WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Oktober 21, 2012

REFLEKSI 32 TAHUN WALHI

Genap sudah 32 Tahun usia Walhi. Sebuah usia yang “cukup” matang untuk “memilih”, “memilah”, “menentukan”, mengambil sikap dari sebuah organisasi. Hampir praktis, sepanjang usia yang sudah ditempuh organisasi Walhi, usia 32 sudah menggambarkan bagaimana pandangan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya yang harus menjadi panutan dari Walhi.

Menghitung usia 32 diibaratkan perjalanan hidup manusia, sudah menunjukkan “kematangan”, “tenang mengambil keputusan”, “tidak grusa-grusu”, “sabar”, berfikir jernih”, menghitung resikodan berbagai sikap kematangan proses berfikir. Sikap yang diambil juga mencerminakan “kematangan” dan “kedewasaan” untuk melihat peluang dan tantangan dan dapat memberikan “sesuatu” yang diharapkan orang banyak.

Secara pribadi, “keterlibatan” penulis dan bergabung di Walhi dimulai sejak tahun 1998. Penulis bersentuhan dengan Emmy Hafid, Imam Masfardi, Arimbi Heroeputri. Mereka dikenal sebagai kuartet yang tangguh “melewati” fase genting pasca lengsernya Soeharto. Sebagai kuartet pucuk pimpinan Walhi, mereka didukung oleh Dewan Nasional yang “cukup kuat”. Kalo tidak salah ada Nursyahbani, Deddy Mawardi, Chairilsyah, Ahmadi (maaf, tidak mesti semuanya disebutkan). Sementara Longgena Ginting (yang kemudian menjadi Direktur Eksekutif), Chalid Muhammad (yang juga kemudian menjadi Direktur Eksekutif), Joko Waluyo merupakan Manager hutan, manager Tambang dan Manager Sawit merupakan “jagoan” teknis didalam merumuskan berbagai sikap politik yang harus diambil.

Seingat penulis “fase” genting itu dilalui cukup baik. Selain Walhi menjadi sorotan dan mendapatkan kesempatan menjadi “anggota utusan golongan” (namun kemudian ditolak dalam PNLH, Banjarmasin 1999), posisi WALHI cukup strategis dalam kancah politik. Bahkan salah satu “tokoh” penting di lapisan elite Gusdur (Presiden setelah Habibie), Erna Witoelar merupakan tokoh pendiri Walhi.

Dalam suasana “heroik”, penulis mendapatkan kesempatan langsung merumuskan berbgai agenda penting dan menjadi pegangan dan bekal penulis didalam melihat berbagai rumusan walhi.

Pondasi penting yang membedakan Walhi dengan berbagai organisasi lingkungan hidup lain adalah rumusan “gerakan advokasi lingkungan hidup”. Sebagai sebuah nilai dan identitas yang khas, rumusan “gerakan”, kemudian diikuti kata “advokasi lingkungan hidup” merupakan roh, jiwa dan nilai yang mampu menggetarkan untuk melakukan perubahan. Dari ranah ini kemudian, roh, jiwa dan nilai yang selalu menginspirasi, menggerakkan, menggetarkan berbagai persoalan yang langsung berdampak kepada lingkungan.

Tentu saja berbagai prestasi yang diraih oleh Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup tidak perlu diuraikan. Selain prestasi yang diraih merupakan bentuk sikap konsistensi perlawanan “negara” yang ternyata menjadi pelaku penting “kerusakan lingkungan hidup”, sikap politik menjadi inspirasi dari berbagai gerakan lingkungan hidup.

Secara subyektif harus diakui sikap politik Walhi merupakan “manifesto” sikap oposisi dan bentuk perlawanan dari Walhi. Dalam catatan penulis (tanpa mengenyampingkan berbagai persoalan politik lainnya), sikap Politik Walhi merupakan wujud nyata dari “keberpihakan” Walhi yang bersentuhan dengan lingkungan.
Dana Haram

Secara organisasi, sikap Politik Walhi “tegas” terhadap berbagai lembaga internasional yang “terbukti” memberikan dukungan pendanaan internasional. Dalam Resolusi KLNH kemudian sudah ditegaskan, Walhi selalu “kritis” dan tidak bersedia bekerja sama dengan World Bank, IMF, dan sebagainya. Tentu saja rumusan ini sudah menjadi diskusi organisasi yang cukup panjang.

Melawan Invasi Irak

Terlepas dari proses demokratisasi di Irak yang “tidak” berjalan sesuai dengan “pikiran” barat, “penyerbuan” Amerika walaupun tanpa mandat PBB namun dididukung oleh Inggeris dan dan Australia merupakan pelanggaran “kedaulatan” terhadap negara. Dalam diskusi dan sikap politik Walhi, sikap “angkuh” Amerika haruslah dilawan. Sikap ini harus tegas dan sekaligus membuktikan “sebagai negara berdaulat” yang tidak boleh tunduk dengan siapapun. Walhi kemudian “memutuskan” kerjasama dengan negara-negara yang “terbukti” menginvasi Irak seperti Amerika, Inggeris dan Australia (baca USAID, DFID dan Ausaid). Sikap politik Walhi inilah kemudian menjadi “magnet” tersendiri dan mampu memberikan “resonansi” yang kuat yang kemudian menjadi inspirasi persoalan “invasi” Irak merupakan pelanggaran kedaulatan negara. Sikap tegas Politik Walhi inilah kemudian “memberikan” dukungan sekaligus memberikan jaminan kepada walhi sebagai sikap politik yang “bermartabat.

Dalam perkembangannya kemudian, sikap Politik Walhi menjadi “ukuran” setiap nilai yang selalu ditawarkan oleh Walhi dalam berinteraksi dengan siapapun.

Simbol menjadi nilai

Apabila sebelum reformasi, berbagai kebijakan yang selalu diteriakkan Walhi, maka perjuangan menempatkan dan menjadikan Walhi sebagai “simbol” perlawanan organisasi lingkungan hidup. Simbol itu “seakan-akan” menggetarkan. Berbagai perjuangan walhi kemudian membuat simbol itu terus selalu ditancapkan dalam berbagai aksi-aksi dan sikap politik Walhi. Walhi kemudian menjadi “simbol” berdiri di garda terdepan yang selalu kritis terhadap kebijakan negara. Istilah yang sering digunakan “salah urus” mengelola sumber daya alam.

Sudah 32 tahun usia Walhi. Usia yang “cukup” matang. Terlepas dari berbagai aksi-aksi yang terus dilakukan oleh Walhi, berbagai “pintu” pengambil kebijakan telah dibuka. Lembaga-lembaga negara yang selama ini selalu “harus” selalu digedor”, telah dibuka. Rumusan kebijakan sudah menjadi bagian dari berbagai kebijakan negara. Kepentingan lembaga organisasi untuk menjadi para pihak dalam perkara di Pengadilan (sebelumnya dikenal dalam sistem Anglo Saxon. mekanisme ini kemudian disebut Legal standing) sudah menjadi praktek yang jamak. Pengakuan itu sudah tercermin didalam UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No 32 tahun 2009. Mekanisme “legal standing” sudah menjadi bahan bacaan dan diskusi berbagai forum ilmiah. Bahkan sudah menjadi “insipasi” dan berhasil mengenyampingkan sistem hukum Eropa kontinental (Didalam sistem Eropa kontinental dikenal prinsip “orang yang dirugikan yang berhak mengajukan gugatan/zonder belang geen rechsingan)

Namun perjuangan belum selesai. Sistem Ekonomi yang tidak berpihak kepada masyarakat, sistem politik yang menguntungkan segelintir Oligarkhi politik, sistem hukum yang masih mengagungkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid atau keadilan prosedural/procedural justice) daripada mencapai keadilan hukum (gerectigheit atau keadilan substantif/substansif justice) masih menempatkan masyarakat “harus terus berjuang” mendapatkan ruang kelola dan kepastian “keberlanjutan” pengelolaan sumber daya alam.

Dengan berbagai rumusan yang menjadi “perjuangan” Walhi kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan, membuat perjuangan Walhi sebelumnya sebagai simbol menjadi perjuangan “nilai”. Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi pegangan Walhi dan menjadi “pemikiran”, gagasan yang menjadi “alat kontrol” kekuasaan terhadap negara yang terbukti “salah urus” didalam mengelola sumber daya alam.

Penulis : Musri Nauli adalah Direktur Walhi Jambi 2012-2016
Selengkapnya...

Jumat, Oktober 19, 2012

LSM LINGKUNGAN: Walhi laporkan 2 perusahaan

PALEMBANG-- Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan melaporkan PT Perkebunan Nusantara VII dan PT Musi Hutan Persada ke polisi karena diduga telah melakukan pembakaran lahan secara sengaja dan mencemari udara.

"Perusahaan perkebunan PTPN VII dan hutan tanaman industri PT MHP yang beroperasi di provinsi setempat berdasarkan temuan di lapangan terbukti melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat seusai menyampaikan laporan di Mapolda Sumsel, Palembang, Kamis (18/10/2012).

Menurut dia, sesuai UU No.32 Tahun 2009 setiap orang atau badan usaha yang melakukan pembakaran lahan atau perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup yang salah satunya udara dapat dikenakan hukuman penjara.

Hukuman penjara bagi pelaku pembakaran lahan minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun selain itu dikenakan juga denda sebesar Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.

Untuk menjerat pimpinan kedua perusahaan tersebut dan karyawannya yang diduga melakukan tindak pidana, pihaknya melampirkan sejumlah bukti pendukung dalam laporan yang diterima Kabid Humas Polda Sumsel AKBP Djarot kemudian temuan itu akan disampaikan langsung ke Kapolda.

Bukti pendukung tindak pidana melengkapi berkas laporan ke polisi itu berupa rekaman video dan foto aksi pembakaran lahan pada musim kemarau beberapa bulan terakhir serta peta titik api yang berada di lahan konsesi kedua perusahaan tersebut, ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.

Sementara Kabid Humas Polda Sumsel AKBP Djarot mengatakan, akan menyampaikan pengaduan hasil temuan para aktivis Walhi setempat kepada Kapolda Irjen Pol Dikdik Mulyana Arief Mansur.

Semua laporan yang disampaikan akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, jika memenuhi unsur tindak pidana atau pelanggaran hukum pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pembakaran lahan dan pencemaran lingkungan itu akan ditindak tegas, kata Kabid Humas Polda itu menambahkan.

sumber: http://www.bisnis.com/articles/lsm-lingkungan-walhi-laporkan-2-perusahaan#.UIAuzP-O2RE.facebook
Selengkapnya...

Bakar Hutan, Walhi Adukan PTPN VII ke Polisi

Jurnas.com | Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan melaporkan PT Perkebunan Nusantara VII dan PT Musi Hutan Persada ke polisi karena diduga telah melakukan pembakaran lahan secara sengaja dan mencemari udara.

"Perusahaan perkebunan PTPN VII dan hutan tanaman industri PT MHP yang beroperasi di provinsi setempat berdasarkan temuan di lapangan terbukti melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat seusai menyampaikan laporan di Mapolda Sumsel, Palembang, Kamis (18/10) petang.

Menurut dia, sesuai UU No.32 Tahun 2009 setiap orang atau badan usaha yang melakukan pembakaran lahan atau perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup yang salah satunya udara dapat dikenakan hukuman penjara.

Hukuman penjara bagi pelaku pembakaran lahan minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun selain itu dikenakan juga denda sebesar Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.

Untuk menjerat pimpinan kedua perusahaan tersebut dan karyawannya yang diduga melakukan tindak pidana, pihaknya melampirkan sejumlah bukti pendukung dalam laporan yang diterima Kabid Humas Polda Sumsel AKBP Djarot kemudian temuan itu akan disampaikan langsung ke Kapolda.

Bukti pendukung tindak pidana melengkapi berkas laporan ke polisi itu berupa rekaman video dan foto aksi pembakaran lahan pada musim kemarau beberapa bulan terakhir serta peta titik api yang berada di lahan konsesi kedua perusahaan tersebut, ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumsel.

Sementara Kabid Humas Polda Sumsel AKBP Djarot mengatakan, akan menyampaikan pengaduan hasil temuan para aktivis Walhi setempat kepada Kapolda Irjen Pol Dikdik Mulyana Arief Mansur.

Semua laporan yang disampaikan akan diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, jika memenuhi unsur tindak pidana atau pelanggaran hukum pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pembakaran lahan dan pencemaran lingkungan itu akan ditindak tegas, kata Kabid Humas Polda menambahkan.
Selengkapnya...

Senin, Oktober 08, 2012

Walhi: bentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria

Foto :Walhi Sumsel
Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta pemerintah pusat dan daerah segera membentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria agar persoalan sengketa tanah yang tidak pernah habis bisa lebih cepat ditangani hingga tuntas.

"Komisi Penyelesaian Konflik Agraria mendesak dibentuk karena persoalan sengketa tanah di berbagai daerah terutama di Sumsel ini terus bertambah dan sering memicu terjadinya bentrokan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa atau luka-luka," kata Kepala Divisi Pengembangan Pengorganisasian Walhi Sumsel Hadi Jatmiko di Palembang, Minggu.

Menurut dia, melihat semakin berkembangnya konflik agraria dan banyaknya jatuh korban jiwa dalam proses penyelesaian masalah itu, sudah saatnya dibentuk lembaga khusus independen yang fokus mengurusi masalah konflik agraria.

Dengan adanya lembaga yang personelnya adalah orang-orang independen terbebas dari kepentingan seseorang, institusi dan kelompok manapun, diyakini mampu menyelesaikan semua konflik agraria yang terjadi di negeri ini sesuai dengan aturan hukum dan secara damai, kata dia.

Dia menjelaskan, Sumsel terdapat banyak konflik agraria, salah satu contoh di lahan perkebunan tebu dan pabrik gula Cinta Manis milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII di Kabupaten Ogan Ilir.

Lahan perkebunan tebu dan pabrik gula tersebut yang luasnya sekitar 20 ribu hektare lebih yang dikuasai PTPN sejak 1982 sekarang ini sedang bersengketa dengan masyarakat dan petani yang tersebar di puluhan desa kabupaten tersebut.

Dalam proses perjuangan masyarakat dan petani untuk mendapatkan lahan mereka yang dikuasai perusahaan perkebunan milik negara itu, pada Juli 2012 terjadi bentrokan dengan aparat Brimob Polda Sumsel yang mengakibatkan jatuhnya satu korban jiwa anak petani yang berusia belasan tahun, satu korban cacat tetap dan empat orang mengalami luka tembak.

Pascabentrokan itu perjuangan masyarakat dan petani di Ogan Ilir mulai mengendor karena banyak yang takut untuk kembali beraksi mendapatkan hak mereka, kondisi ini tidak bisa dianggap persoalan di daerah tersebut telah berakhir karena sewaktu-waktu konfliknya kembali memanas.

Sebelum konflik agraria di negara ini semakin rumit dan parah, perlu diambil langkah-langkah penanganan yang tepat dan cepat oleh pemerintah dengan segera membentuk lembaga independen tersebut, ujar aktivis Walhi Sumsel itu berharap. 
 
sumber : http://www.antaranews.com/berita/337407/walhi-bentuk-komisi-penyelesaian-konflik-agraria 
Selengkapnya...