembang, Kamis(26/09).
Dalam deklarasi SPS dan HTN itu, ucap Anwar Sadat, sebagai bentuk masih adanya kepedulian terhadap kaum bawah, khususnya petani. Antara lain diwujudkan melalui Dialog bertema "Bersama SPS dan momentum HTN kita perjuangkan keadilan agraria untuk mewujudkan kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan Rakyat tani yang maju, terdidik, berdaulat dan bermartabat".
SPS sendiri, terang Sadat, berdiri untuk mewujudkan cita cita petani sehubungan hak hak petani dan terciptanya kesejahteraan masyarakat.
"Perjuangan hak atas tanah, peningkatan hak petani mendorong berbagai kebutuhan petani sehubungan pemanfaatan lahannya dengan butuh penunjang seperti modal,” tandas Sadat.
Acara dihadiri sekitar 500 orang petani dari Kabupaten OKI, Ogan Ilir dan Muba dimana narasumber yang diundang dari berbagai kalangan, termasuk Pejabat BPN Sumsel Muktar, perwakilan Walhi Nasional Mukri Priatna, perwakilan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Pusat Dedek Seneba dan Presiden KPRI (konfederasi pergerakan rakyat indonesia) Nur Sastro Mahrup
Selengkapnya...

Perjuangkan Hak-hak Tanah Petani

PALEMBANG - Dalam acara dialog agraria bersama ratusan petani dari Kabupaten Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), dan Banyuasin dalam rangka hari Tani Nasional, Kamis (26/9), Sekjen Serikat Petani Sriwijaya Anwar Sadat mengajak para petani untuk bersatu dan berjuang dalam pergerakan mempertahankan hak-hak atas lahan petani yang terus menerus dirampas pemerintah untuk kepentingan investor.
Hal ini disampaikan Anwar Sadat saat peresmian deklarasi Serikat Petani Sriwijaya (SPS) di Auditorium RRI Palembang.
Menurut aktifis lingkungan ini dibentuknya SPS Ini bukan untuk sekedar organisasi sosial, namun bertujuan untuk menjadikan masyarakat tani menjadi masyarakat yang diperhatikan baik keadilan, kesejahteraan dan kemakmurannya.
"Bersama SPS dalam momentum hari tani nasional kita akan bersama-sama memperjuangkan keadilan agraria untuk mewujudkan kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan rakyat tani yg maju, terdidik berdaulat dan bermartabat," tambahnya.
Ditegaskannya pemerintah harus benar-benar menjalankan amanat konstitusi seperti tertuang di Undang undang pokok agraria, apabila terjadi pnyimpngan kebijakan negara, disaat itulah SPS akan bergerak, memperjuangkan hak-hak petani.
Sementara itu Sudarto dari Serikat Hijau Indonesia dengan tegas mengatakan kalau pemerintah sudah merampas tanah-tanah petani untuk diberikan kepada para investor tanpa memikirkan kehidupan petani.
Perwakilan Walhi Nasional Mukri Triatna menjelaskan pada tahun 2012 kita sudah mendorong. Untuk dibentuknya pansus untuk penyelesaian sengketa khusus konfllik agraria, karena tidak terkejar, jadi dibentuklah komisi penyelesaiaan sengketa agraria, ini salah satu bentuk solusi secara komprehensif untuk membantu menyelesaikan konflik agraria.
Salah seorang petani dari Air Sugihan OKI Suparman (60) mengaku datang bersama puluhan rekannya sejak pukul 7 malam sampai ke Palembang subuh. "Kita menghadiri deklarasi ini sebagai bentuk solidaritas petani agar dapat diperhatikan pemerintah akan hak-hak petani yang digusur," ujarnya
Selengkapnya...

Minggu, September 22, 2013

Setiap Hari Ada Petani Ditangkap Akibat Perluasan Perkebunan Sawit

JAKARTA-  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir peserta transmigrasi korban penggusuran perusahaan perkebunan semakin bertambah. Setiap hari, lebih dari satu petani ditangkap akibat mempertahankan tanah mereka.

"Mereka dikriminalisasi kemudian digusur," ujar Zenzi Suhadi, pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar WALHI kepada Tribunnews di kantornya, Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Zeni mengatakan pemerintah terlebih dahulu mengirim masyarakat untuk transmigrasi di hutan-hutan. Setelah itu masyarakat dituntut harus bisa mandiri dengan membuka lahan dan membuat pemukiman.

Perkebunan kemudian masuk ke hutan yang telah menjadi kebun tersebut dengan dalih Hak Guna Usaha (HGU) atau sejenis hak penguasaan hutan.

Pemerintah, sebenarnya memberikan tiga jenis tanah kepada masyarakat. Yakni tanah garapan, tanah cadangan, dan tanah pemukiman. Menurut Zenzi hanya tanah pemukiman yang saat ini belum digusur oleh perusahaan perkebunan.

Modus lainnya, perkebunan bekerja sama dengan kepala desa untuk mengumpulkan sertifat tanah warga. Kepala desa itu kemudian memberikan sertifikat tanah ke perkebunan sehingga masyarakat tidak memiliki bukti atas kepemilikan lahan.

Berdasarkan data yang dihimpun WALHI, pergeseran dan penguasaan tanah dalam 10 tahun terakhir rata-rata 5,6 juta hektar per tahun. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2012 tercatat 56 juta hektar hutan Indonesia bergeser kekuasannya dari rakyat dan negara ke pengusaha perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), HPH, dan Tambang.

Sementara korban yang sudah melapor ke WALHI berasal dari Desa Nusantara Sumatera Selatan, Rawa Indah dan Ketahun di Bengkulu, Biru Maju dan Kumai di Kalimantan Tengah, dan Sajeung Helang di Kalimantan Selatan.
Selengkapnya...