Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang. |
Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi
masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta,
masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan
semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat,
khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi
penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih
ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam.
Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC - COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim
Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025.
“Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI
Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan.
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai)
Paris, 2 Desember 2015.
Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001
Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154
Edo Rakhman: 081356208763
Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi:
1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
4. Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
5. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
6. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC - COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim
Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025.
“Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI
Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan.
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai)
Paris, 2 Desember 2015.
Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001
Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154
Edo Rakhman: 081356208763
Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi:
1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
4. Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
5. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
6. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
0 komentar:
Posting Komentar