WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Desember 30, 2015

Indonesia suffers setback in fight against haze after suit rejected

Dec 30 Indonesia's efforts to penalize the companies allegedly responsible for its annual forest fires suffered a setback on Wednesday after a judge rejected a $565 million lawsuit against a pulp and paper firm.
Indonesia brought a civil case in a South Sumatra court against PT Bumi Mekar Hijau (BMH), a supplier to Asia Pulp and Paper, one of the world's biggest pulp and paper companies.
The $565 million in damages would have been the largest financial award ever levied against a company accused of forest burning activities in Indonesia with the intent of sending a strong message to those responsible for the annual haze.
"The lawsuit against PT Bumi Mekar Hijau is rejected because the evidence is not proven," said presiding judge Parlas Nababan. He did not comment any further and then ended the court proceedings.
Indonesia and the wider Southeast Asian region suffered for months this year from haze caused by smouldering forest and peatland fires. The fires were largely located on the islands of Sumatra and Borneo and climate officials described them as a crime against humanity as pollution levels soared.
The government alleged that BMH failed to prevent the recurrence of fires in 2014 and 2015 on about 20,000 hectares of land in the Ogan Komering Ilir region of Sumatra, Eka Widodo Soegiri, a spokesman at the Environment and Forestry Ministry told Reuters.
An appeal to the court's verdict will be made within two weeks, said Rasio Ridho Sani, director general for law enforcement at the Forestry Ministry, after the hearing.
"The decision is against the people's will," said Sani. "We had presented the facts from the field that there was indeed forest burning in the mentioned location. The fact on the field also show that the company doesn't have adequate equipment to prevent and control the forest fire in the mentioned location."
The government's evidence was far-fetched, BMH's lawyer Maurice, who like many Indonesians uses one name, told reporters after the ruling, citing the extent of the hotspots and the sampling process that the government used.
Environmental groups cautioned that Wednesday's ruling will likely frustrate other pending lawsuits.
"This will be a bad precedent related to other similar lawsuit against the forest fires perpetrators in the future," said Hadi Jatmiko, director at Friends of the Earth Indonesia, which was involved in monitoring BMH.
Indonesia is still pursuing the companies seen as responsible even as the forest fires have eased because of monsoon rains. The government has sanctioned 23 companies because of the fires, with three having land-use or environmental permits revoked, 16 having permits suspended and four issued "government force sanctions."
The government says it will also review laws that allow smallholder farmers to burn, ban peatland development and take back all burned land within a company's concession area.
Green and palm industry groups have warned that the forest fires, which cost Indonesia about $16 billion in 2015, will flare up next year unless the government issues new regulations on forest clearing. 

Sumber : http://www.reuters.com/article/indonesia-haze-idUSL3N14I1N720151230 
Selengkapnya...

KLHK Harus Tetap Cabut Izin PT. Bumi Mekar Hijau

Jakarta, 30/12/15. Sidang kasus gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT Bumi Mekar Hijau atas gugatan  kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2014, ditolak oleh Pengadilan Negeri Palembang.  Sidang yang dipimpin oleh Parlas Nababan S.H. sebagai hakim ketua dengan Eliawati S.H dan Saiman S.H. sebagai hakim anggota menolak seluruh dalil gugatan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), padahal gugatan perdata kali ini merupakan gugatan dengan jumlah kerugian  lingkungan hidup terbesar yaitu ganti rugi material Rp. 2,7 triliun dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp. 5,2 triliun.
Dalam pertimbangan putusannya Pengadilan Negeri Palembang menyatakan bahwa benar telah terjadi kebakaran hutan di lahan milik PT Bumi Mekar Hijau (BMH), tetapi kebakaran tersebut tidaklah menimbulkan kerugian ekologi atau kerusakan lingkungan. Menurut majelis hakim tidak ada causalitas antara kebakaran hutan dan pembukaan lahan, sehingga kesengajaan melakukan pembakaran tidak terbukti. Majelis juga menjatuhkan hukuman kepada KLHK untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 10 juta.
Nur Hidayati Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI menyesalkan putusan Hakim PN Palembang, karena pertimbangan majelis tidak berdasarkan pada fakta dan bukti keterangan ahli di dalam persidangan. Keterangan ahli Bambang Hero menjelaskan dengan baik bagaimana dampak kebakaran hutan dan lahan. apalagi dilahan gambut. Keterangan ahli menilai bahwa kebakaran hutan di lahan gambut yang terjadi di lahan PT BMH seluas 20.000 hektar membutuhkan biaya setidaknya Rp 7 triliun untuk memulihkannya.  

Sementara itu, Muhnur Satyahaprabu Manager Kebijakan dan pembelaan hukum mengkritik keseriusan KLHK mengajukan gugatan ke PT BMH. Sejak dari awal WALHI menduga ada ketidakseriusan dalam perkara gugatan ini. Ketidakseriusan ini bisa dilihat pertama tentang keterbukaan upaya hukum KLHK. Kedua, tidak memaksimalkan bukti yang sudah ada, serta KLHK juga tidak menggunakan pendekatan multidoors dalam penegakan hukum. Tetapi apapun hasilnya, gugatan ini minim pemahaman hukum lingkungan dan upaya terobosan hukum lingkungan di tengah krisis lingkungan yang begitu massif. Sehingga KLHK berdasarkan kewenangannya, harus melakukan upaya hukum yang lain seperti mencabut izin PT. BMH. bukan hanya membekukan.

Hadi Jatmiko Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Selatan menyatakan bahwa putusan ini menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan, pengadilan masih menjadi tempat pencucian dosa kejahatan korporasi. “Sejak awal kita sudah meminta agar hakim diganti dengan hakim bersertifikat lingkungan hidup agar memahami substansi gugatan, kedangkalan dalam memahami undang-undang lingkungan salah satunya terkait pembakaran hutan dan lahan yang menurut para hakim menyuburkan lahan”. WALHI Sumatera Selatan mencatat bahwa land clearing adalah modus lama pembukaan lahan, kalau hakim masih tidak mengakuinya artinya hakim menutup mata pada fakta yang sudah terjadi puluhan tahun”, tutup Hadi. (selesai)

Kontak Person :
Nur Hidayati (082111393937)
Muhnur satyahaprabu (08112770399)
Hadi Jatmiko (08127312042)
Selengkapnya...

Siaran Pers : Hakim Tidak Paham Krisis Lingkungan!!

Suasana ruang persidangan saat Pembacaan putusan Gugatan Kebakaran Hutan dan Lahan yang dilakukan oleh PT. Bumi Mekar Hijau pada 2014 (Dok: Walhi Sumsel) 

Palembang, 30 Desember 2015 - Putusan Hakim Pengadilan Negeri Palembang sangat mengecewakan rakyat Indonesia, secara khusus masayarakat korban racun asap kebakaran hutan yang membuat puluhan juta masyarakat terpapar.
Dalam putusan sidang tersebut, hakim Menolak gugatan yang dilayangkan oleh  Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap tergugat PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH)
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan mengatakan dengan tegas bahwa putusan ini merupakan  merupakan sebuah kemunduran yang sangat jauh dari apa yang seharusnya dilakukan unsur-unsur penyelenggara negara, termasuk lembaga yudikatif dalam memberikan efek jera terhadap Perusahaan Pembakar Hutan dan lahan di Indonesia.
Pasal 49 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan tegas dan jelas mengatakan bahwa “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Hadi Jatmiko menambahkan, “Entah apa yang ada dipikiran para hakim sehingga membebaskan PT. BMH dari tuntutan penggugat (Kementrian LHK), dengan alasan kebakaran di wilayah konsesi tergugat tidak menyebabkan Kerusakan Lingkungan Hidup karena setelah kebakaran lahan yang terbakar masih tetap bisa ditanami dan tanaman tetap Tumbuh subur. Pertimbangan hakim ini sangat sesat dan menunjukan bahwa hakim sebenarnya tidak paham terkait kasus kebakaran Hutan dan lahan di Konsesi Perusahaan. Karena sesunguhnya Kebakaran yang masif terjadi dilahan perusahaan tujuannya  untuk menghemat biaya Land Clearing dan untuk memudahkan masa tanam. Selain itu jika kita berbicara terkait kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran Hakim harusnya melihat lingkungan hidup itu tidak hanya lahan yang terbakar tetapi udara. Terjadi kenaikan ISPU yang saat itu masuk kriteria berbahaya. ISPU mencapai 800 sudah cukup membuktikan terjadinya kerusakan lingkungan hidup.kata Hadi jatmiko menambahkan.
Selain itu terkait kejahatan perusahaan dalam kebakaran hutan dan lahan didalam konsesi menurut Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup juga mewajibkan bahwa “setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup”  
Keputusan hakim PN Palembang berdampak buruk dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum bagi perusahaan pembakar Hutan dan lahan di tahun 2015, dimana kebakaran hutan dan lahan di tahun ini lebih luas dan besar dan melibatkan ratusan perusahaan.  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa total luas hutan-lahan yang terbakar di Indonesia tahun ini mencapai 2,1 juta hektar, Sementara itu sekitar 838.000 hektar atau 40% dari total lahan dan hutan terbakar terletak di Propinsi Sumatera Selatan. Dan 108.028 ha nya berada di PT. Bumi Mekar Hijau (Lebih Luas dari tahun 2014 yang hanya 60 ribu hektar dari 20 ribu hektar yang di gugat).
Dari sejumlah fakta tersebut, kami menyimpulkan para penyelenggara negara dalam hal ini Yudikatif tidak memiliki komitmen akan masa depan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan. Gugatan Kementerian LHK atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT. BMH di tahun 2014 saja dibiarkan lolos, terlebih lagi dengan fakta-fakta hukum yang lebih besar di tahun 2015.

Kontak Person :
Hadi Jatmiko Direktur Walhi Sumsel : 0812 731 2042
Selengkapnya...

Senin, Desember 28, 2015

Siaran Pers : Menolak Lupa Melawan Asap

Studi Signifikansi Kebakaran Konsensi APP di Sumatera Selatan

Konferensi Pers di Kantor Walhi nasional " Menolak Lupa, Melawan asAPP"


Jakarta, 28 Desember 2015 - Kebakaran besar hutan-lahan di Indonesia terus berlanjut tanpa dapat dihentikan. Kebakaran hutan-lahan tahun ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 200 Triliun. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan 425.377 orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa 10 orang meninggal karena kabut asap di periode Juni-November 2015. 
Kebakaran Hutan dan lahan serta pencemaran ekstrim asap yang semakin parah, merupakan buah dari kesalahan pemerintah meletakkan dasar pertimbangan regulasi tata kelola sumber daya alam (SDA), yang mendorong dominasi penguasaan luas lahan oleh korporasi, legitimasi kejahatan lingkungan, berbasis otoritas politik dan kontrol yang lemah.
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, “Dalam konteks regulasi, pemerintah cenderung permisif terhadap proses penghancuran lingkungan untuk eksploitasi SDA berbasis komoditi. Tingginya kewenangan penerbitan izin tidak diimbangi dengan tanggung jawab dan peningkatan kapasitas kontrol negara terhadap pemegang konsensi. Mudahnya proses perizinan melimpahkan kewenangan pengelolaan terhadap SDA kepada korporasi, mengantarkan situasi dimana luasnya wilayah yang dikuasai korporasi jauh melampaui daya kelola korporasi itu sendiri. Seperti halnya konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang luas per korporasi bisa mencapai 300.000 hektar membuat kebakaran tidak dapat dipadamkan oleh pemilik konsensi”.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa total luas hutan-lahan yang terbakar di Indonesia tahun ini mencapai 2,1 juta hektar, dengan Kalimantan dan Sumatera yang paling terkena dampak, menurut perkiraan dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Sementara itu sekitar 838.000 hektar atau 40% dari total lahan dan hutan terbakar terletak di Propinsi Sumatera Selatan.
Tingginya peruntukan luas lahan untuk Konsensi HTI dipengaruhi oleh perubahan regulasi yang mengatur kriteria hutan untuk konsensi HTI, seperti PP nomor 06 Tahun 2007 J0 PP 03 Tahun 2008, yang membolehkan Konsesi HTI di kawasan hutan alam primer. Di Sumatera Selatan setidaknya 13 perusahaan  dari 20 perusahaan HTI yang mengalami kebakaran tahun 2015 merupakan perusahaan yang mendapatkan izin pada kurun waktu 2006 hingga 2014.
Di Propinsi Sumatera Selatan termasuk beberapa daerah, di lahan gambut telah dikeluarkan ijin untuk 48 perusahaan dengan luas total mencapai 1,5 juta hektare. Asian Pulp and Paper (APP) yang telah beroperasi sejak tahun 2004 menguasai 51% dari luasan tersebut, dengan total luas 796.217 hektar dimana 55% dari wilayah ini berada di lahan gambut.

APP sudah mengumumkan "Roadmap untuk Keberlanjutan 2020" termasuk Kebijakan Konservasi Hutan-nya (Fores Conservation Policy), dimana di dalamnya termasuk memulihkan lahan gambut , dan kebijakan "Nol Pembakaran". Direktur WALHI Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko,  mengatakan “Faktanya, koalisi organisasi non-pemerintah di Sumatera Selatan menemukan APP telah gagal mencegah kebakaran hutan di dalam wilayah konsesi dan pensuplainya. Artinya, komitmen APP tersebut hanya ilusi”.

“Koalisi ornop Sumatera Selatan menemukan bahwa total area terbakar di dalam konsesi APP adalah 78% (293.065 Ha) dari area konsesi terbakar di Sumatera Selatan (375.823 Ha), yang nota bene adalah 37% dari seluruh area konsesi APP di Sumatera Selatan. Sebesar 174.080 ha dari areal konsesi terbakar APP adalah pada lahan gambut, menurut Landsat”, ditegaskan Aidil Fitri dari Hutan Kita Institute.
Selain regulasi, praktik transaksional politik dalam penerbitan izin juga menjadi faktor penyebab kebakaran dan asap, seperti halnya kebakaran di Sumatera selatan yang mengalami peningkatan tahun 2010 pasca prosesi politik tahun 2009, begitupun peningkatan kebakaran tahun 2015 merupakan buah prosesi politik tahun 2014, dimana 2 perusahaan HTI yang mengalami kebakaran tahun 2015 merupakan perusahaan yang mendapatkan izin tahun 2014, selain penerbitan SK pelepasan kawasan hutan oleh kementerian kehutanan tahun 2014.
Penegakan hukum yang cenderung pandangbulu, membuat perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap wilayah penguasaannya. Perusahaan yang mengalami kebakaran tahun 2015 merupakan perusahaan perusahaan yang mengalami kebakaran ditahun tahun sebelumnya. Penerbitan izin yang tanpa pertimbangan keberlanjutan lingkungan ditambah peran tanggung jawab kontrol pemerintah yang lemah, menjadikan proses hukum sebagai tumpuan harapan terakhir bagi rakyat untuk merasakan keadilan. (selesai)
Jakarta, 28 Desember 2015

Contact Person
1.        Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI di 081289850005
2.        Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan di 08127312042
3.        Aidil Fitri, Direktur Hutan Kita Institute di 08127110385
Selengkapnya...

Kamis, Desember 17, 2015

Siaran Pers : Keuntungan bagi negara Kaya, tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indoensia
Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris


Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi?
“Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam keterangan persnya (2).
Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share) untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.
Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.”
Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.
“kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar.  
Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni:
Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan.
Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.
Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada.
Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.
Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.
Di hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses UNFCCC COP 21 Paris. 

 
(1)    Download dokumen kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris:  http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf
(3)    Untuk analisis yang lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris       
(4)    Thousands of individuals spelled out “Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded online here: http://www.climatejusticepeace.org/


Kontak person di Paris:
Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +33754235158 +6281241481868
Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah +628115200822
Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI +6281293993460

Kontak Person di Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI
Nur Hidayati: 081316101154
Khalisah Khalid: 081311187498
Selengkapnya...

Siaran Pers : ​Inisiative Restorasi Landscape, Solusi Palsu Penyelamatan Lingkungan Hidup


Paris-Pada saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik 

WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya.

Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”.  Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka.

Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya.

Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam.

Bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi.

Kami juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (selesai)

Paris, 7 Desember 2015.

Narahubung di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158
Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154


Spoke Persons yang dapat dihubungi:
1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
4.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau

Selengkapnya...

Siaran Pers : Komitmen Penurunan Emisi Indonesia VS Proyek Pembangunan Dalam Negeri

Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang.


Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta, masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat, khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam.

Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC - COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim

Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025.

“Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI

 
Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan.

Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai)

Paris, 2 Desember 2015.

Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001

Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154 

Edo Rakhman: 081356208763
 

Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi:

1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI

2.     Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI

3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel

4.     Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah

5.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau

6.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi

Selengkapnya...

Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi

Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris 

Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.


Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi.

Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim.

Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.

Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan.

Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi.



Paris, 30 November 2015.


Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158
Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154


Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi:
1.       Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2.       Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3.       Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
4.       Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
5.       Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
6.       Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
Selengkapnya...