WALHI SUMSEL

WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Desember 12, 2016

Siaran Pers : Penegakan Hukum, Bukti Keseriusan Negara Memutus Rantai Kejahatan Korporasi

Konferensi Pers terkait Penegakan hukum Karhutlah di Sumsel 
Jakarta, 12 Desember 2016. Tepat di akhir tahun 2015 lalu, rakyat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Selatan dihadiahi “kado” tahun baru yang sangat menyakitkan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Masih dalam ingatan kita seluruh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Parlas Nababan, menolak seluruhnya gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2014. Tidak terima dengan putusan tersebut, KLHK melakukan banding melalui Pengadilan Tinggi (PT) Palembang pada pertengahan 2016. Pengadilan Tinggi memenangkan pengajuan banding KLHK dengan membatalkan putusan PN, dan menyatakan bahwa PT. BMH terbukti bersalah dan didenda sebanyak 78 miliar.
WALHI Sumsel menyambut baik putusan tersebut karena PT. BMH dinyatakan bersalah. Namun juga kecewa, karena putusan denda jauh dari tuntutan atau gugatan KLHK. Mengingat Sumatera Selatan sendiri merupakan provinsi “penyumbang” asap terbesar di Indonesia yakni seluas 641.514 hektar dari 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar di Indonesia. (BNPB/MoEF, 2015).
Direktur WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko menyatakan bahwa “putusan dengan denda yang ringan tersebut masih belum memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat korban asap maupun bagi lingkungan hidup. Terlebih PT. BMH mengulang kejahatan bisnisnya pada tahun 2015”. Saat ini kasus tersebut masuk dalam tahap kasasi. Hadi menambahkan, “KLHK harus sangat-sangat serius dalam proses kasasi ini, jika tidak, sama halnya mengabaikan Perintah Presiden Jokowi (Agustus, 2016) yang menginginkan penegakan hukum yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan, agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.”
Dalam pandangan WALHI, setidaknya penegakan hukum ini akan berdampak pada beberapa hal: pertama yakni reformasi paradigma lembaga peradilan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan progresif, kedua bahwa koporasi tidak kebal hukum, dan ketiga langkah awal Indonesia untuk keluar dari darurat kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup. KLHK juga sesungguhnya dapat menggunakan instrumen hukum lainnya, dengan melakukan review izin, dan mengevaluasi seluruhnya kinerja PT. BMH dan perusahaan lainnya di Sumatera Selatan yang terbukti tidak mampu menjaga lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam secara baik, adil, dan berkelanjutan. Jika ditemukan perusahaan tersbut tidak patuh dengan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam izin yang diberikan, maka izin tersebut sudah sepatutnya segera dicabut.
Dalam penutup siaran pers ini, Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa putusan yang berat dari pengadilan menjadi penting, karena kami berharap putusan pengadilan atas kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan dapat memutus rantai impunitas bagi kejahatan korporasi selama ini. (selesai)


Selengkapnya...

Selasa, November 22, 2016

Largest NGO says APP peat fires deliberately set for replanting purposes

Indonesia’s largest environmental NGO, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), has emphatically stated that last year's widespread peat fires in Asia Pulp and Paper (APP)'s pulpwood concessions were intentional. Proof of this, WALHI asserts, lies in the fact that these burned peatlands have now been replanted with acacia by the giant pulp company.
According to the leading NGO, the use of burned peatlands for the replanting of acacia is a move aimed at pursuing targets, given that the acacia yielded from this replanting will later become a source of fiber supply for the new APP company, PT OKI Pulp and Paper Mills. This new mill, which has begun operations, is located in the vicinity of the burned peatlands in the APP concessions, major parts of which were burned last year.
This damning opinion was delivered by the Executive Director of WALHI South Sumatra, Hadi Jatmiko, to foresthints.news on Friday (Nov 18) when asked for his reaction to the results of monitoring performed recently by Indonesia's Environment and Forestry Ministry.
The monitoring clearly shows that the APP concessions operating in Ogan Komering Ilir (OKI) regency, in South Sumatra province, have replanted burned peatlands in direct contravention to a ministerial regulation issued in mid-December last year.
Hadi expressed his gratitude for the ministry’s actions in the form of on-the-ground monitoring, which demonstrated the extent of incompliance on the part of the APP companies, to the point where they have brazenly replanted acacia in burned peatlands in clear violation of existing regulations.
“We appreciate the monitoring conducted by the ministry. However, we also urge the ministry to apply maximum law enforcement efforts so that these types of practices are never repeated. This is even more important considering that the burned peatlands in the APP concessions are dominated by peat domes.”
The following photos, which were taken from video footage which formed part of the ministry’s monitoring of the APP concession PT BMH, illustrate ongoing business-as-usual practices in the burned peatlands. In August this year, the High Court of Palembang declared that this company had committed an unlawful act with respect to peat fires in 2014.
Peat agency criticized
Hadi argued that the blatant replanting of acacia in burned peatlands located in APP concessions exemplified the fact that the monitoring function of the Peat Restoration Agency (BRG) was not operating.
“The case of these APP companies replanting burned peatlands reveals that the BRG is not performing proper monitoring, and therefore not fulfilling its function.”
According to WALHI data, 400 thousand hectares of peatlands were burned in 2015 in South Sumatra province, the vast majority of which were in concession areas. APP pulpwood concessions made up a significant proportion of these.
“The BRG’s monitoring is not clear. Its peat restoration focus is also unclear. The agency doesn’t appear to be focusing its peat restoration efforts in concession areas. This has actually emboldened APP and other companies to carry out replanting of burned peatlands and drained peat domes,” Hadi lamented.
Considering that the majority of APP concessions situated in peatlands in South Sumatra are found in peat domes, and that these have already been mapped as peat restoration target areas, Hadi made a vociferous appeal for the ministry and BRG to provide full protection to the peat domes concerned, using legal means which involve communities in their management.
He also asked the ministry to review the permits of the APP companies in question, bearing in mind that most of the APP concessions in these peatlands are located in peat domes and deep peat.
“This request of ours is consistent with both existing regulations as well as the government’s current commitment to protecting peat domes, including deep peat,” Hadi explained.
As previously reported by foresthints.news, President Joko Widodo has consistently reasserted his position that the government will not back down in carrying out law enforcement against any party which commits peatland-related violations.

Sumber : http://foresthints.news/largest-ngo-says-app-peat-fires-deliberately-set-for-replanting-purposes
Selengkapnya...

Jumat, November 18, 2016

Walhi Sumsel : Penurunan Emisi Tanpa Penegakan Hukum = Bohong!

Menyikapi Lemahnya penegakan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan Hidup dan COP 22 di Maroko

Aksi Aktifis Lingkungan Walhi dan Sahabat Walhi Sumsel : PT. BMH Penjahat Iklim !
Palembang, 18 November 2016. Meningkatnya krisis lingkungan hidup yang berdampak pada maraknya bencana ekologis dan menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen yang serius dari seluruh pihak untuk menghentikannya. WALHI Sumsel melihat komitmen tersebut belum serius dan lamban. Sebagaimana kita ketahui, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan telah menjadi “musim” langganan selain musim penghujan dan kemarau. Karhutla juga merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang berasal dari industri berbasiskan lahan(land base industry), selain industry-indutri yang menggunakan energi fosil (batubara).

Pada pertemuan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim ke 21 di Paris tahun 2015 lalu, kasus Karhutla di Indonesia cukup menjadi perhatian. Namun korporasi (pelaku kejahatan pembakaran) mampu mengintervensi pertemuan tersebut, sehingga tidak ada langkah signifikan dan nyata untuk menyelesaikan persoalan. Hingga pada hari ini, dimana sedang berlangsungya COP 22 di Maroko, penegakan hukum juga tidak menjadi agenda utama oleh pemerintah Indonesia. 

Belum lepas dalam ingatan masyarakat, Pengadilan Tinggi Palembang pada 12 Agustus 2016 memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau di tingkat banding . Meskipun memenangkan KLHK, namun putusan tersebut jauh dari tuntutan kementerian (Negara) terkait jumlah ganti rugi untuk pemulihan lingkungan dan rasa keadilan untuk masyarakat. Paska putusan tersebut, KLHK mengatakan akan mengajukan kasasi di sejumlah pemberitaan media massa. Namun, hingga kini,rencana dan upaya tersebut belum juga dilakukan. Tentunya sikap ini menjadi pertanyaan besar bagijutaan masyarakat korban baik di sumsel maupun di Indonesia pada umumnya. Apakah ini sebuah kelambanan atau menerima begitu saja dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palembang.

Hadi Jatmiko, Direktur Eskekutif WALHI Sumatera Selatan mendesak KLHK untuk segera melakukan kasasi, untuk membuktikan bahwa komitmen Indonesia sungguh-sungguh dalam melawan kejahatan lingkungan hidup. Sebagaimana kita tahu, di Indonesia kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Dimana pelakunya adalah Industri Kehutanan (HTI) dan Perkebunan kelapa sawit.

Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper (HTI) tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak berdiri sendiri. Melainkan didukung oleh banyak hal, seperti paket kebijakan yang tidak berpihak pada masa depan lingkungan hidup dan manusia didalamnya, lembaga-lembaga keuangan, dan politik internasional yang tidak adil dalam melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam.

Di sektor energi, komitmen Inondesia juga sangat lemah. Kebijakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Sumatera Selatan misalnya, proses pembangunan PLTU mulut tambang terus dalam proses pembangunan.  Dengan demikian, pola pembangunan industry ekstraktif melalui batubara masih menjadi pilihan politik kebijakan rezim saat ini. Dapat dipastikan Nawacita Jokowi-JK dalam kedaulatan energi akan mengalami kegagalan, karena masih ketergantungan dengan penggunaan energy fosil kotor (batubara) yang merusak Lingkungan hidup dan mengancam keselamatan Rakyat .

Selain menjadi korban, rakyat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki kewenangan apapun. Tentunya ini disebabkan oleh system politik nasional dan daerah yang juga melanggengkan penindasan secara turun menurun. Padahal, banyak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki praktik yang arif dalam pengelolaan ligkungan hidup. Meskpiun sama sekali tidak tersentuh oleh kehadiran Negara (mandiri) dan terus mengalami keterancaman terhadap ruang hidup, pangan, sosial dan budaya.  

Penurunan emisi adalah salah satu bentuk penyelamatan lingkungan hidup, namun tidak akan berhasil jika penegakan hukum tidak dilakukan dan didahulukan kepada industry perkebunan dan kehutanan serta Industri ekstratif pertambangan. Karena itu merupakan hal yang mendasar dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan lingkungan hidup, juga dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Pemerintah juga harus segara berhenti melakukan pembangunan energy kotor dan beralih ke energy bersih.
Selengkapnya...

Kamis, Oktober 27, 2016

Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa

Penghancuran Hutan rawa Gambut di Sumsel oleh Asia Pulp and Papers (APP)

Dalam The 2nd Session of The Open-ended Intergovernmental Working Group on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights
Jenewa-Sidang ke-2 IGWG on TNCs and Other Business Enterprises with Respect to Human Rights telah berlangsung dengan agenda mendapatkan pandangan dan input dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, para pakar dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam kesempatan ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan oral statement pada tanggal 26 Oktober 2016, dalam sidang UN terkait dengan kejahatan Trans National Corporation/TNCs dalam kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia yang telah berdampak setidaknya terhadap 40 juta masyarakat.  Dalam temuan WALHI yang sudah disampaikan pada tahun 2015, bahwa sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi group-group besar perusahaan Trans Nasional. Namun sampai saat ini, tidak ada instrumen hukum internasional yang mampu menjangkau private sector baik perusahaan, lembaga keuangan internasional, termasuk Bank-Bank  yang membiayai perusahaan yang telah membakar hutan dan gambut di Indonesia, membunuh masyarakat, mempercepat dampak perubahan iklim, hingga menimbulkan kerugian yang begitu besar baik kerugian ekonomi, sosial, kesehatan dan kerusakan lingkungan hidup.
Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan yang menyampaikan pernyataan dalam sidang ke-2 IGWG di Jenewa menyatakan bahwa “instrument internasional menjadi penting untuk mengikat kewajiban korporasi dan seluruh rantai pasoknya antara lain pendanaan yang selama ini mensupport dan melanggengkan kejahatan korporasi terus terjadi. Kami juga mendesak agar ke depan, ada pengadilan internasional dan mekanisme kontrol internasional, penegakan hukum dan aturan yang mengikat, mengakui tanggung jawab perdata dan pidana sebagai badan hukum”.
WALHI juga menyambut baik International Court Crimes (ICC) yang dapat  mengadili kejahatan lingkungan hidup dan kejahatan perampasan tanah yang selama ini aktornya adalah korporasi. (selesai)
Jenewa, 26 Oktober 2016.
CP:
Khalisah Khalid, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di 081311187498 via WA
Selengkapnya...