Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends
of the Earth Indoensia
Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris
Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim
2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan
perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir
tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan
kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi?
“Bagi politisi,
ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya.
Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat
terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik
dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari
kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar,
Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam
keterangan persnya (2).
Negara-negara maju
telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di
Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong
sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat
dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share)
untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi
negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan
iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.
Kurniawan Sabar,
Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi
Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi
masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak
memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,
dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan
terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin
mengkhawatirkan.”
Sikap pemerintah
Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam
negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang
hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah
Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari
mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju
dalam negosiasi di Paris.
“kita tidak bisa
berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih
maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi
bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk
mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari
kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan
tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi
dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam
pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar.
Sebagai catatan
kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the
Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni:
Pertama, kesepakatan Paris menegaskan
bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan
bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan
temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa
mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan
memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan
beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim
kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan
penundaan.
Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki
kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah
dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.
Ketiga, tanpa finansial yang memadai,
negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban
dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan
politik (political will) tidak ada.
Keempat, satu-satunya kewajiban yang
mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus
melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.
Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar
untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks.
Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus
REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan
yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi
dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.
Di hari akhir negosiasi iklim di
Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International
bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global
untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di
tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil
yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan
menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses
UNFCCC COP 21 Paris.
(1)
Download dokumen
kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf
(2)
Siaran Pers Friends
of the Earth International: (1) http://www.foei.org/press/archive-by-subject/climate-justice-energy-press/paris-climate-deal-sham
(3)
Untuk analisis yang
lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris
(4)
Thousands of individuals spelled out
“Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded
online here: http://www.climatejusticepeace.org/
Referensi
lainnya: http://newint.org/features/web-exclusive/2015/12/12/cop21-paris-deal-epi-fail-on-planetary-scale/
Kontak person di Paris:
Ari Rompas, Direktur WALHI
Kalimantan Tengah +628115200822
Pius Ginting, Eksekutif Nasional
WALHI +6281293993460
Kontak Person di Jakarta:
Eksekutif Nasional WALHI
Nur Hidayati: 081316101154
Khalisah Khalid: 081311187498
0 komentar:
Posting Komentar