WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Juni 18, 2014

Pernyataan Sikap : Bebaskan Tokoh Adat dan Petani Musi Banyuasin

Menuntut pembebasan tokoh adat dan petani !!! Kembalikan wilayah adat!!! Hapus status hutan suaka margasatwa dangku dari wilayah adat!!!

Peristiwa ini di awali dengan penunjukan Suaka Margasatwa Bentayan melalui SK menteri pertanian Republik Indonesia Nomor : 276/Kpts-UM/IV/1981, tanggal 08 April 1981 tentang penunjukan kelompok hutan Dangku dan sekitar nya seluas ± 29.080 ha serta kelompok hutan Bentayan dan sekitarnya seluas ± 19.300 ha yang terletak di Kabupaten Musi Banyu Asin Provinsi Sumatra Selatan sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai suaka margasatwa.


Beberapa fakta terkait penunjukan hutan suaka margasatwa tersebut :
 
A. Menteri Pertanian RI pada tanggal 29 Juli 1970, melalui Direktur Jenderal Kehutanan Bapak Soedjarwo mengeluarkan surat jawab kepada masyarakat yang menyatakan bahwa :
  1. Hak adat adalah Hak milik baik pribadi maupun Marga yang tidak bisa dihapus dan dihilangkan begtitu saja 
  2. Hutan produksi peninggalan Kolonial Belanda berupa dikiri-kanan sungai Dangku antara Talang Buluh dengan Pangkalan Bulian seluas 500 ha, dan Hutan Produksi di Bentayan Marga Tungkal Ilir seluas 7.000 ha.
B. Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI Nomor : 276/Kpts-UM/IV/1981 tanggal 08 April 1981 tentang penunjukkan Kelompok Hutan Dangku seluas ± 29.080 Ha dan Kelompok Hutan Bentayan seluas ± 19.300 Ha. Perluasan wilayah Suaka Margasatwa tersebut dilakukan secara sepihak oleh Kementrian Pertanian, tanpa melakukan sosialisasi dan persetujuan oleh masyarakat adat setempat.

C. Akibat dari kebijakkan Menteri Pertanian tahun 1981 yang tanpa menerapkan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan (FPIC/Free Prior Informed Concent) kepada masyarakat adat setempat, mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM terhadap masyarakat, di awali surat Perintah Tugas yang dikeluarkan oleh BKSDA SumSel Nomor : PT.283/IV-K.8/2012 tanggal 19 November 2010, tentang Pengumpulan Bahan Keterangan (PULBAKET) Intelejen Kawasan Hutan dan Hasil Hutan SPORC didaerah BPUJ dalam Kawasan Konservasi SM. Bantayan dan sekitarnya di Kab. Musi Banyuasin. Atas dasar tersebut Tim Polisi Hutan BKSDA dibantu oleh POLDA Sumatera Selatan melakukan pengusiran dibeberapa perkampungan masyarakat dengan melakukan pembakaran rumah, pengambilan secara paksa alat-alat pertanian masyarakat, pengrusakkan/penebangan terhadap kebun karet masyarakat, pemaksaan penandatanganan Surat Pernyataan untuk meninggalkan usaha menggarap tanpa tuntutan kepada Negara dan kriminalisasi terhadap masyarakat. 

D. Bahwa kenyataannya banyak oknum dari BKSDA Sumsel yang justru melakukan pengrusakkan Hutan Suaka Margasatwa tersebut dengan melindungi pembalakkan liar yang dilakukan oleh masyarakat pendatang. Disamping itu Oknum BKSDA melakukan pungutan kepada masyarakat pendatang tersebut sebesar Rp. 100.000 – Rp. 300.000 per meter kubik.

Inilah yang selama ini menjadi momok sebuah Negara besar yang sama sekali jauh dari kedaulatan HAK atas Tanah terlebih persoalah lahan ulayat atau tanah adat. seharus nya Pemerintah terkait tidak menutup mata terhadap ada nya Hak adat dan hak setiap petani. Dari uraian di ataspun mampu kita pahami bahwa terlalu tidak adil ketika bagian instrumen negara melakukan tindakkan Kolusi ataupun tindakkan penyelewengan wewenang.

Disisi lain, Rakyat yang membutuhkan lahan malah dihadang dengan berbagai cara termasuk mengkriminalisasikan rakyat yang merupakan PEMILIK atas tanah marga yang mewarisi dan memiliki sejarah panjang terhadap tanah adat mereka sendiri.

Berulang kali Rakyat dihadang dan didzalimi oleh aparat melalui teror penyerbuan, pengrusakan dan penangkapan. Antara lain; pada tanggal 24 Oktober tahun 2012, 30 Mei 2013 dan 11 Juni 2014, belum lagi persoalan pengrusakkan yang di lakukan oleh pihat aparat misalnya merusak pondok-pondok dan merusaki pohon-pohon karet masyarakat. Kejadian tanggal 11 Juni 2014 yaitu beberapa hari lalu aparat gabungan TNI/POLRI dan BKSDA datang dengan menggunakan 9 mobil dan jumlah pasukan kurang lebih 100 orang, kedalam Posko Masyarakat adat untuk membawa dua orang tokoh adat yang bernama Bapak M. Nur Jakfar (73) dan Bapak Zulkifli (60), dan sudari Wiwin (22) yang merupakan bagian dari staf AMAN Sumatera Selatan serta membawa beberapa dokumen-dokumen penting, merampas dan menghilangkan dokumen foto dalam kamera staf AMAN, setelah beberapa jam sebelumnya menangkap 4 orang lagi yang ditangkap dari lahan garapan masyarakat diantara nya ialah Ahmadburhanudinanwar (20) Samingan(43), Sukisna(40), Dedi suyanto (30), mereka dibawa ke POLDA SUMSEL, Jam 11.00 WIB aparat menciduk dilahan yang sudah di duduki masyarakat Adat Marga Dawas dan Tungkal Ulu pada tanggal 11 Juni 2014. Dalam pemeriksaan banyak ditanya soal pembukaan lahan di desa marga dawas dan marga tungkal ulu. Perkembangan terbaru Masyarakat Adat Marga Dawas dan Tungkal Ulu Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan yang di kriminalisasikan/ditangkap oleh TIM gabungan TNI, POLRI dan BKSDA SUMSEL

Atas kejadian ini kami menilai bahwa : BKSDA, Kehutanan dan Aparat Keamanan Negara bertindak sewenang wenang atas nama hukum merampas hak – hak rakyat, memanipulasi aturan hukum untuk melakukan kejahatan terhadap Negara dan Rakyat.

Oleh karena itu maka kami Kualisi Masyarakat Adat dan Petani Menggugat, menyatakan :
  1. Menuntut pertanggung jawaban BKSDA, Kehutanan dan Aparat Gabungan atas penangkapan terhadap tokoh adat dan petani. Menyatakan tindakan tersebut sebagai tindakan biadab melanggar hak hak kemanusiaan dan Hak Warga Negara.
  2. BEBASKAN Tokoh Adat dan Petani yang ditangkap, serta hentikan kriminalisasi masyarakat adat dan petani di Marga Tungkal Ulu dan Marga Dawas.
  3. Hentikan dan usut tuntas praktek Ilegal loging di lahan yang melibatkan BKSDA serta Dinas Kehutanan.
  4. Menuntut pertanggung jawaban BKSDA dan Dinas Kehutanan atas alih fungsi kawasan yang dinyatakan sebagai Hutan SM Dangku namun dijual-belikan kepada perusahaan swasta melalui surat pemberian izin, serta menilai alih fungsi ini sebagai tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Untuk itu kami akan meminta pihak Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bekerjasama segera mengusut kasus ini.
  5. Tuntaskan persoalan batas – batas wilayah adat dan kembalikan tanah adat sebagai pemenuhan kewajiban Negara terhadap Hak Masyarakat Adat sebagaimana yang diatur dalam UUD 45, UUPA 1960, TAP MPR No. IX/2001, keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012.
  6. Cabut SK Penunjukan dan Penetapkan Hutan Suaka Marga Satwa Dangku dikarenakan cacat hukum dan tidak sesuai prosedural yang sah.

Palembang, 16 Juni 2014

KOALISI MASYARAKAT ADAT DAN PETANI MENGGUGAT
Walhi Sumsel, AMAN SumSel, DPW SHI SumSel, MHI SumSel, Barisan Pemuda AMAN
Selengkapnya...

Berkonflik dengan Suaka Margasatwa, Enam Warga Muba Dijerat UU P3H dan Konservasi SDA

Kekhawatiran berbagai kalangan kala UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) disahkan hanya akan menyasar masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, terbukti benar. Kasus kedua, setelah vonis maksimal terhadap empat warga adat Semende Agung, Bengkulu kini terjadi di Musi Banyuasim, Sumatera Selatan.
Enam dari tujuh petani—sebelumnya dikabarkan lima—ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Mereka dituduh merusak hutan Suaka Margasatwa Dangku, dan dijerat UU No.35 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).
“Mereka masih diperiksa penyidik. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, satu menjadi saksi,” kata Kombes Pol R Djarot Padakova, Kabid Humas Polda Sumsel kepada Mongabay, Jumat (13/6/14).
Enam tersangka itu, dua tokoh adat marga Tungkal yakni Muhammad Nur Djakfar (73) dan Zulkipli (53). Lalu, Dedy Suyanto (30) warga Betung, Sukisna (40),  Samingan (43) dari Sukadamai, dan Anwar (29)  dari Sungaipetai. Sedang Wiwit (22) menjadi saksi.
Djarot mengatakan, sebagian hutan Suaka Margasatwa Dangku sudah menjadi pemukiman. “Mungkin sudah ratusan penduduk.”
Sebelumnya, Rabu (11/6/14), kepolisian Polda Sumsel, BKSDA, Dinas Kehutanan Sumsel, operasi gabungan di hutan Suaka Margasatwa Dangku. Versi kepolisian enam petani ditangkap di Suaka Margasatwa Dangku.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, empat petani ditangkap di lokasi, tiga di posko Dewan Petani Sumsel di Tungkal Jaya, seusai pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat. “Ketiga petani diciduk di posko itu Muhammad Nur Djakfar, Zulkipli, dan Wiwit,” kata Rustandi Ardiansyah, ketua AMAN Sumsel.
AMAN akan Praperadilkan BKSDA
AMAN Sumsel mengutuk penangkapan warga kala organisasi ini mengadakan kegiatan pemetaan partisipatif wilayah adat. Bukan itu saja, aparat bertindak sewenang-wenang karena merampas kamera dan menghapus data AMAN SumSel. “Kami akan menuntut secara hukum,”  kata Rustandi.
AMAN juga berencana mempraperadilkan BKSDA atas proses penangkapan yang tidak sesuai prosedur hukum. “BKSDA dan aparat harus jeli, jangan asal tangkap. Kami meyakini perjuangan tokoh adat Muhammad Nur Djakfar dan Zulkipli semata mempertahankan hak adat. Tidak ada kaitan dengan aktivitas kelompok yang menggagar lahan adat yang diklaim Suaka Margasatwa Dangku oleh BKSDA.”
Bahkan, AMAN SumSel mensinyalir ada praktik illegal logging di lahan yang melibatkan BKSDA dan Dinas Kehutanan.
Penangkapan tanpa ada pemberitahuan atau menunjukkan surat-surat semestinya juga dipertanyakan berbagai kalangan. Bahkan beberapa dokumen DPSS dan pembukuan keuangan lembaga dirampas aparat.
Bawor Purbaya dari HuMa mengatakan, tindakan aparat TNI/Polri dan petugas BKSDA melanggar hukum dan tidak mencerminkan perilaku bangsa berbudaya.  “Tindakan ini tidak langsung melarang hak manusia berkumpul dan berserikat,” dalam pernyataan bersama organisasi masyarakat sipil kepada media.
Untuk itu, dia meminta Kapolda Sumsel segera membebaskan petani yang ditangkap. “Kami minta TNI/Polri berhenti campur tangan dalam konflik agraria dan kehutanan terkait hak-hak masyarakat adat,” kata Rian Syaputra, dari Walhi Sumsel.
Kalangan organisasi masyarakat sipil mendesak aparat menghentikan penangkapan warga yang mempertahankan hak mereka.
Beberapa Organisasi organisasi itu antara lain Walhi Sumsel, Padi Indonesia,  HuMa, Walhi Kaltim, Perkumpulan Menapak Indonesia, LBH Universitas Balikpapan, Scale Up Riau, Epistema Institute, dan Serikat Petani Sriwijaya. Lalu, SOFI Institute, JKMA Aceh, LBBT Kalimantan Barat, RMI Bogor, Bantaya Palu, Balang Institute, GBHR Kalimantan Barat, LBBT Pontianak, Papanjati Jawa Timur, Qbar Padang, dan AKAR Bengkulu.
Status Hutan Margasatwa Dangku
Menurut Rustandi, tuduhan penjarahan oleh kepolisian menggunakan UU Konservasi SDA dan UU P3H, sangat tidak tepat. “Lahan dikuasai masyarakat itu tanah adat. Justru hutan adat menjadi suaka itu harus dipertanyakan. Masyarakat menetap untuk hidup. Berkebun, bertani, juga menetap. Ya, seperti kehidupan sebelum tanah adat itu diambil pemerintah untuk hutan Suaka Margasatwa Dangku.” AMAN mendesak kepolisian segera membebaskan warga.
Senada diungkapkan Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Menurut dia, kepolisian dan BKSDA harus berhati-hati memproses
hukum ketujuh warga ini. “Sebab belum ada ketetapan hukum jelas mengenai wilayah itu sebagai hutan Suaka Margasatwa,” katanya.
Saat dikuasai masyarakat, kondisi sudah rusak. Banyak penebangan liar yang diduga dilakukan aparat. Bahkan, tidak ditemukan lagi satwa seperti gajah, harimau, tapir di sana. “Tahun 1990-an, beroperasi HPH di situ.”
Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Ia berjarak sekitar 150 kilometer dari Palembang, memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut 1986, luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar
 
sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/06/14/berkonflik-dengan-suaka-margasatwa-enam-warga-muba-dijerat-uu-p3h-dan-konservasi-sda/ 

Selengkapnya...