Jakarta - Konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan
perusahaan di Sumatera Selatan terus terjadi. Kasus baru muncul,
sementara penyelesaian kasus yang sudah ada berlangsung lambat. Konflik
lahan itu terjadi karena lahan garapan masyarakat terdesak perusahaan.
Salah
satu konflik lahan yang baru muncul adalah terkait tuntutan warga Desa
Bakung, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
(Sumsel). Mereka mengajukan klaim terhadap lahan seluas 2.080 hektar
(ha) yang kini dikuasai empat perusahaan perkebunan kelapa sawit.
”Dari
peta lama yang kami dapat, lahan tersebut lahan desa yang dijual ke
perusahaan-perusahaan itu oleh oknum kepala desa dari Kabupaten Muara
Enim. Statusnya lahan hutan produktif. Kami menuntutnya dikembalikan,”
kata juru bicara warga, Faizal (41), Kamis (26/9/2013).
Meskipun
sudah dikuasai perusahaan sejak 2008, Faizal mengatakan, warga baru
mengetahui masalah itu 2012. Selama sebulan terakhir, sekitar 1.000
warga Bakung melakukan berbagai aksi terkait hal itu, antara lain
menduduki lahan dan berunjuk rasa ke Markas Polda Sumsel.
Sekretaris
Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS) Anwar Sadat mengatakan, konflik
lahan dipicu ketimpangan penguasaan lahan karena sebagian besar lahan
dikuasai perusahaan. Petani semakin kehilangan lahan garapan karena
terdesak perusahaan.
Dari data Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, sekitar 4,9 juta ha atau sekitar 56,32
persen lahan dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan
tanaman industri (HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta
ha pertambangan batubara.
”Dari pemetaan kami, masih
banyak masalah lahan di Sumsel yang masih laten,” katanya dalam
deklarasi SPS yang beranggotakan sekitar 10.000 orang.
Asisten
I Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel Mukti Sulaiman
mengatakan, hingga tahun 2011 ada sekitar 30 konflik lahan. Kini,
jumlahnya menjadi 43 konflik, tujuh di antaranya selesai lewat
musyawarah, 19 diajukan ke pengadilan.
Belasan
konflik berlangsung bertahun-tahun, seperti konflik di Desa Sei Sodong
di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan warga belasan
desa di Kabupaten Ogan Ilir dengan PTPN VII Cinta Manis.
Karena
itu, pada 2011 Pemprov Sumsel membentuk tim khusus yang diketahui
Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Guna mencegah munculnya konflik lahan
baru, kata Mukti, pemberian izin lahan dilakukan dengan lebih hati-hati.
Izin hanya diberikan untuk lahan-lahan hak guna usaha yang sudah tidak
digunakan atau telantar. (kompas)
Artikel Terkait:
- Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit
- Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.
- Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis
- Walhi Sumsel Apresiasi Pembentukan Satgas Percepatan penyelesaian Konflik Agraria dan SDA di Muba.
- Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
- Pernyataan Sikap : Negara kembali di Lemahkan oleh Perusahaan HTI (PT. MHP/Marubeni Coorporation)
- Momentum dan Kesempatan Tegakan Wibawa Negara
- SERUAN TERBUKA Menyikapi Kasus Penggusuran Paksa Warga Desa Bumi Makmur, Sumatera Selatan
- Siaran Pers : Mengutuk Tindak Kekerasan dan pengusuran lahan yang dilakukan PT. Musi Hutan Persada (Marubeni Coorporation) bersama aparat Kepolisian, TNI dan POLHUT
- Perber 4 Menteri, Belum Seluruh Kepala Daerah Bentuk IP4T
0 komentar:
Posting Komentar