WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, Maret 31, 2009

Walhi Sumsel Desak Penyelamatan Rawa

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Selatan mendesak Pemerintah Kota Palembang agar menjadikan kawasan rawa di Palembang sebagai daerah konservasi yang dilindungi. Hal itu perlu dilakukan agar musibah jebolnya tanggul Situ Gintung, Tangerang Selatan, tidak terjadi di Palembang.

Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Senin (30/3), dalam siaran persnya, musibah Situ Gintung menjadi pelajaran bagi daerah lain, termasuk Sumsel. Kejadian bencana seperti di Situ Gintung juga bisa terjadi di Sumsel akibat rusaknya lingkungan hidup.

Hadi menjelaskan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa menyebabkan luas rawa di Palembang menyusut dari 200 kilometer persegi (54 persen luas Kota Palembang) menjadi 105 kilometer persegi atau tinggal 25 persen dari luas Kota Palembang.

”Contoh kawasan rawa yang dikonversi adalah sepanjang Jalan Sukarno-Hatta, Jalan R Sukamto, belakang lapangan golf Kenten, dan Perumnas Sako yang menjadi langganan banjir,” kata Hadi.

Menurut Hadi, kondisi ruang terbuka hijau, kolam retensi, dan anak sungai di Palembang terus mengalami penyusutan dan pendangkalan. Hal itu sebagai akibat banyaknya kawasan tersebut menjadi lokasi bisnis seperti terjadi di Kambang Iwak.

Hadi menambahkan, Walhi mendesak Pemerintah Kota Palembang agar mencabut perda itu dan segera menjadikan kawasan rawa sebagai daerah konservasi yang diatur dalam perda.

”Pemerintah Kota Palembang harus memindahkan segala bentuk kegiatan di ruang terbuka hijau dan menata kembali kolam retensi serta anak sungai di Palembang,” ujar Hadi.

Kerusakan DAS

Hadi juga mengatakan, kondisi daerah aliran sungai (DAS) di daerah hulu di Tebing Tinggi, Muara Kelingi, Muara Lakitan, Muara Enim, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Musi Rawas terus mengalami kerusakan akibat penggundulan maupun alih fungsi hutan.

Kegiatan perambahan dan pertambangan telah menyebabkan sungai-sungai mengalami pendangkalan dan terjadi erosi.

Menurut Hadi, Pemerintah Provinsi Sumsel perlu menghentikan pemberian izin untuk usaha yang berada di DAS. (WAD)

sumber : Kompas




Selengkapnya...

JEJAK REKAM PARA CAPRES DI BIDANG LINGKUNGAN & PILIHAN BAGI GERAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Oleh George Junus Aditjondro(1)

PENGANTAR:
Mana partai yang paling punya jejak rekam peduli lingkungan?
Mana capres & cawapres yang punya jejak rekam peduli lingkungan?
Dari mana para capres & cawapres membiayai kampanye mereka: dari hasil pembalakan liar, konsesi hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan pulp dan kertas, pertambangan batubara, atau mana dan
dari siapa?


JEJAK REKAM JUSUF KALLA, SALAH SATU CAPRES PARTAI GOLKAR:

Kepentingan JK tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekspansi bisnis keluarga besarnya, karena Indonesia tidak punya peraturan yang melarang konflik kepentingan jabatan publik dengan kepentingan bisnis pribadi dan keluarga serta sahabatnya.

Ada empat kelompok perusahaan yang dikuasai oleh JK (kelompok Bukaka & Hadji Kalla), iparnya, Aksa Mahmud yang Wakil Ketua MPR-RI (kelompok Bosowa), dan adiknya, Halim Kalla (kelompok Intim). Dengan demikian, ekspansi keempat kelompok itu tidak terlepas dari peranan JK dan Aksa Mahmud di arena ekonomi dan politik.

Salah satu spesialisasi kelompok Bukaka dan Hadji Kalla adalah dalam pembangunan PLTA, namun jejak rekam kelompok Bukaka dan kelompok Hadji Kalla di bidang itu tidak begitu bagus: PLTA Poso (rencana 780 MW) mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Juga jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Eksa Tinggi)nya ke Sulawesi Selatan & Tenggara dibangun tanpa AMDAL.

Di DAS Peusangan di Tanah Gayo, Aceh, “pembebasan” tanah di masa DOM dirasa sangat tidak adil. Tapi ada kemungkinan oposisi rakyat akan dilawan oleh PETA (Pembela Tanah Air), milisi bentukan TNI, yang sekarang membantu TNI melakukan represi terhadap rakyat dan caleg-caleg partai-partai lokal, terutama PA (Partai Aceh) bentukan GAM.

Pembangunan PLTA Peusangan I akan menghancurkan nafkah penduduk yang bertani ikan mas di karamba-karamba di hulu Sungai Peusangan. Mereka sudah dilarang oleh PLN bertani ikan mas di situ, tapi mereka masih bertahan. Belum lagi dampak PLTA Peusangan II nantinya.

Setelah berkunjung ke RRT, JK sangat berambisi mendorong pembangunan 19 PLTU berkapasitas total 10.000 MW di berbagai tempat di Indonesia. Program ini bukan mendorong pengembangan enerji terbarukan yang bersih, tapi justru mendorong pembakaran batubara yang sangat menyumbang pemanasan global. Namun tetap juga program ini didukung oleh JK.

Maklumlah, kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu. Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006), sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).

Setelah 22 DPD Golkar mendukung pencalonan JK sebagai Capres, kita perlu lihat kiprah para pendukung JK di pucuk pimpinan Golkar, seperti Surya Paloh, ketua Dewan Penasehat Golkar. Reputasi Surya Paloh di Aceh di bidang lingkungan sangat buruk, karena Kelompok Media yang dipimpinnya membuka tambang emas, tambang batubaru, dan PLTU di Kabupaten Nagan Raya, Aceh bagian Barat, tanpa AMDAL dan tanpa menghormati pemerintah Gampong dan Mukim, seperti digariskan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.


JEJAK REKAM SBY, CAPRES PARTAI DEMOKRAT:
Jejak rekam SBY di bidang lingkungan sangat tersembunyi, sebab SBY ‘hanya’ berperan sebagai pelindung berbagai kelompok bisnis besar, terutama kelompok Artha Graha (AG). T.B. Silalahi, penasehat presiden di bidang pertahanan, juga eksekutif kelompok AG dbp Tomy Winata. Melalui mitra bisnisnya di Sumut, AG mengelola perkebunan kelapa sawit PT First Mujur Plantation di Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu.
Artha Graha juga milik Sugianto Kusuma (‘Aguan’), pemilik PT Agung Sedayu Permai, holding company Agung Sedayu Group.

Artha Graha dan Agung Sedayu Permai banyak membangun gedung perkantoran & perumahan elit, yang tiap hari diiklankan di layar televisi.
Kurang disadari dampak lingkungan properti-properti mewah itu, yaitu:
(a) pembukaan lahannya menggusur rakyat kecil yang terpaksa bermukim di pinggir kali yang sangat tidak sehat;
(b) sangat rakus air tanah (membuat rakyat kecil tergantung pada air kemasan); dan
(c) ikut menyemburkan udara panas yang menaikkan suhu udara kota Jakarta.
Berlindung di balik nama SBY ada dua yayasan, yakni (1) Yayasan Puri Cikeas & (2) Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam.

Orang-orang dekat SBY menjadid pembina atau pengawas yayasan-yayasan itu. Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas = Jero Wacik, Menteri Pariwisata dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Ketua Pengawas Yayasan Nurussalam = Brigjen Kurdi Mustofa, Sekpri SBY.

Adik ipar (Hartanto Eddie Wibowo) dan anak bungsu SBY (Eddy Baskoro Yudhoyono) menjadi fungsionaris Yayasan Nurussalam. Hartanto, bendahara, Baskoro, sekretaris.

Sejumlah pengusaha era Orde Baru menjadi fungsionaris kedua yayasan itu, seperti Sukamdhani dan putera mahkotanya, Hariadi Sukamdani (Sahid Group), serta Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, serta Aziz Mochdar (Bimantara). Sukamdhani dan Tanri Abeng di Yayasan Cikeas, sedangkan Aziz Mochdar (ipar Yayuk Habibie, adik bungsu BJ Habibie) di Yayasan Nurusalam.

Ada juga pengusaha yang berlindung di balik fungsionaris Yayasan Nurussalam, seperti Gunawan Yusuf (Makindo), kompetitor Salim Group dalam perkebunan tebu di Lampung.
Menteri Lingkungan era SBY-JK, Rachmat Witoelar, memberikan label hijau kepada beberapa konglomerat perusak lingkungan, yakni RGM, Sinar Mas, dan Freeport Indonesia, Inc.

Ekspansi konglomerat-
konglomerat yang dekat dengan JK (pernah sama-sama jadi penggalang dana Golkar, seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Hartati Murdaya) ikut berekspansi di era SBY-JK, walaupun di tahun-tahun pertama kejatuhan Soeharto mereka masih berhutang besar pada bank-bank negara.
Kelompok Medco yang 60% milik keluarga Arifin Panigoro (40% milik Mitsui & Mitsubishi) berkembang dari migas (Sulteng, Aceh), PLT panas bumi di Sarulla (Sumut), kelapa sawit (Kalteng, Papua), paper dan pulp di Merauke (Papua), s/d rencana PLTN di Jepara (Jateng).

Namun blunder terbesar kroni-kroni JK adalah ekspansi bisnis keluarga Bakrie di bidang energi (Mega Energi Persada, Bumi Resources, Kondur Petroleum) yang mengakibatkan tragedi Lapindo bagi rakyat Jawa Timur, malapetaka lingkungan paling kurang ajar selama rezim SBY-JK!!


JEJAK REKAM MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, CAPRES PDI-P:
Sewaktu masih jadi oposisi di era Soeharto, PDI sekutu gerakan lingkungan dalam menentang pembangunan PLTN. Sesudah jadi Presiden, tidak terdengar suara PDI-P di bidang itu.
Setelah Mega jadi Presiden, keluarga Soekarno-Kiemas, Kiemas bersaudara punya 13 SPBU di wilayah Jabodetabek, di antaranya ada yang menerobos jalur hijau.

Goris Keraf, seorang kader PDI-P yang diangkat menjadi Menteri Lingkungan di era Presiden Gus Dur, bersuara keras terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Misalnya, terhadap PT TPL (Toba Pulp Lestari) dan PT Freeport Indonesia. Tapi akibat desakan rekan-rekan separtai, Keraf tidak bersuara keras lagi.

Setelah diganti oleh Megawati Soekarnoutri dengan Nabiel Makarim, Goris Keraf yang masih dipilih menjadi anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI, ia bahkan tidak bersuara menghadapi rencana tambang emas di P. Lembata, kampung halamannya, walaupun rencana itu ditentang oleh rakyat dan para rohaniwan OFM & SVD.


JEJAK REKAM PRABOWO SUBIANTO, CAPRES GERINDRA:
Dengan mengambilalih konsesi Kiani Group seluas 53 ribu ha dari Bob Hasan, Prabowo ikut melanggengkan penghancuran hutan Kaltim.
Di Aceh, Prabowo & adiknya, Hasyim Djojohadikusumo menguasai hutan seluas 97 ribu ha di Aceh Tengah melalui PT Tusam Hutan Lestari, sumber bahan baku pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Padahal pinus sangat tidak ramah lingkungan.

Di Kaltim, kakak beradik Prabowo & Hashim menguasai lebih dari satu juta hektar konsesi hutan dan tambang batubara, dan masih berencana membuka 700 ribu ha kebun aren (Warta Ekonomi, 9-22 Maret 2009, Laporan Khusus tentang Duet Bisnis & Politik, Hashim Djojohadikusumo & Prabowo Subianto).
Di Papua, Hashim, mengeksplorasi gas dari Blok Rombebai seluas 11.5900 km2 di Kabupaten Yapen , yang diperkirakan memiliki kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik (idem), dan dapat berdampak negatif bagi nelayan di Teluk Sairera.

Masih di Papua, Hashim berencana membuka perkebunan padi (rice estate) seluas 585 ribu ha dan perkebunan aren seluas 800.000 ha di Kabupaten Merauke (idem).

Berarti, bersama adiknya, Hashim Djojohadikusumo, Prabowo Subianto sudah menguasai lebih dari tiga juta hektar perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara dan ladang migas dari Aceh sampai ke Papua, dan masih berencana membuka 1,5 juta hektar lagi di Kaltim dan Merauke.


JEJAK REKAM WIRANTO, CAPRES PARTAI HANURA:
Hampir seluruh bisnisnya dijalankan oleh proxies, tanpa menampilkan nama Wiranto. Kalau mau selidiki kekayaannya, sebaiknya selidiki kekayaan pengurus Partai Hanura.
Sejak menjadi Pangdam V Jaya, Wiranto sering mendapat apartemen gratis di berbagai tower (menara pertokoan dan perumahan) mewah. Yang terbaru dan termahal adalah penthouse di Da Vinci Tower di Jl. Jendral Sudirman, milik Antonio (“Tony”) Munafo, Presiden Da Vinci Eropa yang sering datang dari Singapura.

Wirantolah orang yang mendorong pemekaran kembali Kodam yang dulu diciutkan oleh Benny Murdani dari enambelas menjadi sepuluh Kodam. Lewat berbagai pertumpahan darah, Kodam Pattimura dan Kodam Iskandar Muda telah lahir kembali. Setelah konflik Poso, jumlah Batalyon di Sulteng telah dimekarkan dari satu menjadi tiga.

Berbagai bisnis kelabu itu punya dampak lingkungan yang sangat buruk, seperti pembalakan liar di TN Leuser, eksploitasi kayu hitam di Sulteng dan kayu gaharu di Papua Barat, serta perdagangan liar fauna dan flora langka di seluruh Nusantara.


JEJAK REKAM SUTIYOSO:
Sewaktu masih menjadi Gubernur DKI, Sutyoso merintis program Busway (Transjakarta), dengan alasan untuk mengurangi kemacetan dan kepadatan lalulintas di DKI. Kenyataannya, pengambilan satu jalur jalan di rute-rute yang ramai, justru memadatkan lalulintas lain di jalur yang tersisa. Masih diragukan apakah itu mengurangi kemacetan lalulintas dan mengurangi polusi udara.

JEJAK REKAM SULTAN HAMENGKU-BUWONO X, CAPRES PARTAI REPUBLIKAN:
Banyak orang tidak mengetahui bahwa berdasarkan warisan Belanda, Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjadi penguasa tanah di seluruh wilayah DIY, bersama Paku Alam. Semua tanah yang bukan milik pribadi orang (eigendom), tergolong SG (Sultan’s Gronden) atau PAG (Paku Alam’s Gronden).
Sultan HB X dan isterinya, Ratu Hemas, tidak punya putera mahkota yang dapat ditahbiskan menjadi Sultan HB XI, sepeninggal HB X, sehingga HB X berusaha mewariskan sesuatu yang lain kepada kelima orang puterinya.

Tiga dari lima orang puteri HB X yang telah menikah, termasuk puteri tertua (Gusti Pembayun) dan puteri kedua, menikah dengan pelaku bisnis. Berbekal tanah kesultanan (SG), puteri-puteri HB X mengikuti jejak sebagian paman mereka, menjadi pebisnis, bermitra dengan orang luar DIY.
Gusti Pembayun menjadi mitra Sampoerna Group, yang telah membangun pabrik rokok di Kabupaten Bantul, menjaring konsumen rakyat bawah, dengan merek Kraton Dalem. Kongsi itu mendapatkan alokasi tanah untuk menanam tembakau di Bantul.

PT JMI (Jogja Magasa Iron), anak perusahaan PT JMM (Jogja Magasa Mining) milik Gusti Pembayun dan pamannya, GBPH Joyokusumo (adik HB X), menjadi mitra Indo Mines Ltd, suatu perusahaan pertambangan Australia yang terdaftar di bursa saham Perth, dalam rencana penambangan pasir besi, yang akan memotong areal sepuluh desa di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Rencana itu ditentang rakyat setempat anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo (Koran Tempo, 12 Nov. 2008, 12 Febr. 2009; Direct Action, Agustus 2008).

Ketika ribuan petani anggota PPLP melakukan unjuk rasa di depan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Selasa, 17 Maret yang lalu, Freddy Numberi bukannya membela para petani pesisir tersebut. Ia menghimbau para calon korban gusuran proyek pertambangan pasir besi itu untuk “melihat ke depan”, karena kerjasama antara keluarga keratin dan kapitalis Australia itu “menguntungkan beberapa pihak”. “Penolakan warga itu hal biasa”, begitu ia tambahkan. Tampaknya kedua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu itu tidak mau mempertimbangkan pertimbangan para petani pesisir, bahwa tanah mereka adalah tanah bersertifikat. Bukan tanah milik Sultan alias Sultan’s Gronden (Harian Yogya, 18 Maret 2009).


KESIMPULAN:
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa tujuh orang calon presiden – SBY, JK, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutyoso, dan Sultan HB X -- , tidak dapat diharapkan mengatasi berbagai masalah lingkungan di Indonesia. Apa yang dapat diharapkan dari sudut pemeliharaan kelestarian lingkungan di Nusantara, apabila satu di antara mereka terpilih sebagai Presiden?

Sebaiknya kita mulai perhatikan agenda kampanye para capres dan cawapres alternatif, yang masih aktif dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia, seperti pasangan Rizal Ramli dan Eros Djarot, atau capres yang berasal dari partai-partai mapan, seperti Golkar, tapi berani melawan arus, seperti Marwah Daud Ibrahim dan Judy Chrisnandy.

Namun yang paling penting dan paling baik adalah: pilihlah capres alternatif yang sejak dini berani mengungkapkan siapa calon Menteri Lingkungannya, kemudian pilihlah calon presiden dan calon menteri lingkungan yang punya jejak rekam yang tetap setia pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM, dan pemberantasan korupsi di Nusantara.

Yogyakarta, 30 Maret 2009


Catatan Belakang:
(1) Mantan Wakil Ketua Presidium WALHI; mantan Direktur YPMD-Irja; anggota Dewan Penasihat People’s Empowerment Consortium (PEC)




Selengkapnya...

Senin, Maret 30, 2009

Bencana Situ Gintung dan Pembelajaranya

Ditengah hiruk pikuk masyarakat Indonesia untuk menyambut Pemilihan Umum 2009 yang sudah hitungan hari, dan sibuknya para politikus negeri ini mengobral janji-janjinya. Kita dikejutkan oleh tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung di Tanggerang Selatan, Banten. Kejadian yang terjadi pada Jumat dinihari, sampai dengan hari Minggu 29 Maret 2006 sudah menelan korban 93 orang meninggal, 192 orang hilang, 190 orang luka, 1600 orang harus mengungsi (Detikcom, Minggu) dan ratusan rumah dan bangunan lainnya hancur.

Tanggul yang dibangun pada zaman Belanda (1932-1933) ini mempunyai luas 31 hektar dengan kedalaman 10 meter dan daya tampung air 2,1 juta meter kubik (Kompas, Sabtu 28 Maret 2009). Sayangnya akibat perkembangan penduduk dan tidak tegaknya peraturan di negeri ini, luas tersebut sekarang mengalami penyusutan hingga hanya tersisa 21,4 hektar, dan kedalamannyapun tinggal 4 meter saja. Ketika dibangun tiga per empat abad silam bendungan ini menurut sejarawan yang juga Kepala Subdirektorat Peradaban Sejarah, Restu Gunawan dimaksudkan untuk pengairan dan pengendalian banjir Jakarta. Sekarang berkembang menjadi tempat wisata air dan kawasan perikanan.

Alih fungsi lahan dan kerusakan hutan

Adanya alih fungsi lahan di daerah tanggul, diyakini banyak pihak sebagai salah satu penyebab melemahnya daya dukung tanah terhadap kekuatan tanggul. Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Banten Winarjono, kawasan 10 hektar dihilir situ sebenarnya adalah kawasan konservasi dan terlarang untuk daerah hunian. Namun menurut WALHI (2009) faktanya; kawasan itu sudah berubah menjadi perumahan, restoran, hotel, dan areal bisnis.
Selain itu, kerusakan hutan dihulu sungai yang sudah sangat parah juga menjadi pemicu. Di sepanjang DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang berhubungan langsung dengan Situ Gintung kondisi hutannya sudah sangat buruk. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia (Purwati, 2009) di daerah aliran sungai Ciliwung pada tahun 2000 luas tutupan hutannya 4918 hektar (9,43 %) dan berkurang menjadi 4162 hektar (7,98%) pada tahun 2005. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan yang signifikan, dimana luas tutupan hutannya tinggal 1665 hektar (3,19%) dan terakhir berkurang menjadi 1265 hektar (2,42 %). Di sini terlihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 telah terjadi pengurangan luas hutan yang sangat signifikan sebesar 7,01%.

Lambannya respon

Peneliti Pusat Bencana Institut Teknologi Surabaya, Amin Widodo, mengatakan bahwa 2 tahun lalu warga sudah melaporkan lemahnya perawatan terhadap tanggul. Hal senada juga disampaikan oleh Sutopo Purwo Nugroho, Direktur Bidang Sumber Daya Lahan Kawasan dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pada Desember 2008 sudah ditemukan banyak longsoran kecil dan rembesan di sepanjang tanggul Situ Gintung (Kompas, 2009). Hampir semua korban selamat juga mengatakan bahwa November 2008 sudah pernah terjadi air meluap tapi tidak besar seperti sekarang, dimana air meluap menggenangi rumah penduduk tapi pada skala kecil dan tidak ada korban.

Tanggul ini sendiri, sejak dibangun hampir satu abad yang lalu belum pernah direnovasi, padahal tanggul ini hanya dibuat dari tanah. Perawatan yang dilakukan pemerintah hanya pengerukan dengan menggunakan eskavator. Terakhir dilakukan adalah pada tahun 2008.
Fakta-fakta yang saya ungkapkan diatas sebenarnya dapat dijadikan pemerintah sebagai tools untuk menganalisis berbagai kemungkinan yang terjadi, dan kemudian hasilnya disampaikan ke masyarakat sebagai bentuk peringatan dini. Namun, sayangnya pemerintah tidak merespon berbagai tanda-tanda yang terjadi. Kalau saja informasi itu direspon secara cepat dan dilanjutkan dengan langkah yang cepat dan tepat, paling tidak itu bisa meminimalisir jumlah korban. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebenarnya sudah mewajibkan kepada daerah-daerah agar bencana ditanggulangi sebelum, saat dan sesudahnya. Sayangnya masih banyak daerah yang belum menjalankan mandate undang-undang tersebut, termasuk Jakarta dan Banten.

Fenomena environmental refugee

Seperti disampaikan oleh berbagai media, akibat dari bencana ini 1600 orang penduduk yang selamat harus tinggal ditempat-tempat pengungsian atau tempat teman dan keluarga.
Fenomena masyarakat yang harus meninggalkan rumahnya baik itu permanen atau tidak karena kerusakan lingkungan, apakah itu karena faktor alam atau ulah manusia seperti kekeringan, gempa bumi, pencemaran, dan banjir sering disebuut dengan environmental refugee. Istilah environmental refugee pertama kali diperkenalkan oleh Lester Brown (1970), kemudian didefinisikan secara detil oleh El-Hinnawi dalam laporan UNEP (United Nation for Environment Program). Pengungsi akibat bencana lingkungan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu : Voluntary migrants adalah masyarakat yang mengungsi karena kondisi lingkungan tempat tinggalnya mengancam keselamatan mereka.

Biasanya terjadi pada masyarakat yang dalam ancaman gunung meletus, dimana pengungsian dilakukan sementara. Ini pernah terjadi di Yogyakarta ketika penduduk ada dalam ancaman letusan Gunung Merapi. Kedua adalah compelled environmental emigrants atau masyarakat yang mengungsi karena dampak bencana menyebabkan mereka tidak bisa tinggal lagi. Dalam hal ini pengungsian bisa terjadi permanen dan tidak. Dan kategori ketiga adalah forced environmental refugee atau mengungsi karena dipaksa. Biasanya ini terjadi untuk kepentingan pembangunan seperti dam dan konservasi. Kondisi lainnya adalah karena masyarakat ada dalam ancaman ecocide.

Di Indonesia, fenomena pengungsi karena kehancuran lingkungan hidup pernah terjadi beberapa kali. Misalnya ketika pembangunan Dam Kedung Umbo, Merapi Jogja, Lumpur Lapindo dan terkahir adalah bencana Situ Gintung. Situ Gintung termasuk dalam kategori environmental refugee karena Situ Gintung berfungsi sebagai wilayah konservasi air. Namun karena tidak ada perawatan yang baik oleh pemerintah serta lemahnya kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi itu menyebabkan bencana bagi masyarakat yang tinggal disekitar. Jenis pengungsian dalam kasus ini secara umum tidak akan permanen.
Setelah kondisi membaik dan ada perbaikan terhadap waduk pengungsi akan kembali lagi, atau bisa disebu sebagai compelled environmental emigrants.

Pembelajaran

Tragedi Situ Gintung memberikan pelajaran yang sangat penting bagi kita bahwa kerusakan lingkungan hidup dapat mengakibatkan bencana yang dahsyat. Kita sering tidak sadar kalau apa yang kita perbuat ternyata dalam jangka panjang berakibat fatal terhadap keselamatan kita. Seperti dalam kasus Situ, selama berpuluh-puluh tahun masyarakat menikmati manfaatnya untuk rekreasi, penanggulangan banjir dan perikanan. Namun dalam waktu bersamaan, alih fungsi lahan di sekitar, hilir dan hulu untuk pembangunan terus dilakukan dan ini mengakibatkan penyempitan dan penyusutan daya tahan waduk, sementara beban waduk terus meningkat, hingga akhirnya jebol dan korban jiwa berjatuhan.

Di Sumatera Selatan, terutama yang tinggal diperkotaan fenomena bencana akibat kerusakan lingkungan sudah sedemikian terasa, misalnya banjir. Ironisnya, ini dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kota besar. Seperti telah terjadi proses internalisasi masalah-masalah kronis tersebut ke dalam taraf bawah sadar penduduk. Padahal semua itu dapat diminimalisir dengan pola pemakaian sumber daya yang berorientasi pada kelestarian ekologis. Sekedar mengingatkan bahwa hutan di Sumsel ini setiap tahun mengalami degradasi yang sangat pesat akibat konversi lahan, kebakaran hutan dan pembalakan kayu. Sebagai contoh, hutan gambut yang masih baik dan berfungsi sebagai catchment area hanya tersisa 200 ribu hektar di Merang Kepayang saja.

Inipun dalam ancaman serius oleh konversi lahan untuk perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, serta pembalakan kayu. Sebagai akhir dari tulisan ini saya ingin mengingatkan bahwa hendaknya bencana-bencana akibat kerusakan lingkungan selama bisa menjadi pembelajaran penting bagi kita agar jangan main-main dengan alam. Alam bisa menjadi sahabat tapi juga bisa menimbulkan bencana yang mematikan, dan itu pilihannya ada pada diri kita masing-masing.

Mantan direktur WALHI SUMSEL 2002-2006.




Selengkapnya...

Industri, Pemasok Polusi Terbesar

A RIVAI - Kegiatan uji emisi yang digelar oleh Pemerintah Kota Palembang terhadap kendaraan dinas roda empat pada Jumat (27/3) dinilai Wahana Linkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan tidaklah efektif. Padahal, kegiatan tersebut dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar.
Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi, Hadi Jatmiko, berpendapat bahwa tindakan tersebut tak menghasilkan upaya maksimal dalam menekan tingkat pencemaran udara di Palembang. "Harusnya, pemkot juga dapat melakukan uji emisi pada setiap kendaraan yang lalu lalang di sini (Palembang, red)," ujarnya, kemarin.
Hadi menambahkan, untuk mengurangi dan mencegah terjadinya pencemaran udara yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor tak cukup hanya uji emisi. Tapi harus ditindaklanjuti dengan sanksi kepada pemilik kendaraan yang tak lolos uji emisi.
Masih kata dia, persoalan pencemaran udara akibat kendaraan bermotor masih lah dalam skala kecil dalam pelbagai persoalan polusi lingkungan hidup di Palembang. Menurutnya, pencemaran pada porsi besar, justru dilakukan oleh sejumlah aktivitas industri seperti PT Pustri, PT Semen Batu Raja, PT Pertamina, dan pabrik pengelolaan karet di bantaran Sungai Musi.
"Karenanya, kami (Walhi) mendesak Pemkot Palembang untuk segera mencanangkan atau membuat aturan daerah tentang hari bebas kendaraan bermotor di wilayah hukum Kota Palembang," tutur Hadi. Lainnya, Walhi mendesak kepada pemkot untuk menciptakan Perda yang membatasi kepemilikan dan penggunaan kendaaraan bermotor milik pribadi dengan mengefektifkan transportasi massal.
"Terakhir kami menuntut pemkot dan Pemprov Sumsel untuk membawa setiap kasus pencemaran lingkungan hidup ke meja hijau sesuai dengan Pasal 41 No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya. (mg15)

Sumber : Sumeks





Selengkapnya...

Sabtu, Maret 28, 2009

Bencana Situ Gintung

Bentuk Arogansi Pemerintah Yang Mengorbankan Rakyat

Jakarta (28/3) - Bencana di kawasan situ Gintung Ciputat Tangerang Banten setidaknya telah menelan korban 21 orang meninggal dan 10 orang luka-luka berdasarkan data korban di RS Fatmawati yang dipantau oleh WALHI hingga Jumat (27/3) pukul 20.25 WIB. Sementara sumber lainnya menyebutkan sampai pukul 18.00 WIB, 38 orang meninggal dunia. Sumber lain menyebutkan 65 orang sudah meninggal dunia sampai dengan pukul 22.40 WIB.

Perbedaan data jumlah korban ini bukan hal yang baru ketika sebuah becana terjadi, bahkan sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tak pernah belajar dan tidak pula melakukan upaya serius untuk melindungi hak-hak warga Negara. Bagaimana mungkin upaya tanggap darurat bisa dilakukan dengan maksimal jika data korban tidak ada yang pasti.

Yang tak kalah menariknya di balik bencana ini, para politisi yang bertarung dalam PEMILU 2009 berbondong-bondong mendatangani lokasi dan menjadikan bencana sebagai ajang kampanye gratis dengan kedok solidaritas kemanusian. Padahal sebelumnya tak ada yang peduli pada nasib lebih dari 15.000 orang korban korban Lapindo yang sampai hari ini kehilangan hak hidup dan dipaksa menghirup racun yang keluar bersama semburan lumpur.

Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang disampaikan oleh Berry Nahdian Forqan selaku Direktur Eksekutif Nasional, bahwa bencana di Situ Gintung setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak adanya upaya serius pemerintah (Gubernur Banten) dalam pemeliharaan (maintenance) Situ Gintung yang sudah dibangun sejak tahun 1932. Pada bulan November 2008 bencana yang sama namun dalam skala yang lebih kecil sudah pernah terjadi dan sudah pula dilaporkan oleh masyarakat. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sementara jika dilihat dari jumlah situ di Jabotabek yang berjumlah sekitar 193 situ, dengan luas keseluruhan 2.281,90 hektar. Lebih dari separuhnya (± 68%) dalam keadaan rusak. Dengan data ini saja seharusnya pemerintah sudah bisa berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga, tapi hal ini tak pernah dilakukan.

Kedua, alih fungsi kawasan situ menjadi kawasan perumahan, restoran, hotel, tempat pembuangan sampah dan kawasan bisnis lainnya yang terus terjadi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan faktor keselamatan rakyat (human security). Pemerintah juga telah mengakui hal ini lewat departemen PU pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan situ. Dimana dari total luas situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 ha. Saat ini hanya tinggal 1.462,78 ha saja. Dari jumlah tersebut, hanya 19 situ yang kondisinya baik.

Ketiga, lemahnya koordinasi antar pemerintah di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane. Keempat, tidak tersedianya sistem informasi dan sistim peringatan dini untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa ketika bencana terjadi.

Erwin Usman Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional WALHI menambahkan, meluasnya area genangan air di setiap musim hujan, dan ancaman munculnya bencana banjir dan disertai longsor di kawasan-kawasan padat penduduk di Jadebotabek, adalah akibat dari terjadinya kerusakan fungsi ekologis dan menurunnya daya tampung situ, serta ketiadaan perhatian serius pemerintah merevitalisasi fungsi situ, danau dan bendungan.

WALHI menyayangkan lemahnya tindakan pencegahan dan penanganan bencana di kawasan situ Gintung. Gubernur Banten dan Departemen Pekerjaan Umum harus dimintai pertanggungjawabannya. Jika sejak awal Gubernur dan jajaran Pemerintah provinsi Banten sigap dan tanggap mendengar keluhan warga dan mencermati perubahan bentang alam dan kondisi situ gintung, bencana dan jatuhnya korban di pihak masyarakat tak perlu terjadi.

Selain itu juga WALHI mendesak dilakukannya penghentian alih fungsi kawasan situ, DAS dan wilayah tangkapan air (cathment area) lainnya di wilayah Jadebotabek untuk memberi ruang bagi pemulihan kawasan ekologi dan mencegah berulangnya bencana. Segera lakukan restorasi ekologi kawasan situ dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai upaya penyelamatan lingkungan mutlak dilakukan pemerintah. Sistem peringatan dini (early warning system) oleh pemerintah harus segera dibenahi untuk mencegah jatuhnya korban bencana.





Selengkapnya...

Selasa, Maret 10, 2009

100.000 Ha Teritori Harimau Dirusak

Masih seputar Berita tentang Harimau yang memangsa manusia, saat ini hampir di setiap daerah atau propinsi yang ada di pulau sumatera pernah mengalami kejadian penyerangan Hewan Buas yang dilindungi ini, mengapa demikian?berita di awah ini mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Di Sumsel, 8.333 Ha Hutan Hilang Setiap Bulan

Hampir 100.000 hektar areal hutan produksi yang menjadi habitat harimau sumatera di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, telah dirusak perambah dan pembalak liar. Kondisi itu yang menyebabkan maraknya konflik antara harimau dan manusia dua bulan terakhir ini.

Hunian harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Muaro Jambi adalah hutan produksi hak pengusahaan hutan (HPH) Putra Duta seluas 35.000 hektar (ha) dan eks HPH Rimba Karya Indah (RKI) sekitar 50.000 ha. Hanya dua tempat itulah yang masih cocok untuk harimau mencari makanan dan berkembang
biak karena hutan di sekitarnya telah menjadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit.

Taman Nasional Berbak yang tak jauh dari lokasi itu juga kurang memungkinkan menjadi hunian harimau karena kondisinya yang penuh rawa.

”Hunian harimau hanya tinggal hutan produksi, tetapi sudah rusak karena marak perambahan dan pembalakan oleh manusia. Harimau juga tidak bisa pindah
karena telah dikepung HTI dan perkebunan sawit. Harimau terjepit di sekitar hutan produksi itu,” tutur Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi
Didy Wurjanto, Senin (9/3).

Didy memastikan, meningkatnya konflik antara harimau dan manusia, yang mengakibatkan sembilan orang meninggal diterkam selama sebulan ini, disebabkan
perusakan hutan. Kepal Subdinas Perencanaan Dina Kehutanan Provinsi Jambi Daru Pratomo mengemukakan, areal eks HPH Putra Duta dan RKI paling rawan dirambah dan dibalak karena tidak ada penjagaan ketat di dua lokasi itu.

Izin HPH untuk RKI telah dicabut tiga tahun lalu. Saat ini ada dua perusahaan yang sedang mengajukan pemanfaatan hutan produksi itu menjadi HTI, yaituPT Pesona Belantara dan PT Rimbun Persada. Sementara Putra Duta yang masih mengantongi izin HPH tidak memanfaatkan hutan seluas 35.000 hektar.

Serangan harimau di wilayah perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, kata Manajer Pengembangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko, merupakan gambaran fenomena gunung es permasalahan kerusakan hutan di dua provinsi bertetangga itu. Walhi Sumsel mencatat, kerusakan hutan di Sumsel sekitar 8.333 ha per bulan.

”Tiga tahun ini kerusakan hutan di Sumsel 100.000 hektar atau setiap bulan 8.333 hektar. Saat ini luas hutan Sumsel tinggal 1,21 juta hektar. Dalam 10 tahun, jika terus seperti ini, hutan di Sumsel bakal habis,” kata Hadi di Palembang, Senin.

Hadi menyebutkan, kerusakan hutan disebabkan alih fungsi lahan dari hutan alam menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet. Masalah lain adalah penebangan hutan secara liar. Hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah juga masih terus mengeluarkan izin pengelolaan hutan kepada perusahaan swasta.

Di lokasi terbunuhnya sembilan warga oleh harimau di perbatasan Jambi dan Sumsel terdapat empat perusahaan yang membabat hutan. Setiap hari puluhan truk keluar-masuk hutan mengangkut kayu.

Sumber : Kompas




Selengkapnya...

Senin, Maret 09, 2009

Warga Tewas Diterkam Harimau Memprihatinkan

Para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyampaikan sikap keprihatinan atas kejadian beruntun, warga yang tewas setelah diterkam harimau sumatera terus berlangsung di kawasan hutan sejumlah wilayah di Sumatera.

Informasi terakhir, satu lagi warga--diduga juga sedang melakukan aktivitas pembalakan liar di hutan--dilaporkan tewas akibat diterkam harimau sumatera liar di hutan Sungai Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan (Sumsel), Rabu.

Namun Humas Pemda Kabupaten Muba, Lingga, belum dapat menjelaskan secara detail peristiwa dan korban tewas itu.

Tapi diperkirakan lokasinya tidak berjauhan dengan tempat beberapa korban lain yang juga tewas akibat terkaman harimau di kawasan hutan wilayah Jambi yang berbatasan dengan daerah di Sumsel itu.

Kejadian beruntun warga tewas diterkam harimau Sumatera (pPanthera tigris sumatrae) di dalam kawasan hutan sejumlah provinsi di Sumatera (Aceh, Jambi, Riau, Sumsel), menurut para aktivis lingkungan hidup, perlu segera diatasi secara komprehensif.

Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat menanggapi kejadian itu, menilai Pemerintah dalam hal ini Balai Konservasi Sumberdaya Manusia (BKSDA) yang tidak mampu memberi peringatan dini atau "early warning" kepada masyarakat.

Sadat menduga, justru tidak adanya peringatan dini itu akibat BKSDA sendiri tidak memiliki data akurat mengenai jumlah dan keberadaan satwa harimau di hutan wilayah kerja mereka.

Dia juga menilai, saat ini tempat hidup alami (habitat) harimau liar itu di hutan telah terganggu.

"Keberadaan harimau liar itu semakin tersingkir akibat penyempitan ruang hidup, karena aktivitas manusia, seperti perburuan, pemadatan penduduk dan ekspansi industri di sekitar dan masuk ke dalam kawasan hutan," ujar Sadat lagi.(*)


Selengkapnya...

Sabtu, Maret 07, 2009

Walhi Kritik Imbauan Gubernur

Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(ED Walhi) Sumsel menilai imbauan Gubernur Sumsel H Alex Noerdin kepada
perusahaan besar untuk menjaga lingkungan, tidak akan efektif dalam
mengatasi kerusakan lingkungan di Sumsel.

Bahkan,Manager Advokasi Eksekutif Daerah Walhi Sumsel Yuliusman
mengatakan, imbauan gubernur kepada perusahaan yang bergerak di bidang
pertambangan, energi, perkebunan,dan perhutanan di Sumsel agar dapat
ikut menjaga kelestarian lingkungan, tidak akan berjalan maksimal.

Sebab, menurut dia, imbauan tersebut hanya akan dianggap angin lalu
ketika pelaku usaha terbentur pada kondisi yang mengharuskan mereka
lebih mengembangkan usahanya, guna meraih keuntungan lebih besar lagi.

“Seharusnya gubernur lebih fokus kepada penegakan hukum terhadap
perusahaan yang terbukti melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran
hak masyarakat setempat, akibat kegiatan usahanya,” ujarnya
dalamsiaranpers ED WalhiSumselyangditerima SINDO kemarin.

Yuliusman memaparkan, kondisi kerusakan hutan Sumsel yang disampaikan
gubernur bukan merupakan hal baru. Yulius berkeyakinan, belum juga
imbauan tersebut ditindak lanjuti, praktik eksploitasi sumber daya alam
(SDA) akan terus terjadi. Bahkan,hal itu diperparah adanya pemakluman
dari petugas pengawasan ketika terjadi pelanggaran hukum.

Belum lagi diberikannya berbagai kemudahan bagi kalangan pengusaha dalam
memperoleh perizinan meskipun melanggar tata ruang wilayah dan peraturan
lainnya. “Walau gubernur menyatakan akan berupaya mengatasi KKN di
Sumsel,namun pada kenyataannya, praktik korupsi dan kolusi masih saja
terjadi di lapangan.

Tentu saja kondisi ini membuat kerusakan lingkungan Sumsel semakin
mengkhawatirkan,” bebernya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi
Sumsel Anwar Sadat menambahkan,bumi Sumsel yang kaya akan berbagai jenis
barang tambang dan sangat potensial sebagai lahan perkebunan, telah
menjadi target berbagai perusahaan untuk mengembangkan usahanya.

Bahkan, sejak berdiri dan beroperasinya beberapa perusahaan nasional dan
multi nasional di Sumsel, tingkat degradasi lingkungan Sumsel semakin
tinggi.Hal itu tercermin pada semakin maraknya kasus pencemaran
lingkungan dan kerusakan hutan alam yang terjadi. “Pencemaran oleh
perusahaan Migas dan CPO terus terjadi berulang kali setiap tahunnya.

Bahkan laju kerusakan hutan Sumsel sudah masuk tahap memprihatinkan.
Luas kawasan hutan Sumsel yang mencapai 3.777.547 hektare atau 3,4% dari
luas hutan Indonesia, hingga akhir 2008 hanya tersisa sekitar 1.129.000
hektare saja,”ungkapnya.

Menurut Sadat,upaya perusahaan menyalurkan corporate social
responsibility (CSR) salah satunya ke bidang penanganan kerusakan
lingkungan,belum cukup ampuh mengatasi kondisi yang telah berlangsung
sejak lama itu.

Apalagi, program CSR yang diterapkan perusahaan selama ini merupakan
agenda terselubung untuk menguasai dan menguras Sumber Daya Alam (SDA)
Sumsel secara lebih leluasa.
Selengkapnya...

Kamis, Maret 05, 2009

Siaran pers ED WALHI Sumsel : “Gubernur Tidak Jeli Melihat Realitas Lingkungan Hidup Di Sumsel”

Menyikapi pernyataan Gubernur Sumsel Ir. H Alex Noerdin SH di media harian (4/3), mengenai kondisi lingkungan yang rusak akibat ulah perusahaan besar. Bahwa Gubernur menghimbau kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, energi, perkebunan dan perhutanan di Sumsel dapat ikut menjaga kelestarian lingkungan. Menurut WALHI, semestinya Gubernur Sumsel tidak perlu memberikan himbauan dengan cara bersilahturahmi kepada pelaku usaha. Melainkan harus melaksanakan penegakan hukum kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan ataupun perusakan lingkungan akibat kegiatan usahanya.


Bahwa apa yang dinyatakan oleh Gubernur Sumsel mengenai kondisi hutan yang rusak sebenarnya bukanlah sebuah kondisi yang baru bagi Sumatera Selatan. Apalah artinya kalau hanya sekedar memberikan himbauan kepada pengusaha, sementara paraktek eksploitasi SDA terus saja terjadi, dan adanya pemakluman ketika terjadi pelanggaran hukum, serta diberikannya berbagai kemudahan bagi kalangan pengusaha dalam memperoleh perizinan. Tentunya kondisi itu akan tatap saja memperpanjang rentetan kerusakan lingkungan di Sumsel. Berikut beberapa fakta kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatera Selatan;

Pencemaran
Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2008, lebih banyak dilakukan oleh berbagai aktifitas perusahaan dan industri seperti Migas dan Crude Palm Oil (pengolahan minyak sawit). Dalam catatan WALHI Sumsel, telah terjadi 11 kali pencemaran, yang diantaranya diakibatkan oleh kebocoran pipa dan tumpahan minyak (7 kali) dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (4 kali).

Tumpahan minyak dan kebocoran pipa paling banyak terjadi pada PT. Pertamina. Beberapa kejadian tersebut selain berdampak kepada tercemarnya air sungai (sungai Rebo di Banyuasin I, dan sungai Kelekar di Prabumulih Barat) juga banyak merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. PT. Elnusa Oilfield Services (PT. EOS) juga pernah mengalami kebocoran pipa. Kejadian yang terjadi di Kelurahan Betung Kabupaten Banyuasin tersebut menyebabkan air-air sumur warga rusak dan tercemarnya sungai Sedompok sehingga menyebabkan ratusan ikan mati.

Demikian pula pencemaran yang terjadi oleh limbah kelapa sawit. Beberapa kali usaha PT. Ciptu Futera (Cifu) telah mencemari Sungai Lagan dan Nau. Atas peristiwa yang telah menyebabkan bau busuk dan matinya ikan di kedua Sungai itu, masyarakat Desa Ulak Bandung Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Muara Enim telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemkab Muara Enim. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat di Pangkalan Benteng Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Pencemaran yang dilakukan oleh limbah pabrik juga telah merusak air sungai yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, dan memasak.

Perkebunan (Kelapa Sawit)
Bahwa ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan.
Dalam pantauan WALHI Sumsel salah satunya yang terparah terjadi di kawasan hutan Suaka Marga Bentayan, yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB), yang berada di Desa Peninggalan dan Desa Simpang Tungkal – Kabupaten MUBA. Perusahaan tersebut telah mencaplok hutan konservasi, yang berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam, wajib dilindungi.

Hutan Tanaman Industri
Kegiatan usaha hutan tanaman industri (HTI), ikut pula menyokong laju percepatan kerusakan hutan alam di Sumsel. Spirit yang dimunculkan, bahwa HTI merupakan jenis usaha guna memulihkan kondisi hutan tidaklah demikian realitasnya. Tercatat hingga saat ini dengan luas lahan investasi HTI di Sumsel yang mencapai 1.103.870 ha, banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan tropis Sumsel. Umumnya perusahaan HTI tersebut mengawali usahanya dengan mencaplok hutan alam yang masuk ataupun berada di sekitar izin usahanya.
Sebagai contoh, Pada kawasan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur – Mesuji (OKI) sepanjang tahun 2008, telah dilakukan pembukaan kawasan lindung tersebut menjadi lokasi sarana prasarana bagi kegiatan HTI (group Sinar Mas), berupa: pembukaan kanal Outlet, basecamp, logyard, dengan luas kawasan lindung yang digunakan untuk keperluan tersebut mencapai 190 ha.

Disamping itu, dari sisa hutan produksi alam yang masih cukup baik dan bernilai penting bagi kehidupan liar yang dilindungi serta penyimpan karbon hutan terbesar di Sumatera Selatan (± 47 jutan ton Carbon) adalah Kawasan Hutan Gambut Merang – Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir (MUBA) seluas ± 204.000 ha. Namun pada beberapa tempat telah dialokasikan sebagai konsesi HTI, bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha.

Sektor Kehutanan
Laju kerusakan hutan Sumsel saat ini berada pada situasi yang sangat memperihatinkan. Dari luasan kawasan hutan Sumsel yang mencapai 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia, diasumsikan luas hutan Sumsel saat ini hanya tinggal sekitar 1.129.000 ha saja.
Salah satunya pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang menggunakan kawasan Lindung Air Telang seluas 600 ha, juga menjadi catatan penting didalam skenario pengrusakan Hutan Lindung di Sumatera Selatan. Karena pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah dimulai pada awal tahun 2008, tidaklah dikaji secara mendalam dampak yang ditimbulkan bagi kawasan lindung dan Taman Nasional Sembilang yang ada di sekitarnya.
Sementara disisi lainnya, perlu difahami bahwa izin pembangunan pelabuhan TAA yang mengkonversi hutan lindung Air Telang merupakan hasil kong-kalingkong antara Pemerintah Daerah ketika itu dan Komisi IV DPR RI. Dengan telah dijatuhkannya vonis hukum tetap terhadap salah satu mantan anggota Komisi IV DPR RI (Sarjan Taher), WALHI Sumsel menegaskan bahwa bahwa perizinan pelabuhan TAA benar-benar bermasalah alias cacat hukum.

Program CSR
Sementara terkait dengan program Corporate Social Responsibility (CSR), berdasarkan penelitian WALHI Sumsel terhadap PT. Medco Energi di Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA), bahwa ternyata kehadiran perusahaan melalui program-program CSRnya, justru cendrung banyak memunculkan berbagai persoalan sosial di masyarakat, diantaranya :
 Konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan perangkat desa, karena tidak jelasnya mekanisme yang dijalankan oleh perusahaan dan Perangkat Desa dalam melakukan pembagian bantuan kepada masyarakat. Contohnya, bibit karet, anak ayam dan bibit ikan tidak diketahui berapa jumlah bantuan untuk masing-masing orang atau keluarga, sehingga banyak warga yang tidak kebagian bantuan. Ini menimbulkan kecemburuan warga yang tidak mendapatkan terhadap warga yang mendapatkan bantuan.

 Sejak kehadiran perusahaan, banyak perkebunan rakyat yang dijadikan lokasi ekplorasi dan produksi migas, sehingga menyebabkan banyak warga masyarakat kehilangan tanah kehidupannya. Sementara itu, perusahaan tidak melakukan rekrutmen karyawan terhadap warga setempat. Kalaupun terdapat warga setempat atau warga asli yang bisa bekerja di perusahaan hanyalah orang-orang kaya, karena mereka harus mengeluarkan uang pelicin (sogokan) kepada oknum karyawan perusahaan untuk bisa bekerja menjadi karyawan perusahaan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin.

 Manipulasi dan korupsi dalam pelaksanaan program. Contohnya, pemberian bantuan bibit ikan di Desa Teluk yang berdasarkan janji perusahaan seharusnya mencapai lima puluh ribu ekor bibit. Namun pelaksanaannya hanya tiga puluh ribu ekor bibit, sementara masyarakat yakin bahwa bantuan tersebut sebanyak lima puluh ribu bibit. Manipulasi di sini dilakukan oleh pemerintah desa.

 Konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat akibat dari aliran air bersih yang tidak sampai ke warga yang rumahnya berada di ujung pipa aliran air, sedangkan untuk warga yang rumahnya berada di pangkal mereka selalu mendapatkan air. Hal ini menimbulkan asumsi dari warga yang tidak kebagian air bersih bahwa aliran air untuk mereka ditutup oleh warga yang mendapatkan air.

Kiranya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi selama ini, tidaklah juga mencerminkan adanya perbaikan dan pembenahan ketika masih saja tampak terpampang watak pemerintah yang eksploitatif. Berbagai gambaran persoalan di atas merupakan realitas, bahwa politik ekologi belumlah diletakkan sebagai asfek dasar bagi kebijakan pembangunan di Sumsel. Program CSR yang di terapkan oleh perusahaan merupakan agenda terselubung untuk menguasai dan menguras SDA secara leluasa.


Palembang, 5 Maret 2009





Selengkapnya...

Senin, Maret 02, 2009

Walhi Sumsel Perjuangkan 3 Sektor Lingkungan Hidup

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel tetap konsisten mengawal pengelolaan lingkungan hidup di Sumsel agar tetap menjadi bagian dari proses transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang adil dan demokratis. Empat tahun ke depan, Walhi Sumsel mengagendakan tiga sektor perjuangan, yaitu energi, pangan, dan pengelolaan ekologi.

Hal itu diungkap Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat yang melakukan kunjungan ke kantor Sriwijaya Post, Kamis (12/2). Silaturahim dilakukan untuk menjalin kerjasama dengan media, sekaligus memerkenalkan kepengurusan baru Walhi Sumsel. Ikut dalam kunjungan itu, M Fadly, Deputi Direktur Walhi Sumsel; Yuliusman, manager advokasi; Bejoe Dewangga, manajer litbang; dan manager PSDO, Hadi Jatmiko.

"Kita ingin membangun komunikasi yang baik dengan media. Masukan apa yang media harapkan dari Walhi. Sejarah panjang Walhi media adalah mitra yang ikut mengampanyekan lingkungan hidup," kata Anwar Sadat.

Kunjungan itu mendapat apresiasi tinggi dari redaksi Sripo yang diwakili Sekretaris Redaksi, H Salman Rasyidin dan wartawan Sripo, Aang Hamdani Fikri. Menurut Salman, Sripo mendukung upaya perbaikan lingkungan di Sumsel dan siap menjalin kerjasama dengan Walhi. Apalagai, selama ini hubungan Sripo dengan walhi sudah terbina cukup baik.

"Kita punya forum diskusi Sriwijaya Post. Bisa kita selenggarakan dengan tema persoalan yang menonjol di Sumsel, seperti permasalahan tanah dan tapal batas. Tentunya ini, untuk kemaslahatan umat," kata Salman.

Sumber : Sripo




Selengkapnya...