WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Juli 22, 2011

Penjajahan (kembali) oleh RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan yang saat ini tengah di godok oleh DPR RI dan Pemerintah di Senayan kembali mendapat kritik dari berbagai pihak seperti yang terungkap di diskusi Publik yang bertema “ RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan ; Jalan Legal Perampasan Tanah Rakyat?”, bertempat di Aula FH Unsri Palembang.
Acara ini diselenggarakan oleh WALHI sumsel bekerjasama dengan FH Unsri dan Koalisi Rakyat Tolak Perampasan (KARAM ) Tanah yang di koordinatori oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Nasional.

Direktur Walhi Sumsel, Anwar sadat pada saat pidato pembukaan acara mengatakan bahwa, dengan disahkannya UU ini nantinya akan membuat banyak tanah rakyat tergusur dan dirampas secara paksa oleh pemerintah maupun Swasta, hanya dengan satu kata yaitu Pembangunan, karena tanah tanah yang diakui oleh pemerintah adalah tanah tanah yang memiliki sertifikat padahal kita tahu bahwa banyak tanah  rakyat misalnya di sumsel yang tidak memiliki sertifikat tetapi secara sah adalah miliknya dan diakui oleh seluruh masyarakat.

“Jika RUU disahkan maka sama dengan rezim saat ini, membawa kita kembali ke zaman sebelum merdeka atau zaman penjajahan” ujar Sadat.

Narasumber dalam diskusi ini adalah Eddy Ganefo (Bendahara PKB Sumsel/Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia), Zaenal Mutaqin, Dr. Firman Muntaqo, S.H.M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Unsri).

Dalam paparannya Edy ganefo mengatakan bahwa RUU ini hanya akan memperluas konflik pertanahan yang terjadi di Indonesia, khususnya sumsel, baik itu masyarakat dengan swasta ataupun dengan pemerintah itu sendiri, dan jika ini terjadi maka artinya semua pihak akan dirugikan. “seharusnya peran pemerintah bukanlah membuat RUU seperti ini, tetapi harusnya berperan aktif sebagai mediator menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan pihak swasta.” Kata eddy.
Zaenal Mutaqin yang merupakan Staf divisi Advokasi KPA nasional dalam materi yang disampaikan nya mengatakan bahwa, RUU ini adalah bentuk sesat pikir dan dangkalnya pemerintah dalam melihat persoalan pembangunan dan pertanahan (agrarian) di Indonesia. Contoh nyatanya dalam RUU ini isinya tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum padahal ini adalah substansi dari RUU ini dibuat. dan idealnya kriteria kepentingan umum dalam pembangunan itu sendiri adalah manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen social serta, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.
“Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi” ungkap zaenal .
Sementara itu, Dr. Firman Muntaqo, S.H.M.Hum menjelaskan bahwa yang dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan hak masyarakat atas tanah, bukan sebaliknya pengoptimalan hak tanah atas masyarakat. “Dalam RUU ini Obyek penggantian lebih diarahkan kepada kerugian yang bersifat materi yang lebih berdasarkan dokumen, belum mencakup aspek inmateri artinya ini bentuk pengkerdilan terhadap fungsi Tanah bagi manusia (Rakyat).” kata Dosen FH Unsri ini.
Diskusi ini berlangsung hangat setiap peserta yang merupakan perwakilan dari Akademisi, mahasiswa, Petani, Miskin Kota, praktisi hukum dan birokrat yang berjumlah sekitar 150 orang secara antusias bertanya dan memberikan pendapatnya masing masing, yang intinya mayoritas peserta meminta pemerintah melakukan moratorium pembahasan RUU Pangadaan tanah untuk pembangunan, sebelum penataan struktur agraria dilakukan seperti tercantum dalam UUPA 1960.
Acara ini diakhiri dengan pemberian cenderamata oleh Walhi sumsel kepada Nara sumber sebagai ucapan terima kasih atas partisipasi mereka dalam acara ini. (Hadi J)
Selengkapnya...

Administrasi Buruk Picu Konflik Lahan


PALEMBANG – Guru besar sekaligus Dekan Fakultas Hukum (FH) Unsri Amzulian Rifai menyatakan,buruknya sistem administrasi pertanahan di Indonesia sebagai penyebab terjadinya konflik lahan di Sumsel.

Karena itu, dia meminta pemerintah segera membenahinya. “Selama sistem administrasi pertanahan masih seperti ini, sampai dunia kiamat pun persoalan tanah pasti akan terus terjadi atau tidak pernah selesai,” ujar Amzulian seusai diskusi publik tentang rancangan undang-undang pengadaan tanah di Aula FH Unsri kemarin. Salah satu sistem administrasi yang harus diperbaiki adalah prosedur pembuatan sertifikat tanah. Pemerintah harus mempermudah dan mempermurah pembuatan dokumen tersebut.

“Banyak orang-orang kampung yang saat ini sering kali menjadi korban perusahaan yang tanahnya terkesan diserobot, atau haknya tanahnya diakui milik perusahaan tersebut lantaran tidak memiliki sertifikat resmi dan hanya mengetahui itu adalah tanahnya karena telah ditempatinya selama bertahun tahun,” urainya. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah perbaikan, pembangunan di Sumsel dapat terhambat.

Sebab, masing-masing pihak dapat saling menyalahkan dan memicu konflik baru. Akibatnya, investor enggan menanamkan modalnya. “Padahal,dengan semakin banyak aktivitas perekonomian seperti saat ini, sangat tidak mungkin jika seseorang berani mengklaim memiliki lahan ratusan hektare secara pribadi,”tandasnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Saddat mengatakan, rentetan konflik lahan yang terjadi di Sumsel disebabkan karena tidak adanya komitmen atau keseriusan untuk menegakkan aturan. ali alfarizi
Selengkapnya...

Rabu, Juli 20, 2011

Perebutan Ruang Hidup di Lahan Sawit

KOMPAS.com - Konflik lahan sawit antara masyarakat dan perusahaan terus meletup di berbagai daerah di Sumatera Selatan. Perusahaan perkebunan dibuat pusing dengan berbagai aksi nekat masyarakat. Bagi masyarakat sendiri, hal ini adalah perebutan ruang hidup.

Ketegangan terasa ketika memasuki area afdeling I perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Betung di Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pertengahan Juni lalu. Dari balik tenda-tenda plastik oranye dan biru yang didirikan bawah pokok-pokok sawit, terlihat wajah-wajah waspada.

Di tenda utama yang didirikan di tengah jalan utama perkebunan, belasan orang dengan ketegangan yang sama telah menanti. Selama 18 hari mereka menduduki dan menghentikan aktivitas perkebunan sawit di afdeling 1 PTPN VII Unit Usaha Betung. "Kami harus waspada pada orang luar yang masuk ke sini. Siapa tahu provokator yang mau mengarahkan aksi ini ke perusakan karena kami maunya aksi damai saja," kata Joni (44), juru bicara warga.

Sebanyak 725 keluarga dari lima desa yang termasuk dalam wilayah eks-marga Teluk Kijing turut dalam pendudukan lahan tersebut. Mereka meninggalkan rumah dan berteduh di tenda-tenda selama belasan hari. Dua perempuan lanjut usia Ci Ima (70) dan Fatima (60) turut bergabung menemani putra mereka. Tuntutan mereka adalah pembagian plasma seluas 1.693 hektar.

Menurut Joni, lahan itu dulunya adalah lahan garapan masyarakat, baik untuk tanam karet ataupun mengambil hasil kayu. Tuntutan plasma telah diajukan sejak tahun 2002 itu, namun belum ada penyelesaian memuaskan. "Kami sudah berulangkali protes dan berunjukrasa ke pemerintah kabupaten. Tapi pemerintah pun hanya memberikan kata-kata dukungan dan surat imbauan. Tak pernah ada dukungan nyata," ucapnya.
Aksi pendudukan tersebut baru berakhir ketika warga menerima surat dari PTPN VII bahwa lahan plasma akan diupayakan dengan bantuan dari pemerintah daerah. Namun, surat itu pun dirasakan mengambang bagi mereka, karena belum ada kepastian kapan dan area mana yang akan digunakan sebagai lahan plasma.

Kesejahteraan rendah
Jika ditelusuri, berbagai tuntutan konflik lahan berakar pada masalah kesejahteraan. Menurut penuturan warga eks-marga Teluk Kijing, keberadaan perkebunan sawit di sekitar desa mereka tak menjamin masyarakat lebih sejahtera. Saat ini justru banyak penduduk yang menjadi buruh ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. "Kami jadi seperti orang asing di tanah kami sendiri. Ada lahan di sekitar rumah sendiri, tapi tak bisa menggarapnya," ucap Joni.

Di Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, ratusan warga dari tujuh desa pun berulangkali menggelar aksi unjukrasa kepada PT Guthrie Pecconina Indonesia (PT GPI). Kelompok masyarakat itu menu ntut pembagian lahan plasma pada lahan seluas 2.970 hektar. Menurut mereka, lahan ini merupakan lahan desa yang ditanami sawit oleh perusahaan asal Malaysia itu.
Kepala Desa Karang Anyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Ade Kurnia (42) mengatakan, sejak adanya perkebunan kelapa sawit di desanya membuat sungai dan sawah rusak. Masyarakat kehilangan pendapatan hingga separuhnya. "Sudah dua tahun ini sawah di desa kami gagal panen. Tiap musim hujan kebanjiran karena parit-parit dari perkebunan meluap ke sawah kami. Padahal, dulunya sawah itu bisa menyediakan beras untuk kebutuhan setahun," katanya.

Selain itu, warga juga tak bisa lagi mencari ikan di Sungai Lulung Bekuang, salah satu sungai terbesar di desa mereka. Hasil ikan merosot karena kondisi sungai rusak oleh perkebunan.

Perluasan masif
Seiring meningkatnya tuntutan masyarakat, perluasan kebun sawit berlangsung dengan sangat pesat. Di Sumatera Selatan, luas kebun sawit mencapai 818.248 hektar kebun sawit pada 2010. Pertumbuhan luas lahan sawit ini dua tahun cepat dari rancangan RTRW semula. Seharusnya, luas kebun sawit lebih dari 800 hektar di Sumsel tersebut baru tercapai pada tahun 2012.

Namun, kepemilikan lahan pun timpang. Sebanyak 55,56 persen kebun sawit di Sumsel merupakan kebun inti perusahaan, sebanyak 28,89 persen merupakan kebun plasma, dan hanya 15,55 persen yang merupakan kebun sawit rakyat. Sejumlah perkebunan sawit di Sumsel pun merupakan perusahaan asing sehingga banyak keuntungan sawit mengalir ke luar negeri.

Berdasar data Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan, saat ini masih ada 30 sengketa lahan perkebunan yang belum terselesaikan. Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mencatat, konflik lahan terus memanas selama dua tahun terakhir. Setidaknya telah ada belasan aksi masyarakat karena konflik lahan sejak Januari 2011. Tahun 2010, jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi sekitar 40 konflik, mulai dari unjukrasa hingga perusakan.

Aksi masyarakat pun bisa menjadi nekat. April lalu, sebanyak tujuh orang tewas dalam bentrokan masyarakat di Desa Sei Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan petugas keamanan peusahaan perkebunan sawit PT Sumber Wangi Alam.

Hal ini menunjukkan masyarakat kian frustasi karena konflik lahan ini. Keberpihakan pemerintah pun sangat minim dan masalah cenderung dibiarkan berlarut-larut. Jika dibiarkan, bisa jadi konflik kian besar dan meluas, kata D irektur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat.

Upaya perusahaan
Dari pihak perusahaan perkebunan, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara-cara negosiasi dan pemberian sumbangan ditempuh untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik. Termasuk juga membina warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Terkait lahan Teluk Kijing, Manajer Distrik Banyuasin PTPN VII M Natsir mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah pernah menawarkan lahan plasma, namun warga menolak karena menilai lokasinya terlalu jauh.
Sebagai ganti, PTPN VII memberi sumbangan ternak sapi untuk dikelola masyarakat. Pada pemberian ternak sapi itu, warga eks-marga Teluk Kijing telah menandatangani surat perjanjian untuk tidak lagi mempermasalahkan lahan tersebut. "Tapi kok berulang lagi," tuturnya.

Pemberian lahan plasma dari lahan perkebunan, ucap Natsir, tak dapat dilakukan dengan mudah karena lahan tersebut merupakan aset negara. Berdasarkan data PTPN VII, lahan yang digunakan PTPN VII sendiri berstatus lahan negara.

Lahan tersebut merupakan kawasan perkebunan Belanda yang pada masa kemerdekaan dinasionalisasi dan dikelola perkebunan negara. "Jadi memang tak pernah ada proses pembebasan lahan, karena memang tak perlu. Sebab sejak awal itu adalah lahan negara," kata Natsir menerangkan.

Anthony Yeow, Presiden Direktur PT Hindoli, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin mengatakan, tuntutan lahan dari masyarakat sungguh membuat pusing perusahaan. "Klaim-klaim lahan masyarakat di Indonesia ini memang sangat rumit. Kami selalu berusaha mengalah dalam kasus seperti ini," ucapnya.

Di awal keberadaannya, PT Hindoli juga menghadapi sejumlah tuntutan dari masyarakat. Namun, gejolak padam tatkala mas yarakat sekitar perkebunan sejahtera. Dengan sistem kemitraan, petani plasma PT Hindoli menikmati penghasilan rata-rata lebih dari Rp 2 juta sebulan. "Dari situ kami belajar, bahwa kunci menghindari konflik adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar," ujar Anthony.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan mengatakan, penataan kembali kepemilikan lahan sangat penting untuk meredam konflik. Ketimpangan kepemilikan lahan sawit diduga menjadi salah satu sumber konflik lahan. "Di karet nyaris tak pernah ada konflik karena 95 persen kebun karet dimiliki rakyat," ucapnya.
Menurut Singgih, Salah satu upaya mengurangi potensi konflik adalah dengan menggeser kepemilikan kebun sawit menjadi 60 persen kebun masyarakat dan 40 persen perusahaan. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota perlu membatasi pemberian izin pada perusahaan perkebunan dan lebih memprioritaskan masyarakat.
Pembukaan perkebunan sawit tak disangkal telah membuka dan menggerakkan ekonomi di berbagai daerah terpencil. Namun, sudah saatnya pe merintah daerah lebih bijaksana dalam memberikan izin pembukaan perkebunan ini. Jangan sampai kemajuan membuat masyarakat kian merasa terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri. Selengkapnya...

GOR Sea Games Palembang Siap Digunakan

Metrotvnews.com, Palembang: Gedung Olahraga Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan, telah selesai direnovasi dan siap digunakan untuk SEA Games XXVI pada November 2011, kata General Manager PT Griya Inti Sejahtera Insani Eddison.

"Renovasi GOR Sriwijaya sudah rampung seratus persen, dan tinggal tahapan pembersihan area sekitar gedung, seperti pembuangan sisa-sisa bangunan dan debu. Yang jelas, gedung ini siap digunakan untuk SEA Games nanti," ujar Eddison di Palembang, Ahad (17/7).

Dia menegaskan bahwa GOR itu juga bisa dipakai untuk Kejuaraan Bola Voli Asia, 23-27 Juli nanti.

"Pengerjaan gedung ini berjalan sesuai jadwal, yakni tiga bulan sebelum SEA Games sudah selesai. Sebagai pelaksana, kami juga ditargetkan menyelesaikan pembangunan gedung ini segera agar bisa digunakan untuk ajang uji coba yakni Kejuaraan Voli Asia itu," kata dia lagi.

Ia menjelaskan, setelah renovasi, GOR itu dilengkapi fasilitas berstandar internasional, mengingat sejak awal diproyeksikan sebagai tempat menggelar berbagai event berskala nasional dan internasional.

"Bahan-bahan bangunan dan fasilitas di dalam gedung semuanya berstandar internasional, termasuk tampilan gedung yang relatif mewah memang disengaja agar layak menggelar ajang-ajang kejuaraan tingkat internasional," ujar dia pula.

Insani menambahkan, bangunan GOR Sriwijaya itu berdiri di atas lahan 3 hektare sehingga memungkinkan ditambah fasilitas lain, seperti kafe, hotel, dan taman.

"Di bagian luar gedung akan dibuat juga dua lapangan bola voli yang diperuntukkan sebagai lapangan pemanasan. Meskipun hanya lapangan pemanasan, tapi tetap akan dibuat berstandar internasional, yakni dengan panjang 22 meter dan lebar 15 meter," kata dia.

Kemudian, fasilitas bagian dalam gedung juga dilengkapi ruangan VVIP, tribun VVIP, dan tribun VIP.

"Tribun VIP terdiri atas 200 tempat duduk, sedangkan tribun penonton mencapai 4.500 kursi. Di bagian sudut dilengkapi pendingin ruangan, audio visual, lampu penerangan standar stadion luar negeri, dan ruang ganti atlet serta ruang rapat," ujar dia.

GOR Sriwijaya semula bernama Gedung Olahraga Kampus Palembang dan biasa digunakan untuk menggelar pertandingan bola basket.

Namun, setelah direnovasi, gedung ini tidak hanya sebagai tempat menggelar event olahraga tapi juga bisa menggelar konser musik.

Renovasi GOR itu sempat menimbulkan reaksi pro-kontra, terutama penentangan dari para aktivis lingkungan yang menyoal alih fungsi dari sebelumnya sebagai area publik menjadi kawasan privat, sehingga tidak lagi bisa secara bebas diakses masyarakat setempat.

Kawasan di sekitar GOR Palembang ini setiap malam menjadi tempat puluhan pedagang lesehan yang menjual makanan dan minuman dan selalu ramai pembeli, terutama pada hari libur.

Pada siang hari, kawasan itu menjadi tempat berlatih/belajar mengemudi mobil warga di Palembang.

Di sekitar GOR juga terdapat pepohonan rindang dan kolam retensi.

Aktivis lingkungan, terutama dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel menolak alih fungsi GOR Kampus itu karena mencemaskan keberadaaan pepohonan dan fungsi sosial kawasan sekitarnya akan berubah setelah direnovasi.(RIZ) Selengkapnya...

Selasa, Juli 12, 2011

Hentikan Kekerasan dan Kriminalisasi terhadap Aktifis, Jurnalis dan Pejuang Rakyat di Sumsel.


PERNYATAAN SIKAP
Komite Rakyat Anti Kekerasan (KORAK)
” Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI), GMNI Palembang, Jaringan Isu Publik, DKR Sumsel, BEM FKIP UNSRI,WALHI sumsel.”


Pasal 28 Undang-Undang 1945 menegaskan Kemerdekaan akan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Namun isi undang-undang itu semakin jauh dari harapan.

Tindakan premanisme baik dengan melakukan intimidasi hingga tindakan kekerasan lainnya, yang dialami oleh pelaku pro demokrasi di Indonesia, terutama di Sumatera Selatan (Sumsel) semakin genjar terdengar. Hal ini semakin membuktikan jika waktu yang bergulir atas kehidupan Negara berdemokrasi, kebebasan atas mengeluarkan pendapat dan pemikiran di tanah air hanya berpihak pada pemilik modal dan kekuasan.

Betapa tidak, beberapa waktu yang lalu, tindakan premisme yang dilakukan sejumlah oknum yang terindikasi merupakan pengawal Gubernur Sumsel, Alex Noerdin melakukan pemukulan terhadap 2 orang Aktifis Lingkungan dari Walhi Sumsel dan SHI Sumsel, pada saat perayaan Hari Agraria Nasional tahun 2010 atau tepatnya pada tanggal 27 september 2010 Pukul 11.00 Wib di halaman GOR Palembang jalan balap Sepeda. Akibat dari pengeroyokan dan pemukulan tersebut membuat Direktur Walhi Sumsel mengalami Luka di dahi yang berdasarkan hasil Visum yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, luka tersebut akibat pukulan benda tumpul. dan satu orang lainnya (SHI Sumsel) mengalami luka memar di hampir seluruh badan karena di pukul dan di tendang oleh puluhan orang yang berdasarkan informasi yang kami dapatkan penyerang menggunakan Pakaian Sipil dan pakaian Dinas Pemda Sumsel.

Lalu dalam sepekan terakhir, telinga rakyat Sumsel kembali didengarkan atas tindakan preminisme yang dilakukan sejumlah preman atas para pekerja profesionalisme, wartawan media rakyat. Dimana sejumlah awak media (6 orang) akhirnya menjadi korban keganasan kelompok preman bersenjata. Tepatnya pada Hari Selasa, tanggal 5 Juli 2011 Pukul 21.00 WIB, di Jalan Radial Palembang, Hal ini mengakibatnya ke 6 orang awak media tersebut mengalami luka tusuk dan luka Bacok di beberapa bagian tubuh dan sempat dilarikan ke rumah Sakit. Berdasarkan beberapa keterangan dan Informasi yang di tulis oleh media cetak dan elektronik yang ada di Sumatera Selatan,  motif penyerangan ini terjadi akibat dari ketidak sukaan beberapa oknum atas pemberitaan yang dimuat media massa ini. Namun terlepas apakah Media tersebut Menyalahi aturan dalam jurnalistik ataupun perbuatan lainnya, penyelesaian melalui cara kekerasan tidaklah patut di tunjukan di praktekan di negara ini.

Dua contoh tindakan premanisme diatas hanya sebagian kecil tindakan kekerasan atas rakyat Sumsel. Karena disisi lainnya  tindak kekerasan (premanisme) dan pengkriminalisasian terhadap rakyat (Petani, Buruh dan Miskin Kota) pun terjadi diberbagai daerah yang ada di sumsel, yang semuanya berawal dari sengketa-sengketa lahan (konflik agraria) di Sumsel contoh yag dapat diambil adalah sengketa antara Masyarakat simpang bayat MUBA melawan PT. Pakerin dan PT. SPR yang melibatkan pihak Kepolisian dan akhirnya 1 orang petani dikriminalisasikan dan harus mendekam di penjara karena dituduh merampas dan merusak lahan milik perusahaan, kasus Masyarakat Sungai Sodong OKI VS PT. SWA yang akhirnya menimbulkan korban jiwa masyarakat sipil dari kedua belah pihak sebanyak 7 orang dan beberapa orang masyarakat lainnya dikriminalisasikan.selanjutnya pada tahun 2009 lalu adalah Kasus masyarakat rengas dan Lubuk Bandung Ogan Ilir VS PT.PN VII karena keterlibatan pihak kepolisian (Brimob) dalam Sengketa Lahan tersebut menyebabkan sedikitnya 5 Orang Petani mengalami Luka tembakan peluru dari senjata yang seharusnya dipakai untuk melindungi rakyat dan sedikitnya 2 orang warga dikriminalisasikan (penjara). Dan kasus Masyarakat Tanjung menang Banyuasin VS Balitbang Sembawa akibat dari konflik lahan yang tidak pernah diselesaikan (pembiaran) oleh pemerintah membuat masyarakat melakukan tindakannya sendiri,dan parahnya Kehadiran aparat di tempat tersebut (Konflik) bukannya memberi rasa aman bagi masyarakat tetapi malah menangkapi dan menakut nakuti Rakyat.

Uraian beberapa Peristiwa atau kejadian kekerasan (premanisme dan militerisme) diatas merupakan sebuah contoh bahwa, sampai saat ini Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan aparat keamanan di Propinsi ini belum dapat memberikan rasa aman dan kenyaman kepada Rakyat sebagaimana fungsinya,  padahal itu merupakan salah satu hak warga negara yang harus di berikan oleh Negara melalui Pemerintah sesuai dengan Undang Undang yang sebelumnya telah kami tuliskan diatas.  Dan disudut lainnya malah kami melihat ada proses pembiaran (menciptakan Konflik) yang berujung nantinya akan bermuara pada kekerasan (konflik Horinzontal dan pengkriminalisasian ) yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap sebuah persoalan seperti kasus terhadap Alih fungsi kawasan RTH GOR palembang menjadi Hotel dan Mall dan alih fungsi kawasan RTH halaman parkir Sriwijaya dijadikan Undermall dimana rakyat dan aktifis yang kontra terhadap alih fungsi di benturkan (adu domba) dengan sekelompok orang yang Pro terhadap Alih fungsi yang terindikasi di mobilisasi oleh oknum Pengusaha dan pemerintah yang sangat berkepentingan dengan pengalih fungsian kawasan tersebut.

Atas rekaman kasus tindakan kekerasan terhadap rakyat Indonesia terutama di Sumsel saat ini, serta beberapa uraian kasus yang kami tampilkan diatas maka kami Koalisis Rakyat Anti Kekerasan (KORAK) Menuntut :

1.                  Hentikan tindakan kekerasan terhadap Pengiat Pro Demokrasi (Aktifis, Petani, kaum miskin kota, buruh, pekerja profesi dan mahasiswa)
2.                  Hentikan Segala Bentuk Premanisme dan militerisme serta pengkriminalisasian terhadap agenda dan Perjuangan Demokratisasi Rakyat di Sumsel
3.                  Mendesak Pihak Kepolisian untuk mengusut tuntas dan menangkap Pelaku tindak kekerasan yang terjadi terhadap Aktifis Lingkungan Hidup pada 27 September 2010, dan awak Jurnalis Media Rakyat yang terjadi pada 5 juli 2011
4.                  Menuntut pada pihak eksekutif Sumsel guna menghentikan tindakan yang dapat memicu konflik horizontal yang akan memicu tindakan kekerasan terhadap rakyat dan meminta pihak kepolisian untuk tidak terlibat dalam kasus sengketa Agraria yang ada di Sumsel karena hanya akan memicu tindakan kekerasan terhadap Rakyat yang sedang mempertahankan hak nya.

Demikianlah pernyataan sikap ini, terakhir kami tidak akan henti mengutuk dan menyuarakan perlawanan atas segala tindakan premanisme dan kekerasan lainnya terhadap rakyat Indonesia.

Palembang, 12 Juli 2011
Koordinator Aksi
  
Rian syaputra
Selengkapnya...

Jumat, Juli 08, 2011

KONFLIK LAHAN: Tata Kembali Kepemilikan Kebun Sawit

PALEMBANG, - Untuk mencegah konflik berkepanjangan, kepemilikan kebun sawit perlu ditata kembali. Luas lahan inti sebaiknya hanya 40 persen dan lahan plasma mencapai 60 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit. Selain itu, izin untuk perkebunan rakyat juga perlu diprioritaskan dibandingkan swasta besar.
”Di perkebunan karet, nyaris tak pernah ada konflik lahan yang melibatkan petani dan investor karena 95 persen kebun milik rakyat,” kata Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Singgih Himawan di Palembang, Sumsel, Rabu (6/7).

Luas kebun sawit di Sumsel pada tahun 2010 mencapai 818.248 hektar. Sebanyak 55,56 persen di antaranya merupakan kebun inti, 28,89 persen kebun plasma, dan hanya 15,55 persen kebun sawit milik rakyat.

Dari data Badan Pertanahan Nasional Sumsel, ada 30 sengketa lahan yang belum terselesaikan. Lima sengketa di antaranya memicu konflik sosial, seperti unjuk rasa, pendudukan lahan perkebunan, dan bentrokan.

April lalu, tujuh orang tewas dalam bentrokan masyarakat Desa Sei Sodong, Kecamatan Ogan Komering Ilir, dengan petugas perkebunan PT Sumber Wangi Alam. ”Dua tahun terakhir, konflik lahan sawit di Sumsel memang memanas. Jumlah dan tingkat aksi masyarakat meningkat,” kata Direktur-WALHI, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Anwar Sadat.

Di Kalimatan Timur, izin usaha perkebunan sawit yang dikeluarkan hingga akhir 2010 mencapai 2,4 juta hektar, yang dikuasai 201 perusahaan swasta. Jumlah ini lebih luas dua kali lipat dari target semula yang seluas 1 juta hektar.

Namun, sejauh ini belum ada pengaturan dan pembatasan izin usaha sawit di Kaltim. ”Kini sawit sedang berkembang, kenapa harus dibatasi,” ujar Kepala Bidang Usaha Dinas Perkebunan Kaltim Etnawati Usman, Rabu. Yang berwenang memberikan izin adalah pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah provinsi hanya memberikan rekomendasi.

Sejauh ini, belum ada izin baru karena kabupaten dan kota masih menunggu pengesahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang baru. ”Kabupaten dan kota tidak akan berani memberikan izin sebelum RTRW baru itu disahkan,” kata Etnawati.Sekitar 991.010 hektar sudah jadi hak guna usaha. Lahan yang sudah ditanam 724.842 hektar.(IRE/ILO)
Selengkapnya...