Kekhawatiran berbagai kalangan kala UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H) disahkan hanya akan menyasar masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, terbukti benar. Kasus
kedua, setelah vonis maksimal terhadap empat warga adat Semende Agung,
Bengkulu kini terjadi di Musi Banyuasim, Sumatera Selatan.
Enam dari tujuh petani—sebelumnya dikabarkan lima—ditetapkan sebagai
tersangka oleh kepolisian. Mereka dituduh merusak hutan Suaka Margasatwa
Dangku, dan dijerat UU No.35 tahun 1990 tentang Konservasi SDA dan UU
No.18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan
(P3H).
“Mereka masih diperiksa penyidik. Enam orang ditetapkan sebagai
tersangka, satu menjadi saksi,” kata Kombes Pol R Djarot Padakova, Kabid
Humas Polda Sumsel kepada Mongabay, Jumat (13/6/14).
Enam tersangka itu, dua tokoh adat marga Tungkal yakni Muhammad Nur
Djakfar (73) dan Zulkipli (53). Lalu, Dedy Suyanto (30) warga Betung,
Sukisna (40), Samingan (43) dari Sukadamai, dan Anwar (29) dari
Sungaipetai. Sedang Wiwit (22) menjadi saksi.
Djarot mengatakan, sebagian hutan Suaka Margasatwa Dangku sudah menjadi pemukiman. “Mungkin sudah ratusan penduduk.”
Sebelumnya, Rabu (11/6/14), kepolisian Polda Sumsel, BKSDA, Dinas
Kehutanan Sumsel, operasi gabungan di hutan Suaka Margasatwa Dangku.
Versi kepolisian enam petani ditangkap di Suaka Margasatwa Dangku.
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel, empat
petani ditangkap di lokasi, tiga di posko Dewan Petani Sumsel di
Tungkal Jaya, seusai pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat. “Ketiga petani diciduk di posko itu Muhammad Nur Djakfar, Zulkipli, dan Wiwit,” kata Rustandi Ardiansyah, ketua AMAN Sumsel.
AMAN akan Praperadilkan BKSDA
AMAN Sumsel mengutuk penangkapan warga kala organisasi ini mengadakan
kegiatan pemetaan partisipatif wilayah adat. Bukan itu saja, aparat
bertindak sewenang-wenang karena merampas kamera dan menghapus data AMAN
SumSel. “Kami akan menuntut secara hukum,” kata Rustandi.
AMAN juga berencana mempraperadilkan BKSDA atas proses penangkapan
yang tidak sesuai prosedur hukum. “BKSDA dan aparat harus jeli, jangan
asal tangkap. Kami meyakini perjuangan tokoh adat Muhammad Nur Djakfar
dan Zulkipli semata mempertahankan hak adat. Tidak ada kaitan dengan
aktivitas kelompok yang menggagar lahan adat yang diklaim Suaka
Margasatwa Dangku oleh BKSDA.”
Bahkan, AMAN SumSel mensinyalir ada praktik illegal logging di lahan yang melibatkan BKSDA dan Dinas Kehutanan.
Penangkapan tanpa ada pemberitahuan atau menunjukkan surat-surat
semestinya juga dipertanyakan berbagai kalangan. Bahkan beberapa dokumen
DPSS dan pembukuan keuangan lembaga dirampas aparat.
Bawor Purbaya dari HuMa mengatakan, tindakan aparat TNI/Polri dan
petugas BKSDA melanggar hukum dan tidak mencerminkan perilaku bangsa
berbudaya. “Tindakan ini tidak langsung melarang hak manusia berkumpul
dan berserikat,” dalam pernyataan bersama organisasi masyarakat sipil
kepada media.
Untuk itu, dia meminta Kapolda Sumsel segera membebaskan petani yang
ditangkap. “Kami minta TNI/Polri berhenti campur tangan dalam konflik
agraria dan kehutanan terkait hak-hak masyarakat adat,” kata Rian
Syaputra, dari Walhi Sumsel.
Kalangan organisasi masyarakat sipil mendesak aparat menghentikan penangkapan warga yang mempertahankan hak mereka.
Beberapa Organisasi organisasi itu antara lain Walhi Sumsel, Padi
Indonesia, HuMa, Walhi Kaltim, Perkumpulan Menapak Indonesia, LBH
Universitas Balikpapan, Scale Up Riau, Epistema Institute, dan Serikat
Petani Sriwijaya. Lalu, SOFI Institute, JKMA Aceh, LBBT Kalimantan
Barat, RMI Bogor, Bantaya Palu, Balang Institute, GBHR Kalimantan Barat,
LBBT Pontianak, Papanjati Jawa Timur, Qbar Padang, dan AKAR Bengkulu.
Status Hutan Margasatwa Dangku
Menurut Rustandi, tuduhan penjarahan oleh kepolisian menggunakan UU
Konservasi SDA dan UU P3H, sangat tidak tepat. “Lahan dikuasai
masyarakat itu tanah adat. Justru hutan adat menjadi suaka itu harus
dipertanyakan. Masyarakat menetap untuk hidup. Berkebun, bertani, juga
menetap. Ya, seperti kehidupan sebelum tanah adat itu diambil pemerintah
untuk hutan Suaka Margasatwa Dangku.” AMAN mendesak kepolisian segera
membebaskan warga.
Senada diungkapkan Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Menurut dia,
kepolisian dan BKSDA harus berhati-hati memproses
hukum ketujuh warga ini. “Sebab belum ada ketetapan hukum jelas mengenai wilayah itu sebagai hutan Suaka Margasatwa,” katanya.
Saat dikuasai masyarakat, kondisi sudah rusak. Banyak penebangan liar
yang diduga dilakukan aparat. Bahkan, tidak ditemukan lagi satwa
seperti gajah, harimau, tapir di sana. “Tahun 1990-an, beroperasi HPH di
situ.”
Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten
Musi Banyuasin, Sumsel. Ia berjarak sekitar 150 kilometer dari
Palembang, memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan
Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut 1986, luas Margasatwa Dangku 70.240
hektar
sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/06/14/berkonflik-dengan-suaka-margasatwa-enam-warga-muba-dijerat-uu-p3h-dan-konservasi-sda/
0 komentar:
Posting Komentar