WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Desember 19, 2012

Anggaran Tanam Pohon Rp 2 Triliun Setahun

PALEMBANG,— Anggaran menanam pohon di Kementerian Kehutanan mencapai Rp 2 triliun pada 2012 ini. Kementerian Kehutanan menargetkan penanaman mencapai lebih dari 1 miliar pohon tahun ini.
Hal ini dikatakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat penanaman pohon di taman wisata Punti Kayu, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/12/2012). "Tahun 2012 anggaran Rp 2 triliun. Tahun 2011 dan 2010 kurang lebih sama," katanya.

Zulkifli mengklaim penanaman pohon selama tiga tahun terakhir oleh instansi pemerintah saja telah menghasilkan sekitar 3 miliar pohon hidup. Penanaman dilakukan sebagai langkah penghijauan.

Lebih lanjut, Zulkifli mengatakan, moratorium (penghentian pemberian izin) menebang di hutan alam yang akan berakhir pada 2013 mendatang rencananya akan diperpanjang. Batas pemberlakuan belum dipastikan.
Di tengah masifnya program penghijauan oleh Kementerian Kehutanan, kerusakan hutan masih terus dilaporkan terjadi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel menyebutkan saat ini hutan di Sumsel yang masih dalam kondisi baik tinggal berkisar 21 persen atau sekitar 800.000 hektar (ha) dari 3,7 juta ha total luasan hutan di Sumsel. "Sekitar 1,4 juta ha lainnya dikuasai perusahaan dalam bentuk hutan tanaman industri," kata aktivis Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko.

Walhi Sumsel juga mengkritik kebijakan Kementerian Kehutanan yang memperbolehkan kabupaten dan kota mengajukan usulan pelepasan kawasan hutan. Hal ini dikhawatirkan akan kian menggerogoti hutan Indonesia.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2012/12/04/18385830/Anggaran.Tanam.Pohon.Rp.2.Triliun.Setahun
Selengkapnya...

Selasa, Desember 18, 2012

Menhut proud Exploitation of Natural Indonesia

PALEMBANG, – Forestry Minister Zulkifli Hasan proud of the successful exploitation of nature in Indonesia Indonesia as a country making coconut oil, gold, coal, and lead the world.

“Indonesia is the largest palm oil producer in the world and number one exporter of gold in the world, is also the largest exporter of coal and tin in the world, he said in closing XVII Congress NU Student Association and Student Association XVI Congress NU Women in Palembang , South Sumatra, on Tuesday (4/12).

According to Zulkifli, Indonesia’s economic growth is now very good. The increase occurred in investment into Indonesia and the Indonesian people’s income increased several-fold compared to 1998.

On the other hand, graduates of Master of Religious Education was also reminded students that come to not only rely on natural resources. Students need to continue to improve their competencies to remain competitive with foreign countries.

On the other hand, organizations in South Sumatra environmentalists criticize the current exploitation of natural forests continues to undermine Indonesia. Indonesian Environmental Forum Sumsel record, from 3.7 million hectares of South Sumatra, lived about 800 acres in good condition.

“The policy of the Ministry of Forestry is supposed to be to protect the forest,” said one activist Hadi Jatmiko Sumatra Walhi.

tin mining in Bangka and Billiton are also frequent protests over the high environmental damage occurs.

sumber : http://theaseantimes.com/4666/menhut-proud-exploitation-of-natural-indonesia/ 
Selengkapnya...

Kamis, Desember 13, 2012

Pengesahan Amdal OKI Pulp Ditunda

Pengesahan analisis mengenai dampak lingkungan unutk proyek pabrik bubur kertas berkapasitas 2 juta ton di Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumsel ditunda karena kajiannya dianggap tidak mendalam.

Demikian disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumses yang selalu mengawal rencana pembangunan pabrik milik PT OKI Pulp and Mills itu kepada wartawan, Kamis (6/12).

Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mengatakan sebetulnya amdal untuk pabrik tersebut sudah ada dalam tahap pengesahan di Komisi Amdal Sumsel, tetapi Walhi dan beberapa koalisi masyarakat Sumsel menilai kajian amdal terseut tdiak mendalam terutama berkaitan dengan perhitungan pasokan yang bersumber dari hutan tanaman industri (HTI) dengan kapasitas pabrik.

“Pembuatan pabrik ini sangat terlihat dipaksakan. Pengesahan amdalnya ditunda sampai 1 bulan ke depan karena tidak mendalam dan tidak ada analisis terkait hutan-hutan di propinsi lain,” katanya.

Hadi mengatakan pihaknya berharap proyek senilai Rp 23 triliun itu tidak dilanjutkan karena berpotensi mengancam keselamatan hutan di Sumsel dan provinsi lain di Pulau Sumatera.

Pemkab OKI sendiri mengabarkan bahwa target ground breaking untuk pabrik tersebut pada Januari 2013. Adapun, tapak pabrik bubur kertas itu 280 hektare.

Dia memaparkan untuk memproduksi 2 juta ton kayu per tahun  yang dihasilkan dari lahan seluas 2 juta ha per tahun. Pabrik ini nantinya memproduksi kertas, tisu dan beberapa produk olahan bubur kertas lainnya.
Perusahaan sendiri sudah mengantongi izin prinsip untuk industri bubur kertas dalam rencana penanaman modal asing di Sumsel dengan Nomor 361/1/IP/I/PMA/2012 pada 5 Juni 2012.

Kebutuhan pasokan kayu yang besar tersebut, menurut Walhi, tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik grup Sinar Mas yang ada di sekitar pabrik.

“Dari 19 perusahaan pemegang HTI, 7 diantaranya dikuasai oleh grup Sinar Mas dengan luasan sekitar 700.000 ha. Artinya, pabrik itu masih kekurangan pasokan seluas 1,3 juta ha lagi. Hal inilah yang kami takutkan bisa menghabisi hutan Sumsel,” jelasnya.

Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Sigit Wibowo meyakinkan bahwa jumlah tanaman yang diproduksi oleh sejumlah HTI milik Sinar Mas tersebut cukup untuk memasok bahan baku pabrik.

“Diharapkan pabrik kertas yang di OKI akan disuplai dari tanaman HTI Sinar Mas tersebut cukup untuk memasok bahan baku pabrik.

Dia mengatakan selama ini pemanenan di HTI tersebut belum dilakukan secara luas. Adapun masa tanam untuk bahan baku bubur kertas memakan waktu selama 5 -6 tahun.

Data Dinas Kehutanan Sumsel menunjukkan luas kawasan hutan di provinsi itu mencapai 3.670.662 ha, sementara luasan areal izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTI seluas 1.375.312 ha.

Luas efektif tanaman pkok HTI sekitar 962.718 ha. Saat ini persediaan tegakan tanaman HTI sampai dengan September 2012 mencapai 481.467 ha.
(sumber: Bisnis Indonesia)
Selengkapnya...

Jumat, Desember 07, 2012

2014, Produksi Padi di OKI DiprediksiTerancam Menurun

PALEMBANG, - Terkait alih fungsi lahan pertanian warga desa di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menjadi lahan perkebunan sawit milik PT Selatan Agro Makmur Lestari (PT. SAML)  akan menimbulkan ancaman penurunan terhadap produksi padi di OKI, dikarenakan lahan dengan luas 8000 Hektare (Ha) yang berada di pinggiran sungai tersebut akan menjadi lahan inti dari perkebunan sawit tersebut. 
 
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB), Syaiful Anwar, saat melakukan konfrensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel), Selasa (4/12/2012). 

Menurutnya, karena lahan yang biasa digunakan untuk bertani sudah  di gusur oleh PT. SAML, maka dapat di pastikan tahun depan akan terjadi penurunan drastis produksi padi di Kabupatena OKI.

“Dari 8000 Ha lahan pertanian yang berada di pinggiran sungai tersebut, saat ini hanya tersisa 1200 yang berada di desa Nusantara, sekitar 6200 Ha sudah dikuasi olah PT SAML untuk di jadikan lahan perkebunan sawit, karena itulah kami sebagai warga desa Nusantara akan tetap mempertahankan lahan 1200 Ha ini menjadi lahan pertanian bagi para petani,” terang Syaiful Anwar.

Lanjut Syaiful Anwar menjelaskan, dalam satu hektarnya lahan pertanian tersebut dapat  menghasilkan 4 ton beras dikali 8000 Ha. Maka dari itu sangat disayangkan lahan tersebut harus di alih fungsikan menjadi lahan perkebunan sawit.

“Kedepannya, OKI akan mengalami kerugian besar dalam penghasil beras, karena lahan yang masih berpotensi untuk menghasilkan beras atau padi hanya 1200 Ha saja, oleh karena itulah kami FPNB tidak sepakat dengan penghargaan yang di terima oleh Bupati OKI terkait peningkatan produksi padi di Kabupaten OKI, karena pada kenyataannya semuanya terbalik lahan yang berpotensi untuk meningkatkan produksi padi sudah di jadikan lahan perkebunan sawit,” katanya.

Sementara itu, Staf Pengorganisasian Rakyat Walhi Sumsel, Dedek Chaniago, mengatakan perubahan alih fungsi lahan pertanian di Air Sugihan menjadi lahan perkebunan sawit tersebut adalah bentuk penindasan terhadap warga desa yang berada di sekitar, karena sejak tahun 1995 warga telah mengelolah lahan tersebut menjadi lahan pertanian untuk meningkatkan hasil produksi padi di Kabupaten OKI, tetapi kenapa saat ini dengan seenaknya pemerintah daerah menjadikan lahan tersebut menjadi lahan perkebunan sawit.

“Lahan pertanian tersebut diolah sejak awal oleh para petani pada tahun 2005 untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten OKI, perubahan alih funsi lahan tersebut menurut saya bentuk penindasan terhadap warga desa disana, karena lahan tersebut merupkan sebagai mata pencaraian bagi warga desa Air Sugihan, belum lagi bahwa berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia mengatakan bahwa ijin Hak Guna Usaha (HGU) PT. SAML tersebut cacat hukum karena warga desa menolak atas perubahan lahan tersebut,” tutup Dedek Chaniago. 

Sumber : beritanda.com
Selengkapnya...

Masyarakat Tolak HGU Perusahaan

Warga Desa Nusantara Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menolak Hak Guna Usaha (HGU) operasional PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML). Penolakan tersebut beralasan, karena di atas HGU perusahaan milik lahan warga seluas 900 hektar.
Perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit itu, akan mengembangkan perkebunan di areal rawa-rawa. Namun, dari hasil Tim terpadu penyelesaian sengketa lahan dari Pemerintah Daerah (Pemda) OKI, menyebutkan bahwa, masyarakat menolak pihak perusahan untuk melakukan penanaman di sekitar 900 hektar lahan di atas HGU perusahaan, karena masih areal perkebunan masyarakat.
Terungkapnya, permasalahan warga ini, berdasarkan pertemuan pihak  menajeman PT SAML dengan perwakilan warga Desa Nusantara, di ruang rapat Bende seguguk (BS) I, Kamis (4/10/2012).
Menurut Perwakilan warga Desa Nusantara, Sukirman pihaknya mempertanyakan bagaimana HGU tersebut bisa keluar, padahal saat izin lokasi turun pada tahun 2005 lalu, terjadi penolakan dari masyarakat.
”Sesuai dalam izin lokasi tersebut, bahwa lahan yang selama ini menjadi tempat mata pencarian kami masuk didalamnya, saat sehingga ada protes dari masyarakat,” kata Sukiman dihadapan Tim penyelesaian sengketa lahan.
Masih kata Sukiman, jika izin lokasi keluar dan di lapangan terjadi penolakan dari masyarakat setempat, seharusnya HGU tidak bisa dikeluarkan, kecuali tidak ada lagi masalah di lapangan. ”Tetapi kenyataanya pada tahun 2007 lalu, alat berat dari perusahaan sudah datang dan mulai bekerja, kemudiatan tahun 2009 masyarakat terkejut ternyata HGU PT SAML sudah keluar,” terangnya.
Dengan keluarnya HGU tersebut, menurut Sukirman warga Desa  Nusantara akan kehilangan lahan seluas 900 ha, yang menjadi mata pencarian mereka selama ini. ”Ya, kami tetap menolak jika operasional PT  SAML yang nantinya menguasai lahan yag selama ini kami garap untuk ditanami padi, dengan demikian masyarakat terancam kehilangan mata pencarian,” ujarnya.
Permasalahan ini, sudah 7 tahun, menurut tim masih dalam proses penyelesaian, tapi hingga sekarang belum ada titik temu. ”Saya berharap kepada tim terpadu penyelesaian tapal batas yang di bentuk oleh Bupati OKI, agar segera dapat memfasilitasi sehingga permasalahan ini bisa selesai dengan baik tanpa ada yang dirugikan,” harap warga.
Kabag Pertanahan OKI, Alamsyah bahwa, keluarnya HGU tersebut sudah sesuai kondisi yang dilapangan. ”Kami punya kopian hasil penilaian tim dari BPN yang turun langsung ke lapangan sehingga HGU bisa di keluarkan, berdasarkan hasil Tim yang kelapangan, ternyata lahan yang di  garap masyarakat itu bukan punya masyarakat, masyarakat sudah keluar dari lahan garapan transmigrasi,” sebut Alamsyah.
Sementara itu, perwakilan manajemen PT SAML, Arifin walaupun sudah ada HGU pihaknya tetap memperhatikan masyarakat dan tidak sembarang menggusur lahan masyarakat. ”Alat barat kami sudah ada di lokasi, tetapi  hingga sekarang alat berat itu belum kami operasikan, karena kami tidak  ingin masyarakat dirugikan,” sebut Arifin.
Asisten I Setda OKI, Antonius Leonardo yang juga sebagai wakil ketua Tim terpadu penyelesaian sengketa lahan di OKI mengatakan, bahwa dari pertemuan tersebut sudah mengerucut hampir ada titik temu. ”Kita tidak menginginkan hal ini dibawa kejalur hukum, nanti kasian dengan masyarakat, kami berharap ada pertemuan antara perusahaan dengan masyarakat, jika ada solusi kita akan fasilitasi lagi, kami akan selalu  berada di tengah-tengah tidak memihak pada siapapun,” tandasnya.

Selengkapnya...

Selasa, Desember 04, 2012

Sejumlah Pemerhati LH Indonesia Tolak Pembangunan Pabrik PT OKI Pulp and Paper Mills

-Ancam kelestarian hutan dan picu konflik pertanahan- 
 
PALEMBANG, BeritAnda – Rencana pembanguna pabrik kertas PT. OKI Pulp  and Paper Mills, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), tepatnya di Desa Jadi Mulya, Kecamatan Air Sugihan dengan luas mencapai 28.000 Hektare (Ha), membuat sejumlah lembaga pemerhati dan lingkungan hidup Indonesia menyatakan secara tegas menolak pembangunan pabrik itu, karena dinilai akan membawa ancaman bagi hutan yang ada di Indonesia serta dampak buruk bagi kemaslahatan rakyat.
Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat (PPOR) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel, Hadi Jadi Jatmiko menilai, pembangunan tersebut jelas akan mengancam pelestarian hutan alam yang tersisa  di Sumsel. Oleh sebab itulah kami lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Rakyat (KMSPHR), menolak keras pembangunan tersebut yang saat ini sedang dalam proses Analisi Dampak Lingkungan (AMDAL).
“KMSPHR yang terdiri dari Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI) sepakat secara bersama-sama menolak keras pembangunan PT. OKI Pulp and Paper Mills tersebut, karena pembangunan itu hanya akan membawa dampak yang  mudhorat (keburukan -red) bagi masyarakat ataupun hutan yang ada di Sumsel ini,” ujar Hadi Jatmiko saat diwawancarai BeritAnda.com di Kantor Walhi Sumsel, Senin (3/12/2012).
Hadi menjelaskan, bahwa saat ini Sumsel memiliki hutan seluas 3,7 Juta hektar, tetapi dari total luas yang ada, hanya 800 ribu ha yang kondisinya masih sangat baik. “Yang mengenaskan, sebagian  kerusakan lahan hutan itu disebabkan oleh pembangunan Hutan Tanam Industri (HTI),” ungkapnya.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, lanjutnya, luas HTI yang ada pada saat ini berkisar 1,375,312 ha yang penguasaan atau pengelolaannya dikuasi oleh 19 perusahaan. “Sedangkan dari jumlah luas lahan yang dikuasi tersebut, hanya 944,205 ha yang efektif untuk tanaman pokok, sisanya justru mubazir,” paparnya.
Hadi menegaskan, penolakan kami terhadap pembangunan PT OKI Pulp And Paper Mills tersebut bukanlah tidak beralasan, karena kami menilai bahwa luas lahan hutan di Sumsel saat ini yang masih dalam kondisi baik hanya berkisar 800 ribu Ha. “Bila luas ini kemudian digunakan untuk pembangunan pabrik kertas, maka ancaman kerusakan hutan yang ada di Indonesia akan semakin bertambah dan sudah pasti akan menambah kesengsaraan rakyat terutama yang berada di sekitarnya,” terangnya.
Hadi menambahkan, bahwa dalam dokumen AMDAL yang saat ini sedang dibahas dan akan ditetapkan oleh Komisi AMDALProvinsi Sumsel menyebutkan bahwa, pabrik penpengelolaan Pulp Mills ini nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.
”Selain itu, juga di takutkan nantinya  pembangunan pabrik ini juga akan semakin meningkatkan konflik-konflik agraria di Sumsel yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan,” katanya.
Yang jelas, tambahnya, harapan kami kepada pemerintah, khusus Pemprov Sumsel untuk tidak meneruskan rencana pembangunan perusahaan tersebut termasuk mengevaluasi ijin-ijih HTI selama ini  di Sumsel
“Karena selama ini diketahui mereka ternyata juga berkontribusi besar terhadap kerusakan hutan dan mengancam rakyat yang berada di Sumsel,”  pungkas Hadi Jatmiko. (Iir)

Selengkapnya...

Jumat, November 30, 2012

Walhi Sumsel: Hentikan Alih Fungsi Rawa

Alih fungsi rawa harus segera dihentikan agar masalah banjir tidak semakin parah dan menimbulkan kerugian besar atau masalah sosial bagi warga.
Jakarta, Aktual.co — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta Pemerintah Kota Palembang untuk menghentikan pemberian izin alih fungsi rawa, guna mencegah terjadinya banjir pada setiap musim hujan.

Berdasarkan data dan penelitian yang dilakukan aktivis lingkungan, banjir yang melanda sejumlah kawasan permukiman penduduk dan beberapa ruas jalan di kota ini pada setiap hujan lebat turun lebih dari satu jam disebabkan rawa yang biasa menjadi daerah resapan air ditimbun dan dibangun gedung pertokoan atau kantor, kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat di Palembang, Kamis (29/11).

Menurut dia, melihat kondisi tersebut, alih fungsi rawa harus segera dihentikan agar masalah banjir tidak semakin parah dan menimbulkan kerugian besar atau masalah sosial bagi warga kota ini.

Selain menghentikan alih fungsi rawa, Pemerintah Kota Palembang juga harus mencari solusi efektif untuk memecahkan masalah banjir yang selalu mengancam warga kota ini pada setiap turun hujan lebat, kata dia.

Dia menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir, yakni terus berkurangnya luasan rawa, tidak efektifnya drainase akibat pembangunan menutup atau mempersempit saluran air itu, berbagai kegiatan usaha tidak memiliki izin lingkungan hidup.

Selain itu kurangnya kesadaran warga kota membuang sampah pada tempatnya terbukti hingga kini masih banyak warga membuang sampah sembarangan ke sungai, selokan atau drainase, serta masih minimnya tempat pembuangan sampah yang memadai.

Jika pemerintah kota ini membuat solusi dengan memperhatikan faktor penyebab terjadinya banjir tersebut, permasalahan yang selalu dikhawatirkan warga terutama yang berada di daerah rawan banjir ke depan tidak akan terjadi lagi, kata Direktur Eksekutif Walhi itu menambahkan.

Sementara sebelumnya Sekda Kota Palembang Husni Thamrin mengatakan, permasalahan timbulnya genangan air pada setiap turun hujan lebat menjadi perhatian pihaknya dan telah banyak program pengendalian banjir dilakukan di kota ini, termasuk pengaturan pemanfaatan rawa secara selektif.

Beberapa program pengendalian banjir antara lain normalisasi sungai, membangunan kolam retensi, memasang pompa di kawasan rawan banjir serta program baru lainnya yang sekarang ini terus disiapkan dan dikembangkan.

Selain melalui program pengendalian banjir yang telah jalan dan dalam pengembangan, diharapkan pula partisipasi masyarakat menjaga kelancaran saluran air di sekitar lingkungan tempat tinggal dan aktivitasnya dari sampah atau benda lainnya yang dapat menyumbat aliran air itu, ujar Sekda.
(Ant)
Selengkapnya...

Anwar Saddat: Sampah Rumah Tangga Harus Diperhatikan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Anwar Saddat, mengatakan, kondisi lingkungan kota Palembang perlu perhatian khusus. Terutama banjir yang terjadi di beberapa titik.

"Kita harapkan Walhi Sumsel bisa memberikan masukan bagi pembuat kebijakan pembangunan kota. Politik ekologi perlu menjadi bagian dari cara berpikir pembuat kebijakan bagi walikota maupun gubernur," kata Anwar Saddat di sela-sela diskusi soal Bencana Banjir, Solusi Pemecahannya?

Menurut Anwar, arah pembangunan kota memerlukan sebuah acuan menghadapi perkembangan ke depan.

Ledakan penduduk harus menjadi bagian dari perhatian setiap rancangan kebijakan.

Terkait dengan bisnis dan ekonomi, juga harus memperhatikan kaedah lingkungan.

Jangan sampai seperti yang dialami Jakarta, sampai masalah banjir menjadi kompleks dan penanganan semakin rumit.

"Misalnya soal pengelolaan sampah rumah tangga, perlu penangan khusus. Jangan sampai ini menjadi persoalan ke depan. Perlu ada perangkat pengaturan agar sampah rumah tangga tidak menjadi persoalan," kata Anwar Saddat.

Sumber : Sripoku.com
Selengkapnya...

Rabu, November 28, 2012

Pabrik Pulp Mills Raksasa di Sumsel Bahayakan Hutan Alam Sekitar

SUMATERA Selatan (Sumsel) akan kehadiran dua pabrik raksasa pulp mills di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI). Pabrik di Desa Jadi Mulya, Kacamatan Air Sugihan, OKI, PT OKI Pulp and Paper, diklaim terbesar di dunia. Dengan luas 2.800 hektar, 200 hektar untuk dermaga. Pabrik dengan 100 persen saham dari investor Hong Kong ini, akan produksi cip, kertas, tisu, dan lain-lain.

Di benak pemerintah daerah tampaknya hanya keindahan investasi triliunan tanpa memikirkan dampak bagi alam dan lingkungan, termasuk darimana pasokan bahan baku bisa diperoleh. Kondisi ini bisa menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan alam di daerah sekitar.  “Pemerintah OKI merencanakan membuka HTI 585 ribu hektar dengan target penanaman selesai 2015,” kata Alibudin, Kepala Dinas Kehutanan OKI,  seperti dikutip dari Sripoku.com, Kamis(2/8/2012).

Pabrik kertas ini, terbesar di dunia berkapasitas 2,6 juta ton per tahun dan akan launching 2013 dengan investasi sekitar Rp27 triliun. “Dengan pabrik ini saya yakin, masyarakat OKI tidak ada lagi yang tidak kerja.”

Rencana pembangunan pabril pulp ini pun mendapat kritikan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Rakyat. Dalam pernyataan sikap mereka Minggu (25/11/12) menuntut,  menghentikan rencana pembangunan pabrik PT. OKI Pulp dan Paper Mills di Kabupaten OKI dan pabrik di kabupaten lain di Sumatera Selatan (Sumsel).  “Karena hanya akan mengancam kelestarian hutan dan keselamatan rakyat khusus di Sumsel,” sebut pernyataan itu. Koalisi juga meminta, pemerintah menghentikan ekspansi perizinan hutan tanaman industri (HTI) di Sumsel karena telah  berkontribusi terhadap kerusakan hutan alam di sana.

Sumsel, memiliki hutan seluas 3,7 juta hektar. Saat ini  kawasan hutan berkondisi baik sekitar 800 ribu hektar. Hutan rusak salah satu oleh HTI. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, luas HTI di daerah itu 1,375,312 hektar dikuasai 19 perusahaan.  Dari luasan ini hanya 944,205 hektar efektif untuk tanaman pokok.

Pembangunan pabrik pulp ini, sesuai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) yang sedang dibahas, yang akan ditetapkan Komisi Amdal Sumsel menyebutkan, pabrik akan memproduksi pulp 2,6 juta ton per tahun. Kebutuhan bahan baku kayu sedikitnya 8,6 juta ton per tahun.

Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan,    kebutuhan kayu yang sangat besar ini berdasarkan analisis koalisi tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas di sekitar pabrik itu.  Termasuk tujuh perusahaan milik Sinar Mas Grup di Sumsel baik di Kabupaten Musi Banyuasin, OKI dan Banyuasin seluas 787.955 hektar, dengan asumsi 40 persen atau 472.773 hektar luas lahan produktif ditanami akasia.

“Menurut perhitungan yang kami lakukan, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu per tahun pabrik ini membutuhkan lahan seluas 2, 064 juta hektar,” ujar dia.


Dampaknya, akan terjadi ekspansi izin HTI besar besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel yang masih tersisa. Bahkan, tak menutup kemungkinan ekspansi ini merambah ke provinsi lain, yang sebenarnya mengalami kekurangan pasokan kayu untuk pabrik mereka. Contoh di Riau, dengan HTI lebih luas dari Sumsel saja, pabrik pulp and paper PT. IKPP (Sinar Mas Group) dan PT. RAPP (APRIL Group) dengan kapasitas masing masing 2 juta ton per tahun masih kekurangan pasokan kayu. “Hingga mengambil pasokan kayu dari hutan alam Riau.”


Tak hanya itu. Pembangunan pabrik ini diperkirakan makin meningkatkan konflik agraria di Sumsel yang setiap tahun mengalami peningkatan. Saat ini saja, pembangunan HTI anak usaha Sinar Mas Group tidak pernah lepas dari konflik antara masyarakat dengan perusahaan. “Seperti konflik lahan masyarakat Desa Riding versus PT. Bumi Mekar Hijau seluas 10.000 hektar, masyarakat Desa Gajah mati vs PT. Bumi Mekar Hijau dengan luas 4.000 hektar, konflik masyarakat Sinar Harapan Vs PT. Bumi Persada Permai seluas 500 hektar,” kata Deddy Permana  dari Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel. Belum lagi kasus perusakan hutan alam Merang Kepayang oleh PT. Rimba Hutani Mas (RHM) di Musi Banyuasin, sampai saat ini masih terus disuarakan Walhi Sumsel dan WBH Palembang.

Koalisi masyarakat ini terdiri dari Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, dan Mahasiswa Hijau Indonesia.
Selengkapnya...

The Building of PT. OKI Pulp and Paper Mills; Threat to the Indonesian Forest and the People’s Safety.


Logyark PT. Rimba Hutani Mas di Musi Banyuasin
South Sumatra has 3.7 million hectares of forest, and right now, the part in good condition is only approximately 800 thousand hectares. One of the Forest Damages is caused by the development of Industrial Plant Forest (HTI). Based on the data of South Sumatra Forestry Service in 2012, the width of HTI in South Sumatra is 1,375,312 hectares that is controlled by 19 Companies. From which, only 944,205 hectares are effective for the primary plant.

Apart from the previously mentioned issue, this year, the Government of South Sumatra is planning to build 2 Pulp and Paper Mills Factories in Musi Banyuasin Regency and Ogan Komering Ilir Regency.

One of the factories that will be built is PT. OKI PULP and PAPER MILLS, which is a company with 100 percent foreign capital (The letter of BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 concerning the license of Capital Investment Principle of PT.OKI Pulp and Paper Mills). According to the plan, it will be built in Jadi Mulya Village, Air Sugihan District, Ogan Komering Ilir Regency with the width reaching 2,800 hectares, 200 hectares of which is for the harbor.

In the document of Environmental Impact Analysis (AMDAL), which is being discussed and will be stipulated by Amdal Commission of South Sumatra Province, it is said that this Pulp Mills management factory will produce pulp as much as 2,000,000 ton/year, with the need of raw material reaching at least 8.6 million tons/year.

The huge need of timber supply based on our analysis will not be able to be met by HTI around the factory, owned by Sinar Mas, including by 7 companies owned by SINAR MAS Group in South Sumatra (MUBA, OKI, and Banyuasin) with the width reaching 787,955 hectares. The assumption is only 40 % or 472,773 hectares of the land is productive to be planted by acacia. According to the calculation that we did, for the need of 8.6 million of timber/year, this factory needs 2,064,000 ha of land.[1]

The impact will be license expansion of HTI massively and the damage of the remaining South Sumatra Natural Forest. There is a chance that this expansion will spread to another provinces, which actually also experienced lack of timber supply to meet their factory need, for example in Riau Province with the condition of HTI, which is wider from South Sumatra, the Pulp and Paper Factory of PT. IKPP (sinar Mas group) and PT. RAPP (APRIL Group) with the capacity of 2,000,000 tons/year still need timber supply that they obtain timber supply from Riau natural forest.

On the other hand, the building of this factory is also forecasted to increase agrarian conflict in South Sumatra, which continually experiences an increase each year. While in fact, until now, the building of HTI by the subsidiary of Sinar Mas Group is never free of conflict between the society and the company, similar to the land conflict between the society of Riding Village vs. PT. Bumi Mekar Hijau concerning 10,000 hectares of land, the society conflict of Gajah Mati Village vs. PT. Bumi Mekar Hijau concerning 4,000 hectares of land, the society conflict of Gajah Mati Village vs. PT. Bumi Persada Permai concerning 500 hectares of land. Apart from the agrarian conflict between the society and the company, there is also the case of the natural forest destruction of Merang Kepayang by PT. Rimba Hutani Mas (RHM), which is situated in Musi Banyuasin. Until now, it is still voiced by Walhi Sumsel and WBH Palembang.

Based on some things that we have elaborated previously, we, from the Coalition of Civil Society for Forest Rescue and People’s Safety stated to the government of South Sumatra and OKI Regency to:

  1. Stop the building of PT. OKI Pulp and Paper Mills in Ogan Komering Ilir Regency and the Pulp and Paper Mills in the other Regencies in South Sumatra Province. The reason is that it will threaten the preservation of the forest and the safety of the society, especially in South Sumatra.
  2. Stop the expansion of HTI license in South Sumatera, because it has contributed to the Damage of the Natural Forest in South Sumatra.


Palembang, November 2012
THE COALITION OF THE CIVIL SOCIETY FOR FOREST RESCUE AND PEOPLE’S SAFETY
Dto,

(Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia)




Contact Person:
Anwar Sadat Walhi Sumsel       : 0812 785 5725










[1] If 1 tons of pulp needs 4.5 m cubic of timber, to fulfill 2,000,000 tons of pulp each year, 9,000,000 cubic of timber is needed. The company calculated 8,600,000 meter cubic. If 1 hectare of land produces 25 cubic of timber, to obtain 8,600,000 cubic of raw material, 344,000 ha land/year is needed, which means it has to be cut down/harvested. With the cycle of acacia that reach 6 years, to guarantee that the company does not lack the raw material, a minimum of 344,000 ha x 6 years = 2,064,000 ha of land has to be available.

Selengkapnya...

Senin, November 26, 2012

WALHI Sumsel Desak Pangdam II Sriwijaya Tarik Pasukan dari Rengas

Terkait penggusuran lahan di Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir (OI) oleh anggotan TNI AD, Jumat (23/11/2012) lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel) meminta Pangdam II Sriwijaya untuk segera menarik pasukannya dari Rengas.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat menilai, keberadaan TNI disana (Rengas) sangatlah tidak relevan, karena seperti yang kita tahu, tugas TNI adalah pengamanan negara dan menjaga asset negara. Jadi keberadaan TNI AD di Desa Rengas tersebut masih menjadi pertanyaan.
“Memang saat ini masih ada konflik sengketa antara warga Rengas dan pihak PTPN VII, akan tetapi tidak terjadi bentrokan. Namun kenapa sampai hari ini masih ada anggota TNI yang melakukan penjagaan Rengas. Akibatnya warga menjadi khawatir, dan ini sudah jelas mengganggu aktifitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terang Sadat saat di wawancarai BeritAnda.com di kantornya, Senin (26/11/2012).
Lanjut Sadat, PTPN VII sampai dengan saat ini juga belum dapat di katakan sebagai aset negara, karena perusahaan tersebut masih banyak masalah, seperti dari penguasaan lahan yang melebihi ijin usaha.
“Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VII atas lahan hanyalah 6.500 hektar (ha), tetapi kenyataannya PTPN VII telah menguasai lahan seluas 20 ribu ha lebih. Nah jadi bila alasan TNI yang berjaga di lahan yang sedang bersengketa dengan warga tersebut untuk menjaga aset daerah, maka jelas bahwa alasan tersebut sama sekali tidak tepat,” tandasnya, seraya menambahkan, keberadaan TNI disana terkesan hanya menjadi ‘bisnis’ bagi militer saja. “Seperti menjadi keamanan atau melakukan penjagaan di lahan yang sedang bersengketa,” paparnya.
Sesuai dengan standard operating procedure (SOP) nya, tambah Sadat, seharusnya keberadaan anggota TNI dalam posisi diminta atau di Bawah Kendali Operasi (BKO) kan untuk mengamakan bila terjadi kerusuhan seperti kejadian di Lampung.
“Sedangkan di Desa Rengas sendiri tidak terjadi kerusahan antara warga dengan pihak perusahaan. hal inilah yang menimbulkan kesan pegamanan atau penjagaan di lahan yang sedang bersengketa seolah-olah menjadi ‘bisnis militer’,” ungkap Sadat.
Proses hukum PTPN VII dan warga baru sekali
Sementara itu, ditempat terpisah, Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Andri Meilansyah, SH saat di temui BeritAnda.com mengatakan sejauh ini konflik Desa Rengas dan PTPN VII, baru satu kali melalui proses hukum itupun terjadi pada tahun 1996, dimana dua warga Desa Rengas menuntut untuk mempertahankan lahannya karena mempunyai alasan hak yang kuat (sertifikat), dan proses hukum ini sampai ke Mahkamah Agung (Kasasi -red).
“Untuik proses hukumnya sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas dan PTPN VII hanya ada satu kali, dan itupun di menangkan oleh warga, karena terbukti lahan yang di klaim oleh PTPN VII bahwa lahan tersebut masuk dalam perijinannya terbantahkan karena dua warga tersebut dapat menunjukan alat bukti kepemilikian yang sah atas lahan tersebut,” jelas Andri.

Sumber : beritanda.com
Selengkapnya...

Petani Desak Cabut HGU Sawit

Sekitar 1200 hektare lahan pertanian Desa Nusantara terancam beralih fungsi.
 
Petani padi di Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, meminta agar Hak Guna Usaha (HGU) Kelapa Sawit dicabut. Mereka mengaku lahan pertanian yang selama ini ditanami padi terancam beralih menjadi kebun kelapa sawit.

Sukirman, salah seorang petani menuturkan, keresahan petani bermula pada tahun 2005 ketika Pemerintah Kabupaten OKI menerbitkan izin prinsip perkebunan kelapa sawit seluas 42 ribu hektare yang tersebar di 18 desa di Kecamatan Air Sugihan untuk PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML).

Keresahan itu kian menjadi begitu begitu diterbitkan HGU oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten OKI empat tahun kemudian. SAML pun berhasil menguasai sawah petani di 17 desa setelah pemilik sawah mau menjual sawahnya dengan uang "tali asih" per hektare sebesar Rp1 juta. Tapi petani yang ingin menanam padi di sawah yang telah dijualnya harus membayar Rp2 juta per hektare.

Pemberian izin lokasi untuk usaha perkebunan kelapa sawit itu mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat yang ikut menyarankan petani agar mau sawahnya diganti rugi. Petani Desa Nusantara yang menolak dikatakan melawan pemerintah. Intimidasi pun datang dari aparat yang kerap mendatangi warga dan menyuruh menjual sawahnya. Luas lahan milik petani Desa Nusantara sekitar 1200 hektar. Jumlah petani DesaNusantara ada sekitar 600 orang.

"Kami mendapat intimidasi dikatakan salah karena tidak mengikuti program pemerintah," kata Sukirman di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Jumat (23/11).

Dianggap berseberangan dengan pemerintah, Sukirman dan petani lainnya Ahmad Rusman diberhentikan dari Badan Pemusyawaratan Desa (BPD).

"Hanya desa kami yang menolak. Desa lain sudah ditanami," ujar Ahmad.
Staf pengembangan organisasi rakyat Walhi Dedek Chaniago menyebutkan pihaknya bersama Sukirman dan Ahmad telah mendatangi BPN Provinsi Sumatera Selatan pada 2011 lalu. Dikatakan kalau proses terbitnya HGU telah sesuai prosedur. "Namun BPN pusat menyatakan cacat hukum," ujar Dedek.

Pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, BPN diduga tidak melakukan kajian terhadap kelayakan pengeluaran HGU dan terjadi suap dalam proses penerbitan HGU tersebut.

"Pertanian padi menjadi pencaharian utama di Desa Nusantara dan 17 desa lainnya.Tiap panen, per hektar sawah di Desa Nusantara bisa menghasilkan beras 4 ton dan mampu menyuplai persediaan pangan bagi Kabupaten OKI dan sekitarnya sampai 4800 ton. Sukses ini ditandai dengan diresmikannya Desa Nusantara sebagai lumbung padi Kabupaten OKI," kata Zenzi.

M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Walhi menilai pemerintah kehilangan arah menetapkan program yang harus menjadi prioritas.

"Kami melihat saat ini pemerintah gamang, hilang orientasi mana program yang harus menjadi prioritas. Padahal baik Presiden maupun kementeriannya menyadari bahwa pangan paling penting saat ini," kata Islah.

Sumber : Jurnas.com 
Selengkapnya...

Khawatir Lingkungan Rusak, Walhi Sumsel Tolak Pabrik Kertas

PALEMBANG--MICOM: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Sumsel) bersama dengan Koalisi Masyarakat sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Keselamatan Rakyat menolak rencana pembangunan pabrik bubur kertas di wilayah tersebut.

Pabrik tersebut direncanakan dibangun di kawasan Desa Air Sugihan, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel.

Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat menilai pembangunan pabrik PT OKI Pulp and Paper Mills merupakan ancaman bagi hutan Indonesia dan keselamatan rakyat.

Sumsel memiliki hutan seluas 3,7 Juta hektare. Saat ini luasan hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 Ribu hektare.

"Kerusakan Hutan salah satunya disebabkan oleh pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)," jelas Sadat.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel 2012, luas HTI di Sumsel berjumlah 1.375.312 hektare yang dikuasai oleh 19 perusahaan. Dari luasan tersebut hanya 944,205 hektare yang efektif untuk tanaman pokok.

Rencana pemerintah untuk membangun pabrik yang digadang-gadang merupakan terbesar di dunia tersebut oleh perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing berdasarkan Surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang izin Prinsip Penanaman Modal PT OKI Pulp and Paper Mills.

"Rencana akan dibangun di Desa Jadi Mulya dengan luas mencapai 2.800 Hektare, 200 hektara di antaranya untuk Dermaga. Namun, kajian Amdalnya masih belum diputuskan instansi terkait," tambah Sadat.

Pabrik tersebut nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Selain itu, ujarnya pembangunan pabrik ini juga diperkirakan akan semakin meningkatkan konflik agraria di Sumsel yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan.

Bupati OKI Ishak Mekki, mengatakan pabrik yang akan dibangun di kawasan desa Air Sugihan Kecamatan Air Sugihan akan menampung banyak tenaga kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat terutama yang menanam pohon kertas.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumsel Yusrin Effendi mengaku belum mendapatkan kabar perihal pembangunan pabrik kertas tersebut. Pun dengan Dinas Penanaman Modal Asing Provinsi Sumsel Permana juga belum mendapatkan kabar pembangunan pabrik yang merupakan investasi modal asing.

sumber ; http://m.mediaindonesia.com
Selengkapnya...

Ribuan Hektar Sawah Desa Nusantara Terancam Sawit

“Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”
LAHAN sawah Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) seluas 1.200 hektar terancam keberadaan kebun sawit PT Selatan Agro Makmur (SAM). Perkebunan sawit ini mendapat izin prinsip dari Bupati OKI Nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, seluas 42.000 hektar terletak di 18 Desa di Kecamatan Air Sugihan.
Warga di desa lumbung padi di OKI ini dibujuk menyerahkan lahan mengikuti jejak 17 desa lain. Warga desa terus bertahan meskipun mendapatkan intimidasi berbagai pihak, dari aparat pemerintah daerah sampai aparat keamanan.  Bahkan, tanpa sepengetahuan mereka BPN Sumsel mengeluarkan hak guna usaha (HGU) kepada perusahaan di atas lahan desa ini.
Mereka ke Jakarta ingin mengadu, tetapi sampai saat ini masih kesulitan bertemu pejabat Kementerian Pertanian.  Mereka juga ingin mengadu ke wakil rakyat di Senayan. Sukirman Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB),  mengatakan,  awalnya lahan pertanian di Kecamatan Sugihan ada di 18 desa. Kini, tinggal Desa Nusantara yang bertahan tak mau menyerahkan lahan kepada perusahaan untuk menjadi kebun sawit.
Sampai saat ini, warga Desa Nusantara terus didekati. Pemerintah daerah menilai mereka salah, karena tak bersedia menyerahkan lahan menjadi kebun sawit. “Kami dianggap tak mau mematuhi program pemerintah,” katanya di Jakarta, Jumat(23/11/12).  Bahkan, camat menakut-nakuti, jika warga tak menurut akan ditangkap.  “Kami tak perlu bantuan pemerintah. Cukup jangan lakukan kerusakan di desa kami. Jangan ganggu sawah kami untuk jadi kebun sawit.”
Kini, lahan sawah mereka berada di tengah-tengah kebun sawit yang sudah mulai ditanam. Tak hanya ancaman lahan dicaplok, wargapun menghadapi dampak buruk kehadiran kebun sawit itu. “Hutan yang sudah tidak ada, menyebabkan babi masuk kampung. Tak hanya merusak tanaman juga menyerang manusia,” katanya. Hama lain seperti belalang pun mulai datang. Belum lagi pasokan air berkurang karena perusahaan membangun kanal-kanal setiap 200 meter. Air pun tersedot kanal yang digunakan sawit, si tanaman rakus air ini.
Kondisi ini, kata Sukirman, berujung pada hasil panen mulai menurun. Dulu, sebelum sawit datang, petani bisa panen empat sampai tujuh ton per hektar.  “Saat ini berkisar tiga ton.”
Dia benar-benar tak habis pikir, pemerintah bisa bertindak seperti ini.  Satu sisi gerakan swasembada pangan digembar-gemborkan, tetapi warga yang berusaha memenuhi pasokan pangan, bahkan desa ini menjadi lumbung padi OKI,  memasok beras sekitar 4.800 ton, malah diumpankan ke perusahaan sawit.
Ahmad Rusman Sekretaris FPNB menambahkan.  Menurut dia,  kekhawatiran mereka saat ini tentang HGU perusahaan sudah keluar dengan memasukkan Desa Nusantara. “Padahal, warga desa tak pernah ada yang setuju.” Saat mengetahui HGU keluar 2009, mereka lalu mendatangi BPN provinsi. “BPN bilang kalau HGU keluar karena sudah  ada pernyataan Kades. Lalu, kami tanyakan ke Kades dan dia membantah. Tapi kami yakin Kades beri pernyataan itu, terbukti HGU keluar.”
Warga terus berjuang menolak kebun sawit.  Sejak 2007, alat berat perusahaan masuk desa untuk menggusur warga. Warga bertahan, alat beratpun ditahan. Bahkan, ada satu eksavator menjadi besi tua.
Warga bersama Walhi Sumsel, mendatangi BPN Pusat menanyakan proses HGU keluar tanpa persetujuan warga. “BPN Pusat menyatakan HGU cacat hukum, tetapi akan melakukan cross check ke daerah. Saat itu, mereka ditemui Direktur Konflik BPN,” kata Dede Chaniago, dari Walhi Sumsel.
Kondisi miris pun kini dialami warga desa yang bersedia menyerahkan lahan. Mereka mendapat  ganti rugi Rp1 juta. “Kini, warga yang mau bertani, bisa menyewa dengan perusahaan, dengan sewa Rp2 juta!” Bukan itu saja, produktivitas merekapun turun drastis. “Kalau dulu satu hektar bisa empat ton, sekarang mau lima kuintal saja susah,” ucap Sukirman.
Sukirman dulu Kepala Urusan Umum di kecamatan tetapi dipecat karena dianggap tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintah. “Tahun 2005 diberhentikan. Tahun itu, kebun ini mulai dibahas di desa, saya sudah berseberangan. Lalu dipecat.”
Dia menceritakan, perjuangan warga menjadikan kawasan transmigrasi itu lumbung padi begitu berat. Upaya itu sejak 1981 kala pemerintah menempatkan mereka di daerah ini. “Kelompok kami ini sisa petani yang bertahan dari bencana kekeringan 1982 dan 1992. Saat itu, banyak mengalami kelaparan dan kematian. Banyak pula pulang kampung karena tidak kuat membuka lokasi transmigrasi.”
Menyikapi masalah ini, Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi, menilai pengeluaran HGU di atas tanah hak milik warga indikasi BPN tidak melalui proses benar. Ada dua kemungkinan. Pertama, BPN tidak mengkaji kelayakan pengeluaran HGU ini, kedua, praktik suap mewarnai proses pengeluaran keputusan HGU ini.
“BPN bertanggung jawab menghormati dan mematuhi UU dimana tanah garapan warga harus dilepaskan dari HGU pihak lain.”  Dalam surat izin lokasi Bupati OKI yang menjadi dasar pengeluaran HGU menyebutkan, bagi warga yang tanah, tanaman dan rumah yang tak bersedia dilepaskan, wajib dikeluarkan alias di-enclave dari  kawasan perkebunan.
Tak hanya itu, kata Zenzi, untuk membatasi wilayah perusahaan dan masyarakat harus ada buffer zone guna mencegah hama masuk. “Kalau sekarang produksi sudah menurun karena ada hama padi. Buffer zone harus dibuat.”
Menurut M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Eksekutif Nasional Walhi, konversi lahan pertanian pangan sudah menjadi tragedi nasional. Paling tidak konversi lahan pertanian mencapai 100 ribu-150 ribu hektar per tahun.
Dia berharap,  pemerintah bisa membuka mata, jangan memberi ruang perusahaan besar masuk dengan menyingkirkan petani-petani kecil yang sudah mandiri. “Jadi lebih baik buka pertanian berbasis rakyat daripda perusahaan skala besar dengan dampak besar bagi lingkungan dan tak memberi kontribusi pada petani,” ujar Islah.
Namun hingga kini, belum ada  langkah nyata pemerintah melindungi lahan petani dari konversi bagi peruntukan selain pertanian, maupun perampasan lahan oleh perkebunan skala besar.
Dengan kondisi ini, kata Islah, kerja sama antara Kementrian Pertanian dengan Kementerian Transmigrasi,  dan Kementrian Kehutanan, menjadi tidak ada artinya jika lahan pertanian pangan transmigran tidak dilindungi.
Selengkapnya...

SENGKETA LAHAN: PETANI SAWIT MINTA HGU SELATAN AGRO MAKMUR LESTARI DICABUT

JAKARTA: Para petani Desa Nusantara, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan mendesak agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan kelapa sawit di wilayah tersebut karena mengancam sawah-sawah masyarakat yang dibuka sejak 1981 sebagai bagian dari program transmigrasi.
Sukirman, Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB), mengatakan tanah yang dimiliki warga desa tersebut sebelumnya dibuka dengan susah payah oleh para transmigran pada 1981, mengikuti program pemerintah tentang transmigrasi dahulu.

Walaupun lahan di desa tersebut memiliki keasaman tinggi, namun akhirnya para transmigran berhasil menjadikannya sebagai sentra tanaman pangan dan memproduksi padi tadah hujan. Para transmigran kebanyakan berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
"Sebelumnya terjadi kekeringan dan kelaparan pada 1992, sehingga ada yang menyerah, pulang kembali ke Jawa. Kekeringan dan kelaparan itu menimbulkan kematian sebagaian masyarakat," ujar Sukirman dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/11/2012).

"Kami harus bekerja keras lagi saat ini, karena perkebunan kelapa sawit mulai dibuka dan berpengaruh pada debit air tanah yang terus menurun."
Pada 2005, PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML) memperoleh izin prinsip pemerintah daerah dengan luas 42.000 hektar, yang terbentang pada 18 desa di Kecamatan Air Sugihan, termasuk Desa Nusantara.

Desa tersebut merupakan wilayah satu-satunya yang melakukan perlawanan hingga kini untuk menolak memberikan lahan mereka kepada perusahaan untuk diganti rugi. Sebanyak 17 desa lainnya secara perlahan menerima ganti rugi di bawah ancaman dan kebutuhan ekonomi.   Pada 2009, BPN Kabupaten OKI mengeluarkan HGU untuk perusahaan tersebut dengan luas yang sama.
Pada pekan ini, Sukirman bersama Sekretaris FPNB Ahmad Rusman didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan telah mendatangi BPN di Jakarta terkait desakan pencabutan HGU tersebut.

BPN berjanji untuk mengecek kembali penerbitan yang dikeluarkan BPN di daerah tersebut.   Pekan depan, mereka akan menemui Kementerian Pertanian dan Komisi II DPR RI terkait dengan persoalan yang mengancam kehidupan masyarakat Desa Nusantara hingga kini.

Sumber : www.bisnis.com
Selengkapnya...

Lahan padi transmigran direbut perusahaan sawit

Dua warga Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugian, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, mendatangi kantor LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Kedatangan dua warga yang bernama Sukirman dan Ahmad Rusman ingin mengadu soal alih fungsi lahan padi milik mereka oleh perusahaan sawit PT Selatan Agro Makmur Lestari (SMAL).

"Kami ingin mempertahankan lahan padi kami," ujar Sukirman di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta, Jumat (23/11/20012).

Sukirman yang mengaku sebagai anak dari keluarga transmigran yang datang ke Sumsel sejak tahun 1981 untuk membuka lahan padi. Saat itu lahan tersebut masih berupa hutan belantara, tak sedikit warga terpaksa kembali ke tanah Jawa karena tidak sanggup melanjutkan perjuangan membuka lahan.

"Kami telah berjuang untuk menjadikan hutan itu menjadi lahan subur bagi padi kami, tapi kenapa sekarang tanah kami mau diambil untuk kebun sawit," ujarnya dengan nada sedih.

Ahmad Rusman rekan Sukirman, mengaku tidak mengerti, PT SAML itu sudah mendapat izin prinsip dari Bupati OKI. Dibuktinya dengan surat izin nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, untuk menggarap lahan seluas 42 ribu ha, yang terletak di 18 desa di Kecamatan Air Sugihan.

Kata Rusman, Dinas Pertahanan Daerah Sumsel juga menyatakan izin itu sudah sesuai prosedur karena ditandatangani Kepala Desa Nusantara. Sementara Kades Nusantara menolak dan tidak mengaku memberikan persetujuan.

"Kita sudah berupaya dengan berbagai cara untuk mendekati Pemerintah Daerah tapi selalu gagal, kami juga akan menuntut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat Untuk kembali mengecek persoalan perizinan ini, dan dicabut," desaknya. 

Sumber : www.sindonews.com
Selengkapnya...

Sabtu, November 24, 2012

Sawit, Hama puncak lumbung Padi Desa Nusantara Sumsel

Pak Sukirman Mantan Kaur Desa Nusantara sekaligus Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu, menyatakan bahwa kelompok petani transmigrasi di desa nusantara kebupaten OKI provinsi Sumsel, sukses merubah kawasan hutan belantara menjadi kawasan sentra tanaman pangan sejak tahun 1981. Kelompok kamii adalah sisa petani yang bertahan dari bencana kekeringan 1982 dan 1992 yang mengakibatkan kelaparan dan kematian, tidak sedikit juga yang memutuskan pulang ke kampung halamannya di tanah jawah karena tidak kuat menghadapi kesulitan di lokasi transmigrasi yang baru dibuka. Kesuksesan dan kegigihan petani keluar dari krisis dengan mengola tanah tadah hujan dalam kepungan hama babi, gajah dan binatang buas lainnya. . Lahan tadah hujan dengan tingkat keasam tinggi seluas 1200 hektar di Desa Nusantara, oleh 600 kepala keluarga diolah hingga mampu memproduksi beras 4 ton per hektarnya dimana setiap musim tanam dari Desa ini mampu menyuplai persediaan pangan bagi kabupaten OKI dan sekitarnya hingga 4800 Ton. Sukses ini ditandai dengan diresmikannya desa Nusantara sebagai lumbung padi kabupaten OKI oleh Wakil Gubernur Sumsel.
Sejak tahun 2005, menurut Pak Ahmad Rusman selaku sekretaris Forum Petani Nusantara Bersatu, untuk mempertahankan daya produksi padi, petani harus kerja yang lebih keras karena debit air tanah yang jauh menurun akibat perkebunan kelapa sawit yang mencapai 41.000 hektar disekitar kawasan sawah petani. Perkebuan kelapa sawit milik PT. SAML ini mendapat izin prinsip dari Bupati OKI Nomor: 460/1998/BPN/26-27/2005, seluas ±42.000 Ha yang terletak di 18 Desa di Kec. Air Sugihan, bahkan selain harus menghalau hama babi dan tikus, petani juga harus selalu siaga menghalau eksavator eksavator perusahaan perkebunan yang sejak tahun 2007 terus berusaha menggusur kawasan persawaan warga. Ketakutan petani terhadap perubahan lingkungan dan penggusuran berubah menjadi kenyataan kehilangan hak sama sekali setelah BPN mengeluarkan HGU secara sepihak terhadap PT. SAML tahun 2009 seluas 42.000 hektar, sambungnya.
Sedangkan Zenzi Suhadi selaku pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar eksekutif nasional WALHI, menilai bahwa kejadian pengeluaran HGU diatas tanah hak milik warga merupakan indikator bahwa proses pengeluaran HGU oleh BPN tidak melalui proses yang benar, ada 2 kemungkinan, yang pertama BPN tidak melakukan kajian terhadap kelayakan pengeluaran HGU ini, atau kemungkinan lain praktek suap mewarnai proses pengeluaran keputusan hak guna usaha ini. Terlepas dari kedua kemungkinan tersebut, BPN bertanggung jawab untuk menghormati dan mematuhi undang undang dimana tanah garapan warga harus dilepaskan dari hak guna usaha pihak lain. Dalam surat izin lokasi Bupati OKI yang menjadi dasar pengeluaran HGU mewajibkan syarat bahwa tanah yang tidak diganti rugi harus enclave dari kawasan perkebunan. Bila terbukti ada tanah dengan status sertifikat hak milik masuk kedalam lokasi HGU yang dikeluarkan kemudian, kepolisian daerah sumsel harus menerapkan pidana terhadap pejabat yang terlibat dalam pengeluaran HGU PT. Selatan agro makmur.nomor : 07 dan 08 tahun 2009.
Menurut M. Islah, Pengkampanye Kedaulatan Air dan Pangan Eksekutif Nasional WALHI, tingginya konversi lahan pertanian pangan sudah menjadi tragedi nasional, paling tidak konversi lahan pertanian mencapai 100.000-150.000 Ha pertahun. Namun hingga kini, belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk melindungi lahan petani dari konversi bagi peruntukan selain pertanian, maupun dari perampasan lahan oleh perkebunan skala besar. Hal ini berdampak pada rawannya kedaulatan pangan bangsa. Karena selain menyebabkan turunnya angka produksi pangan nasional, juga berpindahnya penguasaan lahan pertanian, petani akan menjadi buruh diatas tanahnya sendiri.
Islah, menambahkan bahwa kerjasama antara Kementrian Pertanian dengan Kementerian Transmigrasi, juga dengan Kementrian Kehutanan, menjadi tidak ada artinya jika lahan pertanian pangan transmigran tidak dilindungi. ”adalah Ironi jika menteri pertanianbersusah payah untuk mendapatkan perluasan lahan pertanian baru, sementara lahan pertanian pangan yang sudah ada dibiarkan hilang”.(Walhi)
 Jakarta,23 November 2012
(Walhi, KPA, Forum Petani Nusantara Bersatu )
Selengkapnya...

Koalisi Rakyat Tolak Pembangunan Pabrik Kertas Oki Pulp and Paper

Jika pembangunan pabrik pulp di Kabupaten OKI dan beberapa daerah Sumsel lainnya diteruskan, dikhawatirkan terjadinya ekspansi ijin HTI secara besar-besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel akan semakin parah 

Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan dan keselamatan rakyat Sumatera Selatan menyatakan menolak pembangunan pabrik bubur kertas atau "pulp and paper mills" di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Wahana Bumi Hijau (WBH), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia Sumsel di Palembang, Jumat mengeluarkan pernyataan sikap bersama mendesak Pemerintah Kabupaten Ogan Komeing Ilir (OKI) menghentikan rencana pembangunan pabrik PT.OKI Pulp and Paper Mills.

PT.OKI Pulp and Paper Mills merupakan perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing (surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang ijin prinsip penanaman modal PT.OKI Pulp and Paper Mills), rencananya dibangun di Desa Jadi Mulya, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI dengan luas mencapai 2.800 ha, dan 200 ha di antaranya untuk dermaga.

Selain itu juga mendesak Pemerintah Provinsi Sumsel menghentikan rencana pembangunan pabrik "pulp and paper mills" di kabupaten lainnya, karena hanya akan mengancam kelestarian hutan serta keselamatan rakyat provinsi ini.

Kemudian juga meminta Pemprov Sumsel menghentikan ekspansi perijinan Hutan Tanaman Industri (HTI) di provinsi ini, karena telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan alam.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat menambahkan, provinsi ini memiliki hutan seluas 3,7 juta hektare, namun dari jumlah itu saat ini luasan hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 ribu ha.

Kerusakan hutan cukup luas tersebut salah satunya disebabkan oleh pembangunan HTI yang menjadi sumber bahan baku pabrik kertas itu.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel pada 2012 terdapat HTI seluas 1,375 juta ha yang dikuasai oleh 19 perusahaan, dari luasan tersebut hanya 944.205 ha yang efektif untuk tanaman pokok, katanya.

Sementara aktivis Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel Deddy Permana menjelaskan, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang saat ini sedang dibahas dan akan ditetapkan oleh Komisi Amdal Sumsel, menyebutkan bahwa pabrik tersebut nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Kebutuhan pasokan kayu yang sangat besar ini berdasarkan perhitungan teknis tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas ada di sekitar pabrik akan dibangun tersebut, termasuk oleh tujuh perusahaan milik Sinar Mas Grup di Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir dan Banyuasin dengan luas mencapai 787.955 ha.

Berdasarkan perhitungan dengan asumsi hanya 40 persen atau 472.773 ha dari luas lahan dimiliki grup perusahaan HTI itu yang produktif untuk ditanami akasia, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu/tahun pabrik pulp membutuhkan lahan seluas 2.064.000 ha.

Jika pembangunan pabrik pulp di Kabupaten OKI dan beberapa daerah Sumsel lainnya diteruskan, dikhawatirkan terjadinya ekspansi ijin HTI secara besar-besaran dan kerusakan hutan alam Sumsel akan semakin parah, katanya.
 
Sumber : Sumsel.antaranews.com
Selengkapnya...

Jumat, November 23, 2012

Sawah Tergusur Sawit, Petani Minta Cabut HGU

Masuknya invasi sawit terhadap pemukiman transmigran membuat dua warga Desa Nusantara Kecamatan Air Sugihan Sumatera Selatan menuntut agar HGU PT Selatan Agro Makmur Selatan (SAML) dicabut.

Hal itu disampaikan oleh Sukirman warga desa Nusantara di Jakarta, Jumat (23/11/2012). “Kami meminta agar tanah 42 ribu Hektar dikembalikan lagi kepada warga. Semenjak adanya sawit, warga terpecah karena kepentingan perusahaan,” ujar Sukirman.

Wilayah desa Nusantara merupakan zona transmigrasi sejak tahun 1981. Awalnya masing-masing desa memiliki 512 kepala keluarga. Namun, sejak tahun 2007 PT SAML menguasai 17 desa untuk dibayarkan 1 juta per hektar.

“Hanya desa Nusantara saja yang tidak mau dibayarkan. Tanah kami seluas 1200 hektar tetap dipertahankan oleh warga,” tegas Sukirman, yang juga ketua Forum Petani Nusantara Bersatu.

Sukirman juga menceritakan bagaimana awalnya pemerintah tidak menepati janji kepada transmigran. Pada tahun pertama. Banyak warga yang pulang dan meninggal karena sakit. Membangun jalan sendiri dan fasilitas secara mandiri.

“Setelah kami rapikan, baru PT SAML itu masuk. Ya kami tetap pertahankan walau tanah sudah mulai tidak produktif” jelasnya.

Desa Nusantara merupakan wilayah lumbung padi di Sumatera Selatan khususnya Kabupaten OKI. Jumlah panen yang dihasilkan hingga 4800 ton. Hasil panen berkurang setelah masuknya perkebunan sawit skala besar.

“Selain kami menghalau babi, kami juga harus siaga melawan eskavator perusahaan,” pungkas Sukirman.
 
Sumber : LensaIndonesia.com
Selengkapnya...

Kamis, November 22, 2012

Pembagunan Pabrik PT. OKI Pulp and Paper Mills ; Ancaman bagi Hutan Indonesia dan keselamatan Rakyat.


Sumatera selatan memiliki Hutan seluas 3,7 Juta hektar, dan saat ini luasan Hutan yang kondisinya masih baik hanya sekitar 800 Ribu Hektar. Kerusakan Hutan salah satunya disebabkan oleh pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sumsel tahun 2012, luas HTI di sumatera selatan adalah 1,375,312 Hektar yang dikuasai oleh 19 Perusahaan, dari luasan tersebut hanya 944,205 Hektar yang efektif untuk tanaman pokok.

Tidak lepas dari persoalan diatas, tahun ini Pemerintah Sumatera selatan berencana akan membangun 2 Pabrik Pulp and Paper Mills yang berada di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Salah satu pabrik yang akan dibangun tersebut adalah PT. OKI PULP and PAPER MILLS, merupakan perusahaan dengan pembiayaan 100 persen modal asing (Surat BKPM No 361/1/IP/PMA/2012 tentang izin Prinsip Penanaman Modal PT.OKI Pulp and Paper Mills), yang rencananya akan dibangun di desa Jadi Mulya Kecamatan Air sugihan kabupaten Ogan Komering Ilir dengan luas mencapai 2.800 Hektar, 200 hektar diantaranya untuk Dermaga.

Dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang saat ini sedang di bahas dan akan ditetapkan oleh Komisi Amdal Propinsi Sumsel menyebutkan bahwa, pabrik pengelolaan Pulp Mills ini nantinya akan memproduksi pulp sebesar 2.000.000 ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku kayu mencapai sedikitnya 8,6 juta ton/tahun.

Kebutuhan pasokan kayu yang sangat besar ini berdasarkan analisis yang kami lakukan tidak akan mampu dipenuhi oleh perusahaan HTI milik Sinar Mas yang ada di sekitar pabrik tersebut, termasuk oleh 7 perusahaan milik SINAR MAS Grup yang ada di Sumsel (MUBA,OKI dan Banyuasin) dengan luas mencapai 787.955 hektar dengan asumsi hanya 40 % atau 472.773 Hektar dari luas lahan tersebut yg produktif untuk ditanami akasia. karena menurut perhitungan yang kami lakukan, untuk kebutuhan 8,6 juta ton kayu/tahun pabrik ini membutuhkan lahan seluas 2.064.000 ha lahan.[1]

Dampaknya akan menyebabkan terjadinya ekspansi izin HTI besar besaran dan kerusakan Hutan alam Sumatera selatan tersisa, tidak menutup kemungkinan ekspansi ini akan merambah ke Propinsi lainnya, yang sebenarnya juga mengalami kekurangan pasokan kayunya untuk memenuhi kebutuhan Pabrik mereka, contoh di Propinsi Riau dengan kondisi luasan HTI yang lebih luas dari sumsel saja, Pabrik Pulp and paper PT. IKPP (sinar Mas group) dan PT. RAPP (APRIL Group) dengan kapasitas masing masing 2.000.000 Ton/tahun masih kekurangan pasokan kayunya sehingga mengambil pasokan kayu dari hutan alam Riau.

Disisi lainnya pembangunan pabrik ini juga diperkirankan akan semakin meningkatkan konflik konflik agraria di sumsel yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Padahal sampai dengan saat ini pembangunan HTI oleh anak perusahaan milik Sinar mas Group tidak pernah lepas dari konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Seperti Konflik lahan antara masyarakat Desa Riding vs PT. Bumi Mekar Hijau seluas 10.000 hektar, Konflik masyarakat Desa Gajah mati Vs PT. Bumi Mekar Hijau dengan luas mencapai 4.000 hektar, konflik masyarakat Sinar Harapan Vs PT. Bumi Persada Permai seluas 500 hektar. Selain konflik agraria antara masyarakat dengan Perusahaan, terdapat juga kasus Perusakan Hutan alam Merang Kepayang oleh PT. Rimba Hutani Mas (RHM) yang ada di Musi Banyuasin sampai saat ini masih terus disuarakan oleh Walhi Sumsel dan WBH Palembang.

Atas dasar beberapa hal yang telah kami uraikan diatas, kami dari Koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan Hutan dan Keselamatan Rakyat menyatakan sikap kepada pemerintah Sumsel dan Kabupaten OKI untuk :

  1. Stop rencana pembangunan Pabrik PT. OKI Pulp dan Paper Mills di kabupaten Ogan Komering Ilir dan Pabrik pulp dan paper mills yang ada di Kabupaten lainnya di Propinsi Sumatera Selatan. Karena hanya akan mengancam Kelestarian hutan dan keselamatan Rakyat khususnya di Sumatera Selatan.
  2. Hentikan ekspansi perizinan Hutan Tanaman Industri di Sumatera Selatan karena telah  berkontribusi terhadap Kerusakan Hutan alam di Sumatera selatan.


Palembang,   November 2012
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENYELAMATAN HUTAN DAN KESELAMATAN RAKYAT
Dto,

(Walhi Sumsel, Wahana Bumi Hijau(WBH) Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel, CAPPA, TI-I, Mahasiswa Hijau Indonesia)




Kontak Person :
Anwar Sadat Walhi Sumsel       : 0812 785 5725
Deddy Permana WBH Sumsel : 0812 783 5776  
Hadi Jatmiko Walhi sumsel : 0812 7312042


[1] Jika 1 ton pulp membutuhkan 4,5 m kubik kayu, maka untuk memenuhi 2.000.000 ton pulp setiap tahun di butuhkan 9.000.000 kubik kayu, kalau hitungan perusahaan adalah 8.600.000 meter kubik. Jika satu hektar lahan menghasilkan 25 kubik kayu, maka untuk mendapatkan 8.600.000 kubk bahan baku di butuhkan lahan seluas 344.000 ha/tahun yang harus di tebang/panen. Dengan daur tanaman akasia yang mencapai 6 tahun maka untu menjamin perusahaan tidak kekurangan bahan baku minimal harus tersedia lahan seluas 344.000 ha x 6 tahun = 2.064.000 ha lahan.

Selengkapnya...

Selasa, November 20, 2012

Banjir di Sumsel akibat Akumulasi Krisis Lingkungan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatra Selatan (Walhi Sumsel) menilai banjir yang melanda Kota Palembang serta Sumsel lima tahun terahir merupakan akumulasi krisis lingkungan.

Krisis lingkungan tersebut, karena telah berkurangnya penyangga air yang berada di sembilan anak Sungai Musi. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan alih fungsi lahan serapan yang berada di hulu sungai.

Kepala Devisi Pengorganisasian Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, saat ini kiriman air dari seluruh anak sungai musi yang berada di Kota Palembang serta Sumsel belum masuk ke Sungai Musi.

"Jika air dari anak sungai sudah sampai ke Sungai Musi, tak terlekan lagi Palembang terancam karam ditambah lagi dengan musim pasang pada akhir tahun," jelasnya.

Ia menjelaskan, saat ini curah hujan di Sumsel masih dalam tahap hujan sedang. " Hujan sedang di perkirakan akan berlangsung hingga Maret 2013," imbuhnya.

Hadi mencontohkan, lebih dari seratus anak sungai musi berada di Palembang. Sementara drainase yang berada di kawasan barat Palembang akan bermuara ke kawasan Sungai Bendung yang berada di Sekip Raya.

" Mangkanya sangat penting pemerintah melakukan revitalisasi terhadap sungai Bendung mengingat anak sungai yang ada di Palembang sekarang telah berkurang menjadi 60 buah", tegasnya.

Sementara itu Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumsel Najib menjelaskan, banjir yang melanda Sumsel lebih dikarenakan letak geografis Sumsel yang sebagian besar merupakan dataran rendah dengan curah hujan lebih tinggi.

Sumber : Media Indonesia 
Selengkapnya...