Paris-Pada
saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global
Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut
di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai
bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri
ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan
hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik
WALHI
menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape
setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan
Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari
korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan
indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri
Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape
yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan
pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang
rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat
lainnya.
Inisiative
landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan
dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land
banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”. Korporasi dan elit
politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus
mengakumulasi keuntungan mereka.
Salah satu
problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan
hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat.
Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini
korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu
sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.
Selama ini
komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020
misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru
ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol
deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak
lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar,
dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada
korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi
yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya.
Yang ironi
tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk
mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi
yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam.
Bagaimana
mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam
masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada
kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha
lahan baru untuk konservasi.
Kami juga
mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan
gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang
membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan
tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk
mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak
buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah
mereka rusak. (selesai)
Paris, 7
Desember 2015.
Narahubung
di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158
Narahubung
di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154
Spoke
Persons yang
dapat dihubungi:
1. Kurniawan Sabar,
Eksekutif Nasional WALHI
2. Musri Nauli, Direktur
WALHI Jambi
3. Hadi Jatmiko, Direktur
WALHI Sumsel
4. Riko Kurniawan,
Direktur WALHI Riau
0 komentar:
Posting Komentar