WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Oktober 22, 2009

Ganti Rugi Tak Jelas

Palembang, Kompas - Ganti rugi tanah petani di Desa Sinar Harapan, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Desa Sido Mulyo, Kabupaten Banyuasin, tidak diterima oleh pemilik tanah yang sah. Demikian dikatakan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumsel Ismaily Syah, Rabu (21/10).

Ismaily mengungkapkan hal tersebut kepada perwakilan petani Desa Sinar Harapan dan Desa Sidomulyo yang masih melanjutkan aksi protes karena tanahnya diserobot perusahaan perkebunan. Sebelumnya, para petani melakukan aksi protes di Kantor Gubernur Sumsel dan Gedung DPRD Sumsel.

Menurut Ismaily, tanah petani yang masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Berkat Sawit Sejahtera (BSS) harus mendapat ganti rugi. Persoalannya, kata Ismaily, perusahaan tak tahu ke siapa harus membayar ganti rugi itu. PT BSS telah memiliki HGU yang diterbitkan tahun 2003.

”Bisa jadi perusahaan sudah membebaskan tanah, tetapi ganti rugi tidak diterima pemilik tanah sebenarnya. Atau perusahaan hanya membayar biaya pancung alas (membuka hutan) karena tanah tersebut dikira tidak ada pemiliknya. Hal seperti ini sering terjadi,” ujarnya.

Ismaily mengutarakan, BPN akan memeriksa kembali bukti kepemilikan tanah PT BSS di Desa Sinar Harapan dan kepada siapa perusahaan membayar ganti rugi.

Menurut Ismaily, BPN belum pernah melakukan pengukuran terhadap tanah petani di Desa Sido Mulyo yang disengketakan dengan PT Perkebunan Nusantara VII. Namun, Ismaily yakin tanah itu memiliki sertifikat karena merupakan kawasan transmigrasi.

”Dulu pernah ada beberapa perusahaan yang meminta HGU di Desa Sido Mulyo, tetapi ditolak karena masuk kawasan transmigrasi,” kata Ismaily.

Ismaily menambahkan, tindakan petani yang mempertahankan tanahnya sudah tepat karena petani memiliki sertifikat dan surat keterangan dari pemerintah desa setempat.

Langkah konkret

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Anwar Sadat yang mendampingi petani mengutarakan, Walhi meminta solusi konkret dari BPN. Persoalannya, perusahaan enggan memberikan ganti rugi kepada petani meski sudah melakukan kesalahan.

”Kami meminta BPN bertindak sebagai eksekutor,” kata Anwar Sadat.

Menanggapi permintaan Walhi Sumsel, Ismaily mengutarakan, BPN bukan lembaga yang mempunyai kewenangan mengeksekusi tetapi hanya sebagai mediator.

”Kami tidak bisa melakukan pengusiran. Kami hanya bisa menjelaskan siapa pemilik tanah,” katanya.

Menurut Basori, petani dari Desa Sido Mulyo, persoalan sengketa tanah tersebut sudah berlangsung 10 tahun tanpa ada penyelesaian. Petani menuntut agar sengketa tanah diselesaikan secepatnya.

Sukardi, petani dari Desa Sinar Harapan, mengungkapkan, petani tidak tahu soal hukum. Petani menganggap tanah yang mereka garap selama ini adalah tanah milik mereka.

”Kami masyarakat kecil tidak ingin mengadakan perlawanan, kami ingin damai. Sejak perusahaan datang, hidup kami tidak tenang,” ungkapnya. (WAD)




Selengkapnya...

Selasa, Oktober 20, 2009

Lahan Diserobot, Ratusan Petani Demo ke Kantor Gubernur Sumsel


Palembang - Ratusan petani dari Desa Sinar Harapan, Kabupeten Musi Banyuasin dan Desa Sido Mulyo, Kabupaten Banyuasin, berunjukrasa ke kantor Gubernur Sumsel. Mereka mengadukan penyerobotan lahan yang dilakukan PT. Berkat Sawit Sejati (BSS) dan PT Perkebunan Nusantara VII.

Mereka tiba di kantor Gubernur Sumsel, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang, Senin (19/10/2009), sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka membawa sejumlah spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan "Stop Penindasan", "Kriminalisasi Terhadap Petani", "Kembalikan Lahan Warga Sinar Harapan Muba dan Sidomulyo Banyuasin", dan "Berobat dan Sekolah Gratis Tidak Berarti Jika Tanah Petani Dirampas".

Sekitar pukul 11.00 WIB, perwakilan petani dan aktivis Walhi Sumsel sebagai pendamping mengadakan pertemuan dengan Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf. Dalam pertemuan itu, Eddy Yusuf berjanji akan mempertemukan dan membantu penyelesaian persoalan petani dengan pihak perusahaan. "Pemerintah dipihak yang benar," kata Eddy.

Kasus ini berlangsung sudah lama. Kasus penyerobotan lahan petani Desa Sinar Harapan Kecamatan Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin oleh PT. Berkat Sawit Sejati (PT BSS), misalnya sejak tahun 2005 PT. BSS memperluas usahanya hingga ke Desa Sinar Harapan, dan di tahun 2006 telah menggusur hampir merata tanah garapan masyarakat.

Sementara di awal rencana usahanya di kawasan Desa Sinar Harapan, perusahaan telah menyatakan bahwa perusahaan akan memberikan ganti rugi bagi masyarakat yang bersedia melepaskan lahan garapannya, dan terhadap masyarakat yang tidak bersedia, perusahaan akan menghormati keinginan masyarakat, dan lahan usaha masyarakat tersebut akan diin-clave (tidak digarap).

Namun kenyataannya, banyak lahan masyarakat yang menginginkan in-clave tetap dirampas oleh perusahaan. Alasan PT. BSS, bahwa lahan masyarakat tersebut masuk di dalam HGU perusahaan, untuk itu masyarakat harus menyerahkan tanahnya kepada perusahaan. Atas tekanan demikian, banyak kemudian masyarakat harus merelakan lahan garapannya diambil oleh perusahaan, meski dengan nilai ganti rugi yang tidak memadai.

Di luar dari tanah yang hingga hari ini tidak ingin masyarakat perjual-belikan, terdapat 73 hektare lahan yang terus masyarakat perjuangkan. Masyarakat Desa Sinar Harapan menginginkan lahan tersebut di in-clave dan dikembalikan kepada masyarakat tanpa terkecuali. Perlu kami sampaikan bahwa tanah masyarakat tersebut, banyak diantaranya telah besertifikat (yang merupakan alas hak terkuat/di atas HGU) dan sebagian memiliki bukti keterangan usaha yang berada di wilayah Desa Sinar Harapan yang disyahkan oleh Direktorat Agraria Propinsi Sumatera Selatan pada tahun 1983 (gambaran lengkap tentang kasus dan data tanah masyarakat terlampir).

Sementara untuk persoalan petani Desa Sido Mulyo Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Banyuasin – sejak tahun 2001, PTPN VII telah melakukan perluasan usaha dan menggusur tanah pertanian warga Sido Mulyo. Jika ditinjau kembali ke belakang, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya PTPN VII telah melakukan pelanggaran hukum, dimana pada saat menggusur tanah rakyat setempat, perusahaan tidak memiliki izin yang syah (baik izin lokasi terlebih lagi izin HGU) untuk menggarap lahan masyarakat Desa Sido Mulyo.

Perusahaan ketika itu hanya memiliki izin lokasi yang penempatannya berada di Desa lain, yaitu Desa Keluang dan Desa Bentayan Kecamatan Pulau Rimau Kabupaten MUBA. Baru setelah tanah masyarakat dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan, izin lokasi PTPN VII yang ditanda tangani oleh Bupati Banyuasin di tahun 2003 terbit. Setidaknya dari luasan wilayah Desa Sido Mulyo yang mencapai 1.730 Hektar, terdapat 387 Ha lahan pertanian masyarakat Sido Mulyo yang telah dirampas oleh PTPN VII.

Dari luasan lahan masyarakat yang telah digusur oleh perusahaan tersebut, seluas 132 Ha diantaranya memiliki alas hak berupa Sertifikat/HM (yang sesungguhnya merupakan alas hak terkuat dan tertinggi/melebihi HGU ataupun izin lokasi), dan seluas 255 Ha memiliki SKT/SPH, yang secara legal berada dalam wilayah Desa Sido Mulyo yang telah ditetapkan sebagai Desa Transmigran.





Selengkapnya...

Minggu, Oktober 11, 2009

Reduksi Ekologi Sumatera Selatan; Akar Persoalan dan Solusinya

Penulis :
Anwar sadat Direktur ED WALHI Sumsel

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 33 Provinsi di tanah air, hingga akhir tahun 2008 terdapat 27 provinsi yang secara serius dan rentan tertimpa bencana banjir dan tanah longsor, dan Sumsel merupakan satu diantaranya.

Pada tahun 2008, WALHI Sumatera Selatan mencatat setidaknya terdapat 41 kali bencana banjir dan longsor yang pernah terjadi di daerah ini – yang tersebar hampir di seluruh wilayah kota/kabupaten di Sumatera Selatan, diantaranya; Palembang, MUBA, MURA, Banyuasin, OKI, Muara Enim, Lahat, Prabumulih, dan OKU Timur. Sementara di tahun 2009, sejak Bulan Januari hingga Bulan April, tercatat sedikitnya terjadi 45 kali bencana, berupa; banjir, longsor, hujan abu, dan badai. Dengan mendasarkan realitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan bencana ekologis yang luar biasa.

Bencana kebakaran lahan dan hutan merupakan masalah bencana ekologis lainnya yang selalu melanda rakyat Sumatera Selatan. Di tahun 2009 ini saja, Berdasarkan pantauan WALHI Sumsel, setidaknya sejak bulan Mei - 8 September 2009 terdapat 2058 titik api (hotspot). Berbagai dampak dari kebakaran lahan dan hutan yang semakin masif tersebut, telah memekatkan udara di banyak tempat di Sumsel. Dampak dari itu semua, tidak hanya berdampak terhadap kesehatan warga seperti mata perih (iritasi), sesak napas, alergi, sakit kepala, lesu, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dan mual terutama yang dialami oleh anak-anak. Menebalnya kabut asap juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi dan kenyamanan warga khususnya ketika diperjalanan.

Belum lagi bencana perubahan iklim atau pemanasan global yang saat ini telah begitu dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) saat ini telah terjadi kenaikan suhu bumi di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu permukaan Kota Palembang hanya berkisar antara
23–30◦C.


Punahnya Daya Topang Ekologi Sumsel

Jika kita telaah lebih dalam, rentetan bencana alam yang terus terjadi tersebut tentunya tidaklah berdiri sendiri. Kekeliruan atas praktek pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan selama ini dapat ditegaskan adalah penyumbang terbesar bagi kelahiran berbagai bencana alam di daerah ini. Konversi secara masif kawasan hutan alam dan lahan (gambut dan rawa) menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan berbagai usaha-usaha pertambangan – semakin masif dilangsungkan oleh pemerintah. Pemerintah daerah terus menjanjikan dan memberikan kemudahan bagi kalangan bisnis/pelaku usaha dalam mengurus dan memperoleh perijinan tanpa pernah memperhatikan asfek keberlanjutan ekologi dan daya tahan alam. Salah satu akibatnya kita dapat melihat, bahwa saat ini hutan alam di Sumsel setiap tahunnya terus mengalami penyusutan.

Berdasarkan data dari sumber Dinas Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa, kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar. Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan (Informasi pembangunan kehutanan dan GERHAN - Dishut Provinsi Sumsel, 2005). Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008, berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha.


Mengurangi Kerusakan Ekologi

Mungkin tidaklah terlalu sulit menyatakan bahwa telah saatnya bagi kita secara kolektif untuk mulai menjaga dan mengurangi kerusakan ekologi, meski dalam prakteknya tentu hal tersebut tidaklah mudah untuk diterapkan. Ambisi memperoleh kejayaan ekonomi dan keuntungan yang melimpah, yang telah berurat nadi dalam praktek pengelolaan SDA selama ini adalah merupakan persoalan mendasar dan terus berlangsung hingga hari ini. Sehingga meski berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, hal tersebut senyatanya tidaklah sebanding dengan daya rusak ekologi yang telah diciptakan.

Dalam konteks tersebut, gerakan dan perjuangan penyelamatan ekologi harus terus didesakkan. Memastikan terlaksananya komitmen Pemerintah Daerah untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan, diharapkan tidak hanya akan mampu meminamilisir laju bencana yang terus terjadi, namun juga akan berinfak kepada perbaikan kwalitas kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.

Pada akhirnya, selama kekayaan alam di daerah ini terus dieksploitasi tanpa memperhatikan daya dukung dan keberlangsungan ekologi serta ruang eksistensi rakyat, maka dapat dipastikan berbagai bencana struktural (kemiskinan, kesenjangan sosial, dan rentetan bencana alam) akan semakin meluas. Melalui re-orientasi pembangunan, dimana sudah selayak dan saatnya bagi setiap Gubernur/Bupati/Walikota di daerah ini untuk menghormati dan menghargai hak-hak rakyat dan ekologi, tentu struktur keadilan bagi rakyat akan dapat tercipta dan berbagai rentetan bencana alam yang terus terjadi akan semakin terminimalisir.






Selengkapnya...

Kamis, Oktober 08, 2009

WALHI TERJUNKAN RELAWAN BANTU KORBAN GEMPA SUMBAR

Palembang, 2/10 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menerjunkan sedikitnya 50 personel relawan, untuk membantu korban gempa di Sumatra Barat (Sumbar).

Manager Regional Sumatra Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna dari Padang, Sumbar, Jumat pagi mengabarkan bahwa mulai hari ini pihaknya menerjunkan sebanyak 50 relawan untuk membantu evakuasi dan tindakan darurat lainnya yang diperlukan di lokasi bencana itu.

"Mereka akan disebar ke tiga kabupaten di negeri urang awak tersebut," ujar mantan Direktur Eksekutif WALHI Lampung itu pula.

Menurut Mukri, para relawan itu diharapkan dapat bahu membahu bersama aparat dan warga serta tim penanggulangan gempa untuk membantu di setiap lokasi mereka diterjunkan.

Mukri sendiri bersama rombongan dari Jakarta sudah berada di Padang, Sumbar sejak Kamis (1/10).

Dia menyebutkan, umumnya kondisi di lokasi terkena gempa itu masih dalam keadaan darurat.

"Aparat masih menunggu alat berat datang untuk melakukan evakuasi dan pertolongan kepada korban gempa yang diperlukan," ujar Mukri pula.

Disebutkan laporan dari lapangan hingga hari ini, terdapat sedikitnya dua kabupaten belum dapat terlayani bantuan darurat, yaitu Kabupaten Agam dan Pasaman Barat.

"Penggalangan berbagai bentuk bantuan sangat diharapkan, untuk membantu saudara-saudara kita di Sumbar ini," kata Mukri lagi.

Ia menyatakan, seluruh pengurus WALHI di Sumatra, diminta mengambil langkah untuk membantu korban gempa itu, termasuk menggalang dukungan dana dan bantuan yang diperlukan untuk dapat segera disalurkan.

Pihaknya juga minta kesiapan personel siaga bencana WALHI untuk diterjunkan membantu masyarakat di daerah yang terkena gempa.

Di Palembang, WALHI Sumsel bersama berbagai elemen masyarakat lainnya juga telah membuka posko solidaritas dan menggalang bantuan untuk korban gempa itu.




Selengkapnya...

Selasa, Oktober 06, 2009

Posko Solidaritas Mayarakat Peduli Bencana Untuk Sumbar dan Jambi

Informasi Umum Kegiatan

  1. Solidaritas Masyarakat Peduli Bencana, yang terdiri dari beberapa organisasi (NGO, BEM, MAPALA, dan SISPALA) membentuk posko penggalangan bantuan berupa, pakaian layak pakai, tenda, selimut, bahan makanan, dan uang.
  2. Bantuan para donatur dapat disampaikan secara langsung melalui Posko, yang dipusatkan di Kantor WALHI Sumatera Selatan,Alamat : Jalan A. Riva’i No. 690 A Palembang, Telp. 0711 – 317526 Guna mensinergikan aktifitas yang akan dilakukan, Solidaritas Masyarakat Peduli Bencana membagi peran terhadap individu dan elemen yang tergabung ke dalam divisi/team kerja.
  • Divisi/team kerja yang dimaksud dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu : a. Team Penggalangan Dana : Team ini bekerja untuk menggalang/mengkonsolidasikan dana publik, melalui: - Penggalangan dana di jalan dan pusat-pusat keramaian. - Penggalangan dana dari lembaga dan personal - Penggalangan dana melalui event publik - Penerimaan bantuan melalui posko bersama b. Team Jaringan - Team jaringan bertugas membangun koordinasi dan komunikasi dengan berbagai fihak yang juga melalukan penggalangan solidaritas untuk para korban tertimpa bencana. - Koordinasi dan komunikasi dianggap perlu guna mensinergikan aktifitas yang dilakukan oleh aliansi yang tergabung di dalam SMPB (Solidaritas Masyarakat Peduli Bencana) dengan elemen lainnya, termasuk memastikan mekanisme dan teknis serta jalur pendistribusian bantuan. c. Team Data - Team ini menyusun informasi dalam bentuk data base terkait dengan kondisi-kondisi yang terjadi di lapangan, seperti : jumlah korban jiwa, jumlah korban tertimpa bencana, pusat-pusat pengungsian, serta kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan di wilayah-wilayah bencana. Dalam konteks tersebut, team bekerja untuk terus meng up-date (memberikan perkembangan informasi) yang terjadi di wilayah bencana. - Selain itu team bekerja untuk memberikan informasi mengenai berbagai bentuk sumbangan yang diterima, sebagai bentuk akuntabilitas (kepercayaan dan pertanggungjawaban)
Solidaritas Masyarakat Peduli Bencana (SMPB) memastikan kepada para penyumbang/donatur sekalian bahwa sumbangan yang diterima akan didistribusikan sepenuhnya kepada para korban. Secara teknis dan prosedur dapat disampaikan bahwa :
  • Berbagai bentuk sumbangan yang diterima terus diinformasikan/diumumkan di posko
  • Biaya operasional dalam berbagai kegiatan untuk para korban bencana, tidak diambil dari dana sumbangan yang diterima, melainkan dana sumbangan lembaga, khususnya yang tergabung di dalam Solidaritas Masyarakat Peduli Bencana.
  • Diakhir kegiatannya, kami akan mengumumkan kepada publik mengenai jumlah dan berbagai bantuan yang diterima, serta kemana bantuan disitribusikan.





Selengkapnya...