WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Juni 18, 2014

Berkonflik dengan Suaka Margasatwa, Enam Warga Muba Dijerat UU P3H dan Konservasi SDA

Kekhawatiran berbagai kalangan kala UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) disahkan hanya akan menyasar masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, terbukti benar. Kasus kedua, setelah vonis maksimal terhadap empat warga adat Semende Agung, Bengkulu kini terjadi di Musi Banyuasim, Sumatera Selatan.
Enam dari tujuh petani—sebelumnya dikabarkan lima—ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Mereka dituduh merusak hutan Suaka Margasatwa Dangku, dan dijerat UU No.35 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).
“Mereka masih diperiksa penyidik. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, satu menjadi saksi,” kata Kombes Pol R Djarot Padakova, Kabid Humas Polda Sumsel kepada Mongabay, Jumat (13/6/14).
Enam tersangka itu, dua tokoh adat marga Tungkal yakni Muhammad Nur Djakfar (73) dan Zulkipli (53). Lalu, Dedy Suyanto (30) warga Betung, Sukisna (40),  Samingan (43) dari Sukadamai, dan Anwar (29)  dari Sungaipetai. Sedang Wiwit (22) menjadi saksi.
Djarot mengatakan, sebagian hutan Suaka Margasatwa Dangku sudah menjadi pemukiman. “Mungkin sudah ratusan penduduk.”
Sebelumnya, Rabu (11/6/14), kepolisian Polda Sumsel, BKSDA, Dinas Kehutanan Sumsel, operasi gabungan di hutan Suaka Margasatwa Dangku. Versi kepolisian enam petani ditangkap di Suaka Margasatwa Dangku.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, empat petani ditangkap di lokasi, tiga di posko Dewan Petani Sumsel di Tungkal Jaya, seusai pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat. “Ketiga petani diciduk di posko itu Muhammad Nur Djakfar, Zulkipli, dan Wiwit,” kata Rustandi Ardiansyah, ketua AMAN Sumsel.
AMAN akan Praperadilkan BKSDA
AMAN Sumsel mengutuk penangkapan warga kala organisasi ini mengadakan kegiatan pemetaan partisipatif wilayah adat. Bukan itu saja, aparat bertindak sewenang-wenang karena merampas kamera dan menghapus data AMAN SumSel. “Kami akan menuntut secara hukum,”  kata Rustandi.
AMAN juga berencana mempraperadilkan BKSDA atas proses penangkapan yang tidak sesuai prosedur hukum. “BKSDA dan aparat harus jeli, jangan asal tangkap. Kami meyakini perjuangan tokoh adat Muhammad Nur Djakfar dan Zulkipli semata mempertahankan hak adat. Tidak ada kaitan dengan aktivitas kelompok yang menggagar lahan adat yang diklaim Suaka Margasatwa Dangku oleh BKSDA.”
Bahkan, AMAN SumSel mensinyalir ada praktik illegal logging di lahan yang melibatkan BKSDA dan Dinas Kehutanan.
Penangkapan tanpa ada pemberitahuan atau menunjukkan surat-surat semestinya juga dipertanyakan berbagai kalangan. Bahkan beberapa dokumen DPSS dan pembukuan keuangan lembaga dirampas aparat.
Bawor Purbaya dari HuMa mengatakan, tindakan aparat TNI/Polri dan petugas BKSDA melanggar hukum dan tidak mencerminkan perilaku bangsa berbudaya.  “Tindakan ini tidak langsung melarang hak manusia berkumpul dan berserikat,” dalam pernyataan bersama organisasi masyarakat sipil kepada media.
Untuk itu, dia meminta Kapolda Sumsel segera membebaskan petani yang ditangkap. “Kami minta TNI/Polri berhenti campur tangan dalam konflik agraria dan kehutanan terkait hak-hak masyarakat adat,” kata Rian Syaputra, dari Walhi Sumsel.
Kalangan organisasi masyarakat sipil mendesak aparat menghentikan penangkapan warga yang mempertahankan hak mereka.
Beberapa Organisasi organisasi itu antara lain Walhi Sumsel, Padi Indonesia,  HuMa, Walhi Kaltim, Perkumpulan Menapak Indonesia, LBH Universitas Balikpapan, Scale Up Riau, Epistema Institute, dan Serikat Petani Sriwijaya. Lalu, SOFI Institute, JKMA Aceh, LBBT Kalimantan Barat, RMI Bogor, Bantaya Palu, Balang Institute, GBHR Kalimantan Barat, LBBT Pontianak, Papanjati Jawa Timur, Qbar Padang, dan AKAR Bengkulu.
Status Hutan Margasatwa Dangku
Menurut Rustandi, tuduhan penjarahan oleh kepolisian menggunakan UU Konservasi SDA dan UU P3H, sangat tidak tepat. “Lahan dikuasai masyarakat itu tanah adat. Justru hutan adat menjadi suaka itu harus dipertanyakan. Masyarakat menetap untuk hidup. Berkebun, bertani, juga menetap. Ya, seperti kehidupan sebelum tanah adat itu diambil pemerintah untuk hutan Suaka Margasatwa Dangku.” AMAN mendesak kepolisian segera membebaskan warga.
Senada diungkapkan Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Menurut dia, kepolisian dan BKSDA harus berhati-hati memproses
hukum ketujuh warga ini. “Sebab belum ada ketetapan hukum jelas mengenai wilayah itu sebagai hutan Suaka Margasatwa,” katanya.
Saat dikuasai masyarakat, kondisi sudah rusak. Banyak penebangan liar yang diduga dilakukan aparat. Bahkan, tidak ditemukan lagi satwa seperti gajah, harimau, tapir di sana. “Tahun 1990-an, beroperasi HPH di situ.”
Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Ia berjarak sekitar 150 kilometer dari Palembang, memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut 1986, luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar
 
sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/06/14/berkonflik-dengan-suaka-margasatwa-enam-warga-muba-dijerat-uu-p3h-dan-konservasi-sda/ 



Artikel Terkait:

0 komentar: