WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Desember 17, 2015

Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi

Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris 

Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.


Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi.

Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim.

Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.

Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan.

Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi.



Paris, 30 November 2015.


Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158
Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154


Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi:
1.       Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2.       Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3.       Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
4.       Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
5.       Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
6.       Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel



Artikel Terkait:

0 komentar: