WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Juli 22, 2011

Penjajahan (kembali) oleh RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan yang saat ini tengah di godok oleh DPR RI dan Pemerintah di Senayan kembali mendapat kritik dari berbagai pihak seperti yang terungkap di diskusi Publik yang bertema “ RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan ; Jalan Legal Perampasan Tanah Rakyat?”, bertempat di Aula FH Unsri Palembang.
Acara ini diselenggarakan oleh WALHI sumsel bekerjasama dengan FH Unsri dan Koalisi Rakyat Tolak Perampasan (KARAM ) Tanah yang di koordinatori oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Nasional.

Direktur Walhi Sumsel, Anwar sadat pada saat pidato pembukaan acara mengatakan bahwa, dengan disahkannya UU ini nantinya akan membuat banyak tanah rakyat tergusur dan dirampas secara paksa oleh pemerintah maupun Swasta, hanya dengan satu kata yaitu Pembangunan, karena tanah tanah yang diakui oleh pemerintah adalah tanah tanah yang memiliki sertifikat padahal kita tahu bahwa banyak tanah  rakyat misalnya di sumsel yang tidak memiliki sertifikat tetapi secara sah adalah miliknya dan diakui oleh seluruh masyarakat.

“Jika RUU disahkan maka sama dengan rezim saat ini, membawa kita kembali ke zaman sebelum merdeka atau zaman penjajahan” ujar Sadat.

Narasumber dalam diskusi ini adalah Eddy Ganefo (Bendahara PKB Sumsel/Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia), Zaenal Mutaqin, Dr. Firman Muntaqo, S.H.M.Hum (Dosen Fakultas Hukum Unsri).

Dalam paparannya Edy ganefo mengatakan bahwa RUU ini hanya akan memperluas konflik pertanahan yang terjadi di Indonesia, khususnya sumsel, baik itu masyarakat dengan swasta ataupun dengan pemerintah itu sendiri, dan jika ini terjadi maka artinya semua pihak akan dirugikan. “seharusnya peran pemerintah bukanlah membuat RUU seperti ini, tetapi harusnya berperan aktif sebagai mediator menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan pihak swasta.” Kata eddy.
Zaenal Mutaqin yang merupakan Staf divisi Advokasi KPA nasional dalam materi yang disampaikan nya mengatakan bahwa, RUU ini adalah bentuk sesat pikir dan dangkalnya pemerintah dalam melihat persoalan pembangunan dan pertanahan (agrarian) di Indonesia. Contoh nyatanya dalam RUU ini isinya tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum padahal ini adalah substansi dari RUU ini dibuat. dan idealnya kriteria kepentingan umum dalam pembangunan itu sendiri adalah manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen social serta, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.
“Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi” ungkap zaenal .
Sementara itu, Dr. Firman Muntaqo, S.H.M.Hum menjelaskan bahwa yang dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan hak masyarakat atas tanah, bukan sebaliknya pengoptimalan hak tanah atas masyarakat. “Dalam RUU ini Obyek penggantian lebih diarahkan kepada kerugian yang bersifat materi yang lebih berdasarkan dokumen, belum mencakup aspek inmateri artinya ini bentuk pengkerdilan terhadap fungsi Tanah bagi manusia (Rakyat).” kata Dosen FH Unsri ini.
Diskusi ini berlangsung hangat setiap peserta yang merupakan perwakilan dari Akademisi, mahasiswa, Petani, Miskin Kota, praktisi hukum dan birokrat yang berjumlah sekitar 150 orang secara antusias bertanya dan memberikan pendapatnya masing masing, yang intinya mayoritas peserta meminta pemerintah melakukan moratorium pembahasan RUU Pangadaan tanah untuk pembangunan, sebelum penataan struktur agraria dilakukan seperti tercantum dalam UUPA 1960.
Acara ini diakhiri dengan pemberian cenderamata oleh Walhi sumsel kepada Nara sumber sebagai ucapan terima kasih atas partisipasi mereka dalam acara ini. (Hadi J)



Artikel Terkait:

0 komentar: